Berkunjung ke Masjid

Berkunjung-ke-masjid
Foto ilustrasi (Canva)


Beberapa minggu lalu, Ale ~ si anak sulung dan teman-temannya berkunjung ke salah satu masjid di Kota Makassar. Saat ini, Ale duduk di kelas tujuh di sekolah Ale berbasis Katolik. Kunjungan ke masjid merupakan salah satu bagian dari Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5).


P5 merupakan salah satu implementasi dari Kurikulum Merdeka. Mengutip dari guruinovatif.id, Profil Pelajar Pancasila adalah karakter dan kemampuan yang dibangun dalam keseharian dan dihidupkan dalam diri setiap individu peserta didik melalui budaya satan pendidikan, pembelajaran intrakurikuler,  kokurikuler, dan ekstrakurikuler. 


Adapun P5 merupakan pembelajaran lintas disiplin ilmu dalam mengamati dan memikirkan solusi terhadap permasalahan di lingkungan sekitar untuk menguatkan berbagai kompetensi Profil Pelajar Pancasila.


Duuuh, bahasanya akademis banget yaaa…Hihi, sekolah kan memang dunia akademik, wajar dong kalau pakai bahasa akademis, masa pakai bahasa wicis-wicis.


Seperti saya tulis di alinea pertama, kunjungan ke masjid adalah salah satu bagian projek. Adapun keseluruhan projek ini adalah mengunjungi enam tempat ibadah agama resmi di Indonesia, yakni masjid, gereja katolik, gereja protestan, wihara, pura, dan klenteng. Sejauh ini, yang terlaksana baru kunjungan ke klenteng dan masjid. Kunjungan selanjutnya akan dilaksanakan usai libur awal puasa.


Menurut Ale, dalam projek ini, murid kelas dibagi dalam enam kelompok. Lalu, dalam setiap kunjungan, kelompok mengirim perwakilan satu anggota. Di akhir projek, laporan masing-masing anak disatukan. Dengan cara ini satu siswa hanya berkesempatan mengunjungi satu tempat ibadah. Memang kurang ideal sih yaaa… Namun, pasti ada beberapa pertimbangan sehingga projek ini dilaksanakan dengan cara demikian.


Bersyukur Ale dapat jatah ke masjid. Kalau dapat jatah ke gereja kan jadinya bukan pengalaman baru… (meskipun kata Ale, anak-anak Protestan di-plot ke gereja Katolik, sebaliknya anak-anak Katolik di-plot ke gereja Protestan).


“Jadi apa saja yang kalian lakukan di masjid?” tanya saya pada Ale.


“Ya masuk masjid, di dalam dijelasin beberapa hal. Terus dipersilakan tanya-tanya, nanti dijawab,” kata Ale.


“Ada Pak Ustad yang jawab?” saya lanjut bertanya.


“Waktu itu nggak ada Pak Ustad sih, tapi guru Pancasila kan beragama Islam, jadi dia yang menerangkan,” jawab Ale.


Meski berbasis Katolik, beberapa guru dan staf di sekolah Ale memang beragama muslim. Sejujurnya, kalau merujuk pada pengalaman keragaman, saya prefer sekolah umum. Namun karena dulu cari sekolahnya mendadak dan sudah masuk Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah, jadi kami daftar ke sekolah itu. Fakta keberadaan staf, guru, dan juga murid non-nasrani malah melegakan buat saya. Jadinya tidak sepenuhnya seragam meski tentu saja tidak se-beragam sekolah umum. 


Pengalaman Masa Kecil


Tinggal di negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia, masjid jelas bukan tempat ibadah yang asing. Sejauh saya tinggal dan berkunjung ke berbagai tempat di negeri ini, masjid mudah ditemukan di mana-mana. Namun, bagi non-muslim, masuk ke dalam masjid adalah pengalaman langka (atau mungkin malah ada yang belum pernah sama-sekali). 


Sepertinya, kunjungan ke masjid dalam rangka P5 adalah pengalaman pertama bagi Ale. Saya sendiri sudah beberapa kali masuk masjid, baik saat masih kecil maupun ketika sudah masuk usia dewasa.


Saat masih kecil, saya pernah masuk masjid karena ….. ikut teman-teman menikmati takjil.😀 Entah bagaimana detail prosesnya saat itu, ingatan saya hanya samar-samar. Mungkin dari main bareng di siang hari, lalu lanjut janjian ikut ke masjid setelah mandi.


Di masa itu, kadang saya juga main ke wihara karena wihara-nya terletak persis di belakang rumah sahabat dekat. Keluarga sahabat saya yang pegang kunci wihara tersebut, jadi sekali waktu saya pernah masuk ke dalamnya. 


Saat kecil sih polos saja, tak ada pikiran macam-macam saat masuk ke masjid atau wihara. Kebetulan, pas di sana nggak dikasih komentar negatif dari orang-orang di masjid/wihara. Ketika sampai rumah juga tidak dapat wejangan bernada amarah dari orangtua.


