Jakarta, Tanpa Rencana









Jakarta adalah tujuan perjalanan yang tertunda cukup lama. Gara-garanya adalah corona. Saat ayah BJ lebih dulu berangkat ke Makassar di awal 2020, saya sudah menyusun rencana. Nanti, saat menyusul pindah di medio 2020, saya, Ale, dan Elo akan lebih dulu transit di Jakarta, kemudian Bandung, lalu pulang kampung di Temanggung. Baru setelah itu lanjut terbang ke Makassar.




Namun, badai pandemi menghantam. Rencana kami hanya sebutir debu dibandingkan sekian hal yang dilibas oleh kerasnya pandemi Covid-19.






BJ beberapa kali membicarakan kemungkinan untuk jalan-jalan ke Jakarta ramai-ramai bersama keluarga. Waktunya adalah saat kami berempat pulang kampung. Bermobil dari Temanggung bersama pakdhe, budhe, simbah-simbah, oom-tante, dan sepupu-sepupu ke ibukota, pasti akan menjadi pengalaman tak biasa bagi kami yang biasa kemana-mana berempat saja. Setelah pulau Jawa tersambung jalan tol, Jakarta tak lagi terasa jauh dari kampung.




Dulu, ke Jakarta dengan jalan darat nyaris selalu berarti pergi setelah petang, lalu tiba di sana menjelang pagi. Berbeda dengan sekarang, jalan bebas hambatan telah memangkas waktu perjalanan cukup signifikan. Tak perlu waktu semalam/seharian penuh untuk sampai ibukota. Perkembangan yang membuat perusahaan otobus membuka rute perjalanan pagi-siang.




Mumpung di Jawa, pergi ke Jakarta terasa lebih dekat. Namun, “mencuri” waktu di Desember adalah hal yang cukup rumit. Tersebab, keluarga di rumah sudah pasti terlibat dalam persiapan perayaan Natal di gereja. Oh ya, perayaan Natal itu tak melulu tanggal 25 lho. Bisa jadi di tanggal-tanggal lain juga ada perayaan Natal, semisal Natal sekolah minggu atau Natal pemuda. Alhasil, Desember justru menjadi waktu yang tak bisa pergi jauh lama-lama.




Namun, tanpa rencana dan tanpa disangka, pergi ke Jakarta malah bisa tereksekusi. Berawal dari obrolan santuy dengan Bulik Diah tepat ketika beliau hendak kembali ke Jakarta setelah tahun baru. Beberapa hari kemudian, saya berempat dengan Ale-Elo dan Iel (sepupu) berangkat ke Jakarta naik bus OBL. BJ tidak ikut karena sudah kembali ke Makassar.




Pergi dalam situasi pandemi membuat saya tidak berharap banyak. Juga tanpa itinerary yang padat. Saya sengaja tidak merencanakan banyak destinasi. Monas, GBK, dan hutan beton Jakarta, cukup sudah. Oom Yus dan Bulik Diah benar-benar menjadi tuan rumah dan tour guide yang baik.




Setting low expectation juga membuat anak-anak tak terlalu kecewa ketika ternyata nggak bisa masuk ke Monas maupun GBK. Oh ya, Ale hepi tak terkira karena dapat bonus mampir ke Evos-ITF, fasilitas training klub gamer favoritnya. Duuh, bisa mampir di depannya saja sudah bikin dia bahagiaa bangeeet...




Sedangkan bonus bagi saya adalah bertemu teman-teman lama (dan keluarga) di Bintaro. Perjumpaan yang menggembirakan setelah sekian lama tak bersua. Graciaaaaas amigos...

















***




Jalan-jalan ke Jakarta selalu mengingatkan pada sinopsis film yang saya lupa judulnya (saya juga belum pernah menontonnya, waktu itu hanya membaca review-nya di media). Tadi saya mencoba browsing dengan beberapa kata kunci, tapi tak ketemu film yang saya maksud. Barangkali ada yang tahu film itu setelah baca dua paragraf di bawah, tolong berbagi di komentar yaa... Sekalian koreksi kalau ternyata saya salah ingat.




