Mudik Lebaran Setelah Pulang Natalan


Natal dan Tahun Baru lalu, kami baru saja mudik. Tapi belum sampai empat bulan kemudian, kami kembali terbang dari bandara Sultan Hasanuddin ke bandara Kulonprogo. Kalau tempo hari kami mudik Natalan, kali ini mudik Lebaran!


Ini memang di luar kebiasaan. Biasanya sih, kami mudik saat Natal saja. Ya gimana, bujetnya terbatas, jatah rutin hanya setahun sekali. Plus, waktu BJ juga terbatasi cuti. Kan, bukan kerja di perusahaan nenek sendiri :P


Tapi, beberapa waktu lalu, BJ (pak suami) ngebet mau mudik saat Lebaran ini. Katanya, "sudah bertahun-tahun kita nggak balik saat Lebaran. Jadinya kita jarang ketemu keluarga (besar) yang lain." Jadi sepakat, bujet mudik tahun ini buat Lebaran. Natal tidak pulang kecuali ada bujet ekstra atau situasi di luar kebiasaan ^_^


Bener sih kata BJ. Mudik saat Natal memang berarti merayakan hari raya bersama keluarga. Tapi…. keluarga yang lebih besar kami tidak hanya satu warna. Banyak juga yang tidak  Natal-an melainkan berhari raya Lebaran. Nah, kalau pulang saat Natal biasanya lebih fokus sama perayaan Natal di gereja atau di rumah tertentu (tak ada acara khusus untuk berkunjung dari rumah ke rumah). Beda sama Lebaran, di mana  silaturahmi ke rumah saudara-saudara sudah menjadi tradisi. 


Berkunjung ke rumah saudara-saudara Muslim saat mudik Natal memang bisa saja. Tapi jumlah saudara yang dikunjungi pasti tidak akan sebanyak saat Lebaran. Lagipula, belum tentu yang didatangi ada di rumah. Berbeda dengan Lebaran, di mana orang memang menyediakan waktu untuk berkunjung dan dikunjungi. Meski hanya berupa kunjungan singkat dari rumah ke rumah. Tapi karena sudah lama pergi dari rumah, aku selalu merasa jika itu adalah salah satu cara untuk tidak melupakan akar tempat aku berasal.


Baca : Pulang dan Akar


Bagiku yang tiap akhir tahun Natalan, turut merayakan Lebaran adalah hal biasa. Dan itu memang biasa buat warga kristiani di tempatku. Turut merayakan di sini berarti ikut tradisi sosial yakni silaturahmi ke saudara-saudara dan tetangga, juga sedia kue-kue di rumah. Bahkan, saat masih kecil, aku juga biasa dibelikan baju baru lho… Setahun beli baju baru dua kali, yakni saat Natal dan Lebaran. Haha, asik..… 


Bisa dibilang, jemaat gereja di tempatku biasa ikut merayakan Idul Fitri, kecuali -tentu saja- bagian shalat Ied. Dan di kampungku, hal ini lumrah-lumrah saja. Duluuuuu, sebelum segala-gala serba praktis, hari-hari pra-Lebaran juga biasa diisi dengan bikin-bikin aneka kue. Pas Natal malah enggak bikin kue-kue karena memang tidak ada tradisi saling berkunjung antar keluarga. Coba kuingat kue-kue yang sering dibikin menjelag lebaran di masa kecilku. Jelas bukan nastar atau putri salju, tapi penganan tradisional seperti wajik dan lentari/antari/kembang goyang. 


Pengalaman Lucu


Aku punya pengalaman lucu seputar silaturahmi Lebaran di masa kecil. Waktu itu, aku ikut temanku berkunjung ke rumah saudara-saudaranya di lain desa (adalah hal biasa ketika anak-anak kecil ramai-ramai pergi berkunjung tanpa orang dewasa). 


Sampai kemudian di sebuah rumah, aku jadi tahu sebuah kepingan masa lalu emakku. Ini karena si embah tuan rumah menanyaiku "anak siapa". Jawabanku membuat si embah bilang kalau beliau adalah mantan mertua emakku. 


Saat itu, aku baru tahu kalau emakku pernah menikah sebelum dengan bapakku. Mungkin akan mengejutkan kalau aku mendengar itu saat sudah besar. Tapi aku masih kecil, jadi aku biasa saja mendengar fakta itu. Peristiwa itu sepertinya juga tak terasa awkward. Tak ada perasaan aneh, malu, sedih, atau sebangsanya. Aku belum paham bagaimana keruwetan hidup orang dewasa. 


