Pulang dan Akar












Masih tentang pulang.

Semula, aku hanya mau mencatat pengalaman mudik 2021 sebagai dokumentasi di blog ini. Bagaimanapun, ada harapan pada proses pulang yang kembali normal. Perjalanan pulang tanpa ribet aturan yang membingungkan. Perjalanan pulang tanpa keharusan test swab yang menyakitkan. Juga perjalanan pulang tanpa was-was tertular penyakit mematikan.

Dengan harapan itu, mencatat pulang tahun 2021 terasa penting buatku. Siapa tahu diberi umur panjang dan kesempatan untuk perjalanan pulang pasca pandemi. Maka, tulisan itu akan menjadi pengingat bagi aku dan keluarga kecilku.



Juga jadi pengingat tentang masa-masa kami masih belum benar-benar menetap. Bagaimanapun, tentang tahun ini tinggal di mana, dan beberapa tahun lagi pindah kemana, adalah bagian dari misteri. Entah BJ akan sampai pensiun di perusahaan sekarang ini. Atau sebaliknya memilih berhenti atau diberhentikan? Sungguh, aku tidak tahu.

Jangankan kejadian empat – lima tahun kemudian. Satu menit ke depan saja sebenarnya di luar kekuasaan manusia.

Orang sering bilang, manusia berencana, Tuhan menentukan.

Kalimat yang sedemikian familiar meski saat mengalami hal tidak menyenangkan, pasti butuh upaya lebih untuk mencerna dan menerimanya.

Berbeda kalau menerima kejutan berupa ketentuan yang menyenangkan. Respon pertama yang sangat mungkin adalah bersyukurrrrr (jelas bukan respon yang salah). Namun, ketika mengalami kejutan menyenangkan, rasanya aku jarang mengetahui orang bertanya “Tuhan mengapa aku yang mengalami ini?? Apa aku memang layak menerima kebaikan ini?”

Ahaa, jadi kemana-mana... Kembali fokus tentang pulang.

Membaca komentar-komentar di artikel Tentang Pulang mengingatkanku untuk banyak-banyak bersyukur. Ada (atau banyak?) orang yang ingin pulang tetapi tidak bisa karena berbagai kendala, entah itu kendala materi dan atau non-materi (jadwal yang selalu padat misalnya). Ada juga orang yang tidak mau pulang karena menghindari masalah (atau potensi) luka hati. Ada juga yang kehilangan tempat untuk pulang😟

Sebelum pandemi, aku bisa pulang setidaknya setahun sekali, relatif tanpa kendala berarti. Sungguh suatu nikmat yang tak boleh kudustai.

***

Beberapa tahun belakangan ini ada candaan tentang pulang kampung dalam keluarga kecilku. Aku dan BJ menggodai dua bocah kecil kami, Ale dan Elo, bahwa pulang kampung adalah pulang ke tempat kelahiran. Itu berarti, ke Jawa (Tengah) adalah moment pulkam bagi ayah dan bunda saja. Ayah pulkam ke Klaten, sedangkan Bunda pulkam ke Temanggung.

Ale dan Elo pulkam-nya ke mana?

Mereka berdua adalah pujakesuma-ra alias putra jawa kelahiran Sumatera-Utara. Mana lahirnya berbeda kota pulak (langsung deh muncul logat Medan-nya). Dalam nama panjang Ale ada Ladika, akronim dari lahir di Karo. Tempat itu adalah "rumah" Gunung Sinabung yang sampai sekarang masuk batuk berkala. Sedangkan di nama panjang Elo ada Ladiant, singkatan dari lahir di Siantar. Sebuah kota dengan becak motor lawas yang khas.

Berarti kampung Ale adalah Karo, sementara kampung Elo adalah Siantar.😀

Candaan yang sering membuat mereka protes, terutama Ale. “Aku kan cuma numpang lahir di Karo, aku nggak kenal siapa-siapa di sana,” demikian tegas si anak pertama. Ale memang lahir di Karo, tetapi kami pindah ke Siantar saat Ale berusia dua bulan. Saat tinggal di Siantar dan Medan, kami memang berkunjung ke Karo sesekali. Main ke tempat-tempat wisata dan atau mengunjungi orang-orang yang sempat kami kenali.

