Jodoh Kompos (Praktikum The Series)

 

Danau Sidihoni - Samosir (gambar hanya pemanis๐Ÿ˜€)

Jodoh kompos. Rrrrr, gabungan kata yang tidak familiar bukan? Dua kata yang terasa dipaksa untuk disandingkan. Seperti pengantin yang dijodohkan tanpa persetujuan. Hahaha, apa’an siiiiiih....

Postingan kali ini masih rangkaian dari praktikum the series. Sebelumnya saya sudah menulis tentang membuat MOL dari Limbah Dapur, disambung Membuat Lubang Biopori Sederhana. Nah, tulisan tentang kompos akan menutup tulisan tentang pengelolaan sampah rumah tangga ala DW.

Agak bosan juga ketika terus menulis dengan tema yang sama. Entah kalau suatu saat akan menulis pengalaman praktikum tentang sampah lagi. Trial membuat biogas misalnya.... (Hahaha, sejauh ini sih rasanya nggak   mungkin coba bikin biogas. Menyebut biogas gara-gara komentar di tulisan tentang biopori).

Di tulisan ini, saya tidak akan memaparkan metode atau pun teknik membuat kompos ya... Sebab, saya adalah “pemain baru” dalam pembuatan kompos. Untuk tahu tentang teknis dan lain sebagainya, sepertinya lebih baik mencari sumber yang lebih berpengalaman ^-^

Di sini, saya akan lebih mengulik tentang “perjodohan” saya dengan kompos. Nah kaaan..perjodohan kok dengan kompos. Maksude piyeee coba?

Background-nya adalah komentar dari mbak Dian Kusumawardani dalam tulisan biopori. Mbak Dian bilang kalau dia mengelola sampah organik dengan metode felita. Etdaaaah...apa itu felita? Seriusss bahkan lima riuss, saya baru saat itu tahu istilah felita.

Saya pun berselancar di pantai Google (soalnya belum berani kalau ke laut hehehe). Lalu bertemulah saya dengan sebuah tulisan zero waste di blog emakbahagia (link di bawah). Oalaaaah, jadi tahu deh apa itu felita. Walau belum mengerti secara detail, setidaknya tahu kepanjangan dari felita yakni fermentasi limbah rumah tangga.  

Gambar peralatannya lucu lhooo...persis dispender minuman. Bisa cek di  blog emakbahagia yaaa...^-^

Uniknya, beberapa foto dalam artikel itu merupakan tangkapan layar dari postingan facebook atas nama Dian Kusuma Wardani.  Sepertinya saya belum berteman dengan Mbak Dian di facebook. Apakah dua nama dengan penulisan sedikit berbeda (Kusumawardani dan Kusuma Wardani) adalah orang yang sama? Kalau Mbak Dian baca ini, bisa deh langsung jawab๐Ÿ˜€.

Dalam tulisan itu, selain felita, saya juga membaca cara pengomposan dengan metode drum biru, takakura, dan gerabah. Drum biru dan takakura, saya sudah lama tahu. Sedangkan metode gerabah, saya baru tahu dari tulisan tersebut.

Rrrrrrrr....mana...mana..mana tentang jodohnya?

Waiit...sabar yaaaa. Ini sudah mau sampai bagian jodoh ^-^

Saya kutip satu kalimat dari artikel tersebut : .... perjalanan menemukan komposter yang cocok itu seperti cari jodoh :p

Mungkin ini kalimat untuk lucu-lucuan (dan memang terasa lucu buat saya). Namun, saya bisa menangkap kebenarannya. Jodoh sering berkelindan dengan dua misteri bukan? Yakni tentang waktu (timing) dan pilihan.

Ya nggak? Ya nggak?

Jodohnya sudah tiba (atau sebaliknya, jodohnya belum tiba). Terdengar familiar? Atau “dari sekian pilihan, akhirnya berjodoh dengan X”. Ini familiar juga kan?

Dalam hal saya mengompos sampah, perumpamaan tentang jodoh ini ada benarnya. Ya sih, nggak bisa disejajarkan 100 persen. Pokoknya ada miripnya lah (entah berapa persen) ^-^

Pertama soal timing.

Saya ini orang kampung dan anak petani. Dua label yang harusnya bikin saya tidak asing dengan kompos. Ditambah lagi saya sekolah kejuruan pertanian disambung kuliah di fakultas pertanian. Memang siiih, jurusan saat SMK itu Teknologi Hasil Pertanian yang mana praktiknya bukan di lahan tapi di laboratorium. Then, saat kuliah, jurusan saya sosial ekonomi pertanian dengan program studi penyuluhan dan komunikasi pertanian.

