Mudik adalah pulang. Rasanya kita semua telah sepakat tentang itu meski seorang presiden pernah memberi makna yang lebih spesifik. Mudik, entah ini benar atau tidak, merupakan akronim dari menuju udik. Namun, mudik adalah pulang yang telah meluas maknanya. Jika kamu adalah orang kota yang lama tinggal di daerah udik. Sepertinya orang akan mahfum saja saat kamu pulang kota menggunakan kata mudik. Bukankah kata mukot terdengar janggal?
Mengapa orang sampai sedemikian memaksa untuk pulang? Menempuh jauhnya jarak. Mengorbankan banyaknya tenaga. Merelakan panjangnya waktu. Menghabiskan banyaknya biaya.
Mungkin karena pulang memiliki kekuatan magis.
Meski tak terlihat, kekuatan ini cukup digdaya untuk menarik
seseorang dari keseharian yang rutin.
Membawanya pada segulung kecil hari-hari dengan rasa berbeda, yang
mungkin sedikit lebih lambat. Sehingga seseorang bisa menarik nafas lebih
panjang, melesakkan bergalon-galon udara segar ke paru-paru, untuk dihembuskan
sebagai semangat baru.
Pulang juga berarti menuntaskan urusan rindu. Rindu ibu,
rindu bapak, rindu istri, rindu suami, rindu anak, kakek, nenek, budhe, pakdhe,
bulik, paklik, paman, bibi, dan daftar yang masih panjang lagi. Atau mungkin
rindu pada suasana yang susah diberi nama. Rindu seperti seperti kaleng kosong
yang mendamba diisi rengginang renyah dari penggorengan.
Tak heran jika sedemikian banyak orang begitu ingin pulang. Atau mungkin karena sudah kebiasaan? Yang jika
tak dilakukan, maka terasa ada yang kurang. Seperti seseorang yang rutin minum
kopi saat pagi, dan ketika tidak melakukannya sesekali, ada yang terasa
mengganjal sepanjang hari.
Namun, virus-virus tak kasat mata menyumbat jalan orang
untuk pulang. Sebagian memilih berdiam dalam doa dan pengharapan. Sebagian lagi
pulang dengan menyiasati tanggal. Ada juga yang memaksa dengan menerobos
aturan.
Ah ya, semoga, pandemi segera usai. Supaya kita semua yang
rindu pulang bisa kembali melenggang dengan santai.
***
Menulis tentang pulang, membuatku ingat pada kata eksil. Ini
kosakata yang baru aku tahu setelah melewati masa remaja. Padahal, para eksil
ini sudah tak bisa pulang semenjak aku
belum terlahir ke dunia.
Sejarah selalu bisa dilihat dari berbagai sudut pandang yang
berbeda. Seperti para penguasa baru saat itu, yang melihat mereka sebagai orang-orang
yang berbahaya (atau setidaknya memiliki potensi bahaya). Seseorang dilihat dengan
kacamata hitam dan putih saja. Tak ada ruang untuk gradasi abu-abu. Bagi mereka
yang dilihat memiliki hubungan dengan warna kekuasaan sebelumnya (meski tidak
selalu jelas, hubungannya sejauh apa), langsung tertutup pintu untuk pulang.
Bukan hanya untuk satu-dua-tiga-empat-lima tahun. Namun,
untuk kurun waktu yang sangaaaat panjang. Meraka tiba-tiba harus mengembara di
negeri-negeri asing dengan arus informasi yang tak seperti sekarang ini.
Terlepas dari urusan ideologi bla-bla-bla, aku hanya tak bisa membayangkan,
bagaimana orang-orang yang pergi dengan pikiran untuk kembali, tetapi tiba-tiba
tidak bisa pulang tanpa kejelasan nasib?
***
Memang, ada juga sebagian kita yang tidak mau pulang. Iya,
tidak mau, bukan tidak bisa. Kamu bisa langsung merasakan perbedaannya kan?
Sebab, pulang justru situasi yang melelahkan, menjemukan,
menyebalkan. Pulang serasa punggung sarat muatan yang kembali ditambah beban.