Namun, bagi Ale, tak ada memori “tinggal di Karo”. Wajar jika Ale merasa “nggak kenal siapa-siapa.” Dia justru lebih merasa Siantar sebagai bagian dari masa kecilnya. Tentang kota itu, Ale cukup punya memori tentang rumah yang kami tinggali, juga tentang orang-orang yang sama sekali tak ada hubungan darah tetapi terasa sebagai keluarga.

Kami pindah ke Medan saat Elo menjelang usia dua tahun. Gantian Elo yang memiliki ingatan terbatas tentang kota kelahirannya meski meski sudah lebih luas dibandingkan memori Ale tentang Karo. Di kepala Elo, ingatannya lebih banyak tentang Medan.

***

Kini kami tinggal di Makassar (katakan saja demikian meski sesungguhnya tempat berteduh kami sudah masuk di wilayah Gowa).

Candaan tentang pulang kampung juga keniscayaan pindah-pindah kota membuat aku berpikir tentang identitas anak-anak. Ini bukan tentang identitas primordial (kesukuan) meski mungkin sepintas akan terasa demikian.

Buat aku dan BJ, “hidup semi-nomaden” ini sepertinya tidak terlalu berpengaruh. Kami lahir dan tumbuh di Jawa (Tengah) dengan segala suasana alam, bahasa, juga tata kehidupannya. Proses yang mungkin membuat identitas ke-Jawa-an kami cukup kuat. Padahal mungkin kami akan bingung juga kalau ditanya “sejauh apa sih kamu paham tentang Jawa?” atau “se-Jawa apa sih kamu?”

Aku pernah sedikit serius memikirkan itu dan mendapati jika “aku sungguh tidak tahu banyak tentang Jawa.” Sebagai gambaran dasar adalah tentang kemampuan wicara, yang mana bahasa Jawa memiliki tingkat kehalusan. Aku memang biasa berbicara dengan bahasa Jawa. Tapi aku yakin, tingkat kelancaran 100 persen-ku hanya di level boso ngoko, yakni bahasa percakapan sehari-hari. Naik ke level boso krama madya (halus menengah), kemampuanku berkurang meski masih lumayan. Naik lagi ke level boso kromo alus (paling halus), kemampuanku makin berkurang lagi.

Tahu apa aku tentang level “bahasa keraton”?!

Aku pernah sekali menonton film pendek di Youtube yang mengambil latar keraton Jogja. Lalu aku menyadari kalau masih banyak kata-kata Jawa yang tidak kupahami. Aku juga tak lagi lancar menulis dan membaca dengan aksara hanacaraka (huruf Jawa).

Jika aku yang tumbuh-besar di Jawa saja demikian, bagaimana dengan anak-anakku?

Anak-anak yang sampai sekarang belum lancar bicara bahasa Jawa (ternyata aku memang kurang membiasakan!). Anak-anak yang lebih tahu tentang game online daripada wayang kulit atau jaran kepang. Juga anak-anak yang beberapa kali pindah kota sehingga menyerap budaya-budaya yang berbeda-beda.

Kondisi demikian mungkin lebih kompleks pada anak-anak yang lahir dalam perkawinan campuran. Baik itu percampuran antar suku dalam satu negara atau percampuran antar suku antar negara. Kita tahu, perkawinan campuran adalah bagian dari warna sejarah manusia.

Mungkin ada lagi yang lebih rumit. Yakni anak-anak yang lahir dari perkawinan campuran lagi pindah-pindah kota/negara dengan frekuensi lebih sering. Aku pernah membaca tentang perempuan Indonesia yang menikah dengan lelaki dari jauh. Kalau tidak salah, dalam lima tahun, mereka pindah sebanyak lima kota, di tiga negara. Anak-anak mereka lahir di negara-negara yang berlainan. Hmmh...anak-anak mereka pakai ius soli*, ius sanguinis*, atau kewarga-negaraan ganda? *

Sekali lagi, aku menulis ini bukan untuk mengedepankan identitas primordial. Siapapun yang membaca tulisan ini dan bukan orang Jawa, sah-sah saja untuk merenungkan hal yang sama dengan menggunakan latar belakang masing-masing. Aku berpikir tentang identitas kejawaan karena aku terlahir Jawa.