Lah, kan program studi penyuluhan, garda terdepan bidang pertanian.  Kalau cuma mengompos, mestinya sudah paham dan trampil dong. Yayaya, itu kan idealnya. Faktanya, saya adalah mahasiswa yang “nyasar”. Kuliah-nya apa, bacaan dan aktifitasnya apa... Seorang teman pernah berkata, kamu ini mahasiswa sastra pertanian๐Ÿ˜….

Terlebih, zaman saya kuliah (entah kalau sekarang), praktik di lahan itu sedikittt sekali. Pas semester-semester awal saja kayaknya. Selanjutnya, praktikum dan mata kuliah lebih ke sosial pertanian (pemberdayaan masyarakat). Belum pernah lho praktik bikin kompos.

Ya sih, tetap tidak bisa dijadikan alasan. Kan tetap lulus dengan label sarjana pertanian (untungnya nggak cum laude wkwkwk). Idealnya ngerti dong kalau cuma soal kompos, pupuk, benih, bibit edebre edebre...  

Apa daya, idealita tidak sejalan dengan realita. LOL.

Kalau soal pengin, itu sih sudah dari lama. Namun, virus CLBK (Cuma Lihat Beraksi Kapan-kapan) itu sering kuat menyerang. CLBK alias TarSok...Ntar Besok. Entah besoknya kapan. 

Kalau soal alasan, gampang banget carinya. Seperti sewaktu tinggal di Medan, alasannya karena di rumah nggak ada lahan terbuka. Padahal dengan kondisi seperti itu bisa aja pakai metode takakura.

Dengan background pendidikan dan juga punya keinginan, toh tidak membuat saya cepat menerapkan pengomposan. Jadi, anggaplah saat ini timing saya baru tiba. Haha, tercium  bau-bau pembelaan diri ya kan^-^

Kedua soal pilihan.

Buat yang sudah menikah, mengapa dulu memutuskan untuk menikah dengan pasangan sekarang? Besar kemungkinan, dari pilihan yang ada, cocoknya dengan “si dia”. Nah ternyata begitu juga soal mengompos.

Banyak sekali metode pengomposan. Prinsip dasarnya adalah satu, yakni pembusukan bahan organik. Namun, caranya bermacam-macam. Sewaktu hendak mulai mengompos, saya lihat lagi referensi di Youtube dan....tradaaa...buanyaak sekali video cara pengomposan.

Saya melihat, menimbang, dan akhirnya menjatuhkan pilihan : pengomposan metode karung.

masih sangat sederhana

Anggaplah, sementara ini saya berjodoh dengan metode ini. Haha, pakai kata sementara karena bisa jadi nantinya mencoba metode lain. Nah ini bedanya dengan perjodohan yang sebenarnya. Kalau perjodohan dalam arti pernikahan sih cukup satu saja dan tidak mencoba yang lain-lain.

Mengapa memilih pengomposan dengan metode karung?

Haha, dalam memilih pasangan pastinya pakai alasan. Sama juga dalam hal saya memilih metode pengomposan ini.

Alasan utama saya adalah kepraktisan.  Kan masih belajar tahap awal, jadi pilih yang mudah dulu. Ini sejalan banget deh dengan kebiasaan saya dalam mencari resep masakan, yakni pilih resep yang pakai label “simpel” atau “anti gagal”. Resep yang tinggal cemplung-cemplung gitu.

Pengin sih coba komposter yang lebih “beradab”. Pakai ember atau pakai drum, rasanya lebih sopan daripada pakai karung bekas kemasan beras. Namun, sekadar beli ember atau drum saja ada malasnya loh. Di rumah adanya karung bekas, ya sudah pakai itu saja. Daripada menunggu beli ember dan akhirnya tertunda lagi. Lagipula, sebisa mungkin manfaatkan peralatan yang ada (ingat mantra reduce, reuse, recycle dong). Mumpung lagi on fire (hahaha), segera laksanakan. Masih sangat sederhana, nggak apa-apa. Ini kan learning by doing.

Sejauh ini, saya menggunakan dua karung bekas dan saya taruh di dekat pintu keluar dapur. Penempatan di dekat dapur ini memudahkan sekali. Saat ada sampah, saya langsung memisahkan antara sampah organik dan non-organik. Sampah organik saya tampung dalam wadah tersendiri dengan ukuran yang tidak terlalu besar. Saat wadah penuh, saya bisa langsung memasukkan dalam karung.

