Badan bocah gembul itu saya sabun tanpa guyur air lebih dulu. Cukup dengan menaruh cairan sabun ke telapak tangan, beri air untuk membuat busa, lalu gosokkan ke badan. Urusan menyabuni memang bisa tanpa guyuran air. Tapi untuk membersihkan busa, badan tetap harus disiram bukan?
Ini mandi, bukan lap-lap!
Dengan gayung, pelan-pelan saya siram bagian kaki, kemudian mengarah ke atas. Maksudnya sih biar badan nggak kaget, maka diguyur bagian bawah lebih dulu. Tapi, tetap saja, tepat ketika segayung air mengguyur bagian kepala, Elo berteriak keras!
“Dingiiiiiiiin!!! Huwaaaa wuaaa wuaaa!!”
Wiuuu… si bocil nangis lumayan keras. Suaranya pasti terdengar sampai tenda. Nangis keras mendadak gitu, bisa dikira kenapa ya kan… Padahal, Elo nangis “hanya” gara-gara nggak tahan dingin saat air diguyurkan. Duuh, maaf ya Nak.. ini kan camping. Nggak ada air panas di kamar mandi. Terus, kemarin kita pergi tidur tanpa mandi dulu. Masa pagi ini juga nggak akan mandi lagi… Lecek dan bau dooong!!
Saya cepat-cepat merampungkan sesi mandi Elo. Dengan gigi gemeretuk dia keluar kamar mandi. Huhu, airnya memang duingiiin sangat. Padahal, tadi sebelum mandi kami siasati dengan olahraga, gerak badan supaya badan hangat. Tapi tetap saja, dingin air bikin badan tercekat.
Setelah Elo, giliran saya mandi. Brrrr…. tergigit dingin juga sih. Tapi masa mau nangis juga? Hihihi.
***
10 Juni 2022Pagi itu, kami berada di Pongtorra, Toraja Utara, Sulawesi Selatan. Tempat yang berada di ketinggian kurang lebih 5000 kaki di atas permukaan laut. Di Indonesia, satuan kaki jarang dipakai sih ya… Satu kaki = 0,305 meter. Jadi ketinggian Pongtorra kurang lebih 1.500 meter. Dengan ketinggian ini, Pongtorra merupakan puncak tertinggi di kawasan wisata Lolai, Lembang Kapala Pitu, Toraja Utara.
Wajar dong kalau air-nya dingin menggigit. Udaranya juga…
Ah yayaya, ketahanan terhadap suhu udara memang relatif. Bagi saya yang sekarang peka dengan suhu rendah, rasanya dingin menggigit. Sedangkan, bagi orang lain mungkin sekadar dingin yang tak terlalu menggigit. Tapi, rasanya semua orang akan sepakat jika udara Pongtorra itu dingin.
Di tempat ini, tersaji panorama alam Toraja yang elok. Cantiknya matahari terbit dan hamparan awan nun bawah adalah pemandangan sehari-hari (pastinya perkecualian jika cuaca buruk). Tak heran jika tempat ini biasa disebut Negeri di Atas Awan.
Kau mainkan untukku
Sebuah lagu tentang negeri di awan
Di mana kedamaian menjadi istananya
Dududu, kalau ngomongin negeri di awan, auto ingat deh lagunya Katon Bagaskara (generasi 80-an detected).
Baca : Negeri di Awan Toraja
Ini merupakan kunjungan kedua saya dan keluarga ke kawasan Lolai. Tahun lalu, kami hanya berempat, dan hanya singgah saat sunrise di To’Tombi yang berjarak sekitar 5 km di bawah Pongtorra. Kali ini, kami berenam dengan sahabat dari Jogja (Shallom dan bunda-nya) dan tak sekadar singgah, tapi menginap.
FYI, kawasan wisata Lolai memiliki banyak spot wisata. Di antara To’Tombi dan Pongtorra, ada Tongkonan Tempe Lolai yang juga banyak dikunjungi wisatawan domestik maupun mancanegara.
Kami memilih menginap di Pongtorra karena ingin mencoba pengalaman berbeda. Sebagai keluarga, kami belum pernah menjajal menginap di tenda. Jauh sebelum menikah, saya dan BJ sudah pengalaman Persami saat Pramuka, juga camping saat naik gunung. Tapi anak-anak kan belum pernah berkemah… Jadi, ayo kita pernah-kan.
Baca : Kali Kedua ke Toraja
Saya mendapatkan kontak pengelola Pongtorra dari IG @puncaklolai. Satu tenda rate-nya Rp 250.000 (sedang tidak ada promo). Bagi yang memilih tidur dalam suasana kamar, ada juga villa kayu dalam beberapa ukuran. Untuk masuk, pengunjung harus membayar tiket Rp 15.000 per orang.
Dari Rantepao, ibukota Toraja Utara, Pongtorra berjarak kurang lebih 23 km. Hari sudah sore saat kami start dari Rantepao setelah sebelumnya mengunjungi Buntu Burake di Makale. Kami menuju Pongtorra melewati jalur To’Tombi dan Tongkonan Lempe. Jalannya sudah aspal halus, tapi sempit, menanjak, dan meliuk-liuk… Bersyukur deh punya driver andalan.. Mvvaaah BJ.
(Kalau mau jalan yang lebih bersahabat, bisa pilih jalur Rantepao - Malanggo' - Sareale - Pasar Pindan - Kantor Kecamatan Kapala Pitu. Kami menempuh jalur ini saat kembali turun di keesokan harinya. Konsekuensinya sih jarak lebih jauh dibandingkan jalur satunya).
Kami sempat bablas dari belokan ke arah Pongtorra. Hhhm…begini nih kalau saya yang diserahi tugas baca map. Kemampuan navigasi saya memang payah, huh. Kami harus balik arah deh (bisa saja sih lanjut jalan kemudian memutar, tapi jadi lebih jauh). Usut punya usut, penunjuk belokan menuju Pongtorra memang sudah kurang jelas. Apalagi, belokannya merupakan jalan kecil dan tidak beraspal halus. Jalan yang kami ambil memang bukan jalur utama. Kalau lihat G-maps kan memang gitu… asal lebih dekat, nggak peduli jalannya kayak apa hehehe.
Mungkin ada sekitar 1 km melewati jalur yang agak mendebarkan (selain jalannya jelek, hari sudah gelap dan sepi). Rasanya lega ketika akhirnya ketemu jalan aspal bagus lagi. Tak berapa lama, kami tiba di Pongtorra (sempat diwarnai bablas lagi sih..tapi sedikit hihihi).
