Mencicipi Coto Kuda (bukan) di Jeneponto



Setelah kemarin cerita soal coto Makassar, kali ini aku cerita soal coto kuda. Kata coto (saja), rasanya otomatis merujuk pada coto daging sapi. Nah, berhubung menggunakan daging kuda, maka disebut coto kuda. Pada judul, aku sengaja menyisipkan kata bukan (dalam kurung) karena suatu alasan.

Alasan apakah itu?

Tak lain dan tak bukan adalah karena aku memang tidak mencicipi coto kuda di Jeneponto. Padahal, coto kuda merupakan masakan khas Jeneponto. Daerah yang berjarak sekitar dua jam perjalanan ke arah timur dari Kota Makassar itu memang identik dengan kuda. Julukannya saja Kota Kuda. Ini bukan sekadar julukan nostalgia semacam Bandung Kota Kembang lho (uhuk…semoga diriku tidak kena timpuk urang Bandung). Sebab, hingga saat ini, kuda masih menjadi bagian penting bagi keseharian masyarakat Jeneponto.

Beberapa kali lewat Jeneponto dalam perjalanan ke Tanjung Bira, aku selalu mendapati pemandangan kuda-kuda di persawahan dan pemukiman pedesaan. Kuda masih banyak digunakan sebagai alat transportasi barang maupun manusia. Kuda juga dipelihara sebagai simbol kemapanan.

Baca : 
 
Di Pasar Tolo’, Kecamatan Kelara, Jeneponto terdapat pasar kuda yang aktif di hari Minggu (tapi aku belum pernah kesana). Hingga kini, warga kabupaten ini juga masih melestarikan pacuan kuda tradisional (aku juga belum pernah secara langsung menontonnya). Hmmh...mudah-mudahan suatu hari berkesempatan menonton pacuan kuda di sana. Itu kan termasuk budaya tradisional kita.


Oh ya, satu lagi, di Kabupaten Jeneponto, daging kuda merupakan bahan pangan hewani yang lazim di kalangan masyarakat. Tak hanya disajikan di rumah makan, daging kuda juga biasa digunakan saat pesta. Tahun lalu, saat aku posting foto coto kuda di Facebook, seorang teman dari Kalimantan menuturkan pengalaman turut dalam pesta pernikahan di Jeneponto. Hidangannya daging kuda dong. Berhubung tak biasa, dia memilih sajian yang bukan dari daging kuda. Sajian daging kuda memang tidak cukup familier untuk banyak orang ya kan? Aku pengin coba juga karena belum pernah merasakannya.
 
Tiap lewat Jeneponto, aku selalu melewati sebuat tempat penjualan daging kuda. Sebenarnya ada rasa pengin berhenti karena penasaran. Tapi segan karena cuma tanya-tanya, sementara niatan beli nggak ada. Kalau maksa beli, gimana masaknya???😀

Selain coto kuda, Jeneponto juga punya sajian khas dari daging kuda yang katanya wajib ada di acara khusus, yakni gantala (aku belum pernah nyicip nih..).

BACA :

Berdasarkan pencarian di internet, ada beberapa rekomendasi rumah makan coto kuda di Jeneponto, yakni :

  • Warung Coto Belokallong di Jalan Lanto Dg Pasewang, Kecamatan Binamu.
  • Warung Coto Pastur di samping Lapangan Passamaturukang, Jalan Morra Dg Bilu, Kecamatan Binamu.
  • Warung Coto Nur di depan Pasar Turatea.

Jadi, kalau ada temen_DW sedang jalan-jalan ke Jeneponto dan pengin coba coto kuda, bisa nih kunjungi tempat di atas. Tapi aku nggak bisa cerita tentang tempat-tempat di atas karena aku belum pernah berkunjung ke sana ya…

Seperti kubilang di atas tadi, aku mencoba pengalaman makan coto kuda justru bukan di Jeneponto. Ini agak mirip dengan cerita pengalaman pertamaku makan coto (sapi) yang justru bukan di Makassar, melainkan di Medan.
 
