Masak apa hari ini?
Pertanyaan simpel tapi terkadang terasa mengintimidasi bagi ibuk-ibuk dengan kemampuan memasak ala-kadar seperti saya. Untuk membantu ibuk-ibuk memecahkan misteri harian ini, kalimat “masak apa hari ini” sampai dipakai sebuah brand penyedap rasa untuk nama website resep masakan. Internet memang sumber resep masakan yang melimpah ruah.
Meski demikian, tetap saja, terkadang mati gaya atau lebih
tepatnya bosan. Soalnya jenis sayur di warung atau tukang keliling kadang
terasa ILIL (itu lagi-itu lagi). Saat bosan melanda, pertanyaan “masak apa hari
ini” bisa sehoror “kapan nikah” atau “sudah isi?” ^-^
Padahal yang disebut ILIL itu sesungguhnya sudah beraneka
lho. Meskipun hanya di warung atau tukang jualan keliling, kan nggak mungkin
hanya satu atau dua macam jenis sayur.
Sebutlah sayuran mainstream seperti kol, bunga kol, sawi
hijau, sawi putih, kangkung, daun singkong, wortel, bayam, buncis, kacang
panjang, brokoli..... Itu saja sudah 11 macem.
Belum lagi kalau pergi ke pasar atau ke supermarket, bisa
lebih panjang lagi daftar jenis sayurannya. Tapi kan memang tidak semua orang
bisa setiap hari ke pasar atau supermarket. Terlebih dalam situasi pandemi seperti
sekarang ini.
Nah, jadi terasa berguna banget kalau punya kemampuan
meramban. Dijamin, jenis sayuran tidak akan ILIL lagi. Dengan pengetahuan dan
kemampuan meramban, kita akan melihat jika alam menyediakan begitu banyak
dedaunan untuk bahan makanan kita.
Contohnya ini nih :
![]() |
sirih cina, foto pribadi |
Daun sirih cina atau peperomia. Nama lokalnya beraneka, kalau di kampung saya biasa disebut kenci-kencian atau klethi-klethian. Dia mudah tumbuh di mana saja, termasuk di halaman-halaman rumah sehingga sering kita masukkan dalam daftar rumput yang perlu dicabut. Saya belum lama tahu kalau tumbuhan ini bisa dimakan (edible). Tempo hari saya mencoba menumisnya bersama kacang panjang dan juga mencampurnya dengan mie instant. Buat lidah saya sih enak.....
Hmmmh, tahu gitu dari dulu bisa dong ini saya ramban.
Oh ya, mungkin
ada yang merasa belum familiar dengan kata meramban?
Berikut pengertian meramban dari Kamus Besar Bahasa
Indonesia :
Sesungguhnya, saya tidak asing dengan kata meramban, atau saya lebih dulu mengenalnya sebagai ngramban. Saya lahir dan besar di kampung. Sejak kecil, saya sudah mengenal kata ngramban bagi aktifitas memetik sayur-sayuran untuk dimakan. Pengumpulan daun untuk makanan ternak, tidak biasa menggunakan istilah ngramban tapi ngarit.
Oh ya, saya orang Jawa yang lahir dan tumbuh di Jawa. Jadi,
saya pikir ngramban itu Bahasa Jawa. Maka itu, saya agak surprise ketika tahu
bahwa kata ramban (meramban) itu ada dalam KBBI. Ini memang kosakata Bahasa
Indonesia yang diserap dari Bahasa Jawa atau sebaliknya? Lalu, selain Jawa,
adakah suku lain yang menggunakan kata ngramban/meramban untuk aktifitas serupa?
Bagi yang membaca ini dan tahu jawabannya, tolong berbagi di kolom komentar
yaa...
Minggu lalu, saya ikut “Kelas Meramban” yang diinisiasi oleh @vegetable.gardening. Hoho, dasar saya jarang “main instagram”, jadi baru tahu sama akun ini. Kelas dipandu oleh Mbak Dyah Kartikasari (@dyahks), alumni Institut Pertanian Bogor yang adalah seorang pegiat meramban.
Berdasarkan jadwal, kelas berlangsung dari 17 -23
Januari 2021. Namun ternyata kelasnya masih aktif hingga saya menulis ini (27
Januari 2021). Bahkan ada peserta yang request supaya kelas seterusnya aktif
sehingga sesama anggota bisa saling share pengetahuan dan pengalaman.
Meramban adalah bagian dari pengalaman masa kecil saya.
Selain meramban dedaunan yang lazim seperti daun singkong atau bayam, saya juga
pernah meramban tumbuhan liar di kebun atau sawah. Namun saya sudah lama pergi
jauh dari rumah asal. Tinggal berpindah dari kompleks ke kompleks di pinggiran
kota membuat saya tidak lagi akrab dengan aktifitas meramban.
Pengalaman meramban terakhir kali adalah daun sirih cina
yang memang tumbuh di halaman tempat tinggal. Bagaimanapun, ada rasa segan jika
meramban di-lahan-entah-milik-siapa atau di pinggir jalan, juga telanjur dimanjakan warung sayur atau
tukang jualan keliling. Selain itu, pengetahuan meramban saya terbatas. Maka
itu, langsung tertarik ketika ada info kelas meramban.
