BTS...Back to School

Gambar sebagai pemanis. Sumber : Twitter @bts_bighit


Medio Juli 2022. Tahun ajaran baru sudah dimulai. Meski harinya tidak serentak, di media sosial, saya membaca postingan teman-teman tentang hari pertama masuk sekolah. Rasa haru dan bangga mewarnai cerita-cerita mereka. Apalagi, ini adalah tahun ajaran yang terasa “normal” setelah badai pandemi Covid yang memaksa anak-anak belajar di rumah saja.


Saya tidak punya bahan untuk postingan yang situasinya persis serupa itu. Seperti saya ceritakan di tautan ini, setahun ini Ale dan Elo menjalani proses homeschooling. Secara administratif, mereka pindah dari sekolah formal di Makassar ke sebuah lembaga pendidikan non-formal yang beralamat di Salatiga. Terbilang setahun ini, proses homeschooling kami masih mencari bentuk. Baru beberapa bulan belakangan saya tergabung dengan komunitas homeschooling yang berbasis metode tertentu.


Baca : Dua bulan Homeschooling


Dengan kondisi ini, jelas saja saya tak ikut dalam kehebohan mencari sekolah beserta pernik-perniknya. Hingga pekan lalu, saya masih fokus untuk menyusun kurikulum homeschooling yang disesuaikan dengan kemampuan dan keadaan keluarga.


Ketika sebagian sekolah sudah memulai aktifitas, lalu anak-anak di jenjang yang baru sudah mulai Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah, kami malah camping di Malino. Kebetulan, BJ ada libur dari kantor plus sambung cuti. Kami berangkat camping hari Kamis dengan rencana tentatif pulang hari Sabtu. 


Malam Jumatnya kami ketemu hantu….haha, enggak ding. Kami sempat ngobrol santai tapi ternyata cukup dalam. Saya lupa, kami awalnya ngobrol apa. Yang saya ingat pasti adalah endingnya, yakni Ale mau back to school alias kembali ke sekolah formal. 


Hmmh…sebenarnya ini nggak mendadak amat sih. Selama setahun ini Ale kadang tercetus ingin kembali sekolah. Tapi dia juga ingin homeschooling. Dia galau gitu… Dengan homeschooling, jadwalnya santai dan dia bisa menggondrongkan rambut (ini poin penting buat dia😅). Di sisi lain, dia kadang bosan dan kesepian. Saat kemping itu, dia bener-bener menegaskan untuk kembali ke sekolah.


Giliran saya yang jadi galau dong… Di saat saya merasa makin mantap dengan opsi homeschooling, Ale justru meminta BTS (selanjutnya saya singkat begitu saja yaaa…kependekan dari back to school, bukan Bangtan Sonyeondan atau Bulletproof Boy Scout atau Beyond The Scene atau Buy the Service).  😅😅


Seharian di Jumat itu, beberapa kali saya menyinggung soal BTS dengan Ale. Saya mencoba memastikan keinginannya plus menggali alasan-alasannya. Jujur saja, setelah setahun homeschooling, BTS bukan hal sepele buat saya. Saya galau tentang memulai hal baru lagi (walaupun dulu sudah biasa dengan rutinitas sekolah sih). Saya galau tentang pilihan sekolah di Makassar (apalagi tahun ajaran sudah dimulai plus berkaitan dengan biaya). Saya galau, kalau-kalau nanti BJ tetiba dipindah. Saya galau kalau-kalau nanti sekolahnya jauh dari tempat tinggal. __Poin utama keputusan homeschooling dulu adalah karena BJ yang berpeluang pindah-pindah__


Baca : Menjelang Pindah Lagi


Ugh…saya overthinking.


Baca : Mengurus Pindah Sekolah Antar Provinsi


Pada saya, di satu sisi, ada perasaan gagal menjalankan homeschooling. Kalau Ale merasa fun, rasanya dia nggak akan minta BTS. Namun, alasan Ale sedikit mengikis perasaan gagal itu. Dia mau BTS karena kesepian. Dia ingin kembali membangun pertemanan. 


