Dee dan Zee

Hasil gambar untuk tears image
 pic : www.dayoftears.com





Sebenarnya, aku agak ragu menuliskan ini. Aku khawatir yang bersangkutan tidak berkenan, sementara aku segan meminta izin. Jadi, jalan tengahnya, aku menyamarkan nama dan tempat kejadian saja. Yang terpenting adalah pelajaran yang bisa aku (dan mudah-mudahan kita) ambil dari peristiwa ini. 

Jadi, sebut saja namanya Dee. Sebenarnya aku dan Dee tak ada hubungan darah maupun keluarga. Tapi ada situasi yang membuat kami layaknya kerabat. Ia adalah seorang ibu muda (jauh lebih muda dari aku) dengan dua anak yang hampir sebaya dengan dua bocahku. Sulungnya Dee lahir satu bulan lebih awal daripada sulungku, Ale. Sedangkan bungsuku, Elo, justru lebih tua sekitar 1,5 tahun dibandingkan anak kedua Dee.

Dua minggu lalu, aku menerima kabar duka. Zee, sebut saja begitu, si bungsu Dee meninggal di usia 16 bulan. Aku jelas syok. Sebab, seminggu sebelumnya aku, suami, Ale, dan Elo berkunjung ke rumah Dee. Saat itu,  Zee terlihat sehat. Memang Zee ini balita yang susah makan (pakai banget!). Jadi badannya memang terlihat mungil. Tapi saat itu, Zee dalam kondisi sehat.

Bahkan dengan riang Dee berkisah kalau Zee sudah mau makan. Meski sedikit-sedikit, setidaknya ada asupan di samping ASI saja. Itu sudah kemajuan berarti bagi Zee yang sebelumnya sering muntah tiap menelan makanan. Maka itu, meski sudah usia MPASI, bisa dibilang asupan utamanya masih ASI.

Jangan tanya apakah Zee pernah dibawa ke dokter anak tentang “sering muntahnya”. Di kampung Dee, kebanyakan ibu-ibu akan menjadikan pergi ke dokter anak sebagai opsi terakhir. Langkah yang akan diambil jika pengobatan alternatif dan bidan/mantri sudah tak mampu mengatasi penyakit anak. Jangan langsung salahkan. Faktanya, tanpa asuransi atau tanggungan biaya kesehatan dari perusahaan, pergi ke dokter spesialis anak butuh dompet tebal.

Tapi Dee bilang, Zee mau makan setelah dibawa ke dokter M, salah satu dokter spesiali anak yang pasiennya selalu antre panjang. (Duuuh, dulu waktu masih tinggal di kota itu, aku males banget ke dokter M, males antrenya). “Obat sama periksanya habis 500 ribu lho Bund,” ujar Dee lalu mengangsurkan satu kantong berisi obat-obatan Zee. (Benar kan? Ke DSA itu butuh uang banyak. Mana ada ke DSA cuma butuh puluhan ribu rupiah? Sekolahnya saja sudah muahal. Kalaulah ada, itu mungkin malaikat sedang menyamar😑).

Di usia 16 bulan, Zee belum berjalan. Berdiri pun masih harus dipegang. Tapi seperti halnya Elo yang terlambat bicara, banyak juga anak yang telat berjalan kan? Namun Dee pengin Zee bisa segera berjalan. Kubilang, sabar saja. Menurutku, belum jalan di usia 16 bulan adalah sesuatu yang tidak terlalu mengkhawatirkan. Apalagi si bocah tak terlihat mengalami masalah serius. Lalu kuceritakan salah satu anak kawan kami yang baru jalan di usia 18 bulan. (Tapi memang, seperti yang kurasakan saat Elo belum juga bicara, sabar itu butuh perjuangan).

