Nostalgia Naik Gunung di Puncak Botorono

 


Naik gunung adalah hobi masa lalu, yakni semasa masih mengenakan seragam putih abu. Rasa keren membuncah setiap mengenakan celana gunung, kemeja flannel, sandal jepit (sewaktu belum punya sandal gunung), dan menggendong ransel tinggi. Bisa mencapai puncak atau hanya separuh jalan tidak memengaruhi rasa keren itu.


Jangan bayangkan saya seperti pendaki betulan yang menjelajah gunung-gunung di seantero nusantara. Apalagi seperti pendaki-pendaki hebat yang bisa mencapai puncak dunia di Nepal sana. Jauh sebelum film 5 cm, saya sudah menjadi anak muda yang mendaki dengan modal nekat.


Peralatan mendaki gunung yang keren jauh dari jangkauan uang saku saat itu. Sekali-kali bisa beli sedikit peralatan naik gunung adalah setiap pencairan beasiswa Supersemar (adakah pembaca yang adalah sesama penerima beasiswa berbau Orba ini?😀 Eh sekarang masih ada nggak sih?).


  

Sebutlah, pendaki kere yang merasa keren. (Haha, beda huruf –n- sudah membuat perbedaan signifikan).


Dengan duit terbatas, jelas tak sanggup naik gunung yang jauh-jauh (karena bakalan mahal di transportasi). Pengalaman naik gunung paling jauh hanyalah ke Gunung Gede, itu pun mencuri waktu semasa PKL di Bogor. Selain dua kali naik Gunung Gede, portfolio naik gunung saya hanya seputar Jawa Tengah (sayangnya, dulu tak sempat naik Merapi).


Paling sering tentu saja naik  Sumbing dan Sindoro. Dua gunung yang terletak di Temanggung, daerah kelahiran saya. Sindoro ini sangat berkesan, sebab ia adalah gunung pertama yang saya daki. Lalu, setelah menjejak beberapa gunung lain, Sindoro juga menjadi gunung terakhir yang saya daki. Entah kenapa, semasa kuliah, kegemaran naik gunung menguap begitu saja dan bergeser pada hal lain.


Namun, saya masih menyimpan ingatan tentang mendaki gunung. Bahkan, bertualang mendaki memberi filosofi tersendiri bagi pernikahan saya dan BJ. Ada sih kerinduan untuk kembali mendaki...TAPI APA MASIH KUAT? Hihihi, (tanpa treatment khusus) umur memang tak bisa bohong. Bersyukur, saat ini wisata seputar Sumbing-Sindoro mulai berkembang. Meski hanya menjejak kaki gunung, setidaknya bisa bernostalgia masa-masa mendaki ke puncaknya.


***


Mudik tahun 2018, kami main ke Posong dan Embung Kledung, dua destinasi wisata lokal di lereng Sindoro. Di mudik 2021/2022,  kami kembali diajak tilik daerah gunung, yakni Botorono. Kalau Posong dan Kledung berada di sebelah kanan (jalur Temanggung-Wonosobo), sebaliknya Botorono berada di sebelah kiri jalan.  


Botorono sendiri merupakan puncak bukit kecil yang tepat berada di antara Sumbing dan Sindoro. Secara administratif, bukit kecil ini berada di Desa Petarangan, Kecamatan Kledung. 


Sebagai warga kelahiran Temanggung, nama desa Petarangan sudah akrab di telinga saya. Namun, sepertinya saya belum pernah berkunjung ke desa tersebut (entah ya kalau pas masih bocah pernah diajak kondangan ke sana).


Botorono merupakan daerah wisata yang relatif baru. Bukit yang semula kurang produktif disulap menjadi tempat wisata kekinian. Dari jalan raya, jaraknya tak terlalu jauh. Dari arah Temanggung, setelah memasuki jalur gunung, pengunjung bisa dengan mudah menemukan papan penunjuk arah ke Botorono di kiri jalan. Paling mudah, tentu saja dengan menggunakan google map.


Jalur menuju Desa Petarangan berupa jalan menanjak yang sudah ber-aspal mulus. Namun, memang, memasuki wilayah desa jalan-nya sempit. Perlu hati-hati dan sabar jika berpapasan dengan mobil dari arah berlawanan.  Hari itu, kami diarahkan untuk parkir mobil di depan masjid.


Sempat ada semangat untuk jalan kaki menuju puncak. Namun, mungkin karena kami bersama anak-anak (juga mungkin tak ada tampang pendaki), petugas parkir menyarankan untuk naik ojek hingga puncak. Tarifnya ojeknya Rp 10.000 untuk naik dan Rp 5.000 untuk turun. Biaya ini di luar karcis masuk sebesar Rp 5.000 per orang. Kalau mau pakai sepeda motor sendiri juga boleh, tapi pastikan kendaraan dalam kondisi bagus dan pengemudinya sudah terampil. 