Buatku, terlahir menjadi suku apa atau bangsa apa sungguh sudah di luar kuasa manusia. Semoga ini menolongku untuk tidak superior atau sebaliknya inferior saat berhadapan dengan orang yang “berbeda”.

Kalau Tuhan mau, kita bisa saja dilahirkan sebagai suku atau bangsa yang berbeda. (Jadi, jika kita memiliki kebencian –atau setidaknya prasangka negatif- pada suku atau ras tertentu, coba bayangkan kita terlahir sebagai mereka).

***

Ah ya, demi apa sih memikirkan hal seperti itu? Nggak penting banget! Untuk apa masih memikirkan identitas kesukuan sementara kita sudah menjadi Indonesia? Bahkan sesungguhnya, bumi pun layaknya kampung di keluasan semesta.

Tapi dunia ini memang tak melulu berisi orang-orang yang berpikir hal-hal penting dan praktis. Namun, dunia juga berisi orang-orang yang suka memikirkan hal-hal receh (di mata orang lain) tapi berharga (bagi diri sendiri).

Rasanya juga tidak salah kok ketika tidak berpikir sedikit lebih dalam memahami asal-usul diri sendiri. Toh, tanpa memahami itu pun, hari akan terus berganti dan hidup akan tetap berjalan.

Namun, bagi sebagian orang, lebih memahami latar belakang diri adalah sebuah langkah maju untuk menghargai masa kini dan masa nanti. Seperti orang-orang yang saat muda bepergian sejauh mungkin untuk mengenal berbagai belahan bumi. Namun, suatu hari tumbuh kesadaran bahwa diri sendiri pun tidak pernah tuntas dikenali.

***

Bagiku, pulang menjadi bagian dari pengenalan diri. Bahwa kemanapun aku tumbuh menjalar, aku tetap punya akar. Aku tidak tahu, apakah kelak anak-anakku juga akan berpikir tentang hal ini.

Dengan proses yang mereka jalani, barangkali mereka akan memiliki akar “versi” mereka sendiri. Akar yang mungkin akan sering mereka datangi atau sebaliknya hanya sesekali mereka kunjungi.

Sering atau jarang datang, semoga mereka tetap tersambung dengan akar. Aku berharap, terhubung dengan akar membuat mereka tetap rendah hati, setinggi apapun puncak yang berhasil mereka daki. (*)

----------------------------------------------

* Ius Soli : azas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan tempat kelahirannya.

* Ius sanguinis : azas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan.












56 komentar untuk "Pulang dan Akar"

  1. Baru tahu singkatan nama Ale dan Elo...Pujakesuma ternyata
    Dan bicara tentang pulang, memang untuk yang semo nomaden membingungkan. Apalagi yang cuma numpang lahir. Blas ga tahu daerah kelahirannya karena keburu pindah dari sana.
    Senang dengan ulasan seputar pulang di artikel ini.
    Dan sepakat, suatu hari tumbuh kesadaran bahwa diri sendiri pun tidak pernah tuntas dikenali.

    BalasHapus
    Balasan
    1. pernah semi nomaden juga kan ya mbak..
      jd paham betulll gmn suka dukanya hehehe.
      Kalau skrg insyallah sdh menetap ya mba dian?

      Hapus
  2. Cerita di atas malah mengingatkanku sama kondisi dulu pas kecil. Hidup berpindah-pindah dan tidak diajarkan bahasa Jawa, membuat lupa bahwa aku ini orang jawa.

    Karena anak sekarang lahir di Palembang, orang tua dari Jawa dan Padang, aku berharap dia gak merasakan hal yang sama. Paling tidak, ia punya 'akar' yang ia kenali terlebih dahulu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Apa yg terjadi pd mb ainun sdg trjadi pada anakku. Aku jd ingat lagi utk bener2 membiasakan bahasa Jawa pd anak2ku. Setidaknya ngoko aja pun sdh lumayan.