Mirip bukan berarti sama persis ya kan? Dalam hal ini,  bedanya adalah soal jarak. Aku mencicipi coto kuda di Bantaeng, yang adalah tetangga Kabupaten Jeneponto.  Beda jauh dong jaraknya dibandingkan Medan - Makassar. 

Pengalaman pertamaku makan coto Makassar (di Medan) terasa kurang nendang. Mungkin karena sudah jauuuuuh dari kota asalnya, jadi rasanya pun sudah jauh dari aslinya. Kadang, ketika makanan khas suatu daerah dijual di daerah lain, rasanya sudah beda karena masalah ketersediaan bahan baku atau disesuaikan dengan selera setempat.

Nah, Jeneponto - Bantaeng ini tetangga dekat secara harfiah. Posisinya benar-benar bersebelahan. Urutan rute dari Makassar adalah : Makassar - Gowa - Takalar - Bantaeng - Jeneponto. Jadi, kurasa, soal cita-rasa masih sama. Toh, coto kuda di luar Jeneponto bukan cuma di Bantaeng. Di Makassar, warung coto kuda juga relatif mudah ditemukan.


Pengalamanku mencicipi coto kuda adalah di rumah makan coto Nurul Amin di Bonto Lebang, Kecamatan Bissappu, Bantaeng. Letaknya di pinggir jalan utama Bantaeng - Jeneponto sih, jadi nggak susah untuk menemukannya.
 
Rumah makan Nurul Amin tidak khusus menyediakan coto kuda sih. Di sini juga ada coto sapi, coto ayam kampung, dan coto ayam potong (buras). Jadi, kalau ada pengunjung yang ragu-ragu untuk coba coto kuda, bisa pilih coto dengan daging yang lebih familiar. Harga coto kuda paling mahal dibandingkan coto lainnya.


Sebenarnya aku sudah lama coba coto kuda ini. Cobanya tahun lalu, nulisnya baru sekarang hahaha. Tapi…. aku masih inget kok sensasi rasanya. BJ yang mengajak aku (dan Alelo) mampir ke Nurul Amin (yaaa..siapa lagi sih yang akan ngajak selain doski hihihi). Saat itu cuma aku yang pesan coto kuda. Kutawari Ale-Elo, mereka langsung menggeleng keras. Bahkan mencicip pun ogah hahaha. Mungkin mereka terbayang kuda yang biasa menarik delman, jadi nggak tega.

Menurutku pengamatanku saat itu, coto daging kuda lebih kental dibandingkan coto daging sapi. Aromanya sedikit berbeda dengan coto sapi (tapi buatku tidak terasa mengganggu sih). Pendamping sajiannya sama dengan coto sapi, yakni ketupat/buras, bawang goreng, daun bawang, jeruk nipis, sambal, dan kecap.

Yang jelas nampak berbeda dibandingkan coto sapi adalah penampakan potongan dagingnya. Serat daging kuda lebih besar dibandingkan serat daging sapi. Aku mencoba mengingat-ingat daging dengan tekstur seperti itu. Kalau tidak salah daging kerbau juga punya tekstur yang besar kan ya?
 
Waktu itu, aku mampu menghabiskan seporsi coto kuda pesananku. Tapi memang, aku pribadi prefer coto sapi sih. Dalam kesempatan selanjutnya mampir di Nurul Amin, aku nggak pernah pesan coto kuda lagi. Bukan karena coto kuda tidak enak, ini lebih soal selera. 