Begitu keluar mobil, udara dingin langsung menyergap. Hmmmh…meski lecek dan lengket, ogah banget mau mandi. Selain dingin, badan capek nian karena hampir seharian di kendaraan. Malam itu, hanya BJ dan Bunda Shallom yang berani mandi. Yang lain cukup cuci muka-tangan-kaki dan gosok gigi sebelum tidur.
Di Pongtorra, pengunjung bisa memilih menginap di tenda atau kamar. Tapi itu tadi, kami mau coba pengalaman baru. Sudah akrab dengan istilah glamping alias glamour camping kan? Semula, saya pikir glamour itu hanya berarti gemerlap/mewah. Kalau menggunakan arti tersebut, tendanya nggak glamour deh. Bukan tenda ala-ala sultan gituuu 😀. Tapi glamour juga berarti memesona/punya daya pikat. Meski tak lagi baru, tendanya asik kok...Masih layak banget untuk nge-camp.
Tenda-tenda tidak didirikan langsung di atas tanah, melainkan di dalam bangunan kayu terbuka beratap seng (gazebo/saung). Kami memilih tenda yang bersisian. BJ-Ale-Elo dalam satu tenda, sementara saya-Shallom-dan bundanya di tenda sebelah.
Di Pongtorra tersedia fasilitas tempat makan yang tak seberapa jauh dari tenda. Si mbak-nya sempat salah memasak pesanan kami. Mau nasi goreng dimasakkan mie goreng… Ya sudah lah. Keberadaan tempat makan memang cukup membantu. Namun, menu terbatas dan rasa belum tentu memenuhi ekspektasi (ini relatif ya…). Jadi, kalau mau puas, bisa deh bawa makanan sendiri. Ada kok tempat untuk barbeque…
Mungkin karena bukan week-end, malam itu pengunjung tidak ramai. Di jajaran tenda hanya ada kami. Malam itu ada rombongan lain (mungkin sekitar sepuluh orang), tapi mereka menginap di villa kayu.
Tenda kami dilengkapi dengan matras tipis, selimut (juga tipis), dan dua bantal. Berhubung saya peka terhadap udara dingin, rasanya butuh kostum tebal dan selimut tambahan. Bersyukurnya cuaca bersahabat. Coba hujan berangin….pasti tambah brrrrrrr….
***
Paginya, kami bangun cepat untuk melihat sunrise. Kalau di To’Tombi, tenda bisa didirikan tepat menghadap ke timur. Jadi, bisa deh menikmati sunrise dari dalam tenda. Sementara di Pongtorra, tenda menghadap arah barat. Untuk melihat sunrise, pengunjung mesti keluar, naik sedikit ke area terbuka di belakang tenda.
Pagi itu cuaca cerah. Matahari terbit bisa terlihat meski gradasi warna langit tak terlalu cantik (ini penilaian subyektif). Hei…lihat..di sana awan putih menghampar. Kita benar-benar di atas awan. Teringat imajinasi masa kecil, berlarian di antara awan tanpa kejeblos ke bumi hihihi.
Kalau browsing foto-foto Pongtorra di dunia maya, sangat mungkin teman-teman mendapati aneka spot foto buatan. Itu lho, bentuk lope-lope, jembatan kayu, dan semacamnya yang IG-able. Saat kami datang, hanya sebagian spot foto buatan yang tersisa (mungkin sedang dalam proses pembaruan?). Arena paintball yang juga tampak di dunia maya sudah berubah jadi kebun strawberry. (Saya pribadi malah merasa aneh dengan spot foto buatan. Awalnya keren, tapi ketika jadi tren, malah jadi terasa tidak otentik. Di manapun tempat wisata, spot fotonya mirip-mirip).
Saya akan selalu mengingat Pongtorra. Tak hanya karena dingin udara dan indahnya pemandangan. Tapi karena Pongtorra adalah awal dari cerita camping keluarga di tempat-tempat lainnya. (*/DW)
![]() |
Makam di Kete' Kesu |
TORAJA, nama tempat yang tidak asing bukan? Sejak lama, daerah ketinggian di bagian utara Sulawesi Selatan telah menjadi salah satu magnet wisata Indonesia. Keunikan budaya yang masih terawat hingga kini mengundang banyak orang untuk mengunjunginya.
Namun, coba baca dulu kata Elo -si bungsu kami- usai kami jalan-jalan ke Toraja di medio 2021.
Toraja? Huh…wisata apa’an? Jalan-jalan kok ke makam-makam. (Kata-katanya tidak persis seperti itu sih. Intinya, bagi Elo, Toraja itu tidak asik).
Haha, teman-teman pecinta wisata budaya, terlebih sudah menaruh Toraja dalam bucket-list, jangan marah sama Elo yaaaa…. Saat tulisan ini dibuat, umurnya belum genap delapan tahun. Masih bocil dia.
Bocil yang sedang bertumbuh dengan aneka imaji. Termasuk imajinasi tentang dunia mistis, tempat mahluk-mahluk astral yang sering dikisahkan berkelindan dengan makam dan kematian. Nggak perlu kami ajak nonton film horor untuk tumbuh imajinasi serupa itu (kebetulan, saya bukan penggemar horror movie). Lha wong di animasi Upin-Ipin saja ada cerita hantu kan?
Nah…. Wajar dong kalau dia merasa serem dengan wisata Toraja hehehe. Setelah sekali ke Toraja, dia nggak pernah mau lagi jalan-jalan ke sana. Beda kalau diajak main ke Bira…langsung hayuuuuk aja.
Baca : Birunya Bira
Tapi itu sudah berlalu. (Mau bilang "tapi itu dulu" kok ya belum dulu-dulu amat😀).
Juni lalu, Bou Shallom dan Shallom datang dari Jogja. Mereka mau menguraikan keruwetan otak setelah sekian waktu penat dengan urusan ujian kelas enam. FYI, Shallom adalah teman sekolah Ale saat di Medan. Saya dan bunda Shallom (yang juga bernama Lisda!~tapi tanpa huruf h di antara d dan a) plus satu teman lagi (Mama Matthew) jadi trio sahabat dari jalur sekolah anak-anak😀. Saat Ale-ShallomMatthew masih satu sekolah, hampir tiap hari kami ketemu. Namun, selanjutnya kami mesti long distance friendship karena Bunda Shallom pindah ke Jogja, setahun kemudian saya pindah ke Sulawesi Selatan.
