![]() |
Salah satu tangkapan layar dari aplikasi Let's Read |
“Bunda, apa Bahasa Jawa-nya takut-pasir?
Suatu hari, si bungsu Elo menanyakan hal itu padaku. Hhhhmmm, pasti lihat dari gawai nih. Seketika ingatanku melayang ke kejadian bertahun-tahun lalu, yakni ketika masih kost di Jalan Mendung, sebelah Universitas Sebelas Maret, Solo. Salah satu kakak kostku lahir dan besar di Jakarta (aku lupa, apa suku-nya). Saat itu kami tertawa-tawa gara-gara si kakak kost ini belajar Bahasa Jawa dan diajari kosakata “takut pasir.”
![]() |
gambar dari www.ujiankesetaraan.com |
Setelah sekitar dua bulan menjalani homeschooling
(selanjutnya kusingkat HS), aku baru menuliskan hal tersebut di blog DW. Dua
bulan bukan rentang waktu yang panjang untuk sebuah proses sekolah. Jujur saja,
belum banyak cerita tentang teknis HS bersama anak-anak. Tulisan ini lebih ke
curahan hati seorang pemula dalam dunia HS.
Tjurhaaaat mode on...
Minggu-minggu lalu, aku dibuat gemessss dengan urusan mutasi Nomer Induk Siswa yang belum juga beres. Dua minggu lebih aku sudah bolak-balik ke (mantan) sekolah Ale-Elo di Makassar. Memang nggak terlalu sih (kurang lebih 5 kilometer). Namun, gemes juga kan kalau tiap kalau mesti datang hanya untuk update info. Masalahnya, pihak sekolah (SD) susah dikontak lewat telepon. WA sama sekali tidak dibaca atau centang biru tapi tidak dibalas. Sementara telepon tidak diangkat. Gemesss kan?
Disclaimer : Judul mengandung clickbait 😂
Teman-teman sudah beres dua dosis vaksin COVID? Atau baru
satu dosis? Atau malah belum sama sekali karena sesuatu hal/alasan? Kalau aku, puji
Tuhan sudah beres vaksin kedua di Agustus lalu. Sudah beres juga kartu
vaksinku. Beres dalam arti, bisa diunduh dan juga tidak ada kesalahan data di
dalamnya.
Tapi, aku punya cerita sehubungan dengan kesulitan mengunduh plus kesalahan data di kartu vaksin. Aku bagikan di sini, siapa tahu berguna bagi yang membutuhkan yaaa....
Entah siapa kreator gambar di atas. Saya mendapatkannya dari
grup Whatsapp teman-teman alumni kampus. Satirnya, dapet banget ya...😂😂 Yah,
gara-gara pandemi, jadi ada banyak istilah baru. Lockdown-lah, PSBB-lah, mudik
aglomerasi-lah, ini-lah, itu-lah. Satu yang berlanjut sampai saya menulis ini adalah PPKM (gosah disebutkan kepanjangannya lah ya..). Sampai
kapan nih PPKM? Diiih, jangan deh sampai kita menua seperti meme di atas.
Di tulisan terakhir, saya bilang, ketidaknormalan yang menerus akan segera menjadi hal yang normal. Mengacu istilah sekarang : new normal. Faktanya, di awal pandemi, banyak orang kalang-kabut dengan ketidaknormalan yang mendadak. Namun, pandemi yang tak juga usai, membuat ketidaknormalan itu berangsur menjadi new normal.
Subscribe to:
Posts (Atom)
Social Icons