Pulih, Perjalanan Bangkit dari Masalah Kesehatan Mental

 



........Pagi ini, menghadapi anak perempuanku yang bangun tidur lalu rewel membuatku naik pitam untuk kesekian kalinya. Anak kelas dua SD ini mengujiku lagi. Aku pun gagal lagi. Ibu macam apa aku ini? Aku menyetir mobil dengan amarah. Aku membawa kedua anakku melaju kencang dengan mobil manual yang mulai akrab kupakai beberapa bulan terakhir.

“Bunda tabrakin mobilnya ke mobil depan situ,” teriakku lantang di dalam mobil sambil menunjuk  mobil di depanku, tanpa mengganti persneling yang membuat deru mobil menggeram, menyeramkan.

(Pulih, halaman 1-2)


Bagaimana perasaan ketika membaca paragraf di atas? Ibu yang selalu diglorifikasi sebagai sosok pelindung dan penyayang, juga mau “melakukan APA PUN” demi anak justru tampak sebagai monster yang membahayakan nyawa anak-anaknya.

Tanpa melihat situasi di belakang layar, orang akan dengan mudah berkomentar : ibu sadis, ibu kejam, ibu bejat, ibu ahlakless, dan sebangsanya.  

Apakah dia memang ibu yang benar-benar kejam hingga ke tulang? Atau ada waktu-waktu di mana dia menyesali tindakannya? Bahwa sebenarnya ia sungguh-sungguh ingin menjadi ibu yang "normal." Tapi dalam dirinya ada sesuatu -entah apa- yang selalu menjadi batu penghalang. 

Membaca halaman awal buku Pulih, saya langsung merasa terhubung. Dalam jiwa keperempuanan dan keibuan saya langsung terbetik rasa empati. Saya memang belum (semoga tidak) pernah mengalami keadaan hingga titik sekritis itu. Tapi mungkin saya bisa mengerti, bagaimana keruwetan jiwa bisa membuat a mother become a monster.   

Ya, jiwa yang yang ruwet memang berpotensi membuat banyak hal menjadi ribet. Bersyukur jika seseorang menyadari keruwetan dalam dirinya lalu berusaha mencari pertolongan lalu pulih sebelum........ terlambat.

Saya tahu tentang buku antologi "Pulih" dari info pre-order di status facebook Mbak Rahayu Pawitri beberapa waktu lalu. Mbak Wit, salah satu kontributor buku ini, adalah senior saya semasa putih-abu di sekolah hijau, Stemba Tema. Pertama membaca status tersebut, saya hanya meninggalkan komentar bahwa tema buku itu sangat menarik. Baru beberapa waktu kemudian saya memutuskan untuk ikut memesan.

Sub judul dari buku pulih adalah “Perjalanan Bangkit dari Masalah Kesehatan Kesehatan Mental.” Ini merupakan buku antologi dari Ibu-ibu Doyan Nulis (IIDN). Saya sudah lama tergabung di grup FB IIDN. Saya juga pernah turut dalam dua proyek buku antologi yang diinisiasi IIDN.  

Lewat beberapa minggu, buku itu sampai di alamat saya. Ada 25 kisah yang bisa saya baca satu per satu. Kisah-kisah yang menjadi penguat dan pengingat. Bahwa saya tidak sendirian mengalami keruwetan. Di buku ini, saya mendapati berbagai penyebab luka hati, seperti kesalahan cara asuh orangtua, kemarahan sebagai anak angkat, perceraian, kehilangan, dan lain-lain. 

Pemicu bisa berbeda-beda, tapi dampaknya sama. Yakni luka yang sukar disembuhkan. Bersyukur, mereka tidak terus berkubang dalam luka-luka tersebut. Mereka berbagi cerita dalam upaya mencapai kesembuhan dan pemulihan jiwa.

Layanan Purna Jual

Buku ini tidak hanya berhenti di tahap berbagi cerita. Namun, IIDN sebagai komunitas penggagas buku ini bergerak lebih intens untuk merangkul pembaca. Menebarkan semangat pada siapapun pembaca untuk juga pulih dari situasi ruwetnya.  

Untuk itu, sebagai layanan purna jual (after sales service) bagi pemesan buku adalah akses untuk bergabung dalam "bincang pulih" melalui live FB dan zoom. Juga akses untuk turut dalam grand launching buku Pilih via zoom pada Sabtu, 17 Oktober lalu. Lebih dari 100 peserta "hadir" dan mendengarkan paparan tiga narasumber, yakni Ketua IIDN --Mbak Widyanti Yuliandari, founder Ruang Pulih --Mbak Intan Maria Halim, juga dokter spesialis kesehatan jiwa --dr Maria Rini Indriarti.  Banyak sekali pertanyaan dari para peserta terkait kesehatan mental. Sayang sekali, tak semua terjawab karena durasi zoom yang terbatas.

