Cerita Wisuda


Seperti judul sebuah lagu, ini adalah September Ceria bagi keluarga besarku, terutama keluarga kakak kandungku. Keceriaan itu berasal dari moment wisuda strata-1 Tirsa, yakni anak tertua kakakku. Sebagai anak tertua kakakku, Tirsa adalah keponakan pertamaku, sekaligus cucu pertama bagi emakku. 

Tentu aku sangat amat ikut bahagia. Entah nanti lanjut kuliah lagi atau tidak, wisuda S-1 adalah sebuah milestone. Terlebih keluargaku bukan keluarga akademisi, yang mungkin sudah punya rencana lebih panjang dan tertata soal pendidikan. Oh ya, Tirsa adalah cucu pertama yang berselang usia cukup jauh dengan cucu-cucu lainnya. Dengan perhitungan normal, masih lama lagi untuk wisuda tiga cucu lain yang saat ini masih SMP dan SD.

Yups, cucu langsung emakku cuma empat. Dari kakakku dua anak, dari aku juga dua anak. Para cucu ini memanggil emakku dengan sebutan Mbah Upi (lafal balita dari Mbah Putri), lalu disingkat lagi menjadi Upi. Hanya Tirsa yang mengalami keberadaan mendiang bapakku (Mbah Kakung). Itu pun hanya sampai usia lima tahun. 

Keluarga kami benar-benar gambaran harfiah dari program dua anak cukup. Orangtuaku melakukannya, demikian juga kami, dua anak perempuannya. Alhasil, ditambah dengan menantu pun, keluarga besar kami tergolong kecil. Satu sisi cukup menguntungkan dalam hal kemudahan berkumpul. Hanya aku yang pergi jauh, sementara kakakku tinggal di kampung dekat dengan emakku. Sejauh ini belum pernah ada drama dalam mencocokkan jadwal untuk berkumpul bersama. Asal kami mudik, keluarga besar yang kecil sudah lengkap.

Sayangnya, dalam acara wisuda Tirsa,  aku-BJ-Ale-&-Elo tak bisa turut serta. Kami di Makassar, sementara Tirsa wisuda di Bandung. Anging Mamiri terlalu sepoi-sepoi untuk menerbangkan kami ke Kota Kembang hahaha.

Namun, wisuda Tirsa tetaplah banyak pengantar. Yang ikut pergi ke seremoni wisuda memang hanya kedua orangtua Tirsa dan Upi. Namun, rombongan yang ikut ke Bandung jauh lebih banyak. Di atas keluarga besar kan masih ada KELUARGA BESAR ya.. Extended family yang berasal dari simbahku alias simbah buyut Tirsa. Sebutlah pakdhe, budhe, paklik, bulik, dan sepupu-sepupu. Mendiang simbah dari garis Upi punya enam anak. Jadi, KELUARGA BESAR dari garis emakku lumayan besar. 


Nih lihat, bala-keluarga yang ikut ke Bandung. Ini belum termasuk yang memotret ya... Ketika seremoni wisuda berlangsung, mereka rame-rame ngeriung di hotel. Ada adik Tirsa, sepupu-sepupu, paklik-bulik, plus mbahlik-mbahlik. Kubilang menghadiri wisuda adalah sub judul. Sementara judul utama adalah jalan-jalan ke Bandung :D 

Setelah ada tol, jarak kampungku di Temanggung (Jateng) ke Bandung hanya butuh sekitar delapan jam perjalanan. Jauh lebih singkat dibandingkan masa dulu sewaktu aku tinggal di Bandung. Meski demikian, tetap saja Bandung bukan kota yang bisa dikunjungi sering-sering. Delapan jam kan tetap lumayan lama yaaa… Jadi, acara wisuda Tirsa menjadi kesempatan untuk kembali jalan-jalan ke Kota Kembang.

***

Wisuda Tirsa kembali mengingatkan aku pada moment wisudaku belasan tahun lalu. Bukan seremoni wisudanya yang kembali aku ingat (jujur, aku justru tak punya banyak memori soal seremoni). Namun, dari wisudaku ada ingatan tentang kebaikan hati seseorang dan pelajaran menjadi seorang anak.

Yah… mungkin pembaca dewasa akrab dengan kalimat “belajar menjadi orangtua.” Namun, dari acara wisudaku aku “belajar menjadi anak” dalam memahami perbedaan sudut pandang.