Sialnya justru saat sudah pulang dan bercerita pada orang-orang di rumah. Mereka malah bercanda kalau aku baru saja mengunjungi "bapakku" (mantan suami emakku). Aku sebel, aku tidak suka candaan itu, sepertinya aku sampai menangis karena tidak terima. Mana mungkin aku bukan anak bapakku (yang kukenal), sementara aku anak kedua. Tapi aku lupa bagaimana saat itu aku melawan. Yang tersisa kuat di ingatan adalah rasa kesal yang amat sangat. 


Aku sempat menyesal ikut temanku berlebaran ke desa itu. Kocak sih kalau diingat-ingat. Kalau dipikir sekarang sih, mungkin itu memang cara Tuhan untuk aku mengetahui cerita lain emakku (karena sebelumnya, aku tak pernah mendengarnya dari siapapun). Aku menceritakan di sini karena telah bisa memahaminya sebagai bagian perjalanan hidup orang yang kucintai (bukan menganggapnya aib). Ini juga self-reminder agar tak keterlaluan mencandai anak kecil karena rasa kesalnya bisa awet di ingatan hingga dewasa.


Turut Berhari Raya, Biasa atau Tidak?


Aku baru merasakan kalau turut merayakan Lebaran bukanlah "hal biasa" setelah aku tinggal di Sumatera Utara. Sepanjang pengalamanku tinggal di sana, bukan kelaziman bagi keluarga-keluarga Kristiani untuk turut menyediakan kue-kue dan berkunjung-kunjung saat hari Lebaran. Tapi biasanya mereka akan mengucapkan selamat hari raya saat bertemu dengan tetangga/teman yang muslim sambil bercanda minta kue Lebaran. Tinggal di sana juga membuatku tahu kalau tahun baru adalah moment berkumpul dan sedia kue-kue bagi keluarga Kristiani. 


Buatku, ini termasuk gegar budaya lho... Pernah di suatu Natal-Tahun Baru kami nggak mudik dan tiap ketemu teman, aku ditagih "kue tahun baru". Jelas saja, itu cuma candaan tapi aku sempat bingung lah. Aku belum paham kalau tahun baru ada kebiasaan sedia kue-kue macam Lebaran di kampungku.


Aku jadi berpikir, bagi sebagian orang, kebiasaan di kampungku justru mungkin malah "tak biasa." Aku juga malah jadi pengin tahu bagaimana suasana Idul Fitri di daerah-daerah banyak penduduk Kristiani, seperti Kupang atau Manado. Pasti ada cerita tersendiri. 


Tentang keikutsertaan kami dalam tradisi sosial Lebaran di kampungku, sebagian orang mungkin menyebut sebagai tradisi yang baik, sisi cantik dari keragaman di Indonesia. Tapi sebaliknya, sebagian lain bisa saja justru menganggapnya sebagai toleransi yang kebablasan. 


Hidup di masa sekarang, kita harus terbiasa dengan perbedaan pendapat bukan? 


Aku sendiri tak hendak menariknya ke arah aturan agama. Sebab, aku menyadari, pemahamanku pasti tidak luas. Bisa saja aku mengambil bagian aturan yang kurasa cocok dengan maksudku -cherry picking- tapi ternyata malah mengabaikan konteks yang lebih luas. 


Anehnya, tradisi di kampungku justru menyumbang perspektif positif dalam aku melihat perbedaan. Aku bahkan bisa menghormati kalau saat Natal, sebagian teman Muslim tidak bisa mengucapkan selamat. Sungguh bukan masalah buatku …  Karena sejauh kutahu, di semua agama ada perbedaan aliran (atau sekadar tafsiran) yang berimplikasi pada perbedaan pendapat dan sikap tentang beberapa hal. 


Duuh, kok jadi agak-agak sensitif yaaa.. Tapi aku menulis ini bukan untuk memancing debat. Perbedaan memang bermata dua. Di sisi satu bisa menampilkan keindahan (sebab itu aku memakai bunga-bunga sebagai gambar latar). Di sisi lain, perbedaan bisa menjadi pangkal permusuhan.


Buatku, lebaran di kampung selalu memberi harapan dan keyakinan jika kebersamaan dalam keragaman adalah sebuah keniscayaan. 


Selamat menyambut hari raya, kawan-kawan.

































