Refleksi Dua Bulan Homeschooling

 

homeschooling
gambar dari www.ujiankesetaraan.com


Setelah sekitar dua bulan menjalani homeschooling (selanjutnya kusingkat HS), aku baru menuliskan hal tersebut di blog DW. Dua bulan bukan rentang waktu yang panjang untuk sebuah proses sekolah. Jujur saja, belum banyak cerita tentang teknis HS bersama anak-anak. Tulisan ini lebih ke curahan hati seorang pemula dalam dunia HS.

Tjurhaaaat mode on...

Minggu-minggu lalu, aku dibuat gemessss dengan urusan mutasi Nomer Induk Siswa yang belum juga beres. Dua minggu lebih aku sudah bolak-balik ke (mantan) sekolah Ale-Elo di Makassar. Memang nggak terlalu sih (kurang lebih 5 kilometer). Namun, gemes juga kan kalau tiap kalau mesti datang hanya untuk update info. Masalahnya, pihak sekolah (SD) susah dikontak lewat telepon. WA sama sekali tidak dibaca atau centang biru tapi tidak dibalas. Sementara telepon tidak diangkat. Gemesss kan?

  

Sampai-sampai aku sempat berinisiatif untuk datang langsung ke Dinas Pendidikan Kota Makassar. Soalnya, dulu saat Ale mutasi dari sekolah di Medan ke Makassar, aku harus ke Disdik.

Baca : Pindah Sekolah Antar Provinsi.

Saat pindah sekolah, Ale naik ke kelas enam. Sementara Elo masuk kelas satu. Sejak awal mengurus mutasi Ale ke HS, aku sudah bertanya ke pihak sekolah (SD), perlukah aku ke Disdik? Jawabnya tidak perlu. Namun ternyata, urusan tak segera beres. 

Untuk Elo, aku nggak terlalu buru-buru. Masalahnya di Ale, yakni keterlambatan mutasi bisa mengakibatkan dia tidak terdata di ujian kelulusan sekolah dasar.  Nah, gimana aku nggak nyap-nyap? Seandainya komunikasi lancar, mungkin aku bisa tertolong gemasnya yaaa... Nah ini, kontak telepon sulit, datang langsung ke sekolah juga nggak segera beres.

Bersyukur, setelah mencari info di grup ibu-ibu kompleks, ternyata ada tetangga yang bekerja di Disdik (terima kasih Ibu Erna). Puji Tuhan, beliau juga bersedia membantu. Sehari kemudian, data Ale dan Elo sudah bisa dimutasi.

Bersyukur dan legaaaa.....   

Lah, katanya HS, kok ada mutasi Data Pokok Pendidikan (Dapodik) segala?

Ini pertanyaan yang sangat wajar. Bahkan, saat aku mengajukan surat keluar, pihak sekolah merasa tidak perlu untuk mengeluarkan surat mutasi. Kan, pindah homeschooling? Nggak perlu dong urusan administrasi segala?

Jujur, sebelum nyemplung ke HS, aku juga tidak terpikir tentang hal tersebut. Berhubung tulisan ini aku asumsikan untuk pembaca umum (yang bisa jadi sangat awam soal HS), jadi aku jelaskan. Terlebih, sepertinya banyak mis-konsepsi tentang HS.

Apa itu HS?

Mungkin akan banyak definisi tentang HS. Di sini, aku mengutip penjelasan HS yang ditulis oleh Mbak Ellen Kristi di website Perkumpulan Homeschooling Indonesia (www.phi.or.id) :


"Homeschooling adalah sebutan untuk proses belajar. Dari home yang artinya "keluarga", homeschooling artinya "sekolah berbasis keluarga." Ada juga yang lebih suka bilang home education atau "pendidikan berbasis keluarga. Praktisi homschooling disebut sebagai homeschooler. Ciri keluarga homeschooler adalah tidak memasrahkan pendidikan anak ke tangan lembaga sekolah, baik sekolah formal maupun lembaga pendidikan formal."


