Catatan Menjelang Hari Kartini





sisi kampung, photo by BJ





Maret lalu, saya banyak membaca blogpost dengan tema perempuan. Tema yang pas karena 8 Maret adalah Hari Perempuan Internasional (International Women Day). Di April ini, saya yakin akan mendapati banyak blogpost dengan tema serupa. Pasti sudah tahu latar belakangnya kan? Yup, di bulan ini ada Hari Kartini, moment tahunan untuk memeringati perjuangan emansipasi perempuan Indonesia.

Sebenarnya, bakal tulisan ini sudah berada di draft sejak bulan Maret. Namun, tulisan ini seperti kehilangan arah. Ada selintas perasaan kurang percaya diri untuk menulis tentang perjuangan perempuan. Lha wong latar belakang Hari Perempuan Internasional (HPI) itu erat kaitannya dengan isu dan aktifitas politis jee...



Untuk memeringatinya, media-media sering mengulas sejarah Hari Perempuan Internasional yang diwarnai aksi-aksi heroik para perempuan dalam perjuangan kesetaraan gender. Perjuangan secara feminin maupun melalui jalur nekat (kalau lemah lembut tidak membuahkan hasil, gelut dijabanin...begitulah kira-kira)

Saya pernah menonton Iron Jawed Angles (2004), salah satu film yang direkomendasikan untuk peringatan HPI. Film yang dibintangi oleh Hillary Swank (memerankan tokoh Alice Paul) itu berkisah tentang perjuangan para perempuan untuk mendapatkan hak pilih di Amerika Serikat. Perjuangan yang ditempuh tidak main-main, bahkan militan.

Dalam film itu diceritakan, jalur lobi politis tidak menunjukkan progres yang signifikan. Alhasil, Alice dan kawan-kawan memilih cara yang terbilang nekat, salah satunya demonstrasi yang berujung penangkapan oleh aparat. Di penjara, Alice meneruskan perjuangan dengan mogok makan hingga tubuhnya sekarat.

Heroik sekali bukan?

***

Maret lalu, Aprilia Manganang, mantan atlet voli nasional yang berkarir sebagai Kowad (Komando Wanita Angkatan Darat) menjadi berita hangat. Kali ini bukan berita tentang prestasinya di olahraga bola voli. Namun, Aprilia menjadi atensi publik karena pergantian gender dari perempuan ke laki-laki.

Berbeda dengan banyak cerita pergantian kelamin yang menuai cibiran. Kasus Aprilia justru banyak mendapat simpati masyarakat. Faktanya Aprilia memang bukan berganti kelamin, tetapi rekonstruksi organ setelah serangkaian cek medis.

Saat lahir, Aprilia mengalami hipospadia, yakni kelainan kelamin yang mengakibatkan ia dianggap dan dibesarkan sebagai perempuan. Padahal, sejatinya Aprilia adalah seorang laki-laki. Berkat perhatian Kepala Staf Angkatan Darat, Jendral Andika Perkasa, Aprilia bisa menjalani serangkaian proses medis. Selain status gender, namanya pun diubah secara legal menjadi Aprilio Perkasa Manganang dengan panggilan Lanang.

***

Kisah Lanang mengingatkan pada masa kecil dan remaja saya.

Tidak. Saya tidak menderita hipospadia atau apapun kelainan yang berhubungan dengan kebingungan gender. Saya terlahir sepenuhnya perempuan. Namun, saya tumbuh dan berkembang dengan kecenderungan perilaku lelaki yang lazim disebut tomboy. Perilaku yang tampak adalah lebih nyaman mengenakan celana dan tshirt daripada rok dan gaun-gaun cantik. Saya juga merasa nyaman bermain dengan teman laki-laki.

Hayooo siapa yang dulu juga demikian??