Oh yaaa…Ale-Elo memanggil Bunda Shallom dengan sebutan Bou. Ini adalah kependekan dari namboru. Dalam budaya Batak, namboru adalah sebutan budhe/bulik dari pihak ayah/marga ayah. Jujur, saya nggak hafal-hafal urutan panggilan kerabat ala Batak. Kalau mereka panggil Bou, itu karena ikut-ikutan Matthew.
Dalam sikon LDF, saya dan Bunda Shallom sudah beberapa kali ketemuan. Ya kan dia di Jogja, jadi kalau saya mudik dan waktunya cocok, bisa deh janjian. Tempo hari adalah kali pertama (dan kata dia, mungkin sekali seumur hidup) bagi Bunda Shallom dan Shallom pergi ke Sulsel. Berdua doang soalnya si ayah lagi ada kerjaan di luar kota. Duet ibu anak yang dengan gagah berani memulai perjalanan dari Jogja - Surabaya (naik bus) lalu sambung Surabaya - Makassar (naik kapal). Kalian memang keren gaessss…
Mereka tiba di Pelabuhan Makassar sekitar pukul 11 malam (WITA). Gara-gara menjemput mereka, untuk pertama kalinya, saya-BJ-Ale-Elo jadi punya pengalaman masuk area pelabuhan. Selama ini lewat-lewat doang😀
Bunda Shallom bilang, pokoknya mau ke Makassar. Kan banyak tujuan jalan-jalan seputar Makassar. Pun di sini ada saudara yang bisa ditemui. Memang, rasanya belum komplit ke Sulsel kalau belum ke Toraja. Tapi, kalau bisa ke Toraja syukur, kalau tidak bisa, ya nggak apa-apa. Secara Toraja memang cukup jauh dari Makassar. Paling cepet enam jam perjalanan darat.
Sebagai sahabat yang baik (uhuk), kami berusaha mewujudkan asa tamu istimewa ini dong. Kan jarang-jarang kami dikunjungi saudara/sahabat hehehe. Daaaan…surpised-nya, Ale - Elo mau dong main ke Toraja lagi.
Jadi deh… Juni 2022. The six of us went to Toraja…
Dengan waktu terbatas, tentu tidak mungkin semua tempat bisa dikunjungi. Setidaknya, pilih beberapa destinasi yang wajib dikunjungi kalau jalan-jalan ke Toraja. Rencana perjalanannya tidak jauh beda dengan kali pertama kami berempat ke sana.
![]() |
Mampir di Monumen Cinta Sejati BJ Habibie-Ainun Pare-Pare |
Hari pertama.
Start pagi-pagi dari Makassar. Istirahat sebentar di Pare-Pare. Lalu singgah di Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Sidrap dan Gunung Nona.
Baca :
Famtrip Toraja, Mampir Sebentar di PLTB Sidrap
Famtrip Toraja, Mencicip Nasu Cemba di Gunung Nona
PLTB Sidrap sudah saya ceritakan di Perjalanan ke Toraja Part 2. Sulsel juga punya PLTB lain lho, yakni PLTB Jeneponto. Main-main ke sana, saya ceritakan di tautan berikut :
Baca : Angin, Listrik, dan Pesawat Kertas
Di jalan, dengan bercanda, saya bilang kalau kabupaten Toraja itu "aku banget." Soalnya nama ibukotanya Makale (Mak Ale = Mama Ale). Ditambah lagi semboyan Toraya Maelo' (Maelo : Mama Elo) yang ditulis segede gaban di dinding bukit sebagai ucapan selamat datang. Mak Ale dan Mak Elo, pas kaaan? Lebih tepatnya sih dipas-paskan alias cocoklogi.😇
Tapi saat pergi ke Toraja bareng Shallom dan bunda-nya, ternyata tulisan selamat datang di Kota Makale sudah berubah. Bukan lagi Toraya Maelo' melainkan Toraya Mala'bi'.
Baca : Famtrip Toraja, Sambutan Personal di Tana Toraja
Dari arantoding-torajahomeland.blogspot.com* ada penjelasan arti Tondok Toraya Mala'bi', yakni Toraja sebuah tempat yang indah, dengan posisi geografisnya yang terletak di daerah pegunungan, dan masyarakat yang menjunjung tinggi nilai nilai budaya dan adat istiadat dengan menyelaraskan kondisi kemajuan zaman yang selalu berubah.
![]() |
Buntu Burake |
Kami hanya melintasi Kota Makale. Tujuan kami adalah ke Buntu Burake, bukit tinggi tempat berdirinya patung Tuhan Yesus Memberkati Toraja. Dari Kota Makale, patungnya sudah tampak jelas terlihat. Patung ini lebih tinggi daripada patung Christ the Redeemer yang jadi ikon Rio de Jeneiro-Brazil. Meski bernafas kristiani, tempat ini juga banyak dikunjungi umat beragama lain lho… Buntu Burake memang tidak hanya menyajikan obyek patung raksasa. Namun, dari ketinggian Buntu Burake, pengunjung bisa melihat hamparan pemandangan Kota Makale dan sekitarnya.
Tahun lalu, ada portal penghalang jalan di Burake akibat perselisihan warga dengan pemerintah daerah. Mobil mesti diparkir di bawah dan kalau nggak mau jalan, wisatawan mesti naik ojek. Tempo hari, portal sudah tak ada. Mobil sudah bisa melenggang hingga area parkir Buntu Burake.
Sesaat di Buntu Burake, hari sudah menjelang sore. Tak ada rencana kunjungan ke tempat lain lagi. Kami mesti cepat-cepat menuju tempat penginapan yang berada di daerah Toraja Utara. (FYI, secara administratif, ada Kabupaten Toraja dengan ibukota Makale dan Kabupaten Toraja Utara dengan ibukota Rantepao)..
![]() |
Matahari terbit di Pongtora Lolai |
Untuk istirahat malam itu, kami sepakat untuk menjajal pengalaman baru. Bukan menginap di hotel, melainkan di tenda. Lokasinya di Pongtora, Lolai, “negeri di awan” yang berjarak sekitar 12 km dari Rantepao.
Baca : Famtrip Toraja, Di Ketinggian Negeri Atas
Tentang Pongtora, saya buat tulisan tersendiri (tautan di bawah👇 ). Sebab, di Pongtora-lah, kali pertama kami menjajal menginap ala camping di tenda. Lalu keterusan jadi suka camping deh...