Dengan penjelasan ini, pertanyaan “HS di mana?” menjadi tidak relevan. Sebab,  HS berarti pendidikan dengan metode dan bahan belajar yang bebas, dalam artian bisa disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan keluarga. Kalau menurut istilah homeschooler senior Mas Aar dan Mbak Lala : dengan HS, keluarga bisa menggunakan kurikulum yang dikustomisasi.

 

Cara belajar dari rumah yang diterapkan selama pandemi ini tidak lantas bisa disebut homeschooling. Sebab, meski belajar di rumah, anak-anak dan orangtua masih menggunakan metode dan bahan ajar dari sekolah. Belajar selama pandemi ini lebih cocok disebut school from home.

 

Sekarang, ada sekolah formal atau lembaga non-formal yang menawarkan “belajar HS”. Tidak heran kalau jadi muncul pertanyaan “belajar HS di mana?” Sementara, kalau merujuk pengertian di atas, HS tidak harus (meskipun bisa saja) merujuk pada lembaga tertentu.

 

Kalau baca-baca artikel tentang HS, ternyata metode HS itu macem-macem. Mulai dari yang bebasssss (unschooling) hingga yang terstruktur dalam materi maupun waktu seperti school from home.

 

Aku sendiri  masih mengambil sana-sini untuk materi HS anak-anak. Teknis hariannya juga masih mencoba berbagai cara. Prinsipku waktu itu, mulai saja dulu.... learning by doing. Sejauh ini sih, belum terlalu terasa perbedaan HS dengan sekolah formal. Sebab, pertemuan tatap muka (PTM) belum masif dilaksanakan. Jadi keduanya sama-sama masih belajar di rumah toh? Entah nanti kalau PTM sudah kembali normal, mungkin baru terasa sekali beda ritme-nya. Sementara anak-anak lain ke sekolah, Ale-Elo di rumah saja.

 

Alasan HS

 

Flashback ke beberapa bulan lalu. Aku mulai memikirkan opsi HS setelah merasakan keruwetan dalam proses belajar daring. Dalam hal ini, aku nggak sendirian kan? Buanyaaaaak ibu-bapak di seluruh nusantara (bahkan mungkin dunia karena pandemi ini bersifat global) yang jadi darting (darah tinggi) gara-gara belajar daring. Tak perlu diurai lagi contoh-contohnya lah ya..... Macam-macam pengalaman problem belajar formal daring  rajin terceritakan di dunia nyata maupun dunia maya.

 

Problem kami ada satu lagi, yakni Ale Elo menjalani belajar daring sebagai siswa pindahan di sekolah baru. Jadi, ada adaptasi dobel, yakni adaptasi belajar daring plus adaptasi sekolah baru. Dua hal yang tidak terlalui dengan mulus.... 


Banyak orangtua yang mengeluhkan sistem belajar tanpa pernah ada penjelasan dari guru. Sementara di sekolah Ale-Elo, rutin ada google meet dua-tiga kali seminggu. Namun, karena kelas baru, guru baru, teman-teman sekolah baru, tiap ada meet, nyaris selalu drama :D.

 

Di raport sih, nilai anak-anak tidak jelek meski bukan juara. Kebetulan, aku bukan orangtua yang obsesif sama rangking raport. Namun, bagiku, nilai raport itu terasa hampa karena dicapai dengan drama. Bukan tidak bersyukur yaaaa....tapi di saat pandemi ini, nilai-nilai raport kok jadi tidak mencerminkan kondisi sebenarnya.

 

Makanya, jadilah terpikir untuk HS. Sebenarnya, ini bukan ide yang sepenuhnya baru buatku. Maksudnya, sedari duluuu anak-anak masih bayi, aku sudah sering dengar/baca tentang HS.  Namun, karena sekolah formal masih lancar, jadi nggak terpikir untuk HS (beda banget ya dengan keluarga-keluarga yang sedari awal memang sudah memikirkan HS untuk pendidikan anak-anaknya).

 

Oh ya, selain faktor belajar yang diwarnai drama, pemikiran untuk HS juga dilatarbelakangi  fakta kalau pekerjaan BJ (ayah anak-anak) punya potensi untuk mutasi wilayah. Bagi yang mengenalku atau cukup mengenal blog ini, sangat mungkin tahu tentang situasiku yang beberapa kali pindah kota, bahkan pindah pulau.

