Lara Ati, Serial Primordial dengan Semangat Nasional


lara ati
Gambar dari Vidio


Beberapa waktu belakangan ini aku kembali menonton tayangan serial. Ini perkara langka lho buatku. Soalnya aku lebih suka menonton film yang habis sekali tayang daripada serial. Memang, langka berarti bukan sama sekali tidak pernah. Aku sesekali masih nonton serial. Tapi, selalu pilih yang mini seri. Soalnya, aku nggak sabaran kalau serialnya panjang-panjang.

Dari judul di atas, langsung tahu dong serial apa yang aku tonton. Yup… lokadrama Lara Ati yang tayang di SCTV. Tapi aku malah belum pernah menonton on time di tivi sih. Aku biasa nonton di layanan streaming Vidio. Kalau di tivi kan terikat sama jam tayang. Sedangkan di saluran streaming bisa kapan saja, saat sempat. Beginilah sebagian nikmat hidup di era sekarang. Toh, secara bisnis, bisa jadi muaranya sama. SCTV dan Vidio kan sama-sama bagian dari raksasa media Emtek…

Sebelum menemukan Lara Ati di Vidio, aku sama sekali tidak tahu tentang lokadrama ini lho. Serius. Aku bener-bener nggak tahu dan bener-bener sekadar iseng klik saat klik daftar series di Vidio.

Selesai nonton episode pertama, eh kok menarik, jadi deh lanjut episode berikutnya. Waktu itu, di Vidio sudah ada tersedia beberapa episode (karena sudah beberapa hari tayang di SCTV). Akhirnya, bukan cuma aku yang nonton serial ini. Pak bojo, BJ, juga ikutan kesengsem lokadrama Lara Ati.

Bahkan, Ale-Elo yang just a little speak Bahasa Jawa pun kadang ikutan nonton. Sekalipun bukan cerita anak, tapi kurasa masih aman buat mereka. Hitung-hitung sambil belajar Bahasa Jawa. Kocak deh komentar Elo pas awal ikut nonton : “Lara ati itu dua hati ya?” Oalaaah, Ndul.. lara itu sakit, kalau dua itu loro. Ya gitu deh, pelafalan huruf vokal memang jadi perkara tersendiri dalam belajar bahasa.

Baca :  Anak Bisa Bahasa Daerah, Masih Perlukah?

Lokadrama Lara Ati adalah serial drama komedi yang ditulis dan disutradarai oleh Bayu Skak, film-maker asal Ngalam (Malang) yang mengawali karir sebagai Youtuber. Aku baru tahu Bayu Skak sejak film Yo Wis Ben. Tapi, waktu itu aku sekadar nonton saja, nggak sampai yang pengin bikin tulisan. Mungkin, karena dilema utama di film Yo Wis Ben masih seputaran anak remaja, jadi aku merasa sudah "jauh".

Berbeda dengan Lara Ati, tokoh-tokohnya sudah berada di usia relatif dewasa dengan segala persoalannya
(pekerjaan, percintaan, pernikahan, keluarga). “Nalika urip lan karep ora sedalan” (ketika hidup -kenyataan- dan keinginan tidak sejalan), demikian tema besar film ini. Problem klasik di usia menjelang 30-an yang kini lazim kita kenal dengan quarter life crisis. Rasanya, belum terlalu lama aku melewati masa-masa itu. Bahkan, di usia sekarang pun, urip lan karep ora sedalan juga masih sering terjadi. Wajar dong merasa related?

Terlepas dari beberapa bagian cerita yang terasa sedikit janggal, drama ini sangat mendekati keseharian. Ditambah lagi kultur Jawa Timur sebagai latar belakang cerita, makin terasa related-lah. Kampungku memang di Jawa Tengah, bukan Jawa Timur. Namun, Jateng dan Jatim kan dekat, kulturnya juga masih mirip-mirip. Nonton lokadrama Lara Ati membuatku serasa pulang kampung.