Memang sih, tomboy saya tidak ekstrim. Jangan bayangkan gadis kecil yang lebih terlihat maskulin daripada feminin. Saya memang tidak nyaman untuk berpakaian cantik, tapi di masa itu saya justru berambut panjang sepinggang. Agak kontradiktif memang ^-^. Sekarang saya justru sering heran, kok dulu sabar dan telaten berambut sepanjang itu.

Masa kecil juga masih lurus-lurus saja dalam berpikir. Nyaman saja bermain kelereng, layangan, panjat pohon, menelusur sawah-kebun...dan sebangsanya. Kegiatan (yang dianggap) maskulin berselang-seling dengan main pasaran, masak-masakan, dan itu lhooo...apa sih namanya?? Mainan karakter orang dari karton yang bisa diganti-ganti kostumnya. Mainan hits bagi generasi 80-an. Jenis mainan juga bisa jadi penanda umur yaaa ^-^

Bertambah usia, timbulah pertanyaan-pertanyaan yang mengusik keingintahuan. Seperti, kenapa sih anak perempuan banyak tidak bolehnya. Daftar do and don’t bagi anak perempuan rasanya terentang panjang. Sepertinya lebih menyenangkan kalau terlahir sebagai anak laki-laki.

Tapi kan tidak mungkin untuk kembali terlahir sebagai bayi laki-laki (bahkan jika percaya pada reinkarnasi, kelahiran kembali adalah sebagai pribadi yang berbeda). Ketidakmungkinan itu saya siasati dengan mengadopsi sebagian penampilan dan perilaku maskulin. Tindakan yang (saat itu) terasa membebaskan.

Memang hanya sebatas itu sih. Saya tidak mengalami pergulatan semacam “jiwa laki-laki yang terkurung dalam tubuh perempuan” (pada cerita hidup para transpuan, saya sering mendapati kalimat “jiwa perempuan yang terjebak dalam tubuh laki-laki”). Cinta monyet hingga cinta serius saya jatuhnya juga ke laki-laki, bukan perempuan.😀😀

***

Sepertinya ada benang merah yang bisa saya tarik antara emansipasi perempuan – kisah Aprilia- dan saya.

Membahas emansipasi pasti tidak lepas dari pencapaian-pencapaian hebat para perempuan dalam berbagai bidang. Mereka, perempuan-perempuan yang mampu menjadi inspirasi dalam karir formal maupun non-formal. Sungguh suatu pembahasan yang sangat-amat-wajar, mengingat tanpa emansipasi --tanpa perjuangan kesetaraan, mustahil bagi perempuan untuk mencapai itu semua.

Dengan pembahasan semacam itu, alih-alih merasa turut berbangga penuh, saya justru merasa kerdil. Situasi yang membuat saya merasa kurang percaya diri untuk menulis tentang perjuangan perempuan. Dengan posisi dan kondisi saat ini, terasa ada jarak yang jauh terentang antara saya dengan isu-isu aktual perempuan.

Saya adalah emak-emak rumahan yang belum sangat aktif di komunitas manapun (baik itu komunitas offline maupun online). Saya juga masih menjalani proses adaptasi di tempat baru dalam situasi pandemi, sehingga belum banyak terlibat dalam aktifitas di lingkungan sekitar. Sehari-hari, saya masih dominan berkutat dengan urusan domestik. Terasa hanya sebagai sekrup kecil dalam ide besar pergerakan perempuan, pemberdayaan perempuan, penguatan perempuan edebre edebre....

Saya sadar, itu adalah cara berpikir yang salah. Namun, butuh energi untuk mengurai dan merefleksikan salah pikir tersebut (maka itu, tulisan ini cukup lama mengendap di draft). Mungkin benar, bahwa saya hanya sekrup kecil, tetapi sekrup kecil pun ada fungsinya.

Selama masih punya keinginan dan harapan untuk berdaya, maka saya tetap terhubung dengan isu aktual perempuan. Tak terlalu menjadi soal jika kita baru mampu memberdayakan diri sendiri atau sudah mampu menginspirasi orang lain.

