Imperfect Zero Waste

 Pada hari kelahirannya, seorang manusia langsung menghasilkan sampah. Seiring dengan tahun-tahun tumbuh kembang, manusia memproduksi semakin banyak sampah . Terlebih di masa sekarang, ketika peningkatan gaya hidup linier dengan kenaikan jumlah sampah. 

Dalam sehari normal, seorang manusia diperkirakan menghasilkan sampah kurang dari 1 kilogram. Jika diakumulasikan dalam satu tahun, produksi sampah setiap orang “hanya” sekitar 300 kg. Namun, bagaimana dengan produksi sampah harian 270 juta penduduk Indonesia? Lebih lagi, berapa jika diakumulasikan dalam satu tahun? 

Data dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) menunjukkan produksi sampah pada tahun 2020 di Indonesia mencapai 67,8 juta ton. Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya yang masih berada di angka 64 juta ton. Dari angka tersebut, komposisi sampah nasional masih didominasi oleh sisa makanan (40,1 persen), disusul sampah plastik (17,12 persen). Ini berarti, jenis sampah di Indonesia masih didominasi sampah organik yang punya potensi untuk diolah menjadi bahan lain yang memiliki fungsi. 

Masih menurut SIPSN, sumber sampah terbanyak adalah dari rumah tangga, yakni sebesar 39,78 persen. Ini menunjukkan jika sektor rumah tangga memegang peranan penting dalam pengelolaan sampah nasional. 

Masalah Pengelolaan Sampah Rumah Tangga 

Sebagaimana tercantum dalam Undang-undang No 18 tahun 2008, pengelolaan sampah didefinisikan sebagai kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah. Ini berarti, pengelolaan sampah sudah dimulai sejak dari tempat produksi sampah, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, hingga berujung di tempat pembuangan akhir (TPA). 

Namun, pada praktiknya rantai pengelolaan sampah ini belum berlangsung sebagai mana mestinya. Berbagai kendala mudah ditemukan mulai dari hulu (tempat produksi sampah) hingga hilir (TPA). 

 Masyarakat Indonesia mengenal semboyan “kebersihan bagian dari iman”. Namun, sepertinya konsep kebersihan masih berkutat pada “membuang keluar”, yakni menjauhkan sampah dari rumah dan lingkungan. Orang belum banyak berpikir tentang bagaimana “nasib” dan dampak sampah ketika terkumpul di tempat pembuangan. Yang penting, rumah dan lingkungan dekat kita bersih, masa bodoh sampah di luar sana. Adalah “suratan nasib” jika mesti tinggal di daerah yang berdekatan dengan sampah. 

Di sisi lain, pemerintah juga masih terbatas dalam mengelola sampah. Keterbatasan sumber daya pemerintah mengakibatkan cakupan pengelolaan sampah belum maksimal. Keterbatasan pekerja, armada pengangkut sampah, juga lahan tempat pembuangan menjadi masalah di berbagai daerah. 

Memang ada berbagai program yang melibatkan masyarakat dalam pengelolaan sampah. Namun, banyak program yang berbasis proyek sehingga tidak terjamin kesinambungannya. Program bersifat obor blarak atau hangat tahi ayam. Di awal-awal terlihat greget tetapi program terhenti seiring habisnya tahun anggaran. 

Sekali waktu ada berita yang menjadi terapi kejut bagi sikap kita terhadap sampah. Seperti ketika terjadi tragedi Leuwigajah (tahun 2005), yakni ketika bukit sampah meledak dan mengubur sekian banyak jiwa. Sesaat publik “disadarkan” tentang adanya kesalahan dalam menyikapi sampah. Namun, seiring waktu, tragedi itu terlupa dan baru teringatkan lagi ketika ada tragedi selanjutnya. 

Gaya Hidup Zero Waste 

Masih dominannya sektor rumah tangga sebagai penghasil sampah menunjukkan pentingnya peran setiap individu (sebagai pembentuk rumah tangga) dalam pengelolaan sampah. Sebagai warga negara, memang penting untuk terus mendorong peran pemerintah dalam pengelolaan sampah. 

Mengingat keterbatasan pemerintah, kita juga perlu mendorong diri sendiri untuk turut berperan serta. Saat ini, kita sudah akrab dengan istilah zero waste (nol sampah). Ada lima kata berawalan R yang lazim dipakai dalam penerapakan konsep zero waste, yakni : 
  • refuse (menolak penggunaan barang tertentu), 
  • reduce (mengurangi penggunaan barang-barang yang menghasilkan sampah),
  • reuse (menggunakan kembali barang-barang yang masih bisa dipakai), 
  • recycle (mendaur-ulang sampah ke dalam bentuk lain), dan 
  • rot (membusukkan sampah organik). 

Merunut prosesnya, zero waste tidak hanya diterapkan ketika sampah sudah diproduksi (reuse, recycle, rot). Zero waste merupakan pola pikir yang diterapkan sejak sebelum membuat sampah (refuse, reuse). 

