Setelah 40 Tahun


Pagi itu masih suasana lebaran. Suara tawa berderai-derai dari rumah sebelah, rumah salah satu simbahku. Di sana, seseorang belum lama tiba. Baginya, kata pulang, mungkin tak lagi tepat. Sebab, di tempat yang jauh, ia sudah punya rumah dan kehidupan sendiri. Menengok kampung masa kecil, rasanya lebih pas. Kampung masa kecil yang ia tinggalkan 40 tahun yang lalu.

Ya, empat dasa warsa lalu! Rentang waktu yang panjang bukan?   

Laiknya di kampung, ketika ada orang jauh datang, maka keluarga atau tetangga kanan - kiri datang ngaruhke, turut menemui sebagai tanda selamat datang. Gelak tawa pecah di antara obrolan ramai-ramai tentang masa lalu dan masa kini. Obrolan dengan tanpa alur pasti, maju-mundur sekehendak hati. 

Beliau yang pulang itu adalah Oom Nazir. Dari bandara Kuala Namu, Oom Nazir terbang ke Bandara Jogja di Kulon Progo. Kupikir, beliau bersama sang istri, tapi ternyata sendirian. Keluarga besar menyambut Oom Nazir dengan antusias. Pertemuan pertama setelah sekian banyak perubahan, banyak memunculkan kelucuan. 

Contoh kecil, oom Nazir masih menyimpan bayangan kampung di masa 40 tahun lalu. Kampung yang saat itu terasa begitu mblusuk dan dekil. Namun, begitu tiba, bayangan itu ambyar. Wajah kampung sudah berubah total seiring perkembangan zaman.

Aku memanggil oom karena beliau adalah sepupu ibuku. Almarhum bapak Oom Nazir adalah adik (beda ibu dari) nenekku. Dulu, aku hanya “mengenal” Oom Nazir dan keluarganya dari cerita-cerita keluarga besarku. Empat dekade lalu, Oom Nazir ikut orangtuanya, meninggalkan kampung dalam program transmigrasi yang digenjot pemerintah orde baru. Waktu mereka pergi, usiaku baru sekitar setahun. Aku tak punya memori sedikit pun tentang kejadian itu.

Ternyata, saat dewasa, aku juga mengalami situasi tinggal ke Sumatera. Bedanya, aku tak turut dalam program transmigrasi, melainkan karena menyusul suami. Fase tinggal di Sumut membuatku berkenalan langsung dengan Oom Nazir dan keluarganya. Lazimnya perantau, mereka akan mencari saudara/orang yang dikenal di daerah yang mereka datangi. Aku lupa bagaimana kronologisnya. Yang pasti, berbekal potongan-potongan informasi, aku dan suamiku berhasil menemukan Oom Nazir di Binjai dan Bi Yanti (adik Oom Nazir) di Tiga Binanga, Karo.

Kuingat, kami tak terlalu canggung pada pertemuan pertama. Fakta hubungan kekerabatan membuat percakapan bisa mengalir kemana-mana. Pertemuan pertama memang tak berlanjut menjadi kedatangan yang kerap. Tapi setidaknya, rumah Oom Nazir menjadi tujuan kunjungan kami saat Lebaran di Medan.

Saat aku berkunjung ke rumahnya tiga atau empat tahun lalu, Oom Nazir memang sudah mengungkapkan keinginannya untuk menengok kampung. Keinginan yang akhirnya terwujud lebaran kemarin. Katanya, belakangan ia berkali-kali bermimpi tentang kampung masa kecil.

***

Cerita keluarga Oom Nazir selaku transmigran cukup menarik dan mengandung bagian-bagian dramatis. Saat pulang kemarin, oom mengisahkan potongan-potongan cerita selama 40 tahun di Sumatera pada keluarga besar.

Ia masih jernih mengingat perjalanan pertama keluar kampung. Bersama-sama dengan keluarga transmigran lainnya, mereka diangkut menuju Jakarta. Aku lupa, kendaraan apa yang digunakan untuk mengangkut rombongan besar itu, bus atau kereta api?

Dari ibukota, rombongan transmigran menyeberang Selat Lampung menuju Medan. Di sana, mereka tinggal sementara di penampungan. Hingga kemudian tiba hari pembagian wilayah tujuan transmigrasi dan pemberangkatan. Oom masih ingat, dari Medan mereka diangkut menggunakan pesawat militer (Hercules?), kemudian lanjut perjalanan darat menuju tanah harapan. Keluarga Oom Nazir mendapat jatah tempat di Kutacane yang merupakan wilayah Aceh di bagian selatan, yakni berbatasan dengan Sumatera Utara.