 

Baca : Pindah Lagi


Tahu dong kalau pindah sekolah formal itu tidak bisa sewaktu-waktu. Setidaknya harus menunggu saat tahun ajaran baru. Itu makanya, sewaktu pindah dari Medan ke Sulawesi Selatan, BJ berangkat lebih dulu (bulan Februari). Sementara, aku dan anak-anak baru bisa menyusul di bulan Juli.


Mencari sekolah baru di kota baru juga tidak semudah membalik telapak tangan. Terlebih namanya pindah kota, cari sekolah plus cari tempat tinggal (kontrakan). Sebab, kalau di tempat BJ kerja, tempat tinggal karyawan pindah tidak berupa mess, melainkan rumah kontrakan yang dicari sendiri. Cari sekolah barengan cari kontrakan itu rumit lhoo.... Ada sekolah yang rasa-rasanya bagus, tapi sulit dapat temat tinggal di sekitarnya. Atau sebaliknya, dapat rumah yang sesuai kriteria, tapi sekolahnya di sekitarnya asal dapat. 


Itu belum termasuk adaptasi si anak di sekolah baru dengan potensi-potensi persoalannya.

 

Situasi itulah yang mendorongku untuk memikirkan HS sebagai alternatif pendidikan anak-anakku. Pikirku, kalau kelak BJ pindah lagi,  kami bertiga bisa langsung ikut pindah. Juga nggak perlu ribet cari sekolah baru di kota baru.

 

Jadilah awal tahun ini, aku mulai serius mencari berbagai informasi tentang HS. Dari pencarian itu, aku jadi tahu kalau HS di Indonesia sudah memiliki payung hukum. Artinya, HS juga diakui negara sebagai salah satu alternatif pendidikan masyarakat.

 

Supaya tetap terdaftar sebagai siswa di NKRI (😀), Ale Elo perlu terdaftar di sebuah lembaga. Setelah membaca berbagai artikel di internet, aku memutuskan PKBM Piwulang Becik di Salatiga sebagai lembaga payung untuk HS Ale-Elo. Itulah sebab musabab dari kasus mutasi Dapodik yang aku sebutkan di awal tulisan ini.

 

Dengan bergabung ke lembaga, maka anak-anak akan tetap memiliki nomor induk siswa. Jadi, kalau suatu hari ternyata mereka ingin kembali ke sekolah formal, anak-anak tinggal mutasi (lagi). Proses ini secara hukum memungkinkan untuk ditempuh meski entah seperti apa teknisnya. Aku belum pernah ketemu artikel yang menceritakan kepindahan anak HS ke sekolah formal.

 

Memiliki NIS juga menjadikan anak-anak jadi tetap bisa ikut ujian nasional sesuai tingkat sekolahnya. Memang, ujiannya melalui jalur non formal dan kita kenal dengan Kejar Paket (A,B,C). Ijazah kejar paket bisa untuk melanjutkan ke perguruan tinggi lho...Meski memang, tidak 100 persen ke semua jurusan bisa menerima anak HS.   

 

PKBM yang diikuti Ale-Elo menyediakan berbagai kelas online untuk pengayaan belajar anak. Namun, tidak seperti school from home yang mewajibkan anak-anak mengikuti semua  pelajaran, di sini anak-anak dibebaskan untuk memilih kelas. Juga tidak wajib mengikuti semua kelas. Artinya, orangtua masih leluasa untuk memilih sendiri bahan dan metode ajar bagi anak-anaknya. Yang pasti, waktu kelas online lebih fleksibel dan tidak wajib pakai seragam hehehe.

 

Dari sini aku jadi belajar, bahwa HS adalah salah satu alternatif cara belajar. Dengan cara dan bahan belajar yang berbeda, sangat mungkin anak-anak juga jadi “berbeda” dengan anak-anak lainnya. Jangan minder kalau anak-anak lain dapat ini-dapat itu, atau bisa ini-bisa itu dari sekolahnya.