Meski baru mulai berdengung di era 1970/1980-an, sesungguhnya zero waste bukanlah konsep baru. Jika menilik jauh ke masa silam, para pendahulu kita justru sudah terbiasa dengan gaya hidup zero waste. Di masa lalu, ketika produksi plastik belum semudah dan semurah saat ini, orang masih akrab dengan kemasan organik. Orang juga masih terbiasa dengan barang-barang yang dipakai berulang kali (reusable) ketimbang pernak-pernik sekali pakai. 

Membaca pernyataan di atas, apakah kita harus kembali primitif agar bisa menerapkan zero waste? Terlebih, dalam selintasan pendengarab, istilah zero waste memang terasa idealis bahkan bisa dibilang utopis. 

Di masa kini, mana mungkin kita bisa benar-benar nol sampah? Sementara, sedari bangun pagi hingga tidur lagi, kita sudah bersinggungan dengan aneka barang dan kegiatan yang menghasilkan sampah. Kemustahilan untuk memproduksi nol sampah berpotensi membuat seseorang keder. Alih-alih tertarik mencoba, justru langsung merasa tak akan mampu melakukannya. 

Saya pribadi termasuk orang yang sempat “alergi” dengan istilah zero waste. Saat mengepos aneka kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan sampah di media sosial, saya memilih menggunakan kata “minimize waste”. Frasa ini terasa lebih realistis dan menggambarkan ketidaksempurnaan saya dalam menjalani zero waste. 

Belakangan, saya menyadari kesalahan saya dalam memahami konsep zero waste. Frasa zero waste tidak bisa dipahami secara mentah baik dalam proses maupun hasil. Zero waste bisa dipahami sebagai filosofi yang mendorong individu maupun masyarakat untuk mendorong produksi sampah hingga ke jumlah yang paling minimal. Bagi saya, nol adalah simbol dari level terendah yang bisa dicapai. 

Happiness is a journey, not a destination. Kalimat ini sepertinya juga bisa diterapkan dalam zero waste. Zero waste is a journey. Tak perlu terancam dengan kata nol yang melambangkan kenihilan. Tak usah kecil hati ketika upaya zero waste kita masih jauh dari ideal. Juga tak perlu menghakimi ketika orang lain masih tertinggal di belakang. 

Saya teringat sebuah tayangan di channel Youtube TEDx Talks yang bertajuk “Why I live a zero waste life”. Saya menangkap layar sebuah komentar yang bagi saya terasa menjadi penyemangat (entah bagi orang lain). Tertulis di sana, “we don’t need a few people doing zero-waste perfectly, we need millions doing it imperfectly.”  


----------------------------------------------------------- 

Referensi : https://sipsn.menlhk.go.id/sipsn https://lifestyle.kompas.com/read/2020/06/17/105239620/gaya-hidup-zero-waste-untuk-menyelamatkan-lingkungan?page=all https://media.neliti.com/media/publications/339205-sosialisasi-zero-waste-di-desa-kediri-ka-1c4f4969.pdf https://zerowaste.id/zero-waste-lifestyle/what-is-zero-waste-anyway/ https://www.zerowaste.com/blog/what-is-it-who-started-the-zero-waste-movement/ http://ibumitala.blogspot.com/2017/08/sejarah-istilah-zero-waste.html

23 komentar untuk "Imperfect Zero Waste"

  1. Wah betul itu. Setuju sekali. Tidak perlu yg beneran melakukan zero waste kalau cuma satu dua. Tapi mending melakukan hal sekecil apapun yg mendukung kelestaryalam dan lingkungan tapi banyak, apalag kalau sampai milyaran orang ya. Hehee

    BalasHapus
  2. Yup, semakin banyak orang yang melakukan gaya hidup zero waste, meski tidak/belum sempurna, akan bisa mengurangi timbunan sampah dari hulu maupun hilir

    BalasHapus
  3. Semakin maju peradaban semakin banyak sampah yang diproduksi. Masih mending sampah-sampah itu bisa terurai lagi di tanah, yang bahaya adalah sampah permanen yang akan merusak bumi. Semoga dengan kesadaran kita semua, sedikit demi sedikit kita mulai hidup dengan nol sampah ya Mbak

    BalasHapus
  4. Nah bener banget ini harus dikelola sampah rumah tangga agar tidak menumpuk apalagi banyak sampah rumah tangga yang sebagian besar non organik.

    BalasHapus
  5. Sudah mulai ada kesadaran untuk membuang sampah pada tempatnya. Meskipun masih banyak juga yang sembarangan. Nah, PR selanjutnya memang bagaimana bijak terhadap sampah

    BalasHapus
  6. aku tertarik dengan pernyataan ini : zero waste is a journey. Jadi bener, meski kadang iriiii sama teman yang sudah ngolah sampah rumah tangga sendiri, rutin setor ke bank sampah, bebikinan barang daur ulang, dll
    Semua yang membuat semangat zero waste-ku jadi terhempaskan...kwkwkw
    Tapi ga boleh ya, meski kita jauh dari ideal, seperti mereka, harus tetap semangat menuju titik nol.
    Sebuah tulisan yang menginspirasi Mbak Lisdha:)

    BalasHapus
  7. Saya juga termasuk yang keder kalau membaca tentang zero waste. Kayanya mustahil kalau nggak nyampah sama sekali. Tapi ternyata banyak juga yang bisa meminimalkan sampah, ya. Harus banyak belajar, nih.