Saat dewasa, saya berkesempatan masuk masjid, bahkan pesantren untuk urusan pekerjaan. Dulu, saya sempat bekerja menjadi kuli tape recorder tinta. Masuk masjid dan pesantren memang untuk urusan liputan, tapi tetap saja memberi kesan. 


Saya rasa lintasan-lintasan pengalaman itu berperan dalam membangun perspektif saya terhadap keragaman agama. Saya lahir dan tumbuh di lingkungan mayoritas muslim tapi ada ruang bagi agama lain. Jadi, tidak sulit bagi saya untuk berinteraksi dengan pemeluk agama yang berbeda. Juga jadi tidak sulit untuk menghargai dan menghormati kepercayaan maupun tata ibadah agama lain.


Komentar Kebencian


Beranjak besar, saya mengenal istilah phobia dalam kehidupan beragama. Kristenophobia, Islamophobia, Hinduphobia, Buddhaphobia…. dan entah apa lagi. Ada orang-orang yang phobia (takut/benci berlebihan) hanya karena status kepercayaan. Di dunia ini, mudah menemukan contoh kasus kebencian dan kekerasan atas nama agama (agama apapun). 


Di era internet, kondisi seperti itu bukannya mereda, tapi sepertinya malah semakin mendapatkan ruang. Internet memang seperti pedang bermata dua, yang memiliki manfaat positif sekaligus dampak negatif. Komentar bernada kebencian atas nama agama adalah salah satu dari dampak negatif internet yang mudah sekali kita temui dalam keseharian.  Keniscayaan untuk anonim atau kemudahan menggunakan nama palsu membuat orang demikian mudah menghamburkan kata-kata yang mungkin tidak akan berani diucapkan langsung di dunia nyata.  


Tulisan ini tak perlu mencantumkan contoh nyata kan ya….


Kadang, saya merasa gemas ketika membaca komentar-komentar kebencian yang membawa-bawa agama. Ibarat sama-sama main bola, tetapi satunya sepakbola, satunya bola basket. Di sepakbola wajib main pakai kaki dan dilarang pakai tangan (kecuali kiper). Sementara aturan dasar bola basket adalah main pakai tangan dan tak boleh pakai kaki.


“B****, oper bola itu pakai kaki lah, masa pakai tangan,” seru si pemain sepakbola..


“G****, oper bola jelas pakai tangan, hanya orang tersesat yang pakai kaki,” balas si pemain bola basket tak kalah sengit.


Bahkan, konflik tak hanya terjadi antar pemain sepakbola dan bola basket. Sesama pemain sepakbola dan bola basket pun bisa berdebat dan berkelahi karena berbeda pendapat.


Hmmmh…ketimbang terpancing emosi, mending stop baca deh. Saya kesal, tetapi saya belajar untuk memahami sebab-musababnya. Bagi orang-orang yang tumbuh dalam suasana keberagaman yang relatif adem-ayem, mungkin tidak mudah untuk tumbuh phobia pada orang yang berbeda iman. Sebaliknya, orang yang tumbuh dalam pengalaman atau stigma buruk pada iman yang berbeda, akan lebih mudah merasakan kebencian.



Orang Buta Melihat Gajah


Setiap baca debat kusir yang ngotot pada pandangan masing-masing, saya selalu ingat kisah sufistik “orang buta melihat gajah.” Saya tidak tahu, versi asli cerita ini karena saya menemukan beberapa versi yang berbeda (meski intinya sama). Salah satu versi yang saya baca adalah sebagai berikut : 


Di sebuah kota, semua penduduknya buta. Suatu hari, ada rombongan raja dan pasukannya singgah di kota itu. Kendaraan tunggangan raja adalah mobil rubicon seekor gajah. Warga kota sangat antusias untuk mengetahui bentuk gajah. Namun, kebutaan membuat mereka tidak bisa melihat gajah itu. Dalam kesempatan yang diberikan raja, warga kota hanya bisa meraba-raba si gajah. Ada yang memegang bagian perut, bagian kaki, bagian belalai, dan bagian-bagian lain.


Masalahnya, dengan keterbatasan kemampuan inderanya, masing-masing orang merasa sudah memahami bentuk gajah. Alhasil, cerita tentang gajah di antara mereka malah berujung pada debat panas karena masing-masing mempertahankan pendapatnya.


Kisah di atas mungkin terasa terlalu menyederhanakan persoalan perbedaan yaaa…Terutama, karena setiap agama punya kebenaran dan keyakinan versi masing-masing. Batas toleransi dalam kehidupan beragama tiap-tiap orang juga berbeda. Namun, bagi saya, kisah itu sangat membantu dalam menyikapi perbedaan. Sedalam apapun pengertian dan pemahaman kita, barangkali kita hanya seperti orang buta yang hanya bisa meraba sebagian kecil saja. 


Saya sering membaca kutipan terkenal dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib (cmiiw) : mereka yang bukan saudara dalam iman, adalah saudara dalam kemanusiaan. Kunjungan Ale dan teman-teman ke masjid (dan juga tempat ibadah lain), semoga menjadi lintasan pengalaman yang menumbuhkan pandangan positif pada perbedaan. 