Jalan ke puncak (difoto saat turun)


Saran untuk naik ojek sangat membantu. Meski kondisi jalan sudah cukup bagus, jarak 1,5 km dengan kontur selalu menanjak, mana bisa ditempuh kaki dengan cepat. Dengan kekuatan saat ini, pasti butuh banyak berhenti untuk tarik nafas dan menghimpun tenaga. 


Berbeda dengan kuda besi,  sekitar 10 menit sudah langsung sampai parkiran puncak. Dari parkiran, siapkan stamina untuk naik ke atas. Meski sudah berupa undakan permanen yang bagus, tetap butuh nafas panjang. Kata si Elo, dari bawah sampai puncak ada 142 undakan (dia sempatkan untuk menghitung). Benar-tidak hitungannya, nggak saya cek.😀


Ketinggian sekitar 1.300 dpl memberikan cuaca sejuk. Meski menanjak hingga puncak, bisa jadi badan tak berpeluh. Sementara, posisi di antara dua gunung membuat pengunjung bisa mendapat view cantik  360 derajat.  Jika menghadap Sumbing, pengunjung akan membelakangi Sindoro dan sebaliknya. Selain spot foto alami, di puncak Botorono juga dibangun spot buatan yang foto-able.


Anak tangga hingga puncak (kiri) 


Guratan persawahan di lereng gunung


Gelap malam akan menyuguhkan pemandangan berbeda


Dearly hubby ^^

Sebagai destinasi wisata baru, fasilitas dasar cukup lumayan (meski tentu saja, masih perlu ditingkatkan). Meski di puncak bukit, sudah tersedia toilet untuk pengunjung. Sedangkan warung makan/kios memang masih terbatas.

Sayangnya, kami datang siang saat cuaca tak terlalu cerah. Lereng gunung tak terlalu biru dan sebagian diselimuti awan. Coba datang saat cuaca cerah di waktu sunset atau sunrise, pasti cantik. Alternatif lain datang saat malam sehingga bisa menikmati pemandangan kerlip lampu di kaki gunung. Uwoo...benar-benar akan menjadi semacam nostalgia naik gunung yang paripurna. FYI, puncak Botorono buka 24 jam lho...






Bagi teman-teman yang sedang lewat jalur Temanggung - Wonosobo, bisa sempatkan ke Botorono. Selain Botorono, di jalur ini teman-teman bisa mengunjungi Posong, Embung Kledung, juga spot sepanjang jalan yang menarik. Kalau tidak juga punya agenda lewat, bisa dong sempatkan ke Temanggung.


Dengan mengunjungi wisata lokal, kita turut berkontribusi pada ekonomi masyarakat (tapi tetap ikuti protokol kesehatan ya..). Bagaimanapun, pandemi belum benar-benar berlalu.(*/dw)

 

 

 


27 komentar untuk "Nostalgia Naik Gunung di Puncak Botorono"

  1. Wahhh keren maak pemandangannya, sekarang tmp wisata fasilitas sudah byk yg bagus ya paling tidak ada tempat instagramablr buat foto yakss👌

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tapi embuh, aku kok malah males ya foto2 di spot2 buatan yang di mana2 kok rasanya malah hampir sama hahaha

      Hapus
  2. Wah bagus banget tempatnya apalagi pemandangannya yang hemm memuaskan banget, jadi pengin mendaki sesekali. Pasti seru kalau bareng-bareng, tapi iya juga apa masih kuat.

    BalasHapus
    Balasan
    1. kudu persiapan fisik dulu kalau mmg mau kembali mendaki. Ga bisa seperti dulu yang bisa hayuk kapan aja hehehe

      Hapus
  3. Mbaak, jika diukur sedah berapa kilometer ya perjalanan Mbak Lisdha sejak di Makassar. Saya masih di sini-sini saja hihihi.
    Mantap ya puncak Botorono buka 24 jam.

    BalasHapus
    Balasan
    1. mumpung masih di sini Mbak..ntar kalau sudah pindah lagi, kan jadi mahal hehehe

      Hapus
  4. Kalau naiknya kaya gitu, aku pun bakal semangat. Udah lama juga gak naik gunung. Semoga kapan-kapan bisa lagi. Maunya yang jalan kaki tipis-tipis. Gak papa kalau gak terlalu tinggi. Wisata alamnya itu lho yang paling bikin kangen

    BalasHapus
    Balasan
    1. di Jateng lumayan banyak gunung2 kecil yang bahkan bisa dijejak kendaraan sampai sekitar puncak. Tapi masa2 aku kelayapan di gunung sudah berlalu hihihi

      Hapus
  5. Wah wah saya pernah naik bukit, di pos pertama kayaknya cuma 700m tapi sayanya ngos2an banget, berasa lebih jompo daripada bapak mertua yg masih kuat. Hahaha. Mama sama mamer pakai ojek 10rb.saya mau ojek juga tapi koq malu sama umur, huaa. Tapi itu pemandangan sawahnya cantikk bangetttt. Masya Allah. Itu memang terasering ya Mba?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak..terasering, Jadi tampak cantik yaaa...khas pemandangan lereng gunung.
      Saya juga sudah ga sekuat dulu Mbak. Tapi pasti seru ya kalau nantiiiii bisa bener2 mengulang naik gunung..