      Hapus
  3. Aku lgs mikir, kota mana yg sbnrnya aku anggab akar ku :). Aku lahir di Jakarta, tapi suku sebenernya Batak Toba. Kampung ortu di Sibolga, ortu msh tinggal di Medan. Tapi kota terlama yg aku tinggalin itu Aceh 20 THN. Aku cm ngerasain 6 bulan tinggal di Medan, sebelum akhirnya stay di Malaysia 4 THN. Baru merantau ke JKT Ampe skr. Agak bingung juga kalo ditanya aku menganggap kota yg mana sebagai akar :D. Tapi mungkin aku bakal balik ke Medan kalo suatu saat ditinggal suami misalnya. Mungkin Krn ortu di sana, walopun sbnrnya kampung kami di Sibolga :). Jakarta memang udh aku anggab rumah, tp itu Krn suami kerja di sini. Aku sendiri selalu mimpiin suatu saat bisa kluar dr jkarta dan menetap di kota yg LBH tenang :).

    BalasHapus
    Balasan
    1. waah..cerita mbak fanny dalam hal ini tidak kalah seru dg cerita travellingnya looh.. apa di jkt dulunya juga numpang lahir aja?
      pada akhirnya setiap orang mmg akan "menciptakan" akar versi masing2 ya....

      Hapus
    2. Iya mba, cm numpang lahir aja pas di JKT. Umur beberapa bulan, mama lgs terbang balik ke Aceh, Krn papakan kerja di sana. Tapi aku juga ada keinginan menetap di solo, kampung suami. Mungkin Krn solo lebih tenang dan rileks kehidupannya. Orang2 nya juga juga ramah .

      Medan walo gimanapun, sama aja kayak Jakarta, crowded dan hectic :D

      Hapus
  4. mbaaaa, iya aku kalau ada orang yg menilai dari sukunya, ya bukan sukunya, yg salah orangnya lah ya. Kadang sedih masih aja kayak gitu penilaiannya. Jadi pujakesumara yaaa, hihi banyak ceritanya ya di rantau mba...aku jadi inget mau tinggal di jauh dari kota kalau tua nanti heheu

    oia bapak aku wonogiri tapi aku nggak bisa boso jowo, cuma kadang ngerti dikit banget karena nggak pernah dibiasain, mama dan bapak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. urusan stigma dan stereotype ini sepertinya memang masalah latent ya mbak..
      nggak cuma suku tapi juga ras

      Hapus
  5. Mba kreatif sekali kefikiran dengan nama panjang anak-anaknya yng satu lahir Karo dan stau lagi di Siantar tapi jadi bagus namanya :) btw aku masih pindah2 sekitaran Jabar tapisepertinya akar aku di Bekasi hehehe *planet :p

    BalasHapus
    Balasan
    1. akarnya masih mayan deket ya teh herva :) jd nggak jauh2 amat kalo mudik

      Hapus
  6. wah bicara soal akar, akarku ya surabaya
    aku pun lahir dan besar di surabaya
    btw, aku suka dgn nama nama anak mba, kreatif

    BalasHapus
    Balasan
    1. ini namanya bener-bener dalam mengakar mba dee :)

      Hapus
  7. Bisa aja singkatannya mbak pujakesuma-ra hihihi, orang Indoensia tepatnya ya. Seru mbak bacanya udah pernah tinggal di berbagai daerah gitu ada Medan,sampai ke Makassar ya. Kita ga bisa memilih dilahirkan dari suku apa pun termasuk negara apa pun ya sama saja mudah-mudahan gak ada yang memandang pertemanan dari sebuah suku juga

    BalasHapus
    Balasan
    1. mudah-mudahan gak ada yang memandang pertemanan dari sebuah suku juga : bener bangeeet mbak. Lagipula, semua suku/ras pasti ada karakter positif dan negatifnya

      Hapus
  8. Aku dulu nomaden juga karena tugas kerja bapak berpindah-pindah mulai dari keliling Sulsel, Palembang, Papua dan Yogya, Bogor dan kini Ungaran, masa kecil dan remajaku terasa lebih berwarna..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Malah sudah dari WIB sampai WIT ya mbak dew...ini kami baru di WITA :)

      Hapus
  9. Kedua nama Ale dan Elo ada singkatan yang unik. Lahir di Karo dan Lahir di Siantar.

    Mba bener-bener super nih. Karena tugas suami yang pindah-pindah jadi harus pindah kota juga, ya. Menentukan kampung halaman emang gimana gitu ya. Tinggal dan lahir di kota A, tapi kita aslinya dari tempat lain.