Butuh pergulatan panjang bagi Aprilia untuk merayakan status baru sebagai laki-laki. Sebaliknya, meski tak serumit kisah Aprilia, saya butuh waktu untuk mencintai keberadaan diri sebagai perempuan. Yang kemudian saya sadari, bisa menerima dan mencintai diri sendiri adalah sebuah pencapaian yang patut saya rayakan.

***

Suatu hari, saya membaca buku berjudul Pulih. Buku yang berisi sebagian besar pengalaman perempuan dalam memulihkan kesehatan mentalnya setelah melalui sekian pergulatan hidup. Sudah pasti, buku itu hanya memuat sedikiiit cerita tentang perjuangan para perempuan dalam memulihkan jiwanya. Tentang pahit manis hidup para perempuan, saya yakin masih banyak cerita yang tidak tertulis dan terkabarkan.

Baca : Buku Pulih

Buku ini mengingatkan saya pada sisi lain dari pencapaian para perempuan. Bahwa selain perempuan-perempuan yang tampak cemerlang, ada perempuan-perempuan yang masih harus bergulat dengan peliknya persoalan diri. Persoalan yang bisa jadi tidak tampak dari luar tetapi menjadi penghambat upaya untuk maju dan berdaya.

Kemudian saya menyadari, medan perjuangan perempuan adalah bermacam warna. Ada yang tengah berjuang keras dalam menyelesaikan studinya, atau dalam karirnya, dalam kesehatannya, dalam pernikahannya, dalam perawatan kesehatan keluarganya, dalam pemulihan kesehatan mentalnya.... et cetera.

Perjuangan perempuan adalah bagian dari narasi perjuangan kemanusiaan.

Selamat menyambut hari Kartini.

24 komentar untuk "Catatan Menjelang Hari Kartini"

  1. Perempuan dan perjuangannya menjadi diri sendiri, menurutku gak akan ada akhirnya Mbak. Karena kita hidup di zaman yang segalanya berubah dengan cepat. Setiap saat kita dituntut untuk berubah agar tak terlindas. Peran domestik dan publik, bagaimanapun tetap butuh keseimbangan. Kita butuh pencapaian-pencapaian agar merasa diri layak, tak masalah gimana sepelenya di mata orang lain. Selamat hari Kartini Mbak. Walau saya termasuk gak begitu "ngeh" Kartini berjasa pada para perempuan Indonesia, setidaknya wacana terhadap dirinya telah membuka mata dunia bahwa perempuan bisa jadi apapun yang mereka inginkan

    BalasHapus
  2. Wah, sama mbak. Saya waktu kecil juga tomboy. Suka panjat-panjat pohon. Akhirnya dimasukin ke les tari klasik Jawa biar lebih anggun katanya, hahahah. Saya pun sekarang juga masih sering insecure kalo liat perempuan-perempuan hebat di luar sana. Apalah saya yang ibu rumah tangga biasa. Tapi lalu saya mikir, biarlah saya sekadar ibu rumah tangga biasa, yang penting saya berusaha mengurus keluarga sebaik-baiknya. Toh hidup bukanlah sebuah perlombaan.

    BalasHapus
  3. Banyak kiprah perempuan yang terkadang terasa disudutkan karena pola patriarki masih melekat cukup kuat di daerah kita. Oh tidak, hampir semua negara Asia juga masih agak kental pola patriarkinya ya. Padahal adab kehidupan pertama berada di bawah naungan perempuan ya.

    BalasHapus
  4. Duh, jadi inget cerita masa lalu hehe. Punya rok cuma seragam sekolah. Baru bisa mengenakan rok, act like a lady pas kuliah, gara-gara ada dosen yang gak bolehin para mahasiswinya pake celana, harus pake rok. Cuma 1 dosen loh padahal yang kayak gitu eh akunya malah keterusan deh pake rok hahaha.