Mbak Widya, selaku ketua IIDN menyinggung tentang menulis sebagai terapi. Mbak Widya melihat banyak tulisan ibu-ibu di media sosial yang mengandung luka. Tanpa sadar tulisan itu membagikan sampah emosi negatif yang belum terselesaikan. Sebagai sebuah komunitas, IIDN mengambil peran untuk turut dalam proses penyelesaian masalah. “Komunitas ibarat sebuah rumah. Kita bisa merawat siapapun yang berada di dalamnya,” kata Mbak Widya.

Sedangkan dr Maria menekankan pentingnya kesehatan mental bagi para perempuan. Bukan bermaksud seksis, kesehatan mental penting bagi semua jenis kelamin. Namun, faktanya, dengan berbagai peran sekaligus stigma, perempuan lebih rentan mengalami depresi. Keikhlasan berbagi dan membuka diri menjadi kunci dari pemulihan.

Mbak Intan, founder Ruang Pulih sedikit berbagi tentang terapi pemulihan yang dilakukan selama proses penulisan antologi ini. Salah satunya adalah art-therapy, yakni terapi emosi menggunakan medium mewarnai “Mandala Cinta.” Wiuuu, selama ini saya nggak pernah benar-benar mewarnai. Padahal kan sering menemani Elo mewarnai. Ini pewarnaan pertama saya pada gambar Mandala Cinta :

Mandala Cinta pertama saya ^-^

Ini pengetahuan baru lho buat saya. Padahal, dulu pernah dikasih buku mewarnai oleh Dyah Ayu Novitasari. Tapi bukunya lama tersimpan tanpa pernah saya warnai. Saya memang sama sekali merasa tak berbakat seni. Baru setelah ikut sesi ini, saya mengambil buku itu dan mencoba menggunakannya sebagai medium relaksasi. Belum sepenuhnya enjoy sih hahaha.

Memang berbeda dengan proses kebanyakan buku antologi lainnya. Dalam buku Pulih ini, kontributor tidak sekedar setor naskah untuk diseleksi. Tapi ada proses pendampingan penuh dalam penulisannya.  Maka, tidak semua peserta yang lolos di awal bisa lanjut menjadi kontributor. Bagaimanapun, pemulihan mental memang butuh waktu yang tak sama satu dengan yang lain.

Membaca buku ini berarti membaca kisah beberapa orang yang saya kenal (atau setidaknya tahu) di media sosial. Jika selama ini saya hanya mengenal mereka sebatas permukaan dari status-status yang mereka tulis, kini saya tahu sebagian kisah yang mungkin sebelumnya tidak mereka umbar, bahkan mungkin mereka sembunyikan. Bagaimanapun, kisah itu berkaitan dengan luka batin atau bahkan aib.

Bagi saya, orang-orang yang berani bercerita di buku ini adalah para pemberani. Mereka bisa dan berani bercerita. Mereka juga memaafkan masa lalu dan melangkah ke depan. Mengungkap sisi rapuh dalam kehidupan tidak selalu mudah. Jujur, itu adalah satu hal yang masih sulit untuk saya lakukan.  

Setelah membaca buku Pulih, sepertinya ada keberanian pada saya untuk turut berbagi  sisi rapuh. Sebenarnya sedikit-sedikit pernah saya ceritakan di blog ini sih. Tapi saya belum pernah bisa untuk bercerita lebih gamblang. Saya mengingat tiga situasi yang pernah membuat saya sedemikian "tidak jelas". Sekarang pun, selalu ada hari-hari telihat sangat suram. Tapi setidaknya, periode itu tak lagi berlarut-larut sehingga menjadi gelap gulita.

Saya tidak melihat pulih sebagai satu moment untuk bebas dari semua persoalan. Pulih bukan seperti moment pernikahan Cinderella yang ditutup dengan pernyataan “happily ever after.” Saya lebih suka membayangkan Cinderella yang manusiawi, yang masih harus berjuang untuk adaptasi dengan kehidupan istana, bahkan mungkin juga dengan penyembuhan luka-luka masa lalunya.  Saya melihat pulih sebagai kekuatan  untuk untuk kembali menjalani kompleksitas perjalanan ke depan. (*)


-----------------------------------------

Kabar baik, buku Pulih akan kembali naik cetak. Bagi teman-teman yang tertarik memiliki buku ini, bisa ikut dalam pre-order yang dibuka hingga 5 November 2020 dengan kontak ke  WA 081312658662 a.n Rahayu Pawitri.  Price IDR 95 K di luar ongkos kirim.(*)