 

Sebaliknya, juga jangan jumawa dengan berpikir bahwa HS lebih baik dari sekolah formal. Keduanya adalah masalah pilihan, yang masing-masing punya kelebihan dan kekurangan. Simpelnya seperti mau makan soto. Beli jadi di rumah makan/restoran atau masak sendiri, masing-masing punya plus-minus bukan?

 

Proses Keputusan HS

 

Setelah mencari berbagai informasi tentang HS, proses selanjutnya adalah membagikan ide ini ke BJ. Seperti biasa, BJ selalu mengajak untuk berpikir lebih menyeluruh. Bagaimanapun, HS belum (dan mungkin tidak akan) menjadi langkah mainstream. Bagaimana dengan pergaulan anak-anak? Bagaimana dengan respon keluarga? Bagaimana dengan jenjang pendidikan selanjutnya?

 

Wajar sih kalau HS ini menimbulkan banyak pertanyaan. Di luar sederet pertanyaan BJ, aku juga bertanya pada diriku sendiri : “apakah aku akan bisa menjalankan ini?” Huwaaa...pertanyaan yang masih bikin gemetar meski sudah mulai menjalaninya.

 

Sesuai namanya, HS adalah pendidikan berbasis keluarga. Namun, melihat situasi dan kondisi rumahku, sudah pasti aku yang akan lebih banyak memegang peranan di sini. Meski demikian, persetujuan BJ mutlak diperlukan. Bagaimanapun, aku dan dia adalah satu tim dalam urusan anak-anak. Tidak masalah jika aku yang menjalankan lebih banyak fungsi teknis. Namun, persetujuan dan dukungan BJ jelas dibutuhkan.

 

Faktanya, di dua bulan ini, proses HS di rumah juga belum bisa dibilang mapan. Aku juga masih jumput sana-sini untuk materi, juga masih utak-atik jadwal. Intinya, aku sendiri masih perlu banyak belajar. Tentang teknis HS di rumah kami, rasanya belum terlalu banyak hal yang bisa diceritakan. Padahal, kalau berkunjung ke blog-blog homeschooler senior, rasanya keren sekali. Melihat pencapaian anak-anak mereka, potensial bikin nervous. 


Aku menulis bagian ini untuk reminder bagi diri sendiri : sebuah perjalanan selalu diawali dengan langkah awal. Kalau baru mulai melangkah, ya jangan nervous saat melihat pencapaian keluarga-keluarga yang sudah jauh di depan. 

 

Ini adalah catatan awal dalam perjalananku sebagai homeschooler. Entah  ini akan merupakan perjalanan panjang, atau hanya sementara karena anak-anakku memilih kembali ke sekolah formal. Aku sungguh tidak tahuuuu. Berencana sih bisa saja, tetapi pelaksaan bisa berbeda karena satu dan lain hal, bukan? Kalau di sitilah Jawa, aku tidak mau ngege mangsa (mendahului waktu).


Setidaknya, aku sudah mencoba melakukan apa yang sejauh ini kupikir sebagai alternatif terbaik untuk saat ini. (*)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

24 komentar untuk "Refleksi Dua Bulan Homeschooling"

  1. Kok bisa ya SD nya itu eh mantannya sekolah dasar itu susah dikontak lewat telepon maupun WA?
    Jaman digital kek gini sekolah kek gitu viralin aja. Biar orang tua murid gak kerepotan.

    BalasHapus
  2. Aku kok mendukung kalau alasan kepindahan pekerjaan si Bapak BJ membuat lebih baik HS si Ale dan Elo ya, Mbak. Soalnya urus sekolah ribet begitu duh...Di luar pertimbangan lain ya, semua mmnag ada konsekuensinya. Dan setuju, engga jumawa buat yang pilih HS dan jangan minder yang memilih HS.
    Semoga dilancarkan dan dimudahkan ya ke depan

    BalasHapus
  3. HS sebetulnya lebih fleksibel ya. Semoga lancar ya mba. Ale dan Elo juga lebih enjoy