 Baca : Pulang dan Akar


Lanjut Layar Lebar


Seperti karya-karya Bayu Skak yang lain, dialog lokadrama Lara Ati juga dominan menggunakan bahasa Jawa Timuran. Aku menggunakan diksi dominan karena memang tidak 100 persen bahasa Jawa Timuran. Namun, lokadrama ini juga diwarnai bahasa-bahasa lain, seperti Bahasa Indonesia, Jogja/Jawa Tengah (termasuk bahasa ngapak), Sunda, dan Madura. Makanya, pas banget disebut loka(l)drama karena menonjolkan unsur-unsur lokal. 

Bagi yang tidak bisa bahasa Jawa, tersedia kok subtitle Bahasa Indonesia. Kan sama saja dengan nonton film Hollywood, Bollywood, atau Korea yang kita belum tentu paham bahasa dan kulturnya. Malah jadi sekalian belajar kan…

Sebenarnya, film berbahasa daerah sudah bukan perkara aneh. Apalagi di zaman digital seperti ini, kita mudah menemukan berbagai film lokal di internet. Namun, lokadrama Lara Ati jadi istimewa karena tayang di televisi. Sejauh kita tahu, serial televisi masih didominasi shitnetron😁. Ada juga serial India dan Turki (masih nggak ya?), tapi malah tidak ada serial dengan warna budaya lokal. 

Rating sist...Rating!! (kosakata ini terdengar cepat! Huh!!) 

Meski tidak tayang di prime time, Lara Ati mampu menyedot atensi penonton. Kalau lihat komentar-komentar di Youtube, penontonnya bukan hanya mereka yang bisa berbahasa Jawa (kan ada subtitle..). Ratingnya sempat menembus 10 besar, meski kemudian melorot tajam. Bayu sendiri tidak terlalu pusing soal rating. Sebab, rating tidak menggambarkan sebaran penonton secara nasional. Ia juga sudah memperkirakan hal tersebut.

Aku jadi ingat serial legendaris, Si Doel Anak Sekolahan yang lekat dengan budaya Betawi. Si Doel dan Lara Ati, sama-sama mengangkat suasana lokal dan sama-sama terasa realistis. Uniknya, serial Lara Ati di televisi akan “ditutup” dengan tayangan versi layar lebar mulai tanggal 15 September di bioskop-bioskop (hari tepat saat posting artikel ini). Cara marketing yang keren yaaa… Para penonton yang kadung sayang dengan serialnya, sangat mungkin akan lanjut nonton ke bioskop. Mudah-mudahan jumlah penontonnya tembus enam digit.

Kami serumah sudah siap-siap untuk week-end di bioskop nih…




Drama Primordial

Beberapa pekan lalu, aku menulis tentang primordialisme (baca : Primodialisme Tahu Tempe). Dengan semangat mengunggulkan unsur lokal, rasanya tak salah jika Lara Ati kusebut sebagai drama primordial. Kan, primordial tidak selalu berarti negatif.

Dulu, seusai nonton film Yo Wis Ben, aku tidak tertarik mengetahui alasan Bayu Skak konsisten menggunakan bahasa Jawa dalam karya-karyanya. Aku juga bukan penonton channel Youtube Bayu Skak. Jadi, kupikir, pemilihan kultur dan bahasa Jawa hanya karena alasan pasar dan “pengin unik.” Aku baru terusik untuk tahu setelah menonton Lara Ati. Alhasil, aku jadi membaca beberapa artikel sekaligus mendengarkan podcast seputar hal itu.

Ternyata, alasan Bayu tidak sesempit asumsiku. Penggunaan bahasa dan kultur Jawa tidak semata urusan pasar dan “pengin unik.” Aku menangkap semangat yang jauh lebih tinggi dari yang dua hal itu. Bayu mengusung semangat primordial untuk tujuan kebanggaan nasional. Keputusan menggunakan bahasa dan budaya Jawa dalam film-filmnya merupakan upaya menunjukkan kekayaan bangsa.