-----------------------------------------

Prev : Cogelo Ergo Sum

Next : Drama Menabung Emas

30 komentar untuk "Pulih, Perjalanan Bangkit dari Masalah Kesehatan Mental"

  1. Mbak Lisdha, say suka kalimat kesimpulannya "Saya lebih suka membayangkan Cinderella yang manusiawi, yang masih harus berjuang untuk adaptasi dengan kehidupan istana, bahkan mungkin juga dengan penyembuhan luka-luka masa lalunya"
    Kesehatan mental enggak bisa dibaikan, setuju saya...Senang komunitas perempuan seperti IIDN menjembatani lewat antologi Pulih ini. Dan beneran, yang berkisah pasti sosok-sosok pemberani.
    Jadi penasaran baca saya!

    BalasHapus
    Balasan
    1. haha kita seruangan di zoom waktu itu kan mbak dian? salah satu contoh cinderella abad 20 - Lady D-, itu salah satu yg bikin saya mikir. tragis skale kisah hidupnya :(

      Hapus
  2. Saya paham banget rasa ini hiks hiks... nangis mbrebes mili aku bayangin rasa yang harus dialami sekian banyak wanita ...

    Yaa Allah.. doaku untuk para ibu di seluruh dunia agar mereka kuat dan sehat secara jasmani dan rohani aaamiiin ...

    BalasHapus
  3. Saya sudah beli buku ini, Mbak, tapi nggak bisa baca lama. Biasanya satu judul saya kasih jeda. Saya berpikir beberapa kondisi relate dengan kondisi saya. Dari buku ini saya belajar bahwa saya tidak sendiri dan harus menemukan jalan Pulih juga.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Perasaan "tidak sendiri" itu memang penting ya mbak ais. Dalam beberapa hal kita perlu "golek bolo" supaya lebih bersemangat untuk berproses.

      Hapus
  4. Astagfirullah ternyata Mbak Lisdha ini adik kelasnya Mbak Wiwit to? Wkwkkk kok dunia ini sempit sekali sih! Eh bukan, maksudku bukan berarti kita sealmamater. Cuma aku itu merasa udah deket banget sama Mbak Wiwit, jadi lucu aja rasanya kalau ketemu temennya Mbak Wiwit.
    Aku jadi pengen ikut PO aslinya, tapi nyari yg kotanya agak deketan sama kotaku, ada ngak ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. hailoo mbak rani. sebelum baca kalimat lanjutan, tak pikir sealmamater juga hehehe. Saya malah ndak tahu buku dikirim dari mana haha. Tinggal di Makassar mau tak mau membuat harus legowo dengan ongkir hiks hiks hiks. Mbak Rani tinggal di manakah?

      Hapus
  5. mudah-mudahan ada keberanian untuk berbagi situasi-situasi suram yang pernah saya alami. Bukan hanya berhenti pada cerita “merapuh” tapi juga bagaimana perjalanan untuk bangkit lagi setiap kali terjatuh. Jatuh bangun yang terbilang sering :D.
    Shiaaapp, Mba. Semoga kita semua senantiasa diberi kekuatan oleh Tuhan untuk jadi insan yg lebih baik lagi yaaa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Amiin mbak Nurul. Doa untuk semua kita yaa :)

      Hapus
  6. Memang benar, kebanyakan ibu, membuat dirinya tampak sempurna sehingga mengintimidasi ibu yang merasa dirinya tak sempurna akibat mental illness ini. Saya paham rasanya. Saat ingin membuka diri tentang ketidaksempurnaannya, atau pemikirannya yang sdang dalau, beberapa orang akan langsung memberi reaksi doa semoga kembali ke jalan benar atau menjudge sebagai ibu yang tidak kompeten

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bersyukurnya, tahun-tahun belakangan lebih ada concern ke masalah kesehatan mental ya Mbak :)

      Hapus
  7. Meski tdk semua kita sanggup mengakuinya...
    Yakin seyakin2nya mmg banyak perempuan yg mengalami luka dg kadar dan tingkat kerumitan yg beragam.
    Sepakat sm mb wydia klo menuliskannya bs jd jalan teraphy...
    Semoga bs bnagkit dan pulih semua perempuan dr luka lama

    BalasHapus
    Balasan
    1. memang tidak semua orang bisa mengakui kerapuhan. Di sisi lain, ada juga yang mengumbar sisi ini

      Hapus
  8. Pulih ini semacam mengajak kita semua untuk mulai peduli dengan kesehatan mental. Hal ini penting banget. Karena selama ini mindset di masyarakat adalah sehat itu fisik. Ketika bicara kesehatan mental, disamakan dengan gila. Padahal gak selalu seperti itu

    BalasHapus
    Balasan
    1. bener mbak. saya sendiri baru bisa punya perspektif yang lain tentang kesehatan mental setelah mengalami sendiri.