    BalasHapus
  4. inget banget dulu riweuh urus pindahan sekolah antar propinsi. untung anaknya baru satu :D
    iya ya sejak pandemi, banyak yg memutuskan buat anaknya homeschooling. sama kayak temenku juga mindahin anaknya dari sekolah biasa ke hs krna sekolah yg lama ga siap dg sistem daring sementara anaknya punya kebutuhan khusus. dengan hs, anaknya lebih enjoy dan ga ngerasa tertekan diuber tugas.
    selamat menikmati hs buat anak2nya ya makk :)

    BalasHapus
  5. memang semua ada ups and downsnya yaa mba.. 2 bulan homeschooling pasti mengajarkan banyak hal untuk mereka yang menjalankan. Anak-anakku sudah mulai PTM seminggu sekali mba

    BalasHapus
  6. kalau memang akan pindah mengikuti bapake dinas, pilihan untuk Homeschooling ini memang sangat tepat sekali mbak. Sejujurnya waktu kemarin anakku masuk SD sempat kepikiran apa Home Schooling saja karena masih pandemi tapi ku masih ragu kala itu.

    BalasHapus
  7. Sejak dulu, saya setuju dengan HS. Malah sebelum anak-anak saya sekolah, saya banyak baca buku ttg HS. Tetapi, akhirnya saya memilih sekolah formal karena dekat rumah ada yang bagus.

    Insya Allah dilancarkan ya, Mbak. HS sama bagusnya dengan formal. Apalagi dengan alasan sering pindah-pindah, HS jadi pilihan terbaik. Insya Allah

    BalasHapus
  8. Kok saya jadi ikutan gemes itu sama mantan sekolahnya. DiWA gak balas, ditelepon gak jawab. Maunya apa sih ya. Gemes banget.

    Pilihan HS di masa-masa transisi mau pindahan bisa jadi alternatif ya. Tapi ya itu, anak-anak mau terus atau enggak, dan kita nyaman atau enggak. Beneran butuh pertimbangan yang matang banget nih.

    BalasHapus
  9. Selalu salut sama ibu yg memutuskan anaknya HS. Aku sendiri pengen tapi krn kerja jd belum bisa juga. Karena skr masih WFH anakku yg kecil masih bisa aku telatenin sendiri. Apalagi masih usia PG jd masih merasa mampu lah. Entah nanti gmn. Semangat ya mbak juga buat anak2mu, ga perlu minder anak HS itu kerenn

    BalasHapus
  10. Nah dulupun aku sempet mba ambil.kputusan utk HS...tapi pada akhirnya cuma sebentar karna Aku lbih k faktor lingkungan yg gak kondusif buat anak2ku, klo pindah rumah butuh biaya besar lagi

    Semangat mba...

    BalasHapus
  11. Homeschooling memang menjadi alternatif yang baik untuk saat ini, kalau aku sih mendukung keputusannya karena gimanapun si kecil gak bisa daring kayak gini, tertekan malah.

    BalasHapus
  12. Anak-anak temanku memutuskan HS karena anak mereka sempat kena bully di sekolah dan lambatnya menerima pelajaran sekolah, jadinya pilih HS, sejauh ini ada yang sudah berhasil dengn beragam metode, ada yg basis fitrah, ada yang pakai CM

    BalasHapus
  13. Waah, aku jadi tercerahkan mengenai HS mbak..
    Aku kira HS itu, si guru nya datang ke rumah kaya private. Ternyata kita sebagai orangtuanya yang menjadi guru nya.. Aih salut banget mbak, km mengambil jalan untuk HS

    BalasHapus
  14. Keren banget mbak HS full jadinya yaa, aku msh HS ala2 wkwkwk. Iya sih menurutku data NIK msh dibutuhkan kali2 suatu saat mau lanjut ke jenjang yang lbh tingginya masuk sekolah/ PT formal gtu.
    Kalau aku pribadi memilih jalan ini tu krn ngrasa anak2 jd lbh menikmati masa anak2nya tanpa terbebani hafalan2, tapi masih bisa belajar sesuatu.
    Trus sbg ortu lbh nyaman krn tdk perlu mendorong anak berusaha keras kudu bisa sesuatu dengan cepat, krn semua pasti ada timelinenya masing2. Kalau gak bisa skrng yawda esok ulang lagi. Jd anak gak stress, ortu jg gak selow. Lbh ke penguatan karakter jg jdnya yang pastinya akan mengacu pada nilai2 yg dianut keluarga sendiri.
    Semoga sukses HS-nya mbak.