Bagian film yang berkaitan dengan rencana jalan-jalan kami adalah tentang cita-cita. Seingat saya, di review film tersebut diceritakan tentang cita-cita beberapa anak di sebuah kampung. Sebagian anak menyebut cita-cita yang normal. Saya lupa sih apa saja “cita-cita normal” yang disebut dalam film itu. Katakanlah “ingin jadi dokter” atau “ingin jadi astronot”.... meski terasa absurd jika dibandingkan situasi riil si anak saat itu, keduanya tetap cita-cita yang tergolong normal bukan?




Berbeda dengan cita-cita seorang anak, (berhubung saya lupa namanya) sebut saja si Ujang. Ujang punya punya cita-cita yang antimainstream. Alih-alih “profesi tinggi nan mulia”, Ujang hanya punya cita-cita untuk bisa makan nasi padang.




Betapa cita-cita yang sederhana. Bahkan, bagi banyak orang mungkin tidak layak digolongkan sebagai cita-cita. Terlalu simpel dan remeh-temeh. Namun, bagi Ujang, makan-nasi-padang adalah sesuatu yang memang jauh di awang-awang.




***




Terasa ada kemiripan dengan cita-cita Ale Elo ke Jakarta.




Mungkin, terasa simpel dan remeh-temeh bagi sebagian orang. Apalagi, bagi orang-orang yang tinggal di Jakarta (atau seputar Jakarta). Atau bagi orang-orang yang sudah terbang lebih jauh menjejak berbagai tempat di dunia.




Namun, bayangkanlah Jakarta pada benak orang-orang yang belum pernah ke sana. Terlebih jika Jakarta berjarak ratusan kilometer dan mesti melintasi laut/udara. Jakarta adalah sesuatu yang besar....dan jauuuuh. Well, kami memang tinggal di ibukota provinsi. Namun, posisi di luar Jawa dan lumayan suka melihat peta membuat saya bisa lebih membayangkan perasaan itu.




Atau saya saja yang lebay?? Hihihi...




Sebelum pandemi, ayah BJ sering ke Jakarta untuk urusan pekerjaan. Saya juga beberapa kali ke Jakarta dan duluuuu sempat tinggal di daerah Cawang walau hanya dua bulan. (Bukan berarti saya merasa akrab dengan Jakarta. Setidaknya, Jakarta bukan kota yang sama sekali asing.)




Namun, Ale dan Elo belum pernah menjejak ke sana.




Masalahnya, saya termasuk orang yang kurang tertarik membawa anak-anak jauh-jauh berpiknik saat mereka masih usia balita. Soalnya, bepergian dengan balita itu lebih repot dalam banyak hal. Plus....terutama karena mereka juga masih belum punya banyak memori tentang perjalanan itu.




Ya sih, jauh dekat itu relatif. Untuk ukuran saya (yang waktu mereka balita tinggal di Medan), jalan-jalan ke Jakarta termasuk jauh hahaha. Perjalanan mudik memang malah lebih jauh, tapi tidak saya kategorikan dalam jalan-jalan... (haha, pie to...).




Sepengalaman anak-anak seputar Jakarta hanyalah transit di bandara Soekarno Hatta dalam penerbangan Jogja – Medan. Nah, bandara SH itu tidak termasuk Jakarta kan? Oh iya, saya pernah juga sih membawa Ale (dan Elo dalam kandungan menginap di tempat Gusti Yeni). Tapi itu di Bekasiiiii, bukan Jakerda. Daaan.... seperti saya duga, Ale yang masih kecil lupa tentang hal itu hehehe.




***




Setelah Elo lulus usia balita (yang mana Ale juga sudah jauh lebih besar), saya merasa sudah waktunya untuk memberi mereka pengalaman perjalanan yang lebih banyak. Sudah tentu, perjalanan sejauh yang kami rasa mampu. Bagi pejalan numpang pindahan seperti kami, travelling memang butuh perhitungan njelimet, terutama soal budget (haha jujur doong).