29 komentar untuk "Mudik Lebaran Setelah Pulang Natalan"

  1. Aku juga tidak merayakan Lebaran tapi ikutan tradisi mudik jelang lebaran, karena anak-anak kan libur sekolahnya kalau jelang lebaran, jadi bisa mengunjungi rumah kakek neneknya di luar kota. Ikut berlebaran pernah sih, duluuu waktu SMA karena teman-teman SMA mayoritas muslim, jadi diajak berkunjung ke beberapa rumah2 teman yg berlebaran, aku ngikut aja :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah iya nih..biasa pada ikut mudik. Tapi karena beda pulau, kami mikir panjang kalau mau mudik lebaran plus mudik natal hahaha..mesti pilih salah satu

      Hapus
  2. Hari Raya menjadi hal yang istimewa ya mbak, kalau saya Alhmdulillah selalu mudik kalau lebaran karena masih ada saudara dan orangtua.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau deket, kayaknya saya bakalan mudik juga di lebaran sih mbak hehehe

      Hapus
  3. Berkah banget dengan keluarga warna-warni ya Mbak. Natal mudik, lebaran juga. Benar-benar keluarga bhineka tunggal ika. Sebuah keberwarnaan yang telah terajut ini semoga selalu terjaga ya Mbak, bahwa berlainan kepercayaan tidak menghilangkan fakta ikatan persaudaraan dan kekerabatan itu tetap ada

    BalasHapus
  4. Iya sih kalau anak-anak juga ngga akan ngerti keruwetan dunia orang dewasa. Apalagi ketemu mantan mertua emak. Siapa sih? hehe. Justru orang dewasa yang bikin kita jadi punya trauma ingatan yang melekat sampe gede.
    Eh ternyata ada culture shock juga ya mba di kampung halaman. Tapi setuju sih lebaran di kampung selalu memberi harapan dan keyakinan jika kebersamaan dalam keragaman.

    BalasHapus
  5. Kalo sya mah tim ga mudik karena sudah ada di kampung halaman suami. dulu waktu masih merantau, pasti selalu mudik pulang ke bogor. pernah ga mudik, waktu tinggal di Bali, dan bikin open house di rumah. masak aneka hidangan lebaran dan tamunya adalah karyawan kantor suami yg beragama Hindu. saya ga masakin rendang daging karena ada yg berpantang makan daging sapi

    BalasHapus
  6. Keberagaman juga yang menjadi negara kita negara yang damai ya mbak, cerita mbak merupakan cerita yang mencerminkan negara kita walaupun banyak keragaman tapi jika dijalankan dengan baik dan bersama tanpa mementingkan ego makan akan menjadi indah

    BalasHapus
  7. Warna-warni itu akan terlihat indah bila dilihat dengan mata yang indah. Saya suka dengan pilihan sikap untuk menghormati perbedaan dengan sikap yang santun, dan tetap terikat pada persaudaraan dan kekerabatan yang baik.

    BalasHapus
  8. Kalau aku merayakan keduanya mbak, tapi memang gak mudik sih karena semua keluarga besar ada di Jakarta dan biasanya keluarga yang tinggal didaerah dan saudara yang di luar negeri yang pada pulang. Pasti selalu ada cerita setiap kami kumpul di hari raya.

    BalasHapus
  9. Dennise SihombingApril 30, 2022 1:19 PM

    Berbeda itu indah. Kebetulan oomku dari satu kakek muslim semua. Jadi setiap Lebaran kami yang non muslim silahturahmi kesana. Suka deh dengan masakan tape ketan yang selalu tersedia dimakan bersama lemang

    BalasHapus
  10. Aku kangen zaman kecil dulu di Aceh, di mana lebaran berarti saling kunjung ke semua tetangga, termasuk yg non muslim. Masih Inget banget ada banyak tetangga non muslim di komplek perumahan tempat aku tinggal dulu. Dan semuanya selalu datang saat hari raya. Dan zaman itu masih rutin kirim2 kartu lebaran. Papa dapat banyak kartu ucapan dari kolega2 dan anak buahnya, muslim ataupun non muslim. Semua itu dipajang mama di selusur jendela biasanya. Atau di meja2 saking banyaknya.

    Kangen masa2 yg begitu :). Aku sendiri tipe yg selalu ucapin selamat merayakan natal ataupun lebaran ke semua temen yg merayakan mba. Buatku ga ada masalahnya. :)

    BalasHapus
  11. Indahnya kebersamaan yaa, kak Lis.
    Aku jadi ikutan merasakan pengalaman kak Lis yang banyak menjelajah pulau-pulau di Indonesia dengan keberagaman budayanya.
    Semoga menjadi penguat bagi kita semua untuk senantiasa berbuat baik dengan sesama, berlepas dari apapun keyakinannya.

    BalasHapus
  12. Wah, bener sih maaakk. Jangan becanda yg gimana2 ama bocil. karena bisa jadi memorinya mengendap sampe bertahun2 kemudian yak.
    Yeayy, selamat mudik yaaa, hati2 di jalan, dan enjoooyy!