Baca : Tergigit Dingin di Pongtorra
Hari Kedua
Usai berkemas di tenda, kami menuju desa wisata Kete Kesu. Sempat nyasar karena kehilangan sinyal saat lihat map, tapi malah jadi tahu jalur lain. Tentu saja, dapat bonus perkampungan dengan banyak tongkonan yang indah. Menariknya, di beberapa spot, kami mendapati warga bekerja bakti membersihkan jalan.
Tahun lalu, tidak banyak cerita yang kami dapatkan di Kete Kesu. Sebab, waktu itu, Kete Kesu sepi. Masih pandemi, jadi berusaha jaga jarak dan tidak banyak ngobrol. Gara-gara sepi, Elo takut waktu diajak jalan ke areal makam di belakang rumah adat tongkonan.
Baca : Famtrip Toraja, Londa-Kete’ Kesu-Bori Kalimbuang
Kali ini, Kete’ Kesu lebih ramai dibandingkan tahun lalu (pandemi sudah mereda). Serunya, Shallom oke-oke saja ketika diminta pakai baju adat Toraja. Seperti di banyak destinasi wisata budaya, di Kete Kesu pengunjung bisa sewa baju adat untuk foto-foto dan jalan-jalan seputar area. Biaya sewa baju adat Rp 50.000.
Kami juga bisa mendapatkan pemandu sehingga kami bisa masuk ke bagian dalam salah satu tongkonan. Tidak ada ketentuan tarif pemandu, berikan sesuai keikhlasan. Sejujurnya saya lebih suka kalau ada daftar tarif yang pasti. Supaya, wisatawan tak perlu meraba-raba tentang nominal yang pantas. Kalau mau kasih lebih, itulah keikhlasan.
Sekilas, bentuk tongkonan mirip dengan rumah adat Batak. Dari kedua suku ini, tidak hanya rumah adat-nya lho yang mirip. Sistem kekerabatan (marga), nama-nama marga, upacara adat, dan kepercayaan tradisional adalah beberapa hal yang juga memiliki kemiripan. Bunda Shallom yang bersuku Batak sepertinya lebih merasa terhubung. Banyak ahli sejarah yang menyatakan, suku Toraja dan Batak (serta beberapa suku lain, seperti Nias dan Mentawai) sama-sama keturunan bangsa Austronesia. Para leluhur melakukan migrasi dari daerah Yunan, China Selatan sekitar 4000 tahun yang lalu.
Dengan Shallom yang berbaju adat, kami naik ke makam. Beberapa pengunjung minta foto bersama Shallom. Berasa foto dengan putri Toraja yaaa…padahal dia gadis Jawa Batak😆. Tak berhenti di makam di dinding batu, kami juga masuk ke gua yang terletak di ujung atas. Berbeda dengan makam di gua Londa, gua di Kete Kesu tidak banyak digunakan. Hanya sedikit tengkorak dan tulang-belulang di gua di Kete Kesu.
Untuk masuk gua, ada pemandu khusus. Para pemandu juga sekalian menyewakan lampu. Hari-hari itu masih ada hujan. Selain gelap (makanya perlu lampu), gua juga licin. Wajib hati-hati kalau tak mau terpeleset dan terjerembab. Bahkan, sesekali juga harus menarik bocil-bocil itu karena jalur yang lumayan curam. Untung tidak pamali (terlarang) kalau sesekali berteriak kaget. Jalan sama bocil-bocil tiga biji dalam suasana demikian, mana bisa kalem toh…
Kete’Kesu kali ini memberikan banyak cerita. Sembari menunggu Shallom dan bunda-nya membereskan baju adat serta berbelanja, saya banyak berbincang dengan oma-oma pemilik kedai kopi. Ini sih yang saya sukai dari jalan-jalan, berbincang dengan warga lokal, mendengarkan bermacam cerita dari mereka yang memang tinggal di sana.
Usai dari Kete’Kesu, kami langsung bertolak ke Makassar. Kalau lancar, kami akan tiba di sana saat malam. Toraja memang terlalu singkat untuk ditelusuri hanya dalam dua hari satu malam. Setidaknya, ada sebagian lagi wilayah negeri yang kami kenali.
![]() |
Di dalam tongkonan |
![]() |
Gelap dan licin dalam goa |
![]() |
![]() |
Edit foto biar komplit tiga serangkai : ki-ka Matthew, Ale, Shallom |
*http://arantoding-torajahomeland.blogspot.com/2011/12/tondok-toraya-malabi.html?m=1
![]() |
Gambar sebagai pemanis. Sumber : Twitter @bts_bighit |
Medio Juli 2022. Tahun ajaran baru sudah dimulai. Meski harinya tidak serentak, di media sosial, saya membaca postingan teman-teman tentang hari pertama masuk sekolah. Rasa haru dan bangga mewarnai cerita-cerita mereka. Apalagi, ini adalah tahun ajaran yang terasa “normal” setelah badai pandemi Covid yang memaksa anak-anak belajar di rumah saja.
Saya tidak punya bahan untuk postingan yang situasinya persis serupa itu. Seperti saya ceritakan di tautan ini, setahun ini Ale dan Elo menjalani proses homeschooling. Secara administratif, mereka pindah dari sekolah formal di Makassar ke sebuah lembaga pendidikan non-formal yang beralamat di Salatiga. Terbilang setahun ini, proses homeschooling kami masih mencari bentuk. Baru beberapa bulan belakangan saya tergabung dengan komunitas homeschooling yang berbasis metode tertentu.
Baca : Dua bulan Homeschooling
Dengan kondisi ini, jelas saja saya tak ikut dalam kehebohan mencari sekolah beserta pernik-perniknya. Hingga pekan lalu, saya masih fokus untuk menyusun kurikulum homeschooling yang disesuaikan dengan kemampuan dan keadaan keluarga.
Ketika sebagian sekolah sudah memulai aktifitas, lalu anak-anak di jenjang yang baru sudah mulai Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah, kami malah camping di Malino. Kebetulan, BJ ada libur dari kantor plus sambung cuti. Kami berangkat camping hari Kamis dengan rencana tentatif pulang hari Sabtu.
Malam Jumatnya kami ketemu hantu….haha, enggak ding. Kami sempat ngobrol santai tapi ternyata cukup dalam. Saya lupa, kami awalnya ngobrol apa. Yang saya ingat pasti adalah endingnya, yakni Ale mau back to school alias kembali ke sekolah formal.