    BalasHapus
  8. Untuk urusan zero waste ini memang berat ya mbak, sesuatu yang mendesak tapi masyarakat lebih banyak yang nggak sadar. Paling baik emang berangkat dari diri sendiri dan kontinyu.

    BalasHapus
  9. Asli, kadang aku memilah sampah di rumah, mengubur sampah organik agar tong sampah tidak becek atau bau dan jadi polusi, bakteri. Memberikan sampah non organik seperti botol plasik, kardus ke bank sampah. Kok kayaknya sepele banget, apa ngefek ya melihat gunungan sampah di mana-mana bikin aku lelah. Apa aku masih memberikan efek pada bumi, tapi akhirnya setelah aku pikir...bisa jadi aku bagian dari milyaran orang yang perduli, maka hal kecil sungguh berarti bagi bumi. Sesimpel itu ya sebenarnya

    BalasHapus
  10. Refuse tu yang masih susah..lha belanja dimana2 pasti ketemunya sama plastik. Sekarang mulai membiasakan bawa wadah sendiri dan tas belanja sendiri itu aja masih suka diliatin orang kek fimana gtu. Moga2 makin banyak yg ngasih contoh spy ga ada wajah2 nyinyir lagi

    BalasHapus
  11. suamiku berah banget memisahkan sampah organik dan un organik dan tentunya makin nyaman deh kalau sampahnya enggak bercampuran

    BalasHapus
  12. Masih jauh dari kata ideal dalan mengelola sampah . Masih belum memisahkan sampah organik dan anorganik. Kadang pengin seperti mereka yang sudah bisa mengelola sampah dengan baik termasuk mendaur ulang sampah

    BalasHapus
  13. Baru aja kemarin aku ikut belajar sharing tentang Zero waste. Nggak perlu muluk muluk, kita bisa memulai dari hal hal paling kecil, seperti memisahkan sampah, bawa botol minuman.

    BalasHapus
  14. Aku pun, usaha ku untuk bisa zero waste masih setengah2. Tapi semoga makin banyak orang yg sadar soal ini. Ya walaupun ga bisa sepenuhnya zero waste setidaknya usaha kecil ini bisa memberikan kontribusi dan berharap bisa berdampak besar.

    BalasHapus
  15. Harus bnget belajar sistem zero waste dari rumahpun bisa ya mba.. biarpun terlihat kecil tapi klo bnyak yg melakukan pasti bumi akan sehat

    BalasHapus
  16. Setuju banget, mbak. Memulai dari hal kecil, kayak belanja bawa tas belanja sendiri, kemudian bawa wadah untuk beli ayam atau ikan. Itu aja udah memulai langkah zero waste ya meski tidak sempurna banget

    BalasHapus
  17. Semoga dengan kontribusi dalam lingkaran rumah kita unyuk konsiaten menerapkan zero waste semakin banyak keluarga teredukasi.

    BalasHapus
  18. Sebuah kesadaran yg masih sulit diterapkan utk sebagian masyarakat terkait zero waste ini,
    Closing yg menendang banget deh mba,
    Dari hal2 kecil, insyaallah akan tercapai kebiasaan tsb

    BalasHapus
  19. Saya baru mulai dari hal kecil bawa tas belanja, bawa minum sendiri kalau pergi-pergi, manfaatin barang bekas

    BalasHapus
  20. saya belum sepenuh zero waste mbak. Tapi langkah yang saya lakukan untuk meminimalkan sampah adalah membawa botol minuman sendiri dan membawa bekal makan kalau keluar rumah. Membawa tas belanja sendiri dan memisahkan sampah organik dan non organik. Tapi yah gitu deh, kadang kalau mood lagi turun, asal campur aja sih.

    BalasHapus
  21. Edukasi yang sebelumnya saya ketahui baru Re-think ( memikirkan kembali tujuan belanja), kemudian reduce, reuse dan recycle. Jadi nambah lagi mind set yang harus saya tanamkan untuk membiasakan zero waste yaitu : selain pilihan rot ( membusukkan sampah organik), yang tidak kalah pentingnya adalah harus berani untuk refuse terhadap barang-barang tertentu ( seperti refuse untuk membeli produk sachet yang kecil-kecil)

    BalasHapus
  22. Quote terakhir itu jleb bgt ya. Kalau dilakukan secara masal, zero waste ini lebih kelihatan efeknya.

    BalasHapus
  23. Belakangan sk mikir. Kesana kemari bawa tote bag. Tp msh sk belanja online yg mana plastiknya pun berlapis2. Krn sjk pandemi emg lbh sk belanja online. Zero waste emg journey banget yak. Aku msh ditahap mencoba konsisten memilah sampah. N lbh kearah refuse sih yg ingin diperbaiki.

    BalasHapus

Terima kasih atas kunjungannya. Mohon tidak meninggalkan link hidup dalam komentar ya :)