    BalasHapus
  5. Wahh, insight yang menarik bangeeett, Mak.
    Ini ngabisin berapa gelas kopi bisa bikin artikel se-ciamik ini?
    Btw, saya setuju banget medan perjuangan perempuan adalah bermacam warna.
    kita kudu saling menguatkan ya Mak.

    BalasHapus
  6. Suka sama tulisannya Mbak ... yes ... Bahwa selain perempuan-perempuan yang tampak cemerlang, ada perempuan-perempuan yang masih harus bergulat dengan peliknya persoalan diri. Persoalan yang bisa jadi tidak tampak dari luar tetapi menjadi penghambat upaya untuk maju dan berdaya. Setuju ...

    Saya mengagumi tulisan2 Mbak Lisdha yang biasanya berbentuk refleksi (IMHO), saya jadi ikut berefleksi, begitu pun ketika membaca tulisan ini.

    Kita yang "berjuangnya" di rumah, gak bisa dibandingkan dengan yang berjuang juga di luar rumah. Not apple to apple. Kita, perempuan memang beragam karena punya latar belakang berbeda dan kebutuhan juga kepentingan yang berbeda. Kita semua bisa saling menguatkan, salah satunya dengan tulisan seperti ini. ^__^

    BalasHapus
  7. Pikiran yang bagus, mbak.
    Perempuan itu sosok yang kuat sebenarnya tapi selalu dinomor-duakan dalam berbagai lini.
    Dianggap lemah, bahkan kadang direndahkan.

    Tinggal kita yang memilih, mau dianggap makhluk lemah atau kuat, dengan cara meng-upgrade diri sesuai kodrat perempuan.

    BalasHapus
  8. Jadi teringat akan sebuah kalimat yang bagus. Perempuan itu ibarat air, dia cukup lembut untuk menawarkan kehidupan, tapi juga cukup tangguh untuk menenggelamkannya
    Setiap perempuan istimewa dengan karakter nya masing-masing

    BalasHapus
  9. Aku juga waktu masih kecil lebih banyak punya temen cowok dan lebih sering main panjat-panjatan
    Kita harus bisa mencintai diri sendiri seutuhnya yah, sebagai perempuan
    Mari kita saling menyemangati sebagai sesama perempuan

    BalasHapus
  10. Aku suka saat artikel ini disimpulkan. Benar jika medan perjuangan perempuan adalah bermacam warna. Bisa di dirinya, suami, anak,karir, lingkungan...semua berjuang untuk sebuah pencapaian. Meski seorang yang cemerlang pun saya kira pasti ada yang tengah diperjuangkan.Jadi apapun itu, mari berjuang tanpa saling menjatuhkan, semangat kita Mbak Lisdha!

    BalasHapus
  11. selamat memperingati hari kartini mbak.

    Saya juga dari kecil tomboy, lingkungan bergaulnya kebanyakan laki-laki, mainannya juga hehehe....

    Setelah menikah, baru deh belajar hal-hal berbau perempuan.

    Saya belum baca buku pulih mbak, tapi sempat baca di timeline medsos ada beberapa teman yang mengulas buku ini.
    Baru tadi pagi saya kepikiran, kenapa sih kebanyakan perempuan yang memiliki masalah dengan luka pengasuhan? Apa lelaki tak ada yang mengalami? Atau ada yang mengalami tapi tak mengungkapkannya?