Hmmh…sebenarnya ini nggak mendadak amat sih. Selama setahun ini Ale kadang tercetus ingin kembali sekolah. Tapi dia juga ingin homeschooling. Dia galau gitu… Dengan homeschooling, jadwalnya santai dan dia bisa menggondrongkan rambut (ini poin penting buat dia😅). Di sisi lain, dia kadang bosan dan kesepian. Saat kemping itu, dia bener-bener menegaskan untuk kembali ke sekolah.
Giliran saya yang jadi galau dong… Di saat saya merasa makin mantap dengan opsi homeschooling, Ale justru meminta BTS (selanjutnya saya singkat begitu saja yaaa…kependekan dari back to school, bukan Bangtan Sonyeondan atau Bulletproof Boy Scout atau Beyond The Scene atau Buy the Service). 😅😅
Seharian di Jumat itu, beberapa kali saya menyinggung soal BTS dengan Ale. Saya mencoba memastikan keinginannya plus menggali alasan-alasannya. Jujur saja, setelah setahun homeschooling, BTS bukan hal sepele buat saya. Saya galau tentang memulai hal baru lagi (walaupun dulu sudah biasa dengan rutinitas sekolah sih). Saya galau tentang pilihan sekolah di Makassar (apalagi tahun ajaran sudah dimulai plus berkaitan dengan biaya). Saya galau, kalau-kalau nanti BJ tetiba dipindah. Saya galau kalau-kalau nanti sekolahnya jauh dari tempat tinggal. __Poin utama keputusan homeschooling dulu adalah karena BJ yang berpeluang pindah-pindah__
Baca : Menjelang Pindah Lagi
Ugh…saya overthinking.
Baca : Mengurus Pindah Sekolah Antar Provinsi
Pada saya, di satu sisi, ada perasaan gagal menjalankan homeschooling. Kalau Ale merasa fun, rasanya dia nggak akan minta BTS. Namun, alasan Ale sedikit mengikis perasaan gagal itu. Dia mau BTS karena kesepian. Dia ingin kembali membangun pertemanan.
Di sisi lain, pernyataan Ale tentang butuh teman cukup melegakan. Bukan karena menepis perasaan gagal menjalankan HS, tapi karena sebelumnya Ale sempat bilang "males berteman akrab dengan siapapun karena takut bakalan sedih kalau ternyata harus pindah lagi."
Huhhuhu…dilema anak-anak yang ortunya pindah-pindah ini yaaa…
Ada kegalauan, tapi juga ada kelegaan. Anak ini sudah bisa menegaskan pilihan beserta alasan kuatnya. Berbeda dengan si Elo, adiknya yang baru mau delapan tahun. Bahkan, ketika gantian ditanya, Elo sempat menjawab ingin sekolah di rumah dulu saja.
Salah satu kendala dalam proses homeschooling Ale dan Elo memang masalah sosialisasi. Mungkin karena awalnya Ale sudah sempat sekolah formal, jadi dia bisa membandingkan. Selain itu, di Makassar, saya tidak (belum?) menemukan komunitas homeschooling. Kadang jadi ngiri dengan teman-teman yanghomeschooler yang bisa rutin kopdar bikin kegiatan bareng.
Komunitas online memang ada. Bahkan, selama ini Ale yang terdaftar di PKBM Piwulang becik juga ikut dalam kelas-kelas online (student class). Masalahnya, Ale tidak mudah menjalin pertemanan dengan teman-teman yang hanya ketemu online.. Dia lebih nyaman kontak online jika sebelumnya sudah kenal di luar jaringan. Misalnya saja, dia bisa ngobrol lepas sambil main game online dengan sahabat-sahabatnya di Medan.
Sebagai pendatang, kontak sosial Ale di real-life juga masih terbatas. Sebenarnya bukan hanya Ale sih, tapi kami serumah! Pengalaman beberapa kali pindah, lingkaran sosial pelan-pelan terbentuk dari interaksi di sekolah, di gereja, dan di kompleks tempat tinggal. Sementara, kami pindah saat pandemi. Masa di mana kita dianjurkan untuk JAGA JARAK. Padahal, tanpa jaga jarak pun, adaptasi di kota baru juga tidak selalu bisa berjalan cepat dan mulus.
Kalau pakai bahasa gaul, bisa dibilang kami ini agak-agak nolep (no life). Dalam artian, interaksi sosial di dunia nyata sangat terbatas. Ada sih orang-orang yang nyaman dengan situasi seperti ini. Lebih suka berinteraksi di dunia digital daripada di kehidupan nyata. Tapi belajar dari pengalaman sebelumnya, kenangan pada kota-kota yang pernah kami tinggali ternyata lebih karena orang-orangnya. Menemukan teman-teman yang lalu menjadi sahabat bahkan keluarga, itulah kenangan indah dari proses berpindah-pindah.
Baca : When Laughter and Tears Collide
***
Back to topic..
Dari homeschooling lalu BTS memang bukan perkara tidak mungkin. Apalagi Ale Elo memilih homeschooling dengan tetap mengikuti jalur administrasi pendidikan nasional. Masalahnya, waktu kami mepet karena tahun ajaran sudah dimulai. Kalau kepengin anak ikut sekolah formal sedari awal tahun ajaran, ya harus cepat-cepat cari sekolah (itu pun kalau masih dapat).
Rasanya, tak akan sempat lagi berpikir panjang x lebar x tinggi. Keputusan mesti dibuat layaknya proklamasi, yakni dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Walau dalam hati belum sepenuhnya oke, Jumat sore kami kembali ke Makassar. Dengan fakta kalau tahun ajaran sudah mulai, kami tidak menjanjikan kepastian bisa BTS pada Ale. Hanya saja, Sabtu pagi kami mulai hunting sekolah.
Sudah tak sempat lagi untuk hunting ke banyak tempat. Berdasarkan informasi yang kami tahu, lalu pencarian di internet, ditambah bertanya kepada beberapa kenalan, Sabtu itu kami fokus ke tiga sekolah swasta. Kami tidak memasukkan sekolah negeri sebagai alternatif karena sudah berprasangka kalau bakalan lebih ribet. Pertama, keluarga kami jelas tidak memenuhi syarat zonasi karena masih ber-KTP dan KK Jawa Tengah. Kedua, meski sempat mengenyam pendidikan formal, ijazah kelulusannya adalah paket A. Secara aturan, harusnya tidak masalah. Tapi mana tahu aturan di atas belum diketahui di level bawah. Hihi, sudah suudzon dulu…
Singkat cerita, dari tiga sekolah, pertimbangan kami mengerucut ke satu sekolah di bawah naungan yayasan Katolik. SMP dan SD berada di satu kompleks, alasan praktis untuk beberapa hal. Sekolahnya luas dan rindang, juga punya lapangan sepakbola sendiri. Setidaknya, lingkungan fisiknya baik untuk anak-anak. Semoga lingkungan non-fisiknya juga nyaman untuk mereka belajar dan berteman.