Kalau dari Lara Ati kemudian ada komentar-komentar dengan kebanggaan berlebihan atau sebaliknya nyinyiran terhadap budaya Jawa, itu jadi melenceng dari semangat dasarnya. Niatnya tayangan ini bukan untuk menunjukkan dominasi kultur Jawa (di dunia hiburan). Bayu justru kepengin, dunia hiburan kita diwarnai unsur-unsur tradisional lain yang dikemas apik sehingga bisa diterima penonton nasional.

Bayangkan banyak film/serial televisi berwarna budaya plus berbahasa Batak, Padang,  Toraja, Makassar, Papua dan lain-lain di bioskop dan televisi kita. Benar-benar film/serial yang kental dengan budaya tersebut lho, bukan hanya “pinjam lokasi” seperti FTV hehehe. Bukankah ini akan jadi tontonan yang memperluas #wawasankebangsaan? Mengunggulkan unsur-unsur lokal bukan untuk merasa jagoan, tapi justru merawat keragaman.

Selama ini, memang sudah banyak film (bioskop) dengan latar budaya lokal. Namun, dialognya masih dominan menggunakan Bahasa Indonesia. Padahal, seumpama masakan, penggunaan bahasa lokal membuat rasanya lebih nendang.  

(Rating sist!…Rating! Kosakata satu ini kembali menukas cepat…Huh!!!)

Dari beberapa podcast, aku juga menangkap semangat think global, act local. Aku lupa di podcast mana Bayu bicara, satu hal masih kuingat : Bayu mengambil contoh Korea yang mampu mendayagunakan unsur-unsur lokal dalam karya sinemanya. Alhasil, ketika #koreanwave menyebar ke level global, kitapun jadi penasaran dan akhirnya terbiasa dengan produk-produk Korea.

Salah satu buktinya, saat ini, di Makassar banyak muncul resto baru dengan menu ala Korea. Boleh dong mengandaikan sebaliknya : warung rujak cingur, coto, dan pempek mudah ditemukan di Korea dan negeri-negeri lainnya hehehe.

Mimpi boleh-boleh saja kan… Mumpung mimpi masih gratis, jadi nggak ribet karena harganya naik macam BBM #eh (1). Termasuk mimpi televisi kita didominasi tayangan-tayangan hiburan maupun non-hiburan berkualitas. Kalau bisa demikian, tak ada salahnya ada presiden dari kalangan taipan televisi #eh(2). Tabik ah...Permisi🙏 (DW)













22 komentar untuk "Lara Ati, Serial Primordial dengan Semangat Nasional"

  1. Aku juga pertama kali liat filmnya Bayu Skak pas Yo Wis Ben itu mbaa, anakku sampe ngakak-ngakak kalo nonton itu. Pas ada seriesnya juga nggak pernah telat nonton. Sekarang ada lara ati ya pasti nonton anakku tuh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Memang lucu ya mbak..yg kurang paham kultur dan bahasanya saja bisa tertawa. Apalagi kalau paham.

      Hapus
  2. Oh, ternyata Lara Ati ini jenis serial komedi ya hehehe. Soalnya kok dari judulnya berasa main perasaan, hati gitu mbak haha. AKu baru tahu loh pas membaca tulisan mbak :) Serial ataupun film dengan logat bahasa daerah tertentu memang kocak ya. Malah jadi tren di mana2. Yo wis ben atau apalah itu hehehe, sangat menghibur :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jangan2 mb nurul malah langsung ingat lagu Dewa 19...Laras Hati, berkelana iris janji hihihi

      Hapus
  3. Saya lihat di sebuah televisi swasta nasional, ada sinetron atau FTV yang pakai bahasa Jawa dan ada subtitle bahasa Jawa nya juga. Semoga bahasa lain juga menyusul ya, selain dari televisi daerah pastinya. Semangat primordial untuk tujuan kebanggaan nasional ini memang harus kita dukung dan lestarikan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya juga suka komedia sunda lho mbak... mayan bisa menikmati juga :)