Para keluarga transmigran mendapat jatah rumah dan tanah garapan yang masih mentah. Selama tanah belum menghasilkan, mereka masih mendapat jatah kebutuhan sehari-hari dari pemerintah. Waktu berlalu, mereka bisa bertahan dan beradaptasi dengan tanah baru.

Namun, adaptasi bukan berarti perjuangan bisa berhenti. Terlebih, daerah mereka tak luput dari konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan pemerintah pusat. Selembar kisah kelam dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia.

Dari Oom Nazir aku bisa menangkap sedikit kisah dari perang itu. Penduduk desa (transmigran) berhubungan dengan GAM maupun tentara Indonesia. Ketimbang berpihak, mungkin mereka cenderung netral. Yang penting hidup aman dan tenteram. Namun, perang sering abai dengan netralitas. Terlebih, dalam perang yang melibatkan identitas, status suku bisa menjadi masalah.

Singkat cerita, keluarga Oom Nazir termasuk dalam kumpulan yang terusir dari tanah transmigran. Di sela gelak tawa Oom Nazir dan keluarga, kucoba membayangkan bagaimana situasi saat itu. Seberapa mencekam? Seberapa dramatis? Ataukah justru relatif terlihat "biasa-biasa" saja? –biasa dalam tanda kutip–

Saat itu Oom Nazir sudah lulus SMEA, sudah keluar rumah dan bekerja sebagai kerani di sebuah perkebunan sawit. Sedangkan kakak Oom Nazir, yakni Bi Jum sudah merantau ke Batam. Di rumah, tinggal orangtua dengan Bi Yanti yang kemudian terpaksa pindah ke Karo.

Salah satu bagian haru yang diceritakan Oom Nazir adalah ketika Bi Jum pulang dari Batam. Waktu itu belum zaman telepon genggam adalah barang lumrah seperti hari ini. Dari Batam, Bi Jum langsung ke rumah lama (Aceh) dan mendapati keluarganya sudah tak ada. Butuh upaya dan waktu hingga Bi Jum bisa menemukan keluarganya di tempat yang baru (Karo).

Kisah Oom Nazir dan keluarga adalah serpihan dari mega cerita konflik di Tanah Rencong. Sudah pasti bukan kisah yang menjadi highlight dalam sejarah bangsa. Namun, sejarah tak melulu berisi nama dan peristiwa yang didokumentasikan, bukan?

***
Tahun lalu, di blog ini aku menulis tentang pulang. Satu kata yang buatku masih memiliki sisi magis. Itu karena aku masih jauh dari tempat asal. Meski jauhnya tak butuh paspor saat pergi, tetap saja pulang bukan peristiwa sebulan atau seminggu sekali, apalagi kejadian sehari-hari. 

Aku membayangkan, betapa magisnya punya kesempatan pulang (atau napak tilas) setelah 40 tahun berlalu. Sepanjang waktu itu, tak hanya tempat tujuan yang berubah, diri sendiri pun sudah tak lagi sama. 

Bagi sebagian orang, tempat tinggal di masa lalu mungkin tak lagi penting untuk diingat, apalagi dikunjungi. Sedangkan bagi sebagian orang lainnya, tempat masa lalu adalah nostalgia yang perlu ditiliki (ditengok) sekiranya memungkinkan. 

Kamu, termasuk bagian yang mana? 
(*)





3 komentar untuk "Setelah 40 Tahun"

  1. 4 dekade di Makassar, kadang keluarga yang udah lama jauh merantai seperti ini akan terlupa tapi sekali ada kabar pulang pasti dinanti dan disambut dengan baik. Terima kasih telah berbagi cerita!

    BalasHapus
  2. Hallo mb nisa...terima kasih telah berkunjung :)

    BalasHapus
  3. Aku sempet ngeradmsaibzaman GAM. Ngerasain saat mereka saling tembak di belakang rumah yg kebetulan hutan. Ngerasain pelurunya kena ke kaca jendela. Ngerasain juga banyak temen2 Jawa yang hilang diculik, dan kabarnya dibunuh 😔. Sampe skr pun ga jelas rimbanya . Semua udh ikhlas dan menganggab mereka sudah meninggal.

    Aku termasuk yg selalu kangen Ama tempat di mana aku dibesarin mba. 18 THN di Lhokseumawe, 1.5 THN di Banda Aceh. Walo ada cerita pahit dari gam, tapi tetep aja momen2 bahagianya LBH banyak .

    Bersyukur nih, besok aku bakal road trip ke Lhokseumawe dan mampir Takengon. Kangen banget liat tempat kecil dulu

    BalasHapus

Terima kasih atas kunjungannya. Mohon tidak meninggalkan link hidup dalam komentar ya :)