      Hapus
  9. Bahwa sesungguhnya, ada sisi rapuh dari seorang wanita. Ada yang pandai menyembunyikan, ada yang lebih lega jika diceritakan, namun ada juga yang diumbar untuk menarik perhatian. Bagaimanapun, mental yang sehat adalah goals bagi setiap ibu yang mempunyai banyak rutinitas yang membosankan..(mungkin?)

    BalasHapus
    Balasan
    1. bener ya mbak,kesehatan mental tuh harus jd goal juga. sekarang masih kalah tren dibandingkan body goal atau beauty goal hahaha

      Hapus
  10. Baru baca penggalan ceritanya saja sudah pengen nangis, salut untuk para perempuan yang telah berbagi luka dan cerita di buku ini, tidak mudah, tapi bisa jadi bagian dari proses pulih ya...

    BalasHapus
    Balasan
    1. saya juga salut atas keberanian mereka berbagi cerita

      Hapus
  11. Ya Allah, aku pernah berada di posisi ibu dalam cerit pembuka ini, Mbak. Hanya beda tempatnya saja. Tapi emosiku bener-bener sudah diubun-ubun. Rasanya kalau ga ngebanting sesuatu sampai hancur aku belum puas. Kalau saja suara azan tidak terdengar saat itu, aku mungkin sudah khilaf. Alhamdulillah, Allah masih sayang keluargaku.

    Bagus sekali bukunya, ya. Aku penasaran ini baca.

    BalasHapus
    Balasan
    1. puji syukur mbak nggak sampai khilaf. Lebih bersyukur lagi karena bisa menjadikan itu sebagai pelajaran ya mbak :)

      Hapus
  12. Ahh benar ya mbak, buku Pulih ini membantu sekali buat menjaga kesehatan mental

    BalasHapus
    Balasan
    1. at least, ga merasa sendirian dan ikut merasa kuat

      Hapus
  13. Pulih memang membantu kita meniulik kembali, sebenarnya adakah cinta yang ada untuk diri kita sendiri?
    Kita sibuk begini dan begitu terhadap orang lain...ternyata masalah hanya satu, kita sendiri tidak menyayangi diri sendiri.
    Aku suka sekali ikut webinar Pulih kemarin. Sangat memberikan kesan yang mendalam.

    BalasHapus
    Balasan
    1. salah satu masalah menjadi istri dan ibu memang "lupa" pada diri sendiri. lebih tepatnya mungkin "melupakan/tidak menjadikan diri sebagai prioritas".. padahal itu penting

      Hapus
  14. hmmm...jd teringat sosok ibu yg tak sempurna. yg pernah jd monster dan membuat saya sempat ketakutan menjadi seorang ibu. tapi kita kudu waras, kan. gimanapun caranya. lewat baca pulih, rasanya bs temukan caranya

    BalasHapus
    Balasan
    1. seorang monster pasti seorang bermasalah..itu memang poinnya. untuk pensiun jd monster atau tidak ketularan jadi monster harus ada pemulihan

      Hapus
  15. Aku langsung inget baru2 ini di feed FB ku ada ttg ibu depresi sepertinya org timur tengah, yg melempar 2 anaknya ke sungai dr atas jembatan :(. Ya Allah sediiih. Ga tau apa yg sdg merasuki pikiran si ibu, tp penyebabnya depresi Krn dicerai suami. Kita memang ga tau udh sejauh apa tekanan yg dihadapi si ibu, sampe dia tega melempar 2 anak kecil nya begitu :(. Aku ga akan judge, Krn aku ga prnh ada di posisinya. Tapi orang2 seperti ini ga seharusnya kita hakimi :(.

    Menarik juga ya bukunya.. aku td baca paragraf pertama yg dia mau menabrakkan mobil lgs merinding :(.

    BalasHapus
    Balasan
    1. ketika melakukan itu pasti pikiran sedang tidak normal. Ingat anak smp yang membunuh tetangganya dengan memasukkan ke bak mandi kan mbak? Ternyata kisah di belakangnya piluuuu sekali. Tindakannya tetap salah. Sungguh sedih karena dia....terlambat mendapat penanganan

      Hapus

Terima kasih atas kunjungannya. Mohon tidak meninggalkan link hidup dalam komentar ya :)