Baru Selasa kami bisa bertemu dengan kepala sekolah. Namun, hingga Senin, saya masih galau. Bahkan, tumben-tumben perut saya tak nyaman serupa maag. Padahal meski telat makan, sudah lama saya tidak lagi merasakan perih lambung. Itu sebabnya saya tidak punya obat maag di kotak P3K. Tapi, saat itu saya sampai perlu beli obat maag.
Pokok persoalannya jelas, saya merasa tidak becus. Selain itu, kembalinya anak-anak ke sekolah membuat saya takut dan khawatir akan berbagai hal yang sebenarnya bisa saja tidak terjadi. Takut pada kemungkinan-kemungkinan yang belum tentu terjadi.
Saya perlu mengambil waktu untuk diam dan berdoa. Baik berdoa sendiri maupun bareng suami. Kalau memang jalannya harus demikian, semoga dilancarkan.
Selasa, kami bisa bertemu dengan kepala SMP. Wawancara singkat dan (meski saya masih setengah hati), Ale diterima di sekolah tersebut. Tidak ada masalah dengan prosedur meski Ale tercatat berijazah paket A (dan ijazah belum keluar).
Rabu, kami baru bisa bertemu kepala SD. Berhubung Elo naik kelas dua, statusnya adalah siswa pindahan. Saya perlu mengurus administrasi kepindahan dari PKBM Piwulang Becik. Pindah dari PKBM ke sekolah formal, juga bukan masalah.
Namanya sekolah formal, tentu saja berderet kebutuhan di awal tahun ajaran. Apalagi, nyaris semuanya baru (seragam dan lain-lain punya Ale sudah saya kasihkan orang). Tapi bisa kok dicicil ^_^. Puji Tuhan..
Baca : Beberapa Hal tentang Medan
Kamis, anak-anak mulai sekolah formal. Babak baru lagi dalam kehidupan keluarga kami. Sejujurnya, saya masih dalam proses untuk bisa mindfull menjalani ini. Namun, melihat anak-anak bersukacita menjalani proses barunya, juga merupakan sukacita bagi saya dan BJ, tentunya. Mungkin memang harus demikian supaya kami bisa lebih terhubung dengan kota ini. (*dw*)
Hari itu, saya tidak ikut mengantar anak-anak ke sekolah. Selepas si ayah BJ dan anak-anak pergi, saya cek kWh meter. Masih tersisa 4kWh. Angka yang cukup buat seharian asal jangan menyalakan aneka perlengkapan elektronik yang butuh banyak daya.
Tapi ya jangan sampai kehabisan banget dong. Saya pun membuka marketplace ijo untuk beli token. Laah… kok nomor pelanggan tidak terdaftar? Saya coba nominal pembelian yang berbeda, nomor pelanggan tetap invalid. Ganti marketplace oren, kondisinya tetap sama. Ganti pakai fitur go-bills di aplikasi “guyon”*, lha kok idem.
(Dalam bahasa Jawa, kata guyon sinonim dengan gojek yang berarti bercanda😀)
Waini…. Pasti ada samthing error.. Saya kontak BJ. Dia pun mengirim beberapa tautan tentang gagal top-up token listrik. Beberapa di antaranya adalah :
* Ada tunggakan tagihan. Ini sih nggak mungkin karena listrik pra-bayar.
* Ada penyesuaian tagihan listrik. Kayaknya sih nggak ada berita penyesuaian tarif listrik di beberapa waktu belakangan.
* Kesalahan di sistem PLN.
Kalau saya sih langsung ingat kejadian beberapa hari lalu. Waktu petugas PLN datang ke rumah untuk mengganti kWh. Saat itu, si bapak petugas bilang kalau kWh meter tidak diganti maka akan terjadi kendala dalam pengisian token. Tapi sikap over-waspada membuat bapak pemilik rumah tempat tinggal kami menolak penggantian kWh meter –kami tinggal di rumah kontrakan. Cerita selengkapnya ada dalam tautan di bawah ini :
Kalau dibaca sekarang, memang terasa banget kalau tulisan tersebut sangat kental prasangka buruk. Meski memang, kewaspadaan yang berkelindan dengan prasangka itu muncul karena suatu alasan. Maka itu, saya mesti menulis ini sebagai pengakuan atas prasangka buruk, permintaan maaf, sekaligus saran supaya kejadian serupa tidak terulang. Mungkin ini cara "mengaku dengan gaya" hehehe.
Saya bersegera ke rumah bapak-ibu pemilik rumah. Ibu bilang akan telepon tetangga yang kebetulan pensiunan pegawai PLN. Sepulang ke rumah, saya telp call centre PLN di nomor 123. Sebenernya malas telepon call centre, tapi tak ada salahnya sambil menunggu info dari bapak-ibu.
(Apa yang bikin males telepon call centre? Kalau saya, karena lamanya waktu menunggu tersambung dengan operator. Mending kalau bebas pulsa, kalau enggak? Pulsa habis buat dengerin musik ninu-ninu).
Tapi pengalaman kemarin telepon 123 cukup menyenangkan. Saya cepat tersambung dengan operator untuk mengutarakan persoalan. Setelah itu, tak berapa lama, saya dikontak petugas yang mengaku dari PLN wilayah Makassar (atau Gowa? – saya kurang tahu pembagian wilayah kerja PLN). Intinya, tunggu saja nanti petugas akan datang ke rumah.
Wah..lumayan gercep nih. Saya pikir, petugas juga akan segera tiba di rumah dong.
Tapi sampai siang, belum juga ada petugas. Hingga saya tinggal jemput sekolah, petugas tetap belum datang. Bahkan, menjelang sore, kondisi masih sama. Saya yang semula tenang-tenang saja dengan sisa kWh mulai mikir. Duh, gimana kalau petugas enggak datang juga. Bisa-bisa kami gelap-gelapan nanti malam. Mana di kulkas ada bahan makanan berbahan daging.