    BalasHapus
  15. aku yah liat orang lain support dan salut yang anaknya bisa HS, nah, kalo aku gak bisa, hehehe. masih harus ketemu guru da teman2nya, hahaha

    BalasHapus
  16. HS ini masuknya sekolah rumah ya, berbasis keluarga. Alhamdulillah sudah diatur dalam UU no 20 ttg pendidikan nasional. Salah satu pendidikan informal adalah sekolah rumah. Anak saya juga ada yang HS mbak, tapi saya gabungkan ke SKB, agar saya ga perlu sulit mengurus NISN. Btw salur banget mbak dengan kegigihannya. Moga sukses dan lancar HS nya ya

    BalasHapus
  17. HS ini menyenangkan.
    Aku awalnya saat anak-anak pra sekolah juga HS. Memutuskan untuk masuk sekolah formal karena aku cari sekolah yang muatan agamanya banyak, gak masalah dengan ilmu pengetahuan umumnya.

    Jadi, tetap semangat ber-HS yaa, kak.
    Yakin ini bakalan menjadi perjalanan yang menyenangkan bagi orangtua dan anak-anak.

    BalasHapus
  18. Aaah Mbak keren sekali. Berani mengambil keputusan besar yang sangat penting ini. Yakin bisa deh. Tetap semangat Mbak!

    BalasHapus
  19. Mengingat kemampuanku yang terbatas untuk mengajarkan anak sekolah di rumah, HS belum pernah menjadi opsi dalam benakku. Tapi, karena pandemi yang tak berkesudahan ini aku sempat berpikir "Ya ampun, tahu gini HS aja, yaa." Haha. Apalagi sekarang HS sudah berada di bawah payung hukum, tetap punya NIS dan bisa mudah kalau mau lanjut ke sekolah formal. Tetap semangat HS-nya, ya, Maaak.

    BalasHapus
  20. Semoga lancar dalam membersamai anak-anak untuk belajar di rumah. Harus siap sedia dengan tenaga dan pikiran yang sangat fokus ya mba. Jika memang saat ini, atau untuk ke depannya, homeschooling menjadi jalan terbaik bagi Ale dan Elo untuk belajar, why not. Sembari jalan aja dan tetap terus belajar, bisa mengambil referensi dari para homeschooler yang udah duluan mulai.

    BalasHapus
  21. Tantangan HS tuh memang membuat silabus buat program belajar yang sesuai dengan usia dan kurikullum seharusnya. Tapi aku doakan Mba bisa, semangat ya Mba.

    BalasHapus
  22. Huhu, kepengen banget deh aku juga bisa home schooling 2 bocahku. Tapinya aku masih riweuh. Huhu, di sini pun belom mendukung kondisinya. Semoga nanti bisa. Kepengen bisa maksimalkan di rumah. Toh di sekolah pun gak efektif ya di masa kayak sekarang.

    BalasHapus
  23. wah Mbak Lisdha di Piwulang Becik ya. Aku mau japri nanya-nanya lebih detail yaa.
    tahun depan rencananya anakku masuk PKBM tapi belum survei. hehe ...

    trus penasaran juga sih dengan anak HS yang balik ke sekolah formal teknisnya gimana. Bayanganku ikutan PPDB seperti biasa kalau dia naik jenjang, misal SD HS lalu SMP ke formal ya daftar biasa.
    kalau misal SD kelas 3 HS lalu kelas 4 mau sekolah formal ini yang belum tahu gimana.

    semangat membersamai ananda, belajar bersama, tumbuh bersama :)

    BalasHapus
  24. MasyaAllah keputusan yang memang membutuhkan kehati-hatian ya mbak menyangkut pendidikan anak. Tapi jika memang lebih baik dan belajarnya makin membaik kenapa tidak ya. Makasih ya mbak sharingnya jadi memberikan pengajalan berharga nih bua aku yang belum ada bocil di rumah

    BalasHapus

Terima kasih atas kunjungannya. Mohon tidak meninggalkan link hidup dalam komentar ya :)