Pulang bukan oase untuk mengisi kekeringan jiwa. Sebaliknya pulang adalah
banjir segala perasaan yang tidak menyenangkan.
Orangtua yang super antik? Saudara dan keluarga besar yang
toksik? Teman-teman yang berisik? Tempat-tempat yang traumatik? Salah satu saja sudah membuat kita tak ingin
berpanjang kata, melainkan berharap segera sampai ke titik.
Bagaimana kita bisa rindu pulang dengan keadaan yang
demikian? Ini bukan sejenis “pulang malu, tak pulang rindu.” Ini adalah “pulang
malas, tak pulang bakal digilas.”
Mungkin, aku tidak pernah mengalami situasi yang demikian.
Namun, mungkin aku bisa memahami, mengapa seseorang enggan untuk pulang.
Sungguh aku tak mau menghakimi. Sebab, sepatu mereka
bukanlah sepatuku. Sungguh tak sopan mengatakan, durhakanya kalian yang tak mau
pulang, tanpa aku mengetahui detail sebab musababnya.
Aku mau menaikkan doa harapan untuk orang-orang yang enggan
pulang karena sebuah luka. Semoga luka itu sembuh entah bagaimana caranya. Lalu
ada sebuah pulang yang berarti rekonsiliasi. Pulang yang melegakan sekaligus
mengisi “baterai” hati.
***
Oh ya, suatu hari, cepat atau lambat, siap atau tidak siap, kita semua akan “pulang”. (*)
Baguuusss banget Mak.
ReplyDeleteAku baca sambil manggut2, ya ampuun kenapa bener semua ini mah :D
Semogaaa ketika kita "pulang" dalam kondisi terbaik, dan orang2 bisa mengikhlaskan "kepulangan" kita ya
aaamiin aamiin ya robbal alamiin
iya ya mbak, semua orang pasti ingin pulang ya
ReplyDeletetulisannya benar sekali ini
semoga kita semua bisa "pulang" dalam kondisi terbaik
Pandemi ini jadi membuat kita banyak belajar ya mbak, terutama tentang pilihan hidup juga ini. Memilih antara pulang dan tidak.
ReplyDeletePulang, kata yang bisa mengandung banyak makna ya. Pulang tuh kayak ending sebuah perjalanan gitu. Jadi kemanapun kita jalan, apapun likalikunya, semuanya akan selesai saat kita pulang
ReplyDeleteKata pulang malah jadi ngingetin ke aku ke alm.Papah. Berhubung beliau udah berpulang duluan. Jadi lebaran td berkurang personel yg disungkem.
ReplyDeletemaasyaallah ini tulisan yang bikin siapapun yang membaca merasa diingatkan bahwa pulang adalah kata yang kuat, dan yang paling penting keadaan dan kondisi kita gimana saat pulang nanti, harus dengan persiapan yang banyak dan baik sesuai yang dibutuhkan
ReplyDeleteUntuk orang-orang yang enggan pulang, mereka punya cara untuk menuntaskan kegelisahan di dalam diri. Smoga saja cara menuntaskannya benar dan mendapatkan kedamaian.
ReplyDeleteIyaa smua akan pulang ya mba. Aku juga pernah merasakan tidak mau pulang. Dulu pas sekolah sering banget nggak mau pulang, maunya main kmana2 dulu. 🙈
ReplyDeleteBtw, smoga pandemik segera berlalu yaa mba. Amiin. Supaya kita bisa pulang dengan nyaman
Amiin, semoga kita pulang dalam kondisi terbaik. Ngomongin mudik atau pulang kampung aku setuju banget kalau pulang memiliki kekuatan magis apalagi aku yang memiliki ortu sepuh yang selalu menantikan kehadiran, tak sanggup rasanya melihat air mata kedua ortu sedih saat aku tak mudik
ReplyDeleteDilematik ketika pulang. Aku merasakannya sebagai anak rantau setelah menikah juga, kak.
ReplyDeleteUang yang dikumpulkan selama setahun bisa habis dalam 1 minggu kalau di kampung halaman.