Saya kembali kontak petugas yang tadi pagi telepon. Oleh beliau malah disuruh telepon 123 lagi. Ealaaaa…. Tapi yasud-lah, daripada nanti gelap-gelapan.
Sekitar satu jam setelah kembali melapor, datang dua petugas mengendarai sepeda motor. OmaiGod… salah satunya adalah petugas yang beberapa hari lalu datang dan berdebat sama bapak dan BJ. Duuh, bakalan awkward momet nih. Meski waktu itu saya tidak ikut nimbrung berdebat, saya sempat berada di luar rumah.
Oke, rendahkan hati. Sembari salah satu petugas mengganti kWh meter, saya sampaikan maaf, juga alasan kecurigaan dan penolakan waktu itu. Bersyukur sih, si bapak petugas menjalankan tugasnya dengan baik. Si bapak juga menyampaikan komplain dengan penolakan tempo hari tanpa nada nge-gas.
Oh iya, terima kasih untuk PLN yang mengganti kWh meter dengan cepat. Bahkan, sebenarnya malah sudah diganti sebelum dikeluhkan. Kalau baca di internet, banyak keluhan tentang lamanya penggantian kWh meter.
Case-closed.
Saya jadi perlu deh belajar dari kejadian di atas.
Pertama, waspada tetaplah penting. Bagaimanapun, modus penipuan itu macem-macem dan sangat umum mendompleng/mencatut nama institusi resmi.
Kedua, cek and ricek pada sumber yang tepat. Waktu itu, saat bapak empunya rumah dan BJ berdebat dengan petugas, saya memang browsing internet dengan tujuan ricek. Tapi karena pikiran sudah terpola ke arah curiga, jadi hasil pencariannya seperti ini :
Pasti akan beda situasinya kalau saya langsung telepon 123. Bisa jadi, hari itu kWh meter langsung diganti dan selanjutnya kami tak perlu kaget karena kWh meter tak bisa diisi. Plus tak perlu awkward moment karena si petugas itu yang datang kembali.
Ketiga, rendah hati untuk minta maaf dan mengakui kalau sempat berburuk sangka.
Tapi, untuk menghindari kejadian serupa, rasanya perlu peningkatan komunikasi antara PLN dengan pelanggan. Bagaimanapun, berbagai modus penipuan memang membuat sebagian orang memilih untuk sangat-waspada. Beberapa poin yang menjadi dasar kecurigaan waktu itu adalah :
Petugas tidak bisa bisa (atau tidak mau?) menunjukkan daftar rumah di kompleks yang kWh meternya perlu diganti. Kan jadi terpikir kalau orang itu random menyasar target penipuan. Mana waktu itu pakai sepeda motor biasa (bukan kendaraan operasional berlogo PLN). Kalau soal surat tugas dan ID-card, hari gini, bisa saja dibikin toh?
Petugas tidak langsung memberitahukan bahwa penggantian kWh meter 100 persen gratis. Padahal, poin ini yang biasanya menjadi pokok kekhawatiran. Tahu-tahu ditagih sekian ratus ribu atau sekian juta. Kan jengkel…
Tidak ada informasi pra-penggantian kWh meter. Mungkin memang beda kasus dengan info tagihan atau pencopotan instalasi. Tapi, seingat saya, pada instalasi listrik paska bayar, ada pemberitahuan jika menunggak tagihan yang mengakibatkan pencopotan kWh meter. Awal masih tinggal di tempat sekarang, saya pernah menerima surat pemberitahuan gara-gara lupa bayar air (PDAM).
Andai waktu itu si petugas info dulu ke ketua RT/RW tentang penggantian kWh meter. Hidup di masa sekarang, rata-rata kompleks/RT-RW punya grup Whatsapp. Setidaknya, warga yang kWh meter-nya harus diganti sudah mendapatkan informasi (walau dikata penggantian KwH-meter adalah informasi umum di dunia kelistrikan, faktanya masih banyak yang belum tahu). __Ya sih ini ribet, tapi daripada kena drama penolakan di rumah-rumah, kan lebih ribet__
Atau andai waktu itu bapak petugas menyarankan untuk cek and re-chek ke 123 (call centre resmi PLN). Manipulasi telepon memang bukan hal yang tidak mungkin. Namun, kontak ke nomor call centre resmi memperkecil kemungkinan itu.
Intinya, yang terjadi pada waktu itu adalah kesalahpahaman dari ketidaktahuan plus komunikasi yang kurang jelas. Pengandaian di atas bukan untuk mencari pembenaran, tapi lebih untuk pembelajaran. Dan nggak harus menunggu hari raya untuk saling memaafkan bukan? (DW)
Gambar ilustrasi dari web.pln.co.id
....,............
Rabu (20/7), saat pulang dari menjemput Elo dari les, saya melihat BJ di depan rumah Bapak bersama seorang pria bertubuh tinggi besar. Bapak (sengaja tidak saya sebutkan namanya) adalah pemilik rumah yang kami kontrak saat ini. Rumah Bapak dengan rumah yang kami tinggali saling membelakangi. Tumben BJ ada di situ, apakah pria itu tamu bapak? Tapi mengapa suami saya juga di situ?
Jadi kepo dong…
Saya melambatkan sepeda motor untuk bertanya. Singkat cerita, pria itu mengaku sebagai staf PLN yang bertugas untuk mengganti kWh meter listrik di rumah yang kami tinggali. Semula, dia langsung menuju ke rumah dan bertemu BJ. Berhubung kami hanya mengontrak, BJ mengajak orang tersebut ke rumah bapak. BJ beberapa kali mengetuk pintu, tapi tak ada jawaban dari dalam rumah. Ketika saya ketuk dari pintu samping, putri bapak mendengar. Ternyata bapak ada di rumah.
Dari rumah bapak, saya bergeser ke rumah tinggal kami. Di depan rumah, saya mendapati sebuah sepeda motor matic terparkir. Pasti sepeda motor orang tadi. Di bagian pijakan kaki, ada susunan kotak karton berwarna coklat. Ooo.. itu kWh meter baru yang mau dipasang?
Saya masuk ke rumah. Di luar, sayup-sayup terdengar perdebatan bapak, BJ, dan petugas PLN (?). Sengaja saya pakai tanda tanya untuk memenuhi azas praduga tak bersalah 😀
Intinya, bapak dan BJ mempertanyakan keharusan ganti kWh meter. Ya wajar sih kalau bapak dan BJ merasa ganjil, saya pun demikian. Lha wong, dua tahun tinggal di situ, nggak pernah ada masalah dengan kWh meter. Masa mau diganti begitu saja, tanpa pemberitahuan. Sekarang, banyak penipuan dengan rupa-rupa modus. Mending tetap waspada ya kan?