      Hapus
  6. Saya yakin bakalan masih kuat lah. Apalagi kalau waktu sekolah ada basic mendaki. Secara saya aja ini udah usia lanjut, tetap bisa naik gunung kok. Walau cuma ngantar anak saja sih hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. kayaknya saya Kudu persiapan fisik dulu sih kalau mau naik gunung. Haha, entah kapan..mana tau suatu hari anak saya ada yg hobi naik..bakalan saya todong untuk ngajak mamaknya hahahah

      Hapus
  7. Ehh...asli Temanggung ya, Maak. Aku dari Banjarnegara. Kenalan dulu, ya. Hahaha.

    Btw, emang keren bangettt sering naik gunung SS, meskipun udah lampau. Sekarang kalau diulangi lagi kira2 masih kuat enggak, nih. Xixixixi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salaman virtual Mak Idah..dr temanggung ke Banjarnegara, lewat jalur SS yang cantik ya kan..

      Hapus
  8. Saya ga hobi naik gunung jalan kaki layak pecinta alam kalau pake kendaraan mau hahaha. Boleh juga nih rekomendasi ke gunung Botorono

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ke Botorono uda dimudahkan banget oleh kuda besi, ga seperti naik SS-nya :)

      Hapus
  9. Aku tuh seneng juga kalau naik-naik ke puncak gunung, tapi rada trauma juga kalau kendaraannya tidak mumpuni. Mending naik angkot setempat atau ojek setempat deh. Wkwkk.. Aku belum pernah nih ke Sindoro dan Sumbing. Hanya melihat kecantikannya dari jauh.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dari jauh cantik juga kan mbak Ran..
      eh sri gunung kan memang jauh lebih cantik kalau dilihat dari jauh :)

      Hapus
  10. senang banget baca nostalgia nya mba, saya dulu semasa gadis suka naik gunung di zaman belum ada medsoso sih, hehehe. Masih kuat sih, kalo sekarang gak kuat buat manjat lagi, hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. karena sekarang energi kita sudah lebih banyak untuk mendaki gunung-gunung kehidupan ya mbak Milda...hahahah

      Hapus
  11. Wah, aku harus nunjukin ini ke suami deh. Kami sudah ada keinginan untuk hiking antara Wonosobo atau Magelang. Tapi Temanggung juga oke lah, masih lumayan deket dari 2 kota itu.

    Akhir tahun lalu aku sempet ke Embung Kledung, Mak.. Cuma sayang pas mendung dan hujan, jadi foto-fotonya agak-agak gelap. Kapan-kapan harus diulang sih memang. 😁

    BalasHapus
  12. Aku juga kalau naik undakan (tangga), suka mnghitung jumlahnya. Reflek aja..
    Dimanapun.
    hihii..

    Dan asiknya naik puncak Botorono yang 24 jam.
    Wah...gak kebayang kalau perjalanan malam dan hujan yaa.. Adakah tim penyelamat yang selalu siap sedia seperti di drama Jirisan?

    BalasHapus
  13. Portofolio naik gunungny audah keren ah mba (menurut saya, hehe). Soalnya saya belum pernah naik gunung, hihihi... Harapan sebelum 40 tahun pengen bisa naik ke salah satu gungun di Jawa. Makin semangat lah setelah baca artikelnya mba lisdha.

    BalasHapus
  14. Padahal salah satu mantanku itu pendaki gunung profesional yg pernah ikut proyek naklukin seven summit, tapi aku boro2 bisa naik gunung. Jangan kan gunung, pas naik puncak sikunir Dieng aja langsung lemes mbaaa 🤣🤣🤣.

    Tapi ini viewnya cantiiiiiik banget dari atas, ya ampuuuun aku sukaaaaa ih ngeliat sawah2 dan rumahnya. ❤️❤️. Langsung kliatan LBH cantik, apalagi melihat langsung ya mba .. kalo ada ojeknya gini, GPP deh, malah enak biar cepet sampai 😁

    BalasHapus
  15. Cantik banget viewnya, Mbak. MasyaAllah... Kelelahan naik anak tangga sebanyak itu langsung terbayar kayanya yaa. Jadi inget naik tangga di Bromo tuh juga lelah bangeeet hahaha.

    BalasHapus
  16. Sudah lama enggak naik gunung
    Bromo aja belum kesampaian
    Soalnya anak anak masih kecil, belum sanggup jalan jauh semua nih

    BalasHapus
  17. Pemandangannya sih Mak, adudududuhhhh, juwarak banget! Aku bukan orang yang terlalu suka jalan2 ke gunung tapi kalo di akhir suguhannya pemandangannya kayak gini, wah, GAAASS!

    BalasHapus

Terima kasih atas kunjungannya. Mohon tidak meninggalkan link hidup dalam komentar ya :)