    BalasHapus
    Balasan
    1. yang masih lingkup domestik aja bisa uda bingung menetukan akar, gimana kalau uda kelas internasional dan nomaden pula ya mbak eri hihihi

      Hapus
  10. Pengalaman mudik itu memang tidak bisa terlupakan dan dengan membaca cerita ini kita bisa tahu memang pengalaman mudik setiap tahun itu pasti berbeda rasanya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yup mbak..ini mudik pertama kami dari kota yang baru.

      Hapus
  11. sepertinya yang menjadi akarku itu kota Jakarta deh mak, karena aku baru mengalami tinggal ya di Jakarta dan kab. Bogor aja, belum ada kesempatan untuk merasakan pindah kota lain seperti mak yang ceritanya pasti seru

    BalasHapus
    Balasan
    1. berakar lama di suatu daerah juga bagus kok mak..jd lebih tahu mendalam. Kalau kami ini mgkin lbih luas tp di permukaan aja

      Hapus
  12. Aku juga pujakesuma-ra doonk..
    hehe, anak Jawa yang lahir di Sumatera Utara.
    Aku cuma sampai TK, jadi ingatanku samar-samar mengenai tanah kelahiranku, tapi rasanya ingin sekali kembali ke Sumut.

    BalasHapus
    Balasan
    1. weiih..toss dong sama ale-elo :)
      sumutnya di mana kah?

      Hapus
  13. Berbicara tentang pulang, aku jadi sama kaya Ale dan Elo. Bedanya aku lahir di Jawa dan besar di Jakarta :D

    Nah, kalau berbicara pulang, aku paling senang pulang ke Jogja. Padahal asliku di Kebumen
    Hahahaha, karena Jogja memang syahdu sekali

    BalasHapus
    Balasan
    1. pulang ke kotamu...
      ahaha auto inget kla deh :)

      Hapus
  14. Aduh, aku jadi mikir juga nih. Akarku dari mana ya? Sunda semuanya. Dan gak merantau ke mana2 juga. Hehehe. Jadinya gak pernah pulang juga ke daerah lain. :D

    BalasHapus
  15. Pulang buat orang yang sering berpindah-pindah macam kita (saya terutama) adalah hal yang paling dirindukan. Kayak menunggu tempat berlabuh yang terakhir.

    BalasHapus
  16. alhadulillah saya dan suami yang juga ngotot ngajari anak tentang asal usul, kampung, sanak saudara mereka, bahkan kai agendakan untuk pulang mengunjungi mereka secara langsung

    BalasHapus
    Balasan
    1. meski kelak mungkin mereka akan membentu akar versi mereka sendiri, kita tetep harus ngenalin ya mbak

      Hapus
  17. Kalau dipikir-pikir ya aku yang nggak tahu akarku di mana. Karena kedua ortu dan kakek-nenek merantau dari kampung masing-masing. Tapi karena lama tinggal di Sidoarjo kuanggap kampungku dan kampung anak-anak di sana.

    BalasHapus
    Balasan
    1. akar seseorang mmg akhirnya "bentukan" ya mbak..tdk selalu genuine :)

      Hapus
  18. Suka banget sama kalimat "kemanapun aku tumbuh menjalar, aku tetap punya akar."

    Sebuah pembelajaran penting bahwa seberapapun kemungkinan kita tersesat. Akar akan selalu menuntun kita 'pulang' ke jalan yg benar.

    BalasHapus
    Balasan
    1. thank you mbak winda :)
      mmg pulang mengandung kata magis :)

      Hapus
  19. Aku waktu kecil sering pindah karena ngikutin ayah tugas. Sekeluarga boyongan kemana-mana. Tapi seru sih menurutku karena waktu itu aku jadi menguasai banyak bahasa daerah

    BalasHapus
    Balasan
    1. huwaaa... bahasa daerah lokal ini penguasaanku rendah mbak :D
      palingan di dialek

      Hapus
  20. Nasib kita sama
    Bahasa Jawa halus banyak sekali yang nggak kupahami apalagi kuucapkan
    Belajar sedikit demi sedikit kalau pulang ke mertua
    Tapii 2 tahun ga bisa pulang

    BalasHapus
    Balasan
    1. kalau mbak rahma kan mmg orang sulawesi, wajar aja kalu jawa-nya ngoko aja hehehe

      Hapus
  21. Akar saya di bandung... Orang tua, suami, mertua semuanya di bandung raya... Tapi meski enggak pernah merantau, bahasa sunda saya enggak bagus juga, huhu...