Sepengalaman dulu waktu tinggal di Medan, kWh meter listrik di rumah kontrakan kami memang pernah bermasalah. Waktu itu, kami baru sekitar dua bulan tinggal di rumah itu. Suatu siang, dua orang petugas PLN datang ke rumah. Mereka menginformasikan jika kWh meter listrik kami diperlambat. Tindakan tersebut ilegal karena menyebabkan PLN rugi.
Petugas mengatakan, kWh meter harus diganti dari paskabayar menjadi kWh meter token.
Saat itu, saya dan suami juga kontak pemilik kontrakan. Setelah dikonfirmasi ke kantor cabang PLN, memang benar kWh meter di rumah itu sempat diutak-utik. Kalau diurut kronologisnya kejanggalan tarif listrik, tampaknya dilakukan oleh penghuni kontrakan sebelum kami. Singkat cerita, kWh meter diganti, dan ibu pemilik kontrakan harus membayar denda. Cerita selengkapnya ada di bawah ini :
Baca :
Periksa Meteran Listrik Anda (1)
Periksa Meteran Listrik Anda (2)
Pada kejadian waktu itu, petugas PLN datang menggunakan mobil dengan cat identitas PLN di badan kendaraan. Bahkan, mereka juga datang disertai petugas kepolisian (yang katanya buat jaga-jaga kalau empunya rumah melakukan perlawanan). Berbeda dengan kejadian yang saya ceritakan ini. Orang yang mengaku petugas itu datang sendirian dengan hanya mengendarai sepeda motor. Memang sih, dia pakai rompi dan helm kas petugas teknis. Bahkan, saya sempat melihat ketika orang tersebut menunjukkan surat tugas. Surat yang kop-nya biro teknis (bukan PLN) tapi ada tanda tangan pejabat PLN di bagian bawah.
Ketika bapak dan BJ mempertanyakan surat yang bukan ber-kop PLN, orang itu berkilah kalau mereka adalah rekanan PLN. Mereka mengganti kWh meter berdasarkan hasil pendeteksian di sistem PLN. Masalahnya, orang itu juga tidak bisa menjawab daftar rumah mana saja yang meterannya perlu diganti. Muter-muter gitu lah ngomongnya…
Sembari mereka masih berdebat, saya buka google. Saya ketik kata kunci, petugas PLN ganti meteran modus penipuan. Langsung dong keluar beberapa artikel yang menceritakan situasi persis dengan yang sedang terjadi di depan rumah : orang yang mengaku petugas PLN datang ke rumah, lalu menginformasikan tentang penggantian kWh meter. Alasannya, kWh meter sudah tua atau terdeteksi ada kerusakan. Ujung-ujungnya ya minta uang penggantian lah… Dalam kejadian di rumah tinggal kami, sepertinya belum sampai pembahasan soal uang sih. Makanya, di judul saya pakai tanda tanya.
Sementara saya browsing, debat terus berlanjut. Tampaknya, orang itu terus memaksa, sampai-sampai bapak menyebut nama instansi tempat beliau bekerja. Bapak memang bekerja di salah satu instansi yang berhubungan dengan hukum. Sebenarnya, tidak masalah kalau kWh meter memang harus diganti. Masalahnya, gelagat orang itu tampak mencurigakan.
Menghadapi bapak dan BJ saja, orang itu masih bisa ngotot. Mana badannya lumayan tinggi besar, perawakan yang cukup mengintimidasi (menurut saya sih). Saya jadi membayangkan kalau dia mendatangi rumah yang penghuninya kurang informasi atau kurang mental atau sedang kurang waspada. Tiga kondisi yang empuk banget untuk dimangsa penipu.
Baca : Saudaraku Tertipu Shopee
Mending kalau penggantian kWh meter “hanya” merugikan sejumlah uang. Bagaimana kalau sampai berakibat pada keamanan instalasi listrik lalu mengakibatkan hal lain yang lebih berbahaya? Kebakaran misalnya.
Ujung-ujungnya sih, bapak tetap menolak penggantian kWh meter. Akhirnya, orang itu pergi menuju rumah lain. Tapi di sana juga tidak lama, mungkin juga ditolak.
***
Kejadian itu membuat saya jadi mencari info tentang penggantian kWh meter rusak. Ya gitu deh, kalau sudah ada kejadian, baru merasa perlu cari info.
Saya buka website PLN, tapi tidak berhasil menemukan info yang saya maksud. Dari dunia-energi.com, saya menemukan artikel yang menjelaskan jika PLN memang punya program untuk mengganti kWh meter pelanggan. Kriteria kWh meter yang perlu diganti adalah usia, yakni jika meteran sudah di atas usia 15 tahun (kWh meter paska bayar) dan usia 10 tahun (kWh meter token).
KWH meter juga perlu diganti jika rusak, misalnya kaca buram atau pecah, kotor sehingga stand meter sulit di baca, juga apalagi ada kerusakan lainnya (seperti dalam kasus yang kami alami, kWh meter diutak-utik untuk melambatkan angka).
Terkait program ini, pelanggan tidak berhak menolak. Sebab, kWh meter merupakan properti PLN yang berhubungan dengan keamanan jaringan dan data pemakaian. Sepanjang memenuhi kriteria, penggantian dari program PLN tidak dipungut biaya alias gratis. Di samping berdasarkan penelusuran PLN, pengguna juga berhak mengajukan penggantian meteran ke PLN. Penggantian berdasarkan pengajuan dari pengguna juga tetap gratis sepanjang memenuhi kriteria penggantian. Untuk kepastiannya, bisa kontak PLN deh..
Rrrr…mungkin klausul “tidak berhak menolak” itu ya yang dijadikan senjata oleh oknum-oknum tertentu untuk menipu pelanggan. Yah, semoga saja, kita semua bisa tetap waspada dan terhindar dari berbagai modus penipuan. Seperti kalimat legend Bang Napi ; kejahatan bukan hanya karena ada niat pelakunya, tetapi juga karena adanya kesempatan. WASPADALAH! WASPADALAH! (*dw*)
Previous : Sayur Bening Kembang Telang
referensi :
Langganan:
Postingan (Atom)
Social Icons