Berhubung tulisan ini saya publikasi sekian hari setelah awal puasa, saya tak lagi mengucapkan selamat menjalankan ibadah puasa bagi teman-teman muslim dan muslimah. Sebagai gantinya, saya mengucapkan selamat menunaikan ibadah puasa bagi teman-teman muslim dan muslimah.


12 komentar untuk "Berkunjung ke Masjid"

  1. Saya dulu pernah bercita2 mengajak anak2 wisata masjid. Kita tau ya di Jabodetabek aja masjid2 bagus banyak bertebaranacam kubah emas, istiqlal, masjid yg di cilandak.. Duh lupa namanya.. Banyak deh. Tapi lagi2 kendala waktu paling hanya bisa mengunjungi beberapa masjid saja.

    Soal phobia.. Asli inilah kenapa kita masing2 agama harus mendalami ilmu agama dengan ikhlas dan iman. Jadi bisa berpikiran jernih. Tapi kadang, kebencian tuh cuma terjadi di dumay, di dunia nyata.. Ga ada tuh komen2 sengit atau saling mengolok. Malah ramah2 dan memiliki toleransi kuat.

    BalasHapus
  2. Makasih ya Mak Lis atas ucapannya. Tapi ya kurasa, karena setiap tempat ibadah digunakan untuk beribadah, pasti rasanya maknyess saat memasuki tempat ibadah tersebut? Benar nggak?

    BalasHapus
  3. Menurut saya bagus, kok, mengunjungi tempat ibadah dari agama lain. Mengenalkan mereka pada hal-hal yang membuat penganutnya nyaman. Saya pribadi tidak mempersoalkan kalau anak diajak ke gereja, kelenteng, pura, atau vihara. Saya sendiri juga beberapa kali ke kelenteng untuk menggali data sejarah, bahkan ada yang memang niat wisata.

    BalasHapus
  4. semogaaaa anak2 Indonesia bisa makin ciamik dalam memahami dan terapkan toleransi ya.
    ortu pastinya jg berperan utk mendidik dgn baik dan benar

    BalasHapus
  5. Semoga Indonesia terus rukun dan damai antar umat beragama, suku, dan ras ya. Kalau udah bentrok, serem bener.

    BalasHapus
  6. Waah bagus juga ya program sekolah Ale . Meski berbasis katolik tapi dalam rangka kurikulum Pancasila ada juga kunjungan ke masjid. By the way saya juga pernah masuk gereja. Tapi ini karena saudara jauh menikah di gereja. Jadi punya pengalaman masuk gereja pas kecil

    BalasHapus
  7. Sudah pasti memberikan pengalaman tak terlupakan buat Ale. Kesan pertama pula, ya. Btw, Ale blm tau berburu takjil ya, Mak? Xixixixi

    BalasHapus
  8. Indonesia kan bhineka tunggal ika ya maak tp sedih sekarang gampang diadu domba apalagi pake isu agama paling cepet.

    Semoga dengan profil pemuda pancasila anak2 bisa saling menghormati dan tdk mudah diadu domba sampai dewasa

    BalasHapus
  9. Jujur anak-anakku belum pernah tuh berkunjung ke tempat ibadah agama lain walaupun diajarkan sekilas di sekolahnya dan mereka tahu tempat ibadah lain itu hanya lewat nama gambar kalaupun lewat hanya sekilas aja

    BalasHapus
  10. Menghargai perbedaan itu penting mbak, itulah sebabnya ketika di usia SD, anak2 kusekolahkan di SD Negeri agar tahu bahwa di sekitarnya ada orang lain yang berbeda keyakinan dengannya. Alhamdulillah anak2 punya teman dengan agama yg berbeda2 dan tidak mempermasalahkannya. Ndilalah aku sendiri juga punya teman2 dekat yang beda agama. Berteman dan memilih aqidah adalah 2 hal yang bisa berjalan selaras tanpa saling senggol, tentu saja bagi mereka yang menghargai perbedaan itu.

    BalasHapus
  11. Saya muslim ngajar di sekolah katolik. Memang di sana sangat diajarkan toleransi. Sering ada kegiatan menjelang ramadhan bagi2 sembako. Dan banyak kegiatan bekerja sama dengan vihara, mesjid dll. Toleransiitu indah makanya jangan ada kebencian.

    BalasHapus
  12. Baguuuus nih program sekolahnya mba 👍👍👍. Aku sendiri ngajarin anak2 bgtttt buat toleransi ini. Tau sendirilah zaman skr udh makin kacau. Saling menghina, menganggab yg minoritas perlu ditindas , aku samasekali ga mau anak2 begitu.

    Makanya tiap traveling aku suka singgah ke tempat ibadah yg lain, dan membawa mereka masuk, supaya mereka tau seperti apa tempat ibdah agama lain. Dan bisa merasakan apapun rumah ibadahnya , semua terasa sejuk dan nyaman saat dimasuki. Krn memang hrsnya begitu. Agama. Apapun pasti membuat sejuk pemeluknya, dan menular juga bagi yg memiliki keyakinan berbeda.

    BalasHapus

Terima kasih atas kunjungannya. Mohon tidak meninggalkan link hidup dalam komentar ya :)