      Hapus
  4. Suka banget nonton film komedian kayak gini apalagi ada bahasa Jawanya, pemerannya juga pelawak favorit ini mah jadi pengin nonton. Aku terbilang jarang kalau nonton film series ringan kayak gini, lebih sering yang kayak Miracle in Cell, KKN di Desa Penari, tapi kalau pas nyantai ya gas nonton sih hehe. Terima kasih informasinya!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bayu arek Ngalam kan mbak... boleh lah mb nisa nonton dg Malang Pride hehehe

      Hapus
  5. Sepertinya akan seru sekali ya mbak kalau drama atau film di Indonesia diwarnai dengan penggunaan bahasa daerah yang ada. Dengan begitu selain memang jalan ceritanya bagus, juga ada pelestarian bahasa juga disetiap tayangan entertaiment kita. Kebetulan aku belum nonton dramanya, aku jadi penasaran dengan Lara Ati ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tapi mmg perlu cerita dan penggarapan yg kuat kan mbak. Masalahnya pihak televisi pasti menimbang rating. Dan rating sering menang dibandingkan kualitas huhuhu

      Hapus
  6. Mimpi boleh saja kan, mumpung masih gratis. Ya ampun, iya ya.. kebayang kalau mimpi sampai mesti dibayar, atau bahkan harganya naik gitu macam BBM. Huhuhu. Susah deh kitanya untuk bebas bermimpi lagi~

    BalasHapus
    Balasan
    1. Padahal, kata Nidji "mimpi adalah koentji" ya hahaha

      Hapus
  7. Bagus juga ya mba tujuannnya biar film di indonesia ini berwarna bahasa daerah di perkenalkan lebih luas . Walapun jalan ceritanya kurang menarik

    Semoga aja film Lara Ati jadi pioner

    BalasHapus
    Balasan
    1. Itu dia, kalau ceritanya kurang menarik pasti susah bikin produser tertarik.

      Hapus
  8. Bagus banget memilki pemikiran "think global, act local".
    Yang mana hal ini bisa terus membuat kita sadar bahwa ada tanah kelahiran lengkap dengan budayanya yang harusnya tetap kita jaga nilai-nilai luhur, kebaikan dan filosofinya.

    Lucu banget karakter Jokosikjoko, hahhaa...boso Jowone fasih nemen. Termasuk pas misuh-misuh. i can relate soalnya circleku juga gini nih...Hahha.. Tapi sayang yang jadi Ayu, boso Jowone rodok mekso sithik.
    But it's okay~

    Guyonannya ciamiikk~

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waaah mak lend sudah nonton kah? Aku malah belum. Baru mauuu heheheje

      Hapus
  9. aku beum sempat nonton nih mba... baca dari sinopsis dan reviewnya kayaknya seru memang yaaa

    BalasHapus
  10. Aku juga suka nonton ini mbak, tapi nontonnya di tiktok. Seneng deh ada tontonan berbahasa Jawa timuran gini. Mengobati kangen sama tontonan ludruk. Eh tapi ada Mas Cokro aja yang pakai jawa tengahan.

    BalasHapus
  11. Kakakku suka ngomongin Lara Ati ini. Aku sempat nonton sebentar pas di SCTV. Menurutku oke-oke aja tontonan pakai bahasa daerah. Jadi bisa melestarikan juga. Yang penting lagi, ceritanya kudu oke dan gak muter-muter

    BalasHapus
  12. Aku belum pernah nonton Lara Ati yang diputar di SCTV. Kirain dramanya sedih karena kalau diartikan itu adalah sakit hari. Owh malah komedia berbahasa Jawa ya. Menurutku nggak apa-apa pakai bahasa daerah untuk menunjukkan khasanah budaya. Next mungkin bahasa daerah lainnya hehe

    BalasHapus
  13. Jadi penasaran sama lara ati. Aku suka sih nonton film berbahasa Jawa gini. Rasanya apik aja gitu. Aku jg pernah nonton Yo Wis Ben

    BalasHapus

Terima kasih atas kunjungannya. Mohon tidak meninggalkan link hidup dalam komentar ya :)