Seorang Bunda Mendengarkan Hindia





gambar dari "Song List Indonesia" (Youtube)










Menyesal, tak kusampaikan
Cinta monyetku ke Kanya dan Rebecca
Apa kabar kalian di sana?
Semoga hidup baik-baik saja

Tak belajar, terkena getahnya
Saat bersama Thanya dan Saphira
Kupercaya mungkin bukan jalannya
Namun kalian banyak salah juga
Jika dahulu ku tak cepat berubah



Ini maafku untukmu, Sharfina
Segala doa yang baik adanya
Untukmu dan mimpimu yang mulia

Pindah berkala, rumah ke rumah
Berharap bisa berujung indah
Walau akhirnya harus berpisah
Terima kasih karena ku tak mudah

Pindah berkala, rumah ke rumah
Berharap bisa berujung indah
Walau akhirnya harus berpisah
Terima kasih karena ku tak mudah

Maaf jika kusering buat susah
Indisya, Panda, Anggra, Caca, Sismita
Perempuan terkuat dalam hidupku
Terjanglah apa pun yang kalian tuju

Kau datang saat gelapku merekah
Seluruh hatiku untukmu, Meidiana
Kau pantas dapatkan yang baik di dunia
Semoga kita bertahan lama

Pindah berkala, rumah ke rumah
Mengambil pelajaran jika berpisah
Jikalau suatu saat berujung indah
Catat nama kita dalam sejarah

Pindah berkala, rumah ke rumah
Mengambil pelajaran jika berpisah
Jikalau suatu saat berujung indah
Catat nama kita dalam sejarah

Letih mengembara, rumah ke rumah
Kadang kulupa akanmu, Amalia
Siap sedia tiap kubercerita
Kuberuntung jadi anakmu, Bunda

Pindah berkala, rumah ke rumah
Selalu pada dirimu aku berserah
Jika aku disebut dalam sejarah
Mereka takkan lupa karena siapa

Pindah berkala, rumah ke rumah
Selalu pada dirimu aku berserah
Jika aku disebut dalam sejarah
Mereka takkan lupa karena siapa



(Dari Rumah ke Rumah ~ Hindia)



Kata-kata yang tertulis miring di atas adalah lirik salah satu lagu Hindia a.k.a Daniel Baskara Putra. Gara-gara sebuah iklan, album Hindia “Menari dalam Bayangan” jadi masuk dalam play-listku. Dan seperti kebanyakan orang yang meninggalkan komentar di video musik Hindia, ada rasa related dengan lirik-liriknya. Namun, sepertinya beda generasi membuat aku terhubung dengan cara yang berbeda.

Jujur, aku baru tahu Hindia. Tahunya gara-gara video kolaborasi dengan Iwan Fals dalam sebuah iklan operator kartu seluler. Di iklan tersebut, Bang Iwan membawakan lagu Satu-Satu bersama Rendy Pandugo, Petra Sihombing, dan Hindia. Kolaborasi dua generasi.

Aku tahu Rendy dari film Susah Sinyal-nya Ernest Prakasa. Sementara Petra, sebelum “mengenal” dia sebagai musisi, aku lebih dulu tahu dia sebagai anak Franky Sihombing, penyanyi Kristiani yang terkenal pada masanya.. Lalu, siapa Hindia?

Jadilah aku mengetik namanya di Youtube dan ternyata dia terkenal. Baik sebagai band (Feast) maupun sebagai solo vokal (Hindia), ia mempunyai basis fans yang cukup besar. Konser-konsernya ramai dan ditunggu-tunggu. Ia juga pernah bikin geger jagad musik Indonesia karena ucapannya yang kontroversial.

Tapi aku kan nggak update berita musik, aku sama sekali tak tahu gegeran waktu itu....

Dalam sebuah obrolan di Whatsapp dengan seorang teman, kami sedikit membahas tentang kesehatan mental, lalu aku menyebut nama Hindia. Si teman pun bertanya “siapa Hindia”?

Bagi generasi Z, pertanyaan di atas mungkin terdengar aneh. Wiidiih... nggak tahu Hindia?? Kemana ajaaaa???

Mohon maklum ya adek-adeeek gen-Z, bagi kami pertanyaan itu rasanya wajar. Kami millenial, sudah gitu rentang pendengaran musik kami juga terbatas. Soal musik, kita sudah beda jauh lhoo... Kalian menikmati masifnya musik era digital. Sementara kami tumbuh sebagai generasi pita kaset😀😀. Belum zaman mendengarkan musik dengan hanya bermodal kuota atau bahkan wifi gratisan.