Satu sisi, pengin deh memberi pengalaman seluas-luasnya pada anak. Di sisi lain, akan ribet kalau memburu travelling sampai membuat keuangan keluarga ambyar. Kalau sendirian/hanya dengan pasangan sih mungkin-mungkin saja untuk backpacker yang menjurus ke begpacker (haha). Lain cerita kalau sama anak-anak, masa mau diajak ngemper sembarangan? Walaupun bukan yang mevvah, setidaknya yang aman.




Kalau memang mampu, ya nggak masalah jalan-jalan menjejak berbagai tempat di dunia. Kita yang tidak/belum mampu, terberkati dengan cerita jalan-jalannya kok. Masalahnya, ada orang-orang yang sampai mengutang (tanpa perhitungan) demi travelling. Ada juga yang sampai dibilang halu gara-gara posting foto jalan-jalan hasil nyomot dari akun orang.




Mungkin travelling bisa digolongkan sebagai berhala baru?




Medio 2019 kami bikin paspor dengan pikiran tak jauh dari taksiran budget : “mumpung masih di Medan, dekat kalau mau ke Singapura dan Malaysia”. (Dari Medan, malah lebih mahal tiket pesawat ke Jogja daripada ke negeri jiran).




Namun, karena satu dan lain hal rencana itu belum terlaksana. Disambung lagi pandemi dan pindah ke Makassar (tepatnya di Gowa). Singapura dan Malaysia jadi jauh yaaak... Alhasil, paspor masih kosong sampai sekarang. Ya sudah, nggak apa-apa, bukan perkara yang sangat-amat-penting kok. Setidaknya, setahun lebih di Sulawesi Selatan, anak-anak bisa melihat Tana Toraja, Bira, dan beberapa tempat lainnya.




Baca :

Berkunjung ke Tana Toraja

Biru, Birunya Bira




Sisi menyenangkan dari hidup “semi-nomaden.” Di balik kerepotan pindahan dan adaptasi, bisa jadi traveller “numpang pindahan”. Eksplorasi daerah lokal pun sudah lumayan membuka mata. Bahkan, masih bisa jalan-jalan (tak peduli jarak) juga sudah merupakan berkat tersendiri.




Seiring pertumbuhan saya sebagai orangtua, rancangan perjalanan bukan lagi “tentang saya”. Namun lebih “tentang anak-anak.” Buat perjalanan, sejauh kemampuan. Mungkin hanya setitik dibandingkan luasnya dunia. Namun, tak apa. Siapa tahu perjalanan mereka kelak saat dewasa??




Jakarta kemarin, adalah secuil pengalaman itu.



2 komentar untuk "Jakarta, Tanpa Rencana"

  1. Sebenernya iya sih mba, ajak anak traveling di saat mereka masih kecil, itu super duper rempooooong 🤣🤣. Mana anaknya blm tentu ingetm

    Tapi bedanya aku dan suami, dia selalu ingin ngelibatin anak2nya kalo sdg liburan. Sementara aku lebih suka traveling berdua suami aja 😅. Kayak pas ke Jepang, Korea, itu dia keukeuh ajak anak, pas si Kaka msh kecil. Tapi setidaknya suami supportive. Dia tahu aku ga suka kalo jalan bareng anak kecil, jadi semua urusan si kecil dia yg handle. Aku cukup urusin kebutuhan kami berdua 😁. Tapi lama2, aku jadi bisa sih enjoy liburan jauh bareng anak. Malah ada beberapa destinasi yg rasanya aku males datangin kalo ga ada anak2, pengennya mereka juga bisa ngeliat 😄. Tapi sedang pandemi gini, ya sudahlah, tunggu aman aja...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Haha...kalau aku karena ga mungkin ga bawa anak-anak mbak. Selain ga da asisten, kami juga jauh dr keluarga. Jadi kek mana ceritanya jalan2 tanpa bocils? Hahaha.
      Tapi sekarang anak-anak uda mulai gede...Beberapa tahun lagi, mungkin kami bisa jalan2 berdua haha

      Hapus

Terima kasih atas kunjungannya. Mohon tidak meninggalkan link hidup dalam komentar ya :)