Yah..setidaknya, aku pernah mencicipinya, jadi bisa bikin tulisan ini. Selain itu, juga jadi menambah pengalaman merasakan #ragamrasa #kulinernusantara. (DW)

29 komentar untuk "Mencicipi Coto Kuda (bukan) di Jeneponto"

  1. Coto? Mungkin kalau di sini soto kali, ya? Hampir sama sih soalnya kuah dan isinya, masih dari rempah khas Indonesia ditambah tulang sebagai kaldu biasanya, isinya identik dengan daging sapi kalau enggak ayam. Nah, ini unik isinya kuda jadi pengin nyobain karena belum pernah sih. Terima kasih informasinya!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak.varian coto di nusantara mmg macem2 yaak..bhinneka tunggal ika juga :)

      Hapus
  2. Wah coto kuda mungkin rasanya unik ya. Aku belum pernah sih mencicipi daging kuda atau daging kerbau, daging kambing pernah tapi kurang suka. Lebih suka ayam atau ikan :D
    Makanan memang tergantung selera, tiap orang beda-beda ya. Ada yang suka daging kuda, katanya enak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Di Jateng dan Jogja (mgkin juga Jatim ya?) suka ada warung makan yg menyediakan menu daging kuda juga kan mbak? Tapi aku jg nggak tertarik coba. Cobanya di jeneponto hehehe

      Hapus
  3. Aku belum pernah dan kemungkinan mikir sebentar apakah mau nyoba apa gimana hehe. Oh jadi memang kayak sapi aja gitu ya bagi sebagian daerah si kuda ini. Wah aku jadi banyak tau cerita tentang kuda ini. Rasanya pasti khas sama karena letaknya nggak sejauh medan dan makasar😁

    BalasHapus
    Balasan
    1. Haha..iya mba.aku juga aslinya mikir. Cuma karena di sini termasuk makanan biasa, jadi pengen coba hihiji

      Hapus
  4. ya ampuuun seru banget nih mba, bisa coba cotto kuda. Aku belum pernah cobain sebelumnya dan memang sepertinya menarik juga nih

    BalasHapus
  5. Balik lagi ke selera ya Mak. Sekali mencicipi coto kuda, bisa buat bahan nulis, setelah itu balik lagi ke selera asal, coto daging sapi.

    BalasHapus
  6. Belum pernah makan coto kuda, kayaknya memang bagi yang pertama makan akan ada rasa gimana ya, maksudnya saya, membacanya saja saya merasa agak gimana gitu hehe tapi mungkin jika sudah menyicipinya akan merasakan rasa yang lain lagi. Btw saya pernah membaca sebuah novel lawas, tentang Jeneponto, tapi gak kepikir bahwa itu adalah nama salah satu daerah. Aneh memang tapi dikaitkan dengan kuda. hmm baru tahu saya.

    BalasHapus
  7. Nah lho aku orang Bandung nih mbak, tapi tenang aja gak akan ditimpuk kok ehehehe

    Wah pastinya unik yah rasanya coto kuda, tapi kayaknya aku milih yang sapi atau ayam aja deh ehehehe

    BalasHapus
  8. Mungkin masaknya lamaaaaa bgt atau daging kudanya dipresto dulu kali yes
    Karena kuda semasa hidupnya kan demen workout 😆 kemungkinan besar bodinya six pack dan dagingnya aloottt😑

    BalasHapus
  9. Wow menarik nih coto kuda. Kukira di Makasar adanya coto makasar saja yang pakai daging sapi. Ternyata ada yang pakai daging kuda juga. Noted dicatat lokasinya

    BalasHapus
  10. Aduuuhhhhh aku suka ngga tegaan makan olahan daging yang tak biasa wkwkwk. Kebayang coto kuda atau sate kelinci tuh udah ngga kuat. Kalo sate kelinci katanya dagingnya lembut banget, kalau kuda alot ya mba? seratnya lebih besar dari sapi?

    BalasHapus
  11. ada aja ya kuliner Indonesia tu kalo di kudus sto pake kerbau, di sulawesi pake kuda tergantung ketersediaan protein di daerah setempat ya. aku ngebayangin tekstur daging kuda pasti alot ya mbak secara mereka kan pekerja dan suka lari2

    BalasHapus
  12. Nah bisa jadi tekstur daging kuda mirip dengan kerbau ya mbak Lisdha. Aku belum pernah makan Coto kuda. Soto kerbau malah sering dan tekstur seratnya emang beda tapi rasanya enak juga

    BalasHapus
  13. Coto ini emang enak ya mbak
    Kalau di Surabaya, Coto hanya dijual di kedai Makasar ataupun restoran selera Nusantara

    BalasHapus
  14. Baru tahu kalau ada coto kuda. Di Makassar memang ya, banyak makanan khas dan unik. Pengen nyicipin sih saya, gimana rasa dading kuda itu. Sama rasa dan aromanya gimana.