Di sisi lain, pernyataan Ale tentang butuh teman cukup melegakan. Bukan karena menepis perasaan gagal menjalankan HS, tapi karena sebelumnya Ale sempat bilang "males berteman akrab dengan siapapun karena takut bakalan sedih kalau ternyata harus pindah lagi." 


Huhhuhu…dilema anak-anak yang ortunya pindah-pindah ini yaaa…


Ada kegalauan, tapi juga ada kelegaan. Anak ini sudah bisa menegaskan pilihan beserta alasan kuatnya. Berbeda dengan si Elo, adiknya yang baru mau delapan tahun. Bahkan, ketika gantian ditanya, Elo sempat menjawab ingin sekolah di rumah dulu saja.


Salah satu kendala dalam proses homeschooling Ale dan Elo memang masalah sosialisasi. Mungkin karena awalnya Ale sudah sempat sekolah formal, jadi dia bisa membandingkan. Selain itu, di Makassar, saya tidak (belum?) menemukan komunitas homeschooling. Kadang jadi ngiri dengan teman-teman yanghomeschooler yang bisa rutin kopdar bikin kegiatan bareng. 


Komunitas online memang ada. Bahkan, selama ini Ale yang terdaftar di PKBM Piwulang becik juga ikut dalam kelas-kelas online (student class). Masalahnya, Ale tidak mudah menjalin pertemanan dengan teman-teman yang hanya ketemu online.. Dia lebih nyaman kontak online jika sebelumnya sudah kenal di luar jaringan. Misalnya saja, dia bisa ngobrol lepas sambil main game online dengan sahabat-sahabatnya di Medan.


Sebagai pendatang, kontak sosial Ale di real-life juga masih terbatas. Sebenarnya bukan hanya Ale sih, tapi kami serumah! Pengalaman beberapa kali pindah, lingkaran sosial pelan-pelan terbentuk dari interaksi di sekolah, di gereja, dan di kompleks tempat tinggal. Sementara, kami pindah saat pandemi. Masa di mana kita dianjurkan untuk JAGA JARAK. Padahal, tanpa jaga jarak pun, adaptasi di kota baru juga tidak selalu bisa berjalan cepat dan mulus. 


Kalau pakai bahasa gaul, bisa dibilang kami ini agak-agak nolep (no life). Dalam artian, interaksi sosial di dunia nyata sangat terbatas. Ada sih orang-orang yang nyaman dengan situasi seperti ini. Lebih suka berinteraksi di dunia digital daripada di kehidupan nyata. Tapi belajar dari pengalaman sebelumnya, kenangan pada kota-kota yang pernah kami tinggali ternyata lebih karena orang-orangnya. Menemukan teman-teman yang lalu menjadi sahabat bahkan keluarga, itulah kenangan indah dari proses berpindah-pindah.


Baca : When Laughter and Tears Collide


***


Back to topic..


Dari homeschooling lalu BTS memang bukan perkara tidak mungkin. Apalagi Ale Elo memilih homeschooling dengan tetap mengikuti jalur administrasi pendidikan nasional. Masalahnya, waktu kami mepet karena tahun ajaran sudah dimulai. Kalau kepengin anak ikut sekolah formal sedari awal tahun ajaran, ya harus cepat-cepat cari sekolah (itu pun kalau masih dapat).


Rasanya, tak akan sempat lagi berpikir panjang x lebar x tinggi. Keputusan mesti dibuat layaknya proklamasi, yakni dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Walau dalam hati belum sepenuhnya oke, Jumat sore kami kembali ke Makassar. Dengan fakta kalau tahun ajaran sudah mulai, kami tidak menjanjikan kepastian bisa BTS pada Ale. Hanya saja, Sabtu pagi kami mulai hunting sekolah.