Benar saja....
Mata seolah langsung dibukakan. Banyak sekali jenis-jenis
tanaman dan tumbuhan yang saya baru tahu kalau bisa diramban. Ketemu dengan sayuran yang di masa kecil pernah saya ramban. Ini di antaranya :
![]() |
Tempuh Wiyang, foto dari kelas WAG |
![]() |
Bunga Kupu-Kupu, foto dari kelas WAG |
![]() |
Daun kupu-kupu, foto dari kelas WAG |
![]() |
Daun sendok, foto dari kelas WAG |
Juga jadi mengenal perbedaan tanaman yang mirip atau dianggap sama. Mungkin kalau ketemu langsung masih sukar juga sih membedakan. Tapi setidaknya sudah tahu teorinya. Seperti tanaman ini nih :
![]() |
foto dari kelas WAG |
Beberapa jenis bunga juga edible :
![]() |
Begonia, foto dari kelas WAG |
![]() |
Bunga soka, foto dari kelas WAG |
Dan masih banyaaaaaaaak lagi. Bersyukur sebelumnya baru mencopot beberapa aplikasi jadi memori gawai tidak berteriak-teriak minta dilegakan. Bersyukur juga sebagian besar materi akan dikompilasi dalam bentuk e-book. Sebelumnya, saya sudah bingung untuk menyusun dokumentasi semua pengetahuan baru itu.
***
Berburu dan meramu. Itu dua kata kunci yang saya ingat dari jaman prasejarah. Meramban termasuk dalam berburu, namun lebih spesifik untuk berburu bahan pangan nabati. Dengan demikian, meramban adalah proses menyediakan bahan pangan yang sudah sangat tua.
Hal ini dibuktikan dari berbagai penemuan arkelogis yang menggambarkan kehidupan manusia pada masa lalu. Salah satunya adalah lukisan pada dinding gua batu di Leang-leang, Maros, Sulawesi Selatan (duuuh, nggak terlalu jauh nih dari rumah, semoga ada kesempatan untuk ke sana).
Jauh sebelum berkembangnya budidaya pertanian, manusia telah lebih dulu meramban untuk mendapatkan makanan. Bahkan, bahan-bahan makanan yang saat ini kita kenal sebagai hasil budidaya juga diawali dari meramban. Tanaman-tanaman yang ternyata bisa dimakan, kemudian dibudidayakan. Sayur-sayuran yang kita lihat sehari-hari itu sudah mengalami perjalanan panjang untuk menjadi bentuk dan penampakan yang seperti sekarang.
Bagi sebagaian orang, pengetahuan seperti ini mungkin “tidak penting.” Bahkan mungkin akan dianggap "aneh-aneh" dan "mengambil risiko" terkait keamanan bagi kesehatan. Ngapain susah-susah meramban. Toh, budidaya pertanian telah menghasilan begitu banyak sayuran yang bisa kita nikmati setiap hari. Sayuran yang bisa dengan mudah kita dapatkan. Tinggal pilih harga yang sesuai dengan ketersediaan anggaran.
Namun, saya mengamini pendapat mbak @dyahks. Bahwa
pengetahuan meramban akan sangat berguna ketika kondisi sedang tidak ideal
(jangankan perang atau bencana alam yang meluluhlantakkan segalanya, pandemi covid
saja sudah mengurangi keleluasaan berbelanja bahan makanan).
Pengetahuan meramban juga sangat berguna untuk variasi bahan
pangan. Itu tadi yang saya tulis di awal, meramban membuat kita tidak lagi
merasa jenis sayuran itu ILIL. Secara ekonomi, juga bisa menjadi pos
penghematan, mengurangi belanja sayuran karena meramban bisa berarti mendapatkan sayuran secara gratis. ^-^
Kelas meramban juga menambah wawasan budaya kuliner nusantara bahkan dunia. Tanaman yang lazim dimasak di daerah A, bisa jadi dianggap tanaman liar di daerah lain. Di sini laku dijual, di sana sama sekali tak punya nilai komersial.
Tips sederhana untuk meramban :
1. Perluas pengetahuan tentang tanaman yang bisa dimakan atau tidak.
2. Hindari meramban tumbuhan di daerah yang terpapar polusi.
3. Coba dalam porsi yang sedikit untuk mengetes rasa dan kemungkinan alergi.
Dengan sekian manfaat, tertarik juga dengan pengetahuan meramban?
---------------------------------------------------
*Materi dan foto diambil dari Kulwap Kelas Meramban*
jadi inget apa yang pernah disampaikan oleh bapak saya dulu.. kalo bisa punya rumah tuh ada halaman yang luas, jadi bisa menanam berbagai macam tanaman, salah satunya tanaman tanaman yang bisa kita makan hasil menanam sendiri hihi.. baca tulisan mba ini jadi inget daun sirih cina deh, seingat aku dulu waktu aku kecil ibu aku sering makan itu buat di lalap ala lotek deh hihi tapi sekarang sulit ya ditemui itu daun sirih cina
ReplyDeletewah..jd dari kecil malah sudah tahu tentanh sirih cina ini ya mbak. aku malah baru tahu.