Hari-hari ini, aku banyak membaca curhat dari sisi anak, tentang orangtua yang memaksakan kehendak. Sementara aku, di waktu itu, sepertinya aku lebih sering bertindak dengan pemikiranku sendiri. Orangtuaku, dibilang lembek sih tidak, tetapi mereka juga jarang (atau malah tak pernah) memaksakan ide dan pemikiran mereka kepadaku.

Tentang wisuda,  setelah menjadi orangtua, aku baru menyadari kalau moment itu sangat berharga. Lha wong wisuda TK saja aku hadiri dengan sukacita. Wisuda memang hanya seremoni, tetapi ada rasa lega melihat si anak melewati salah satu tahapan dalam perkembangannya. Ada sukacita sebagai orangtua dalam peristiwa itu.

Namun, saat itu aku masih sangat muda dengan alam pikiran yang juga sangat muda. Aku bahkan masih punya pikiran untuk mungkin saja tidak menikah dan tidak punya anak (aku jadi merasa “dejavu” setiap kali  ramai soal chidlfree). 

Beberapa minggu sebelum acara wisuda, aku mendapat pengumuman lolos sebagai finalis lomba menulis cerpen di Kementrian Pemuda dan Olahraga. Sebagai hadiah, para finalis diundang mengikuti workshop menulis di Cibubur. Dalam email yang kuterima, jadwal workshop beririsan dengan acara wisuda. Workshop Jumat - Minggu, sementara wisudaku Sabtu di antara dua hari itu.

Saat itu, aku berpikir seremoni wisuda sama sekali tidak penting. Yang penting kan lulus dan dapat ijazahnya (bahkan, bagi sebagian orang bisa lebih ekstrim lagi, yakni ijazah pun hanya selembar kertas yang tidak penting). Jadi, aku memilih untuk tidak hadir wisuda untuk pergi dari Solo ke Cibubur. Oh ya, panitia memfasilitasi penggantian tiket bus/kereta api.

Aku lupa, bagaimana aku menyampaikan hal tersebut pada orangtuaku. Sepertinya mereka oke-oke saja, setidaknya demikian dalam penglihatanku. Entah jika aku abai atau kurang peka pada  kekecewaan beliau berdua. Bagaimanapun, saat itu aku adalah sarjana pertama di keluarga intiku. Memang  hanya wisuda strata-1. Namun itu adalah lompatan yang cukup tinggi mengingat bapakku hanya lulusan SMP dan emakku hanya lulus SD. Sementara, saat itu kakak satu-satunya yang sudah bekerja sebagai bidan (lulusan Sekolah Perawat Kesehatan plus D1 Kebidanan) belum melanjutkan kuliah D3.

Mengingat ekonomi, kami berdua memang tidak diproyeksikan untuk kuliah. Lulus SMP kakakku melanjutkan ke SPK, sedangkan aku ke STM Pembangunan jurusan Teknologi Hasil Pertanian (sekarang namanya sudah berubah menjadi SMKN 1 Temanggung). Memilih sekolah kejuruan, tentu saja dengan harapan lebih cepat mendapatkan pekerjaan.

Sebenarnya, kekerasan hatiku untuk melanjutkan kuliah selepas lulus SMK menggentarkan hati kedua orangtuaku. Bagaimana tidak gentar  jika mengingat kemampuan ekonomi saat itu. Namun, emakku adalah orang yang akhirnya mengizinkan aku kuliah dengan catatan jika lolos di kampus negeri. Puji Tuhan, aku lolos UMPTN meski dengan dibantu capcipcup kembang kuncup saat mengerjakan soal. Mendingan capcipcup ketimbang pakai joki kan? Bagiku, kelolosan itu adalah sebuah keajaiban mengingat pelajaran SMK bukan diarahkan untuk UMPTN. 

Haha..UMPTN dong. Ini nama ujian penanda umur. Sekarang mah macem-macem nama ujian masuk PT ya..jujur aku nggak hafal. Anak pertama masih SMP, jadi aku merasa belum butuh tahu banyak tentang ujian masuk PT hehehe.

Kelolosanku tentu membuat orangtuaku harus bekerja keras. Memang terkadang aku mendapat uang tambahan dari honor asisten praktikum, menulis cerpen, dan lain-lain, tetapi tetap saja aku masih butuh jatah bulanan, uang kos, uang semester dan lain-lain. Keputusanku untuk lebih memilih ikut workshop ketimbang wisuda jelas mengabaikan semua fakta itu. 