Sudah tak sempat lagi untuk hunting ke banyak tempat. Berdasarkan informasi yang kami tahu, lalu pencarian di internet, ditambah bertanya kepada beberapa kenalan, Sabtu itu kami fokus ke tiga sekolah swasta. Kami tidak memasukkan sekolah negeri sebagai alternatif karena sudah berprasangka kalau bakalan lebih ribet. Pertama, keluarga kami jelas tidak memenuhi syarat zonasi karena masih ber-KTP dan KK Jawa Tengah. Kedua, meski sempat mengenyam pendidikan formal, ijazah kelulusannya adalah paket A. Secara aturan, harusnya tidak masalah. Tapi mana tahu aturan di atas belum diketahui di level bawah. Hihi, sudah suudzon dulu…


Singkat cerita, dari tiga sekolah, pertimbangan kami mengerucut ke satu sekolah di bawah naungan yayasan Katolik. SMP dan SD berada di satu kompleks, alasan praktis untuk beberapa hal. Sekolahnya luas dan rindang, juga punya lapangan sepakbola sendiri. Setidaknya, lingkungan fisiknya baik untuk anak-anak. Semoga lingkungan non-fisiknya juga nyaman untuk mereka belajar dan berteman.


Baru Selasa kami bisa bertemu dengan kepala sekolah. Namun, hingga Senin, saya masih galau. Bahkan, tumben-tumben perut saya tak nyaman serupa maag. Padahal meski telat makan, sudah lama saya tidak lagi merasakan perih lambung. Itu sebabnya saya tidak punya obat maag di kotak P3K. Tapi, saat itu saya sampai perlu beli obat maag.


Pokok persoalannya jelas, saya merasa tidak becus. Selain itu, kembalinya anak-anak ke sekolah membuat saya takut dan khawatir akan berbagai hal yang sebenarnya bisa saja tidak terjadi. Takut pada kemungkinan-kemungkinan yang belum tentu terjadi. 


Saya perlu mengambil waktu untuk diam dan berdoa. Baik berdoa sendiri maupun bareng suami. Kalau memang jalannya harus demikian, semoga dilancarkan. 


Selasa, kami bisa bertemu dengan kepala SMP. Wawancara singkat dan (meski saya masih setengah hati), Ale diterima di sekolah tersebut. Tidak ada masalah dengan prosedur meski Ale tercatat berijazah paket A (dan ijazah belum keluar).


Rabu, kami baru bisa bertemu kepala SD. Berhubung Elo naik kelas dua, statusnya adalah siswa pindahan. Saya perlu mengurus administrasi kepindahan dari PKBM Piwulang Becik. Pindah dari PKBM ke sekolah formal, juga bukan masalah.


Namanya sekolah formal, tentu saja berderet kebutuhan di awal tahun ajaran. Apalagi, nyaris semuanya baru (seragam dan lain-lain punya Ale sudah saya kasihkan orang). Tapi bisa kok dicicil ^_^. Puji Tuhan..


Baca : Beberapa Hal tentang Medan


Kamis, anak-anak mulai sekolah formal. Babak baru lagi dalam kehidupan keluarga kami. Sejujurnya, saya masih dalam proses untuk bisa mindfull menjalani ini. Namun, melihat anak-anak bersukacita menjalani proses barunya, juga merupakan sukacita bagi saya dan BJ, tentunya. Mungkin memang harus demikian supaya kami bisa lebih terhubung dengan kota ini. (*dw*)








1 komentar untuk "BTS...Back to School"

  1. Mbak Lisdha, semoga keputusan besar ini membawa kebahagiaan buat Ale, Elo, mbak, dan suami. Mau sekolah formal atau HS, aku yakin deh home education tetap jalan di keluarga kalian. Semangaaaat!

    BalasHapus

Terima kasih atas kunjungannya. Mohon tidak meninggalkan link hidup dalam komentar ya :)