Deleteimpian banget bisa punya halaman yang cukup untuk bercocok tanam lalu bisa masak sayur mayur hasil panen sendiri, sekarang di rumah baru nanem beberapa aja itupun belum cukup banyak karena halaman masih seadanya heheh
ReplyDeletepas di medan, halaman sangat tidak memungkinkan untuk bertanam. Sekarang sedikit memungkinkan jd mencoba menanam sawi, kangkung, dan bbrp tanaman lainnya. Juga belum.banyak sih hejeje
DeleteAku malah baru tau setelah baca ini klo bbrp tanaman yang di sebut di atas bisa dimakan. Aku taunya cuma yang ada di pasar aja tuh untuk sayur-sayuran. Dan sering mati gaya mau nyauur apaan lagi.
ReplyDeleteilil memang bikin mati gaya ya mbak. inilah ironi krn ide dari internet itu buanyaaak banget. tapi aku kok ya msh sering terseranh mati gaya :)
DeleteWah, kalo meramban saya belum pernah memetik daun-daun dari tanaman yang gak saya paham betul bisa diolah menjadi sayur. Contoh kaya keladi, biasanya keladinya yang dikonsumsi bukan daunnya.
ReplyDeleteKalau dirumah ortuku halamannya lumayan luas mbak jadi kalau sayur2an kami sering meramban sendiri, seperti kangkung, daun ubi, jantung pisang, keladi, daun katuk, dll. Alhamdulilah ya kalau punya tanaman sendiri dan organik tanpa ada tambahan pupuk kimia juga.
ReplyDeleteAKU punya sih beberapa yg neramban tapi gak berupa tanaman bunga sih, jadi yg kutanam sayuran gitu. Kalo ada bunga lucu jg
ReplyDeletemeramban, atau ngramban dan saya akrab denagn istilah ramban. Saat masih di rumah, Simbok (ibu saya), hampir tiap hari melakukan aktifitas ini utk memenuhi kebutuhan menu makan sehari-hari. Rasanya hampir tiap hari ada menu "baru" dari hasil ramban. Selain ramban dari pekarangan sendiri, biasanya juga dari tetangga, jadi semacam saling silang (tuler-tukeran) konten tanaman yg bisa di ramban.
ReplyDeleteDi kebun dan di halaman depan rumah saya sering menemukan Sirih Cina dan baru sekarang saya tahu kalau tanaman tersebut bisa dimakan. Selama ini malah dibuang saja, saya samakan dengan rumput,duh!
ReplyDeleteNanti mau nyobain juga, deh, dimasak pakai mie atau ditumis.
Baru tau istilah meramban pas baca ini. Dan baru tau juga nama- nama tanaman di atas. Ternyata bisa dimakan juga ya
ReplyDeleteKalau bicara soal tanaman, aku jadi ingat sama almh Mamaku deh. Beliau suka banget nanam-nanam sayuran dll. Beruntung dulu halaman rumah kami luas jadi bisa leluasa nanam apa aja. Seneng juga banyak pohon di rumah Mama dulu. Btw aku baru ngeh sama istilah meramban ini, Lisdha. Tapi seru ya bisa langsung olah dari halaman atau kebun sendiri :).
ReplyDeleteAku tau istilah ngeramban sejak nikah mbk xixi, kebetulan ibu mertua tinggalnya di area bawah gunung. Udah pasti agak pelosok tapi bener bener menyenangkan. Udah pasti kegiatan sehari hari ngeramban hehe. Cari sayur buat kulupan buat makan ataupun buat sapi.
ReplyDeleteIni kebiasaan kami saat ke desa di saat lahan masih sangat luas dan bisa ditanami macam-macam.
ReplyDeleteIbuku sering masak hasil ramban juga... Tapi kadang ramban ini juga dilakukan untuk mendapatkan daun katuk yang sudah super langka. Beneran bisa bermanfaat saat menyusui loo...
Wah.. ilmu baru banget buat aku mba.. infonya menarik. Nenek ku di kampung juga bercocok tanam cuma daun katuk gak ada. Dan dulu jaman menyusui aku berburu daun katuk susahnya Masya Allah..
ReplyDeletewah aku belum pernah meramban, jadi pengen coba kalo nanti punya rumah dengan halaman luas :D
ReplyDeleteYa ampun bunga Soka itu dulu sering aku petik utk dihisap2 sarinyaaa hahahah. Trus kalo daun kupu2 dijadiin mainan , tempel di lengan, dan kami oura2 terbang kayak kupu2 hihihi.. seru deh. Udh lama ga liat tanaman ini.
ReplyDeleteBaru tau juga arti dr meramban mba. Kalo ini aku sering lakuin pas msh di Aceh. Krn kebun belakang luas dan banyak tanaman plus sayuran. Aku kangen sih masa2 dulu :) . Di mana mau makan buah ato sayur aja, tinggal metik.