Seminggu setelah kunjungan tersebut. Itu adalah Senin pertama Ale masuk sekolah. Ayah Ale bahkan sudah masuk kerja jauh hari sebelumnya. Jelas kami tak ada agenda pergi keluar kota. Tapi demi kabar meninggalnya Zee, kami harus pergi ke sana. Usai Ale pulang, kami berusaha secepat mungkin menempuh jalan, kalau-kalau bisa mengejar waktu pemakaman. Tapi kami butuh waktu sekitar tiga jam untuk sampai rumah Zee. Pemakaman sudah usai.

Tinggal kudapati wajah-wajah sedih dari seluruh keluarga, juga empati para pelayat. Dee terduduk lemas. Matanya bengkak, tubuhnya lunglai. Ratapannya terdengar tiap ada pelayat yang pamit dan mengungkapkan simpati.
Akhirnya, ceritanya kudapat. Mungkin rincian peristiwanya tak persis, tapi inilah garis besarnya. Jumat sebelum Senin itu, Zee dibawa ke tempat pengobatan alternatif. Aku tak detail bertanya seperti apa macamnya tempat itu. Tapi kalau di kampung, tempat semacam itu sudah lumrah. Kalaulah tak disebut dukun, biasanya dia adalah seorang tua yang dianggap punya kemampuan khusus. Dee memutuskan membawa Zee ke sana setelah mendengar dari seorang kawan, bahwa simbah itu bisa membantu anak cepat berjalan. Konon, di sana Zee dipijat dan diberi ramuan yang diminumkan.

Usai dipijat, Zee diare dan demam tinggi. Hingga Sabtu, Zee masih demikian. Minggu pagi-pagi, Dee kembali membawa Zee ke si mbah tersebut. Mungkin kembali dipijat dan diberi ramuan, aku tak terlalu bertanya detailnya. Minggu sore, Zee mengalami kejang-kejang sehingga Dee membawanya ke mantri terdekat. Pak Mantri langsung merujuk Zee ke rumah sakit terdekat. Itu hari Minggu dan rumah sakitnya adalah rumah sakit di kecamatan (entah RS kelas apa, aku tak paham tingkatan kelas RS). Yang jelas bukan RS besar. Kemungkinan Zee hanya ditangani oleh dokter umum. Dia mendapatkan tindakan pertolongan, seperti diinfus dan dioksigen.

Dengan suaminya, Dee bergantian menjaga Zee. Senin pagi,  kondisi Zee memburuk. Petugas medis merekomendasikan agar Zee dibawa ke RS di kota. Tapi, malang, semua RS rujukan yang ditelepon menyatakan ICU (atau NICU?) mereka penuh. Zee sempat dipacu jantung sebelum akhirnya meninggal di depan mata Dee dan suaminya. 

Bagiku, itu kronologi yang sangat emosional. Dari sejak masuk rumah sakit hingga meninggal, kejadiannya terhitung cepat. Tak ada yang menyangka. Bahkan tetangga-tetangga pun terkejut karena mereka bahkan banyak yang belum mendengar kabar kalau Zee masuk RS. Aku langsung terbayang bagaimana hari-hari kalutku saat Elo sakit dan divonis harus kolostomi. Melihat Elo yang lemah lunglai sudah bikin aku sakiit. Apalagi Dee yang harus melihat Zee pergi selama-lamanya. 

Baca : cerita Elo sakit Hirchsprung

“Semua memang salahku. Salahku yang tak sabar ingin dia segera jalan,” ratap Dee saat aku duduk di sampingnya. Lalu ada moment, di mana aku di dapur dan Dee mandi. Dia menangis di situ dengan kata-kata yang kudengar jelas, “Maafkan Mamak Zee, maafkan Mamak..” 

Sebagai sesama emak-emak, aku ikut menangis. Bahkan, menulis ini pun aku sambil menangis. Mungkin banyak orang akan dengan mudah “menyalahkan” keputusan Dee membawa Zee ke tempat pijat itu. Dan orang akan dengan mudah menyatakan pijatan dan ramuan yang diminum Zee sebagai faktor penyebab.

