Akhir Cerita, Wisata Macam Apa (FamTrip Toraja #5)





Ke Toraja, seolah wajib foto dengan tongkonan ^-^





Menginjak Toraja langsung mengaitkan ingatan saya pada Coco. Film animasi produksi Pixar yang mengisahkan petualangan Miguel, bocah kecil yang ingin menjadi musisi. Cita-cita masa kecil yang yang langsung terganjal restu keluarga. Suatu ketika, tanpa sengaja Miguel masuk ke dunia orang mati. Di sana, ia berjumpa dengan kakek buyutnya yang terlunta.

Film Coco menyajikan cerita menyentuh berkaitan dengan dunia arwah. Alih-alih gelap dan horor, Coco justru terlihat meriah. Film dengan pendapatan 807,8 juta USD ini juga menjadi promosi luar biasa bagi kebudayaan Meksiko ke seantero dunia. Berkunjung ke Toraja, mau tak mau membuat saya berpikir, pasti sangat keren jika diangkat dalam film animasi seperti Coco.



Hanya sedikit budaya di dunia yang merayakan kematian dengan euforia, dan Toraja adalah salah satunya. Di sana, Kristianitas merupakan agama mayoritas. Berdampingan dengan kepercayaan leluhur Aluk Todolo yang masih mewarnai berbagai segi kehidupan. Kepercayaan yang memandang kematian sebagai puncak kehidupan. Alih-alih berkabung dalam suasana gelap dan muram, upacara kematian justru merupakan selebrasi yang megah. Terutama, jika yang meninggal adalah kalangan berada dan terhormat.

Saya, BJ, Ale, dan Elo berkunjung ke Toraja pada pertengahan Februari 2021. Dengan waktu kunjungan yang sangat singkat, mustahil untuk mengenal kedalaman Toraja. Kami bahkan tidak berkesempatan melihat upacara Rambu Solo yang termasyhur itu. Namun kami bisa menyaksikan sebagian keunikan Toraja melalui beberapa makam yang kami datangi.

Dalam banyak budaya, makam lazim disebut kuburan. Namun, dalam tata-cara Toraja, secara harfiah makam bukanlah kuburan. Sebab, jasad memang tidak dikubur dalam tanah, melainkan diletakkan di gua-gua pemberian alam.

Saya datang ke beberapa makam terkenal yang kerap dikunjungi wisatawan domestik maupun mancanegara. Sesungguhnya, saya juga tertarik untuk mengunjungi tempat-tempat yang tak terlalu turistik. Namun, kali ini, baru tempat-tempat ini-lah yang bisa saya datangi.



Londa



Gerbang Londa







Kami tiba di Londa pada sore hari setelah kami berkunjung ke Buntu Burake di Makale. Pemakaman Londa terletak di Desa Sandan Uai, Kecamatan Sanggalangi, sekitar 7 kilometer dari Rantepao, ibukota Kabupaten Toraja Utara. Waktu sudah sore dan mendung, tetapi masih ada beberapa pelancong seperti kami.

Tiket masuk ke Londa adalah Rp 15.000 per orang. Menurut penjaga, di awal pandemi, Londa memang sempat tutup beberapa bulan. Sekarang, pengunjung memang sudah ada walau secara kuantitas belum pulih seperti sebelumnya.

Dari gerbang, hanya perlu berjalan kaki sebentar untuk sampai ke gua. Di bagian depan gua, langsung tampak peti mati (erong) bermacam bentuk. Peti-peti itu ada yang terletak di bawah, ada juga yang di dinding tebing. Konon, posisi dan bentuk peti menandakan strata dalam masyarakat.



Tebing makam dari dilihat dari gerbang










Tau-tau



dalam gua



mulut gua dilihat dari dalam






Pandangan mata kami juga langsung tertumbuk pada tau-tau, yakni patung orang-orang yang sudah meninggal. Tau-tau dijajarkan pada “balkon” dinding batu, mengingatkan saya pada etalase manekin di pusat-pusat perbelanjaan. Tentu saja ada perbedaan kontras, etalase manekin dibuat untuk mengusik hasrat belanja. Sedangkan tau-tau dengan sendirinya memunculkan suasana sureal.

Dalam linguistik Toraja, tau berarti orang. Tau-tau bisa diartikan orang-orangan, yakni sebagai representasi orang yang dimakamkan di tempat tersebut. Tidak semua orang yang meninggal dibuat tau-tau, melainkan hanya orang berada/terpandang. Dulu, sempat terjadi pencurian tau-tau dan benda-benda berharga di makam. Sebab itu, saat ini tau-tau dilindungi jeruji besi.

Kami ditemani pemandu bernama John yang membawa lampu petromax untuk menerangi kegelapan gua. Cahaya terbatas dan kontur gua yang terjal membuat kami harus hati-hati. John dengan fasih bercerita tentang Londa. Baginya, menceritakan itu semua mungkin serupa memencet tombol rewind saja, saking terbiasa.

Dalam gua, John menunjukkan peti yang umurnya belum terlalu lama. Namun, kami sama sekali tak mengendus bau-bau aneh sehubungan dengan keberadaan tulang, tengkorak, maupun jasad yang mungkin belum lapuk sempurna. Anak-anak sempat merasa heran dengan berbagai benda, seperti minuman kemasan, makanan, uang, bahkan rokok di banyak bagian gua. Dalam budaya Toraja, memang lazim untuk menaruh pemberian (sesaji) pada orang yang sudah meninggal.

John juga menunjukkan sepasang tengkorak legendaris di Londa. Entah siapa nama aslinya, kami pun tak bertanya, kedua tengkorak itu dikenal dengan sebutan Romeo dan Juliet dari Londa. Konon, dulunya mereka adalah sepasang kekasih yang bunuh diri karena tak direstui keluarga.