Tapi melihat wajah bahagia keluarga, itu valueable banget.
Hanya saja yaa itu..kalau sedang tidak ada "bekal" yang dibawa pulang, ini sangat menyiksa sekali.
Dan yah...langsung bisa ditebak, jadi bahan omongan dulur-dulur yang lain.
((sepupu, kalau sodara kandung pasti paham))
Aku salah satu yang gak terlalu suka pulang ahahaha :p
ReplyDeleteTapi aku kangen ortuku huhu, andai bisa bapak ibu kuajak ke sini aja :D
Entah luka atau apa tapi aku lbh nyaman sama kota tempat tinggalku sekarang. Walau kadang gak bisa dbohongin kadang pengen mengenang lingkungan masa lalu, walau kadarnya cuma 20% doank hehe
TFS mbak :D
Bener banget nih sebagian orang memang selalu rindu pulang tapi ada juga yang enggan pulang kalau pun pulang harus menerima permasalahan yang ada hehehe, malas ditanya macam-macam oleh keluarga lah atau yang lainnya.
ReplyDeleteIkut mendoakan juga buat mereka yang enggan pukang semoga lukanya segera terobati. Kalau aku termasuk yang belum bisa pulang bukan gak maju pulang :)
Saya termasuk yang pernah merasakan malas pulang waktu merantau hehehe. Tapi semalas-malasnya pasti berusaha untuk pulang. Dan benar juga semoga kelak bisa pulang dalam kondisi terbaik.
ReplyDeleteIya setuju banget sama paragraph terakhir kapan Kita akan pulang siap atau tidak siap... Mudah2an Kita bisa mempersiapkannya dengan sebaik-baiknya kepulangan Kita ya...
ReplyDeleteSaat masih ada orang tua. Keinginan pulang sangat kuat dan bikin kita bisa melakukan banyak hal. Tapi sejak ortu gak ada lagi. Keinginan pulang pun mulai luntur
ReplyDeleteSaya mau pulang tetapi tidak bisa
ReplyDeleteKondisi ekonomi juga menjadi penyebabnya
Pulang ke Makassar, kampung halaman, sama saja menjemput malu
Namun, saya percaya bahwa kelak pasti pulang
Entah pulang ke kampung halaman atau pulang ke kampung sebenarnya
aku dulu pernah merasa rindu ingin pulang mbak, karena jarak antara rumah dan tempat tinggalku di pisahkan oleh perbatasan teritori dan juga jauhnya beribu-ribu kilometer, setiap mau pulang suka ngitungin duit melulu, cukup ga ya buat pulang pergi hahhaa akhirnya alhamdulillah pulang juga seterusnya karena tugas belajar sudah selesai. penutupnya bikin merenung mbak, iya bener kita akan pulang semuanya yaa pada akhirnya.
ReplyDeleteAku belum ngerasain tinggal jauh dari ortu sih mbak, mungkin suatu hari bisa merasakan mudik yang sesungguhnya. Tapi walau nggak mudik, tetep males juga ketemu saudara-saudara di sini karena ada aja yang toxic haha.
ReplyDeleteBersyukurlah yang bisa merayakan momen pulang ke kampung halaman meskipun saat ini harus ditunda. Semenjak orang tua tiada semua, momen seperti lebaran menjadi sesuatu yang menyesakkan. Meskipun begitu, hidup harus terus berjalan....
ReplyDeleteTerima kasih bun sudah mengingatkan untuk selalu mengingat pulang, siap-siap banyak bekal ya jadinya bismillah
ReplyDeleteSuka kalimat penutupnya. Yup! Sepakat! Pada dasarnya kita sedang antri untuk pulang ...
ReplyDeleteBetul...pulang emmang maknanya sekarang luas banget ya.. bukan sekedar aktivitas biasa lawan kata berangkat.
ReplyDeleteKarena hampit semua keluarga initi aku maupun suami sama-sama ada di Jakarta, jdi keinginan untuk mudik ke keluarga besar gak terlalu menggebu. Tapi lebaran tanpa mudik tuh enggak berasa sensasinya ya
ReplyDelete