Aku menceritakan rencana tersebut pada salah satu dosen pembimbing skripsiku. Beliau memang dekat dengan banyak mahasiswa, dan aku salah satunya. Bahkan, dalam batasan wajar antara dosen dan mahasiswa, beliau sudah kuanggap seperti bapak sendiri. Berbeda dengan orangtuaku yang “bisa menerima” keputusanku untuk absen wisuda, beliau justru tidak setuju, bahkan tampak marah. 

Menurutnya, tindakanku sangat tidak menghargai orangtua. Kelulusanku kuliah tak lepas dari kerja keras orangtua. Apalagi, aku anak pertama yang wisuda, tentu itu moment berharga bagi orangtuaku.

Arrghh….aku jadi dilema.

Di satu sisi, aku mengakui kebenaran perkataan beliau. Di sisi lain, aku tetap ingin ikut workshop. Dalam kebingunganku, beliau mengambil langkah praktis yakni dengan langsung membelikan tiket pesawat Jogja - Jakarta. Suatu tindakan kebaikan yang tidak terbayang olehku pada saat itu. Aku dibelikan tiket  untuk terbang Sabtu siang. Setidaknya, aku bisa ikut wisuda universitas, tetapi absen di acara di fakultas karena harus mengejar pesawat dari Jogja.  Memang aku tidak ikut workshop secara penuh, tapi lebih baik ketimbang tidak sama-sekali.

Win-win solution.

Hari itu menjadi pengalaman keduaku naik pesawat sekaligus pengalaman pertama naik pesawat sendirian. Berbekal pengalaman pertama naik pesawat yang juga karena campur tangan beliau, aku cukup percaya diri untuk naik pesawat sendiri. Waktu itu, aku naik maskapai Bouraq yang saat ini sudah tak lagi beroperasi.

Dari cerita ini, aku belajar banyak hal baik. Pertama, tentu saja tentang kebaikan beliau membelikan aku tiket. Tindakan yang jadi salah satu inspirasiku untuk meneruskan kebaikan secara acak. Pay it forward, bayarkan/balaskan kebaikan itu pada orang lain. Kedua, aku belajar tentang sudut pandang, yakni agar aku tidak selalu mau menang sendiri dengan sudut pandangku, tetapi pikirkan juga pendapat orang lain. Ketiga, sudut pandang orangtua dan anak bisa jadi sangat berbeda, bahkan berlawanan. Namun, dalam perbedaan itu kita bisa mengupayakan jalan tengah. 

Jujur, aku berkaca-kaca saat menuliskan ini. Sama seperti pada wisuda Tirsa, pada hari wisudaku rombongan keluarga besarku ikut datang.  Bagiku, seremoni wisuda mungkin tetap tidak penting. Namun, aku belajar untuk membuatnya menjadi penting bagi  keluargaku. Sayang sekali foto-foto wisuda ikut musnah bersama rusaknya laptop lamaku.

Setidaknya, aku masih punya kenangan dalam memoriku. Dan itu terjadi karena campur tangan seseorang yang tak akan pernah aku lupakan. Semoga kebaikan menyertai keluarga beliau.

Those who did good never truly leave. There are things that death can not touch. In Memoriam Bapak Totok Mardikanto.

3 komentar untuk "Cerita Wisuda "

  1. ingat waktu dulu ikut meramaikan wisuda di UNS,tim penggembira belum sampai rumah temanggung tapi yang di wisuda sudah sampai jakarta

    BalasHapus
  2. Wah seru banget nih kelihatannya wisudanya, bisa berkumpul dengan keluarga besar juga nih

    BalasHapus
  3. Tossss, bagiku juga wisuda ga penting sebenernya, tapi ttp menghadiri Krn ortu yg pengen 🤣.

    Kenapa aku ga suka, lebih Krn aku tuh benci foto dulu mba. Byangeeettt bencinya. Krn ngerasa ga fotogenic, kliatan aneh dll. Skr udh agak lumayan Krn dipaksa suami . Tp dulu ampuuun deh kalo udh waktunya foto. Sementara kalo wisuda udh pastilah banyak foto2 😅. Jadi bisa dibilang fotoku saat wisauda jauh dr kata cakep 😄. Makanya mau pajang aja males.

    Tapi memang kalo itu demi ortu, ya sudahlah yaaa. Namanya juga mereka yg biayain saat itu 😁

    BalasHapus

Terima kasih atas kunjungannya. Mohon tidak meninggalkan link hidup dalam komentar ya :)