Mudah-mudahan tak ada orang nyinyir akan hal tersebut. Sebab tanpa dihakimi pun Dee sudah menyesal sepenuh-penuhnya, sedalam-dalamnya. Merasa bersalah, merasa sebagai penyebab kepergian anaknya. Duuuuh, sungguh perasaan yang teramat berat.

Aku cuma bisa mendoakan Dee agar bisa melalui hari-hari gelap ini. Sembari terus mengingatkan diriku agar tidak mudah men-judge orang. Sebab, aku tak pernah secara persis berdiri dengan sepatu orang tersebut. Terlebih kami mengalami persoalan yang agak mirip. Zee telat berjalan. Sedangkan Elo telat bicara. Kondisi yang membuat kami sama-sama ngupoyo (berusaha), mencari jalan supaya anak-anak kami mencapai kemampuan tersebut. 

Baca : Akhirnya Dia Bisa Bicara

Hanya saja, mungkin aku lebih beruntung. Pada Elo, kejadiannya adalah happy ending. Dari kejadian ini, aku cuma bisa berharap (duuuh, cuma berharap...tapi apa yang bisa kulakukan?), supaya edukasi kesehatan bisa semakin luas hingga ke kampung-kampung, ke segala tingkatan ekonomi dan pendidikan. Supaya kami, para ibu, dari segala kasta sosial, bisa mendapatkan pengetahuan yang memadai tentang kesehatan anak. Aku akan nyeri jika mendengar lagi kisah semacam ini. Meski memang, kalau soal maut, pada umumnya kita akan berkata, semuanya takdir Yang Maha Kuasa.

Zee, tenang dan bahagia kau di sana ya Nak..


8 komentar untuk "Dee dan Zee"

  1. Aku ikut nangis bacanya Mb. Seandainya..seandainya..tapi memang sudah takdirnya seperti itu..semoga Dee segera pulih dr penyesalannya. Hidup dihantui penyesalan itu sakittt..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kemarin aku telp Dee..bersyukur banget mendengar nada suaranya yang tegar, Mbak Diba.

      Hapus
  2. Aamiin. Mirip dengan kisahku Mbak. Cuma anak pertamaku lahir cacat terus meninggal umur 13 hari. Jadi aku dulu merasa bersalah banget, apa yg udah kumakan, kulakukan dst, dll...Alhamdulillah semakin lama makain sadar kalau semua bisa jadi sudah takdir-Nya, dengan jalan cerita yang seperti itu. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bisa memahami perasaan Mbak Dian. Waktu anakku opname saja, aku juga merasa bersalah. Apa yang kulakukan (atau tidak kulakukan) sampai anakku sakit seperti itu..Bersyukur ya Mbak, masa-masa itu sudah terlampaui .

      Hapus
  3. Sedihnya Mbaaak, dan bener banget, ibunya pasti jauh lebih sedih, apalagi kalau dihakimi sebegitunya. Mudah-mudahan harapan Mbak bisa terwujud ya, Mbak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. amiin. iya mbak, sebulan berlalu, si ibu masih tampak sedihnya meski berusaha tampak tegar

      Hapus
  4. Sampe sekarang saya juga masih merasa bersalah, Mbak, apalagi anakku gak sakit apa-apa sama sekali, hingga banyak pengandaian-pengandaian. Sampe sekarang susaaaah banget mau nerima kenyataan. Dari luar kelihatan tegar, padahal dalemnya keropos.

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya mbak...saya sendiri tak sanggup bayangin kalau itu terjadi pada saya. semoga waktu menolong mbak dwi yaa...meski kalau tulisan di blog teman : kesedihan tak mengenal tanggal kadaluwarsa. :(

      Hapus

Terima kasih atas kunjungannya. Mohon tidak meninggalkan link hidup dalam komentar ya :)