    BalasHapus
    Balasan
    1. bahasa daerah yg halus jarang dipakai kan ya teh..jdnya lebih nggak terbiasa, jadi lupa

      Hapus
  22. di satu sisi memang membingungkan ya karena sering berpindah, tapi di sisi lain jadi cerita yang seru buat di kenang. aku pun walau lahir di Bengkulu tapi jika ditanya selalu bangga bilang keturunan minang hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah...orang minang juga berdispora kemana-mana ya kan mbak ria :)

      Hapus
  23. Ke manapun kita melangkah, sejauh apapun kita pergi berbahagialah yang msh ada tempat utk pulang yaaa.
    Begitu pula buat anak2 sih aku jg selalu bilang mereka bisa berkelanan ke manapun asalkan selalu ingat jalan pulangnya alias ke rumah ortunya 😁

    BalasHapus
    Balasan
    1. Masih ada tempat (yang nyaman) untuk pulang bener-bener berkat tersendiri :)

      Hapus
  24. wih filosofinya tentang pulang dan akar mantap banget mbak. Merinding aku membacanya mbak, tapi benar juga sih, semoga kita meskipun menjalar kemana mana, namun akarnya yang kuat akan membuat kita akan terus mencari jalan untuk pulang

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga kita juga menjadi tempat yang nyaman untuk anak-anak berakar :)

      Hapus
  25. Cukup familiar dengan istilah dan cerita yang mbak tulis. Hal ini karena Saya pribadi punya beberapa teman yang memiliki cerita yang sama. Kalau kata Mereka saat ditanya asalnya dimana pasti jawabannya Rajawali (Raas, Jawa Bali) Lahir di Raas (Madura) kecil di pulau jawa dan besar dan mendirikan usaha di Bali. Memang cukup membingungkan dan terkadang cukup membuat terpikir tentang kampung halaman dalam kondisi tersebut, terlebih kondisi semi nomaden yang memang membuat Kita menjadi memiliki banyak identitas dan buadaya yang diserap dalam kurun waktu kehidupan.

    Dalam beberapa kasus, tempat yang dijadikan dan dianggap sebagai kampung halaman mayoritas adalah tempat tinggal keluarga tertua seperti mbah, atau bahkan di atasnya.

    Terima kasih banyak untuk cerita yang cukup menggugah ini mbak, what a nice article

    BalasHapus
    Balasan
    1. terima kasih Mas Rahman. Wah saya baru tau tentang Rajawali. Keren kali akronimnya. Gagah gitu :)
      Saya juga belum pernah ke Madura. Indonesia mmg kuali raksasa dr berbagai identitas kesukuan ya...

      Dengan gejolak di sana - sini, setidaknya masih tetap kuat keindonesiaan itu.

      Hapus
  26. Kisah yang panjang tapi tetap menarik

    BalasHapus
  27. Bagi mereka yg merantau, pulang pasti mempunyai arti khusus ya mba. Semoga selalu disempatkan utk pulang menengok akar ya mba.

    BalasHapus
  28. Luar biasa pemikiran mbak lisdha mengenai pulang dan akar dan sebetulya itulah yg kami rasakan..hidup nomaden dan punya anak lahir di kota yg berbeda beda. Kami rindu anak bisa bahasa ibu (jowo) tapi semakin memikirkan semakin harus cepat menyerah. Ha ha ha semua anakku logat sumatera . Tulisan yg bagus dan menginapirasi
    Trmksh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Haiii...kapan aku jadi mbakmuuu, kawan? Ya aku sudah tua tapi jangan tambah dituakan wkwkwk

      Ntar tak panggil Mas lho...kan ucul :P

      Hapus
  29. Luar biasa pemikiran mbak lisdha mengenai pulang dan akar dan sebetulya itulah yg kami rasakan..hidup nomaden dan punya anak lahir di kota yg berbeda beda. Kami rindu anak bisa bahasa ibu (jowo) tapi semakin memikirkan semakin harus cepat menyerah. Ha ha ha semua anakku logat sumatera . Tulisan yg bagus dan menginspirasi
    Trmks

    BalasHapus

Terima kasih atas kunjungannya. Mohon tidak meninggalkan link hidup dalam komentar ya :)