Sampah saya masukkan secara bertahap (tiap ada sampah langsung saya masukkan). Jadi memang waktu kematangan kompos tidak bisa seragam. Saat ini, kompos saya belum “matang” sempurna. Mengompos memang perlu waktu.

Mengutip puisi Chairil Anwar, kerja belum selesai, belum apa-apa. Jika dibandingkan volume sampah komunal yang begitu buesaar, tindakan saya malah terasa bukan-apa-apa. Namun, bagi saya, ini merupakan pencapaian sederhana yang harus saya apresiasi (sendiri). Langkah kecil tapi nyata, daripada selama ini sekedar wacana.

Bagi teman-teman yang tertarik untuk juga memulai mengompos secara sederhana, bisa nih tengok video dari MGB Channel.  Ini adalah salah satu channel youtube tentang berkebun favorit saya. Link tentang kompos dan MOL saya taruh di bawah. (DW)


------------------------------------------

Referensi :

https://emakbahagia.wordpress.com/2018/06/14/zero-waste/

https://youtu.be/B1j2WC0ayHw

https://youtu.be/-tzYJdIhfho

https://youtu.be/LjkdTZvv6Qg



30 komentar untuk "Jodoh Kompos (Praktikum The Series)"

  1. Mbak Lisdha judulnya unik..teteup series dari pengelolaan sampah ya. Keren euy, aga ada rotan akar pun jadi..Pakai metode karung ternayta juga bisa..Wah, ilmu baru. Ditunggu lanjutan hasilnya yang matang ya Mbak Lisdha

    BalasHapus
    Balasan
    1. bentar lagi matang mbak..siap disajikan (pada tanaman) hehehehe

      Hapus
  2. Iya aku perdah denger metode karung ini, salah satu teman sekolahku mempraktekannya, jadi denger ceritanya eh ternyata sama kek disini, seruu yaa, banyak cara dan jalan untul melakukan hal terkecil tapi kaya akan manfaatnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. banyak jalan menuju roma teh :)

      Hapus
    2. Iya nggak ada rotan akar pun jadi, banyak jalan menuju ke Roma. Pakai karung pun ternyata bisa ya Mbak.

      Hapus
  3. Nah, ini cara yang praktis dan murah ya, pakai karung bekas aja bisa :) Memang deh kayak jodoh bikin kompos ini...Oh jadi kematangan sampahnya ga merata ya mbak? Kayaknya butuh ketekunan dan kesabaran nih bebikinan gini aku sebagai pengamat aja yak hahaha :) Salut sama mbak Unik :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. gapapa mbak pengamat aja pon, kan pasti tetap punya interest lain yang banyak manfaat :)

      Hapus
  4. Wa, ternyata bikin kompos butuh ketekunan dan kesabaran tinggi ya. Kematangan sampahnya pun ga merata. Pakai karung bekas kayak gini praktis dan murah mbak. Ga usah beli ember segala hihihi..Iya ya kayak jodoh aja bebikinan kompos. AKu sebagai pengamat aja deh ga demen bebikinan ini hehehe. Salut sama mbak Lisdha :) TFS.

    BalasHapus
  5. Hoo jadi mau ngompos pakai aja apa yg ada di sekitar kita ya? Aku ngompos pakai pot gerabah berbagai ukuran gitu. Nggak mikir macem2 sih awalnya. Cuma emang karena itu aja yg ada di rumah. abis dulu nanam di pot tanamannya mati mulu. akhirnya kupakai buat ngompos. Hasil jadinya taruh di pekarangan, sekarang tanaman di halaman jadi subur. hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. tiap perlu sesuatu (untuk dipakai), biasanya saya selalu berpikir 3R dulu sih heheheh

      Hapus
  6. Sebenarnya bikin pupuk kompos itu mudah ya. Kita bisa pakai barang2 yg di sekitar kita. murah meriah juga biayanya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. mudah, cuma sudah berjodoh atau belum
      Atau mau dijodohkan atau tidak heheheh

      Hapus
  7. Jadi kita pilih sendiri ya menggunakan bahan apa dan metode apa untuk membuat kompos ini ya mbak, mana yang paling mudah bagi kita..