***

Flashback sebentar. Duluuu saat masih sangat-muda, aku sempat berpikir “nggak asik jadi orang dewasa, nggak tahu lagu-lagu yang lagi hits, tahunya lagu-lagu lama.”

Pikiran ini muncul gara-gara seorang oom yang hobi karaoke di rumah. Waktu itu, si oom bersama istrinya (yaitu bulik/adik emak aku) masih menumpang di rumah simbah yang tepat berdampingan dengan rumah orangtuaku. Nah, si oom ini karakoke dengan audio set, jadi suaranya nyaring terdengar kemana-mana. Nggak fals sih... Tapi lagunya itu lho... Pance Pondag, Broery Pesolima, Dewi Yull, Rafika Duri.... idiiiih jadulnya.

Masa itu adalah era kejayaan band atau grup. Sebutlah Slank, Dewa-19, Padi, Kahitna, Base Jam, Kla Project, dan lain-lain. Banyak juga hits dari penyanyi solo seperti Andy Liany, Imanez, atau Anang (ada yang masih ingat penampilan Anang waktu itu? Beda bangeeeet dong dengan sekarang).

***

Meski tidak mutlak, sepertinya selera musik berkorelasi dengan umur. Konon, ada sebuah penelitian yang menyimpulkan bahwa preferensi musik seseorang ditentukan pada usia belasan.* Seperti selera oom aku yang terkunci di lagu-lagu era 70-80an, perbendaharaan musikku juga tak banyak beranjak dari lagu-lagu dan musisi era selanjutnya.

Berdasar teori di atas, pantes dong kalau aku nggak tahu Hindia. Play list aku masih didominasi nama-nama lawas macam Ari Lasso, Glen Fredly, Sheila on 7, atau Gigi. Yang lebih muda, paling Tulus dan Isyana (entah kenapa, aku malah tidak terlalu suka lagu-lagu Raisa).

Tapi memang, preferensi musikku tak sepenuhnya berhenti di era 90-2000an. Kadang, secara random aku mendengarkan lagu-lagu Kunto Aji, Pamungkas, Nadine Amizah, atau Ardhito Pramono yang notabene musisi era sekarang. Nama-nama yang ternyata “selingkaran” dengan Hindia. Makanya, jadinya agak aneh ketika aku nggak tahu Hindia.

Yaa, harusnya bukan hal aneh sih. Ini mungkin semacam emakku tidak tahu siapa itu Gigi dan Noah😁. Selain gap generasi, aku juga bukan music-freak.** Jaaaauh lah sama orang-orang yang kepalanya seperti eksiklopedi musik seperti Soleh Solihun atau Gofar Hilman.

Lagipula, fokus tulisan ini bukanlah untuk membahas musik. Sadar diri, tahu apa aku soal musik? Mungkin penyebutan nama-nama dan era musik di atas juga mengandung kesalahan.

***

Sejatinya, tulisan ini lebih mengarah ke soal parenting. Maka itu, dari judul pun sudah “seorang bunda mendengarkan Hindia.” Ya karena sebagai bunda (yang juga bukan lagi mamah-muda), seperti bukan zamannya untuk mendengarkan Hindia. Ini seperti mengenakan fashion yang salah usia (atau ini hanya perasaanku saja?)

Entah kenapa, ketidak-tahuan tentang Hindia, plus lirik-lirik lagunya membuat aku berpikir tentang masa depan sebagai orangtua. Lirik lagu yang terasa realistis dalam menggambarkan kegelisahan dan kegamangan anak muda, memang sudah terasa lewat bagi aku yang kini sudah dalam usia lebih matang.

Walau memang, fase usia yang sekarang tak berarti bebas kegelisahan. Toh pada dasarnya kegamangan manusia itu sama di setiap level usia. Kekhawatiran, ketidakpastian, ketakutan.... itu kan? Pemantiknya saja yang berbeda.

Saat masih sangat muda, kita biasa gelisah tentang pendidikan, karir, cinta, segala seliweran ide yang menjejali kepala, atau tabrakan keras antara idelisme dan realita.

Saat usia makin matang, kita mungkin sudah bisa lebih menerima dan realistis dalam banyak hal dibandingkan fase sebelumnya. Masalah tetap ada, mungkin hanya beda cara menghadapinya. Di usia dewasa, biasanya seseorang sudah membentuk keluarga baru. Memenuhi dan merawat kehidupan keluarga menjadi rutinitas yang bisa menyerap semua tenaga.

