Hari ketika aku menulis ini, November masih muda. Bulannya memang masih muda, tetapi bulan November menjadi penunjuk jika tahun sudah tua. Yaaah, 2024 sudah akan segera berakhir.
Time flies so fast. Ini yang sedang aku rasakan (lain kali, pasti ada moment ketika waktu terasa lambaaaaat). Oktober kemarin, tepat setahun suamiku, BJ, pindah dari Makassar ke Kediri. Sementara buatku dan anak-anak yang menyusul dua bulan kemudian, baru terhitung hampir setahun.
Dulu, aku menulis sepuluh bulan di Makassar (ketika baru pindah dari Medan). Untuk kelanjutan catatan perjalanan keluarga, harus juga dong ditulis cerita tahun pertama di Kediri.
Awal tinggal di Makassar, aku cukup rajin menulis pengalaman di sana. Eh, nggak rajin-rajin amat sih. Tapi terhitung lebih rajin dibandingkan sekarang yang lebih banyak hiatus ngeblog (huhuhuhu).
Mungkin karena saat pindah ke Makassar, banyak hal yang terlihat “baru”, sehingga menimbulkan daya dorong yang kuat untuk menulis. Bukan hanya baru dalam hal alam dan adat budaya, tetapi juga kenormalan baru sehubungan dengan Covid 19. Iyaak, kami pindah dari Sumut ke Sulsel di tahun 2020. Tahun haru biru pandemi menyerang bumi.
***
Jujur, aku merasakan perbedaan yang cukup kontras dibandingkan tahun pertama di Makassar, juga tahun pertama di Medan. Mungkin karena pindahnya ke Jawa Timur jadi ada “rasa” pulang kampung. Memang sih, kampungku dan kampung suami di Jawa Tengah. Yah, setidaknya, Jatim dan Jateng masih satu pulau Jawa.
Jarak Kediri ke Klaten (kampung suami) dan Temanggung (kampungku) memang masih cukup jauh. Namun, jika dibandingkan dengan sebelumnya, jarak yang sekarang jelas lebih dekat. Dulu harus naik pesawat atau kapal, sedangkan sekarang bisa dijangkau dengan perjalanan darat. Apalagi sudah ada jalur tol trans Jawa yang menyingkat waktu perjalanan. Kami jadi lebih sering pulkam.
Saat tinggal di Sumatera dan Sulawesi, kami biasa pulang setahun sekali, yakni saat libur Natal dan Tahun Baru. Pernah sih pulang setahun dua kali, tapi itu bisa dihitung dengan jari. Tentu saja, penyebabnya tak lain tak bukan adalah karena biaya perjalanan yang cukup mehong (untuk ukuran kami😀). Belum lagi cuti kerja dan libur sekolah yang terbatas. Nggak worth it kan kalau sudah biaya jalannya mahal, eh di kampung cuma sehari-dua hari.
Berbeda dengan sekarang. Selain biaya perjalanan lebih hemat, dari sisi waktu juga memungkinkan untuk pulang singkat. Bersyukur jadi bisa lebih sering pulang, seakan menebus tahun-tahun sebelumnya yang jarang balik kandang. Lebih bersyukur lagi adalah masih ada rumah untuk pulang.
Rumah yang tidak hanya berwujud fisik bangunan. Namun, juga rumah yang berarti cinta orangtua (ibu dan mertua) dan saudara-saudara. Itu kan esensi rumah?
***
Setiap pindah, biasanya aku langsung semangat untuk eksplor daerah. Jalan ke sana-kemari dengan motto “mumpung sedang tinggal di sini.” Namanya juga tempat baru, jalan tipis-tipis pun memberikan pengalaman baru. Apalagi ketika ditambah adat dan budaya yang berbeda.
Kami memang pindah ke Sulsel saat pandemi. Bulan-bulan pertama, ngendon di rumah saja. Namun, begitu akses agak dilonggarkan, kami jalan kemana-mana. Saat itu anak-anak pembelajaran jarak jauh, lalu sempat disambung home-schooling. Ya sudah deh, leluasa sekali untuk kesana-kemari.
Ya memang seputar Sulsel saja. Kami keburu pindah sebelum merealisasikan perjalanan ke provinsi sebelah-sebelah. Namun, rasanya itu sudah cukup sih.
Beda cerita saat pindah ke Kediri. Mungkin, karena masih satu pulau dengan kampung halaman. Jadi, tidak terlalu ada perasaan “mumpung tinggal di sini.” Anak-anak juga sudah sibuk sekolah dan agenda lainnya. Alhasil, kami bertiga belum banyak eksplore Jatim. Kalau BJ sih beda cerita yaaa…kerjaan memang memaksa dia untuk kesana-kemari.