    BalasHapus
  13. Saya merayakan lebaran. Tapi hampir seumur hidup kecuali ketika bekerja jadi TKW tidak pernah mudik. Secara keluarga besar ada di kabupaten Cianjur. Dapat jodoh eh orang Cianjur juga. Jadinya mudik ya cuma beda kecamatan saja. Kaya mau ke pasar hehehe

    BalasHapus
  14. Halo mbak terima kasih atas ulasannya. Molly pun termasuk yang tidak mengucapkan natalan dan ucapan selamat hari raya untuk agama lain. Tapi seneng mengenal dan kepingin tahu tentang perayaan agama lain.. tifak untuk ikut2an tapi pingin belajar

    BalasHapus
  15. aku kalau hari raya Idul Fitri ga mudik mbak karena rumah orangtua cuma nyebrang jalan raya hahaha. Tapi sebenarnya setiap hari raya aku merayakan vibes positif karena sama2 libur kan ya. Selain itu sebenarnya aku percaya bahwa setiap ada perayaan hari besar agama aku merasa bersyukur bahwa sekelilingku adalah orang2 yang taat beragama bukan bagian dari atheis atau agnostik. Berarti lingkunganku aman lah untuk membesarkan anak-anak. Itu pendapatku sih ya. Karena pasti berat banget membesarkan anak-anak di lingkungan orang2 yang tidak mengakui adanya Tuhan dan tidak mengakui adanya aturan agama.

    BalasHapus
  16. aku kok aneh ya. lihat temen-temen pada mudik, aku jadi kepengen mudik juga. Tapi ya gimana, udah di udik. Rumahku malah jadi tujuan keluargaku mudik. Seru ya kayaknya ya

    BalasHapus
  17. Keruwetan orang dewasaaa. Wkwkwkwk. Dan satu lagi, Maak. Kalau mudiknya pas lebaran, tersedia opor di mana2. Enaakk. Xixixi

    BalasHapus
  18. Seru ya ikut merayakan lebaran dan dapat baju baru dua kali setahun hihi kalau aku pas tinggal dan sekolah di Papua, lebaran dan Natal meriah sekali saling mengunjungi tetangga dan makan di tiap rumah paling senang kalau dapat minuman soda hahaha

    BalasHapus
  19. Senangnya bisa mudik lagi meski g merayakan lebaran
    Yang penting seru ngumpul bareng sama keluarga ya mbak

    BalasHapus
  20. Indahnya keberagaman ketika kita terbuka secara pemikiran, senangnya yah Kak bisa kumpul dengan keluarga

    BalasHapus
  21. Di bagian beli dua baju baru saat Natalan dan Lebaran itu asyiik hihi
    Di kampungku kurang lebih sama Mbak Lisdha, umat Kristiani ikut merayakan - secara sosial - lebaran. Jadi rame deh.
    Oia, kemarin pas mudik aku juga mengunjungi kakak ipar di Ambarawa, dia tinggal di rumah ibunya dan jejer-jejer saudaranya yang Natalan semua. Tapi mereka semua punya kue lebaran dan aku dibawain oleh-oleh antari, peyek dan jajanan bikinan sendiri hihihi...asyik

    BalasHapus
  22. Jadi ingat saat bapak tugas di Kupang dulu. Saat Hari Natal, ya kami juga ke rumah tetangga berkunjung, karena diundang oleh mereka. Hehehe. Emang jadi warna tersendiri sih, ya kiri kanan kebanyakan tetangga emang pada natalan. Menariknya, saat kami yang berkunjung pun, tentu saja yang mereka sajikan adalah yang memang boleh kami santap :)

    BalasHapus
  23. Waaah toleransinya bagus banget ya mbak. Tapi kalau di kampung emang gitu. Depan rumah nasrani tp kalau lebaran juga berkunjung ke semua tetangga. Sama kalau natal pun tetangga muslim berkunjung balik kesana.

    BalasHapus
  24. Wah jadi cerita yang tidak terlupakan ya mbak waktu keliling waktu kecil itu hehehe. Tapi memang jadinya pas pulang ke kampung, jadi lebih banyak mengenal soal keluarga ya. Memang seru ya mudik itu.

    BalasHapus
  25. saya tim ga mudik pas hari raya karena lebih nyaman ketika hari biasa hehehe

    BalasHapus
  26. zaman sekolah yang semua masih enak banget. Walaupun beda agama beda suku tapi rasa kebersamaan dan saling menghormatinya masih kuat sekali. Seru ya mbaak keluarganya banyak beda keyakinan tapi tetap saling menghormati

    BalasHapus

Terima kasih atas kunjungannya. Mohon tidak meninggalkan link hidup dalam komentar ya :)