****

Kita kadang seperti kebas terhadap laju waktu. Sering terucap : time flies so fast.... Tahu-tahu.....



Tahu-tahu : dua kata yang mampu menyingkat ribuan hari dengan segala cerita yang mewarnainya. Mungkin nanti, aku juga akan bilang begitu. Bangun-pagi-setiap-hari, lalu tahu-tahu anak-anak sudah besar.



engkaulah busur asal anakmu,

anak panah hidup,

melesat pergi.

(Anakmu Bukanlah Milikmu, Khalil Gibran)



Kita seolah “lupa” tentang hari-hari berjuang merentang busur. Tahu-tahu anak-anak sudah melesat pergi.

Hari-hari ini, aku sering membaca keluh kesah orang-orang muda yang tak punya hubungan hangat dengan orangtua. Mereka yang terpaksa tinggal di rumah karena belum bisa mandiri atau memang tak bisa/tak boleh pergi. Katanya, memang tak perlu membayar uang untuk menggunakan segala fasilitas orangtua. Sebagai gantinya, bayar dengan kesehatan mental.

Yang jauh dari rumah mesti berjuang sendirian. Kerja keras bagai kuda karena mesti menjalani peran sebagai generasi sandwich. Lelah jiwa raga dan rumah bukan tempat yang nyaman ketika sesekali ingin pulang.

Sedihnya....

Membaca tulisan teman-teman muda, aku banyak menemukan cerita tentang gangguan kesehatan mental, tanpa dukungan keluarga dekat. Hubungan datar dengan bara terpendam dan setiap waktu bisa meledak. Dengan marah, orangtua bilang menyesal melahirkan anak seperti dia. Tak kalah gusar, anak menjawab menyesal dilahirkan oleh orangtua seperti mereka.

Ada juga yang hubungannya tampak baik-baik saja. Namun, tetap saja ada ketidaktersambungan erat di antara keduanya.

Tidakkah orangtua dan anak kadang seperti berasal dari planet yang berbeda. Seperti lelaki dari Mars dan perempuan dari Venus, sehingga sering tak nyambung meski punya tujuan serupa?

***

Ketidaktahuanku pada Hindia seolah menjadi gambaran kecil tentang gap-generasi antara aku (sebagai orangtua) dengan anak-anak di masa nanti. Jangankan nanti, saat ini saja, aku tak bisa juga mengerti cara main game online yang adalah kegemaran mereka (dan memang tak tertarik untuk mencobanya).

Terlebih nanti, hari saat mereka muda. Zaman melompat makin jauh, meninggalkan kami para orangtua dalam ketidaktahuan penuh.



.........

Waktu terus bergulir
Semuanya mesti terjadi
Daun-daun berguguran
Tunas-tunas muda bersemi

.........

(Satu-Satu, Iwan Fals)

Pada masa itu, perjuangan sehebat apa yang akan mereka hadapi? Kegelisahan semacam apa yang akan mereka perangi? Kegamangan seperti apa yang harus mereka lewati? Dan sejauh apa aku dan suami mampu untuk membersamai?

***

Untuk dua lelaki kecilku, suatu hari, mungkin kalian akan membaca tulisan ini. Hari di mana kita telah melewati banyak cerita. Ada cerita manis tapi tak bikin diabetes. Atau cerita yang agak gawat karena ada hal-hal yang kita tak bisa bersepakat.

Jika pada hari itu, kita sedang tak baik-baik saja, ingatkan Bunda pada Hindia. Mana tahu, saat itu aku sudah lupa..(*)




----------------------------------------



* https://daenggassing.com/musik/ciri-musik-90an/

**Someone who appreciates music in it's entirety. Doesn't have a favourite band or artist. They usually know everything about any genre of music and can tell good music from bad music. (Urban Dictionary)



2 komentar untuk "Seorang Bunda Mendengarkan Hindia"

  1. Kalau diingat dulu saya juga suka nonton film India dan lihat arti lagunya yang menyentuh perasaan apalagi duh kesannya dalem banget.

    BalasHapus
  2. Ngga ada yg berubah. Seorang penulis sejati yg ide dan kemampuan sangat terasah. Terus semangat berkarya mbak lisdha.

    BalasHapus

Terima kasih atas kunjungannya. Mohon tidak meninggalkan link hidup dalam komentar ya :)