Menjadi Mediokre

Nemu kata-kata di atas di blog Mbak Nurul Rahma. Kemarin aku menelusur blog itu karena merasa sedang  terhubung dengan beberapa tulisan di sana (thanks Mbak Nurul...).

Mediokre....duuuh sungguh related syekaliiii...

Aku punya cerita yang tak akan kulupa sehubungan dengan kata mediokre. Kejadiannya sudah lama sekali sih. Sudah belasan tahun lalu, yakni ketika menjelang selesai masa setahun magang kerja di Bandung. (Di blog ini aku nyaris tak pernah bercerita tentang pekerjaanku dulu -meski teman-teman yang mengenalku jelas tahu- penyebabnya ya karena "hantu mediokre" tadi). Nanti kutuliskan kenapa kusebut "hantu mediokre".

Setahun magang merupakan masa penilaian untuk penentuan lanjut atau tidak menjadi karyawan tetap. Satu per satu magang-er (yang hanya belasan orang) dipanggil untuk "ngobrol" dengan beberapa senior.

Sebenarnya bukan ngobrol yang kaku dan formal. Malah cenderung santai. Namun, mungkin karena sudah nervous duluan, jadi aku tidak bisa ikutan santuy. Aku lupa sih detailnya, tapi aku masih ingat kalau salah satu seniorku menyampaikan review-nya atas kerjaku. Menurutnya, aku cenderung mediokre, kurang punya motivasi untuk mencapai hasil terbaik. Gampangnya, aku sering merasa "baik saja sudah cukup", padahal seharusnya masih bisa "mengusahakan yang lebih baik." Ya, aku sadar sih, ini memang sejalan dengan sifatku yang jauh dari perfeksionis. 

Waktu itu, kata mediokre tidak disampaikan dengan nada judging kok. Justru disampaikan sebagai masukan, agar aku berusaha meningkatkan performaku. Terkait magang, aku lolos sebelum akhirnya resign beberapa tahun kemudian.

Sebelum lanjut ke mediokre, aku tadi menulis kata "jauh dari perfeksionis" ya kan... Dalam beberapa hal, sifat ini memang menolong sih. Terbukti, aku sering membaca kesulitan orang-orang perfeksionis akibat ke-perfeksionis-an mereka. Tapiiiiii.... dalam beberapa hal lain, perfeksionis memang dibutuhkan supaya tidak mediokre. Apalagi kalau kaitannya dengan pekerjaan formal. Orang yang bisa melakukan pekerjaannya dengan perfect, lebih besar kemungkinan untuk mencatat kinerja terbaik bukan?

Well..sejak resign, tentu saja aku sudah nggak ada urusan dengan penilaian kerja semacam key performance indikator atau apalah.. Menjadi perempuan dengan status istri dan ibu tidak ada indikator penilaian yang mutlak bukan? Kalau bukan "penilaian masyarakat", ya self-evaluation yang paramaternya pakai perasaan (huh). 

Dalam kasusku,  aku sering merasa "nanggung" dalam mengerjakan banyak hal. Mediokre seolah hantu yang bayang-bayangnya selalu ngglibet. Aktifitas-aktifitas yang aku ingin bisa kulakukan dengan baik, bagiku malah tampak mediokre... 

Alhasil, seperti tidak ada yang bisa dibanggakan oleh diriku sendiri. Padahal, bagiku, suara yang muncul dari dalam diri lebih sulit kuhadapi ketimbang suara dari luar.

Sadar sih, itu mindset yang negatif banget. Mindset yang justru membuatku stuck di level medio(kre). Lebih buruk lagi, jangankan bertahan di level mediokre, yang ada malah down-grade. Kalau sudah  begini, rasanya masih lebih baik menjadi mediokre daripada terjun ke level dasar. 

Mungkin karena fitrahnya manusia selalu mengingini yang "serba lebih", akhirnya menjadi mediokre dianggap tidak cukup. 

If upper is possible, mediocre is not enough... Aku percaya kebenaran kata-kata kata-kata ini. Namun ada kalanya, aku butuh merasa dan bisa menerima bahwa menjadi mediokre itu sudah lebih dari cukup. Sometimes, it's okay to not be okay.... (DW)












3 komentar untuk "Menjadi Mediokre"

  1. Wahhh ngga nyangkaaaa ternyata bs jadi artikel mayan panjaaaangg

    Sipp siipp aku coba nulis jugak ahh di blog satunyaaaa

    BalasHapus
  2. Ini related mediokre juga pernah ngalamin, posisinya sadar kalau yang lain itu bisa tapi aku terpatok dengan yaudahlah ini aja cukup. Padahal kalau bisa itu bisa meningkatkan kinerja dan buat kita enggak bosen sama pekerjaan yang itu-itu saja.

    BalasHapus
  3. Aku Ama suami bisa dibilang ngejar perfect score kalo dalam hal kerjaan mba 😅. Dan jujur itu pusiiiiing, level stress selalu naik. Apalagi kami berdua sempet kerja di company yg sama, walo beda departmen. Dan di company asing itu, budaya sikutnya jangan ditanya. Cumaaaa bedanya walo aku ngejar target yg perfect, tapi aku ga ambisius soal jabatan . Yg penting mah gaji selalu naik, bonus gede, udah itu aja. Beda Ama suami, dia ambisius gilaaak Ama jabatan. Tapi buatku ga masalah, dia cowo, memang harus ambisius.

    Jadi mungkin Krn aku hanya fokus Ama target dan kadang over achieve, tapi ga peduli Ama jabatan, temen2 yg hobi sikut2an, ga anggap aku musuh 😄. Mereka tau yg aku incer bukan itu 😂. Jadi stressku ga ketambahan Ama sikut2nya 🤣.

    Nah setelah resign, aku pikir bakal berkurang yg namanya stress dlm achieve target . Ternyata malah kebawa juga, tiap kali bikin resolusi target keuangan keluarga, yg ada aku pake effort lebih gimana caranya bisa over achieve. 😅. Kayaknya udah bawaan memang 😣.

    Kalo ngobrol Ama suami, sebenernya LBH bagus kita turunin target biar agak santai, atau tetep begini aja? Dia bilang ga masalah ambisius atau perfeksionis pas ngejar target, yg penting tau batas diri sampe mana. Tau kapan hrs istirahat dan berhenti ngejar. 😁

    BalasHapus

Terima kasih atas kunjungannya. Mohon tidak meninggalkan link hidup dalam komentar ya :)