    BalasHapus
  15. Masing-masing daerah punya keunikannya ya. Nah sama dengan komentar sebelumnya, kayak di Kudus kampung halaman suami, makannya ya kerbau. Bagiku aneh, tapi bagi mereka biasa dan akhirnya ya biasa aja aku :)

    BalasHapus
  16. Belum pernah ngerasain makan daging kuda..Tapi keliatannya tidak beda dengan soto biasa.. hahah Jadi pingin tau rasanya daging kuda...

    BalasHapus
  17. Udah 2 tahun tapi masih ingat yaaa. Wah aku jadi penasaran sama coto Kuda. Kalau seratnya lbh gede apakah lbh alot mak

    Tapi masih tetanggaan kota tempat makannya na Jeneponto ya mak jadinya yaa msh bisa dikatakan otentik khas daerah aslinya.
    Sering denger Jeneponto dari berita2 hehehe.

    BalasHapus
  18. Itu rasa dagingnya gimana mba? Hheheeh aku belum pernah cobain sama sekali

    BalasHapus
  19. Tapi tenang ya kalau menu Coto itu gak hanya dari daging kuda saja, bisa pilih, ayam atau daging lainnya
    Yang bikin penasaran saya juga nih makanan khas gantala nya ... Hem...

    BalasHapus
  20. Waaah makan Coto Makassar aja aku belum pernah langsung di tempatnya, apalagi Coto kuda, kayaknya entah kapan aku bisa mampir ke Jeneponto, makan Coto Kuda sambil lihat2 🏇 *ehh. Kalau lihat sekilas dagingnya, iya sepertinya serat dagingnya memang beda dengan sapi, mungkin karena kuda lebih berotot ya, biasa digunakan sbg transportasi juga, jadi beda seratnya *cmiiw

    BalasHapus
  21. Molly malah kasian sama kudanya. Kok gak tega gitu makan sopnya? Hikz. Yaudah makan coto sapi aja deh. 🤣🤣

    BalasHapus
  22. wah coto kuda, duu jadi penasaran rasanya gimana mba, cuma sepertinya untuk menelannya butuh waktu dulu, kebayang kuda delman hihi

    BalasHapus
  23. Pengalaman ilmu berharga maak, meski ga suka paling gak sudah pernah icip-icip.yaa... Biar tidak penasaran. Aku jadi penasaran pengen cobain jugaa.

    BalasHapus
  24. Aku belum pernah nyoba kuliner coto mbak, dari dulu penasaran banget. Ternyata ada coto kuda ya. Minimal sudah pernah incip coto di daerah lain ya hehe

    BalasHapus
  25. Aku pernah tinggal di Bantaeng Mak waktu zaman TK dan SD, berkesan banget suasana kota kecil yang tenang dan aman.. pulang sekolah rombongan dengan teman-teman jalan di pematang sawah hihi.. kangen..Coto kuda ini lebih alot ya dagingnya dibandingkan sapi..

    BalasHapus
  26. Untung di bagian akhir dijelasin tekstur daging dan kuahnya. Jadi pertanyaan yang ditunggu selama baca dari awal terjawab sudah. Kalau analisa saya sih kuahnya beda karena alasan aroma-rasa dari daging kuda yang tak sama dengan aroma-rasa daging sapi.
    Kayaknya saya pernah makan soto kerbau di kota tetangga saya, dan kalau tidak salah memang seratnya besar. Kuahnya juga lebih kaya bumbu untuk menemani aroma-rasa daging kerbau yang lebih pekat. Alias ada prengusnya.

    BalasHapus

Terima kasih atas kunjungannya. Mohon tidak meninggalkan link hidup dalam komentar ya :)