Jalan-jalan keluar kota (di luar pulkam), bisa dihitung dengan jari. Paling-paling jalan seputar Kediri, seperti ke Gunung Kelud atau pantai di Tulung Agung. Memang kami sempat ke Bali (duh, ini belum aku tuliskan). Tapi sesungguhnya itu agenda lama sejak di Makassar yang tertunda gara-gara pindah. Sekian kabupaten-kota di Jatim, masih sedikit yang kami kunjungi dalam bingkai jalan-jalan keluarga. Padahal, Jatim gitu lhoooo…demikian banyak tempat indah untuk dikunjungi. Sepuluh bulan di sini, kami ke Malang saja belum lho… Padahal Kediri - Malang itu dekaaaat.
Herannya, aku merasa baik-baik saja dengan situasi ini. Mungkin juga karena faktor usia yaaa..makin merasa nyaman di rumah saja. Malah BJ yang sering protes karena dia merasa istri dan anak-anaknya susah diajak jalan-jalan hahaha
***
Soal budaya, Jateng dan Jatim memang ada perbedaan. Namun, masih lebih banyak persamaan jika dibandingkan Jateng dengan Jabar kan? Tinggal di Kediri, aku sama sekali tidak mengalami kendala bahasa. Ya iyalah, masih sama-sama berbahasa Jawa. Beda dengan saat tinggal di Bandung. Duuuh, lidahku belibet setiap harus melafal eu. Pasteur, Ciateul, Ciumbuleuit, Leuwi Panjang, Cileunyi...Tuuh, kaaan belibet lidah ini 😀
Apalagi dibandingkan dengan saat tinggal di Medan dan Makassar. Sejujurnya, aku agak menyesal karena dulu di Siantar/Medan aku sama sekali tak ada niat untuk belajar Bahasa Batak. Jadi, cuma tahu beberapa kosakata saja. Tapi, kalau logat dan kosakata Medan sih aku bisa agak mengikuti. Beda lagi saat di Makassar, jangankan bahasa daerahnya, logat Bahasa Indonesia ala Makassar saja aku kesulitan. Gara-gara partikel mi-ji-pi-ki khas Sulawesi itu lhooo. Sampai pindah dari sana, aku masih tetap belum bisa menerapkan mi-ji-pi-ki secara otomatis. Bahkan, pakai mikir pun masih suka salah 😁.
Meski demikian, bukan berarti sama sekali tak ada gegar bahasa/istilah selama aku tinggal di Kediri. Ada saja satu-dua kata yang mungkin khas Kediri (Jawa Timur). Atau mungkin, aku saja yang baru tahu. Seperti nama garbis yang aku tahu pertama kali dari gerobak es di depan kompleks.
Yok opo seeeh es garbis iku?
Sekian waktu hanya bertanya-tanya dalam hati (tanpa ada effort untuk bertanya langsung ke tetangga atau gugel😅). Pertanyaan itu baru terjawab saat bulan Ramadhan, ketika banyak orang berjualan makanan dan minuman dan buah-buahn untuk buka puasa di pinggir jalan. Oalaaaah, garbis itu BLEWAH toooo... Finally question closed.😴
***
Satu hal yang sangat aku syukuri dari sepuluh bulan ini adalah si sulung Ale yang mulai betah. Meski sesekali masih terlontar kerinduan pada kehidupannya di Makassar, kini anak itu mulai merasa nyaman.
Jelas….jelas aku sangat bersyukur jika mengingat bulan-bulan pertama dia di sini. Patah hatinya ikut membuatku galau. Berbagai cara kami lakukan supaya dia bisa move on dari kesedihannya. Dia juga sangat berusaha untuk bangkit dari keterpurukannya. Bersyukur, berkat dukungan dan doa banyak orang, dia bisa kembali ceria. Satu fase sulit bisa dia lalui. Aku yakin, pengalaman ini akan membuat dia lebih kuat di masa nanti. Tentang ini mau aku jadikan tulisan tersendiri.
***
Yah, hampir setahun di Kediri, tidak semua hari berjalan lancar. Tetapi, apapun itu aku tetap bersyukur. Lalu, sampai kapan kami di sini? Lagi-lagi aku tak tahu. Biar waktu yang akan menjawabnya.