    BalasHapus
  8. Keren euy, ini nih butuh kesabaran banget kalau bikin kompos kek gini. Kalau saya udah angkat tangan duluan deh mbak

    BalasHapus
  9. aku baru tahu kalau kompos ini bisa pake metode karung.... mau belajar juga ah. selama ini aku pake metode ember hehehe dan emang kompos ini ngaruh banget ke tanaman hehehe

    BalasHapus
  10. Metode karung untuk semua jenis sampah? Basah dan kering? Sampah dapur basah bisa? Tp kalau sampah basah jadinya bau banget ya

    BalasHapus
  11. pagi ini aku nemenin mamah nyari kompos dan tanah buat tanaman di rumah, trus baca tulisan mu mak, wah bisa ya ini diterapkan, makasi mak

    BalasHapus
  12. Bisaan aja nih mak Lishda bikin judul.
    Saya jadi penasaran apa maksudnya...
    Hahaha...
    Sy udah mulai myiba juga mba utk misahin sampah di rumah.
    Tp krn yg urus sampah keluar itu bude yg kerja dia masih cuek aja meksi udah dibilangin utk masukin samoah yg did alem udah dipisahkan utk di tempatkan di masing2 temoat di kuar rumah. Sy bikin lubang tanah di kebon untuk samoah organik sih mba. Klo sampah plastik kertas n yg bs didaur ulang di bawa sm tukang sampah

    BalasHapus
  13. Kerennya Mak.
    Mirip,saya dibilangin teman "insinyur sastra" (saya kuliahnya FT).

    Padahal sewaktu kuliah saya malah tertarik sama psikologi haha kacau ya.

    Btw, berikutnya cerita soal kompos yg dihasilkan yaa.

    BalasHapus
  14. Mbak, aku juga dari kampung dan bapakku juga petani. Tapi aku juga tidak paham dunia perkomposan. Kalau pupuk yang beli itu saya tahu. ๐Ÿ˜๐Ÿ˜

    Saya perlu memilah-milah sampah juga nih. Biar bisa bikin kompos yang praktis dengan karung sama seperti Mbak.

    BalasHapus
  15. Unik juga bikin kompos pakai karung gini, Mbak. Aku tahunya tuh yang sistem langsung gali tanah. Sama yang lagi hits sekarang pakai kaya dispenser air. Teknik felita itu ya namanya?

    BalasHapus
  16. pakai karung juga bisa ya mbak untuk buat kompos
    aku baru nyoba pakai kerangjang takakura dan felita saja ji

    BalasHapus
  17. Hmmm. jadi kalau dipikir2 soal kompos ini akhirnya balik ke kitanya ya mba, seberapa serius kita mau mengolah sampah yang ada dan ga membebani bumi dengan sampah kita. Karena nyatanya membuat kompos itu bisa dipelajari dan ga rumit-rumit ya. Bahan dan alat bahkan yang udah ada di sekitar kita aja ya

    BalasHapus
  18. Tumben nih saya dengar bikin kompos pakai karung gini. Sayanya kudet banget sepertinya hahaha. Emang nih yaa, kitanya harus bergerak bersama, bijak mengolah sampah, agar dapat menjadi sesuatu yang bermanfaat. Salah satunya ya kompos ini.

    BalasHapus
  19. Waah...terpana sama metodenya.
    Ternyata asalkan mau, gak ada alasan gak bisa yaa..
    Aku suka banyak alesan niih...padahal pengen pake banget hidup zero waste.

    BalasHapus
  20. Mba, kalau pake karung gitu rawan digeragotin tikus ndak? Di rumahku tikusnya buanyaaakk, kebun terbukanya cukup luas soalnya. Pernah bikin ditaruh di pot dikasih tutup loh, tetep aja diserbu sama si tikno itu. :(

    BalasHapus
  21. Ternyata beragam cara untuk membuat kompos ya mba, metode karung ini lumayan bisa dicoba buat pemula.

    BalasHapus
  22. Wah kalau semua orang kayak mba..pasti Aman ini dari limbah sampah rumah tangga banyak manfaatnya sebenarnya ya kalau rajin๐Ÿคฆ bikin kompos dari pengelolaan sampah rumah tangga

    BalasHapus
  23. Aku belum coba nih yang pake karung..kayaknya boleh dicoba secara emang praktis...stok karung bekas juga banyak...

    BalasHapus
  24. Suami saya pernah nyoba praktik bikin bikin begitu, etapi hasilnya belum maksimal, dan sudah menyerah. Huhu.

    BalasHapus

Terima kasih atas kunjungannya. Mohon tidak meninggalkan link hidup dalam komentar ya :)