    BalasHapus
  12. Belajar dari kisah orang orang inspiratif itu emang ngga ada ruginya yaa.. apalagi sebagai motivasi kita semua sebagai seorang wanita yang sekarang hidup di dunia digital.. sangat terbuka banyak hal untuk lebih produktif

    BalasHapus
  13. Banyak banget kisah perempuan yang menginspiratif, perempuan dengan warnanya masing2 menuju perjuangan yang mereka capai.
    Selamat Hari Kartini, wahai perempuan yang ada diIndonesia

    BalasHapus
  14. saya dulu juga tomboi mbak, suka main pake celana pendek sama teman-teman cowok, main layangan , kelereng bahkan manjat manjat pohon, hehe

    saya sudah baca buku pulih mbak, banyak sekali kisah perempuan inspiratif disana

    Selamat hari kartini ya mbak, tetap berjuang menjadi diri sendiri dan semangat menggapai mimpi

    BalasHapus
  15. Aku juga sukanya pakai celana pendek & tshirt dulu, tapi kadang-kadang aja sih pakai roknya. Jaman kerja juga temannya kebanyakan laki-laki di satu tim.
    Oh ya aku dari buku pulih itu kita bisa ikut mersakan perjuangan para perempuan untuk bangkit ya

    BalasHapus
  16. Perjuangan terberat kita sebenarnya perjuangan melawan stigma dan dogma. Dogma kalau perempuan harus ada dibawah lelaki, tugas utamanya di rumah mengurus anak, dsb. Menurutku, hal itu udah nggak relevan di masa sekarang. Pun sebenarnya kalau mau merunut ke era kerajaan dulu.. banyak lho perempuan yang jadi kepala desa dan ememgang jabatan penting pemerintahan. Malah ada yg jadi ratu. Tapi setelah itu kita mengalami kemunduran.

    BalasHapus
  17. Refleksinya menarik sekali, Mbak. Memang perjuangan perempuan beraneka warna, ya. Ada yang masih berusaha berdaya untuk dirinya sendiri, ada pula yang berjuang untuk lingkungan sekitarnya. Enggak ada yang salah, sih. Karena berbeda-beda kemampuan, kapasitas, kondisi, dan sebagainya.

    BalasHapus
  18. SAya dulu tomboy tapi masih suka pakai rok, kadang. Hehe.Bukunya keren nih, inspiratif banget.

    BalasHapus
  19. Akupun terharu liat ceritanya aprilio manganang, ikut lega sekarang dia bisa menemukan jati diri sesuangguhnya yaaa

    BalasHapus
  20. Iya mba.. banyak sekali berbagai tantangan yg harus dilalui Perempuan tidak terkecuali Ibu rumah tangga yg Tanpa pengalaman hrs mendidik anak2nya punya cita2 yg hrs terpendam..



    BalasHapus
  21. aku juga dulu tomboy mak tapi seiring waktu bisa jadi feminin juga kadang ketawa kalau liat kelakuan tombiy jaman dulu apalagi pas pakai jilbab tambah beras feminin

    BalasHapus
  22. Benar mbak. Setelah Hari Perempuan Internasional, saya pun jadi menemukan tema tulisan serupa (tentang perempuan) di momen Hari Kartini.

    BTW, jadi ingat zaman sekolah dulu..saya termasuk siswi yang tomboy nih. Punya rok ya rok seragam sekolah aja. Astaga hahahhaha

    BalasHapus
  23. Mbak, berdasarkan buku sejarah. kartini itu adalah istri ke-3 dari suaminya. sedangkan ibunya RA Kartini itu adalah istri ke-3 dari bapaknya. jadi sebenernya kartini itu adalah lambang suksesnya poligami :)

    BalasHapus
  24. Sebagai perempuan yang punya cukup privilege untuk mengenyam pendidikan dan moral support dari keluarga, saya rasa juga udah sepantasnya dan seharusnya temen-temen perempuan dengan privilege yang sama mulai menyuarakan diri untuk mereka yang belum punya kesempatan yang sama. Dengan begini, kesetaraan bisa tercapai. Tapi tentu jalannya masih panjang, jadi semoga kita semua diberikan kekuatan sebagai sesama perempuan dan manusia untuk saling memperjuangkan hak masing-masing :))

    BalasHapus

Terima kasih atas kunjungannya. Mohon tidak meninggalkan link hidup dalam komentar ya :)