Aku bahkan sama sekali belum pernah menjejak di Kediri mbak. Bersyukur ya bisa balik kampung lewat jalan darat yg biasanya lebih terjangkau. Aku kalau ke Kepri satu orang harus pegang 2 juta untuk sekali berangkat karena selain naik pesawat harus dilanjutkan naik Ferry lagi dari Batam trus naik taksi menuju daerah lubuk semut. Hehe. Berasa buat transportasi aja
BalasHapusI feel you mbaaa...biaya transportasi antar pulau di Indonesia memang mehong buat kebanyakan orang yaaa (termasuk kami hehehe). Mudah2an ada kebijakan supaya harga tiket bisa lebih murah yaa..(ngarep)
Hapuskediri sekarang rame banget dan udah banyak perkembangan, apalagi kulineran, banyak juga kulineran malam yang viral. betuul itu es garbis ya es blewah
BalasHapusApa Garbis ini bahasa sejawa-timur raya ya mak? Sungguh aku baru tau hihihi
HapusTahun berjalan dengan cepat ya tau-tau udah November aja. Oh iya mbak lama aku juga gak bw ke blognya baru skr baca ceritanya lagi ternyata di Kediri ya. Ada senangnya ya mbak bisa lebih sering mudik sekarang dibanding tingal di pulau lain. Ikut mendoakan yang terbaik di mana pun tinggalnya
BalasHapusBeberapa temanku ada yang tinggal di sana mak, melihat mereka di sana tuh seru banget. Aku pribadi belum pernah ke Kediri, semoga nanti kalau ada kesempatan bisa main ke sana sekalian berjumpa ya mbak.
BalasHapusSaya kebayang rempongnya pindahan sana-sini hihihi. Karena kakak saya ada yang begini. Tapi, kalau udah sering mungkin enggak, ya. 10 bulan memang gak berasa. Semoga terus betah di Kediri, Mbak.
BalasHapusSalah satu sisi yang menurutku menyenangkan dari berpindah-pindah kota itu kayaknya pengalaman barunya ya Mba. Aku malah baru tahu juga kalau Kediri sama Malang itu deketan. Aku pengin bgt ke Malang. Kalau ke Kediri baru sekali aktu antar anak ke Kampung Inggrisnya
BalasHapusboleh dong kapan2 foto2 sudut kota kediri..hal2 yang ikonik nya juga....
BalasHapustime flies ya dan banyak penyesuaian juga adaptasi yang dilalui selama berada di Kediri, semoga mba terus bahagia dan sehat dimanapun berada ya
BalasHapusApa kabar Mbak Lis? Semoga tetap sehat, bahagia, dan terus merindukan Sulawesi terutama Makassar. Kediri adalah salah satu daerah yang belum pernah saya datangi, masih banyak sebenarnya karena saya biasanya hanya ke kota atau tempat wisatanya saja, seperti di Yogya, hanya ke Borobudur dan malioboro saja. Atau waktu ke Jateng kemarin, saya hanya mengelilingi kampus Muhammadiyah Solo dan ke stadionnya dalam rangka Muktamar. Semoga bisa berkunjung ke Kediri juga. suatu saat nanti.
BalasHapusOh, masih ada kemungkinan untuk pindah lagi setelha di Kediri?
BalasHapusAsik sii, ka Lis.. hehehe, karena aku dulu waktu kecil pindah-pindah gitu, ngikut Bapak dinasnya dimana.
Tapi buat ibu, itu sebuah kesulitan. Huhuhu, kebayang nge-pack barang anak 4 dan pindahknya dari ujung ke ujung.
Tapi tetep terasa nikmatnya karena Allah menunjukkan bagian bumi yang lain yaa.. Anak-anak juga lebih mature, mandiri, toleran juga sama temen-temennya.
Menunggu tulisan "Bali" nyaa...
Pasti seruu...
Wkwkw aku pun dah lama gak denger kata "garbis" iya sih blewah, tapi itu bagian dari melon yang kuning/ oranye kan ya jadi bisa disebut melon? #malahdiskusipermelonan wkwkwk
BalasHapusAku kangen berat eui sama area2 kediri Tulungagung dan sekitarnya. Itu dulu ruteku mudik ke rumah nenek di Nganjuk dan pacitan. Semoga nanti ada kesempatan bawa anak2 ke Jawa bagian situ2 biar tau akarnya.
Jatim dan Jateng emang banyak bedanya. Tapi alhamdulillah yaa mbak udah deket dengan rumah ortu :D
Mutasinya per 2 tahun sekali ya, mbak? Bagi mereka yang suka berpetualang pasti seru ya kalau mutasi ini tapi kadang kalau sudah terlanjur betah pasti ada rasa berat meninggalkan kota yang sedang ditinggali
BalasHapusWah, tinggal di Kediri ya mbak?
BalasHapusKediri ini termasuk ramai lho
Apalagi klo di kota nya, sudah banyak mall dan cafe kopi kekinian
Ada akses tol juga, mudah klo kemana-mana
Semoga betah di kediri ya mbak
Waaahhh iya baru inget Gunung Kelud di Kediri. Kalau ada temen ke Kediri tuh aku nangkepnya mau mondok di Pare sambil belajar Bahasa Inggris ahahaha yang kayak cukup umum di lingkungan teman-temanku
BalasHapus