Di sisi lain dari gua, ada puri dengan pemandangan makam-makam di tebing batu. Namun, kami tak bisa ke sana. Waktu yang semakin sore, ditambah turun hujan, membuat kami harus segera bergegas. Terlebih kami datang bersama dua bocah yang imajinasinya masih dipenuhi imajinasi seram tentang hantu-hantuan. Kami berbasah-basah menuju kendaraan lalu segera meluncur ke penginapan.



Kete’kesu








Berkunjung ke makam di Kete’Kesu ibarat sekali merengkuh dayung dua pulau terlampaui. Sebab, selain pemakaman, di sana juga ada deretan tongkonan yang telah berusia ratusan tahun. Bangunan kayu yang sudah teramat tua, tapi tak terlihat renta.

Berasal dari kata dasar tongkon yang berarti duduk, tongkonan memiliki fungsi dasar bangunan itu sebagai tempat duduk-duduk, merembug berbagai perihal adat.

















Menginjak Toraja, berarti melihat tongkonan di segala penjuru. Bahkan, bangunan-bangunan modern di seantero Toraja pun banyak yang mengadopsi bentuk tongkonan.

Sayang sekali, saat itu kami tak mendapati pemandu. Akibatnya, kami hanya bisa melihat-lihat keunikan tongkonan tanpa bisa bertanya ini-itu. Kekaguman kami terhenti pada sekian rasa penasaran yang tanpa jawaban. Sekalinya bisa ngobrol dengan penduduk yang (tampaknya) tinggal di situ, beliau sudah berusia sangat tua. Alhasil, obrolan kadang tidak nyambung.

Bergeser tak jauh dari deret tongkonan, melewati kios-kios cenderamata, kami sampai di makam tebing batu. Anehnya, berbeda dengan tongkonan yang banyak pelancong, siang itu makam terlihat senyap. Kami tak melihat satu pun orang, entah itu pengunjung maupun pemandu. Hanya kami berempat yang mendaki tangga.



mendaki tangga batu





sepiiiii













tau-tau




Di muka gua, pemandangannya relatif sama dengan di Londa. Peti-peti mati bermacam bentuk di dinding batu. Juga tau-tau berjejer di balik jeruji besi. Namun, di sana kami benar-benar hanya sebentar. Sepi membuat Ale dan Elo disergap rasa ngeri. Elo bahkan sampai menangis minta turun. Duuuh, sayang sih sebenernya. Tapi jelas tidak bijak untuk meneruskan perjalanan, bukan?



Bori Kalimbuang








Dari Kete’Kesu kami bertolak ke Bori Kalimbuang yang terletak di Desa Bori, Kecamatan Sesean, Toraja Utara. Sempat terlambat belok, akhirnya BJ mengandalkan google-map melalui jalur yang semula hendak ditempuh. Wah, ternyata jalannya sedang diperbaiki. Kondisi sering hujan membuat jalur becek dan licin. Keberadaan alat berat juga membuat kami beberapa kali tertahan macet.

Lepas dari jalur itu, kami kemudian menyusuri perkampungan. Melewati persawahan luas dengan bangunan tongkonan tampak di kejauhan. Mungkin karena saya juga orang kampung, jadi terasa lebih terhubung.

Akhirnya kami sampai di Bori Kalimbuang, yakni “taman” menhir warisan zaman megalith. Pemandangan di sana sering disejajarkan dengan Stonehenge di Inggris (saya belum pernah ke sana, baru lihat di media saja). Dalam bahasa lokal, menhir-menhir megah ini disebut simbuang batu.

Sebelum mobil berhenti, rasa ragu sempat menghampiri. Sebab, tak tampak lokasi parkir atau tanda-tanda pendukung tempat wisata yang terkenal. Namun, peta digital dan papan penanda menunjukkan bahwa memang di situlah Bori Kalimbuang.

Hanya perlu sedikit melihat lebih dekat, dari jalan langsung tampak batu-batu besar menjulang. Dari bentuk dan susunannya, jelas bukan batu yang secara alami berada di situ. Terlihat ada loket tiket di sebelah dalam, hanya saja gerendel mengunci pintu gerbang. Ternyata ada pengumuman kecil, bahwa tempat itu ditutup karena pandemi. Hhhmm, ya sudahlah. Tidak kaget karena memang banyak tempat wisata masih tutup sejak pandemi meledak.

Tetapi kemudian ada bapak-bapak (tampaknya penduduk lokal) yang memberi-tahu bahwa kami bisa masuk ke dalam lewat gerbang sebelah. Bapak-bapak itu juga menyebut Rp 15.000 sebagai “biaya masuk.” Jelas saja, tanpa tiket retribusi. Jujur kami agak bimbang. Masuk nggak-masuk nggak-masuk nggak.

Keputusan akhirnya adalah masuk :D










Kawanan batu-batu tinggi besar (menhir) yang berdiri tegak dan rapi langsung terhampar di depan mata. Meski tidak se-artistik candi-candi kuno (dalam arti tak ada pahatan/ukiran khusus), tetap saja butuh energi luar biasa untuk membuat semua itu.

Di lokasi tersebut total berdiri 102 menhir yang dalam bahasa setempat disebut simbuang batu. Meski ukurannya berbeda, menhir-menhir tersebut memiliki nilai adat yang sama. Menhir hanya bisa didirikan jika seorang pemuka masyarakat yang meninggap diupacarakan secara adat dalam tingkat Rapasan Sapurandanan (potong kerbau minimal 24 ekor).

Selain simbuang batu, di tempat ini juga bangunan kayu yang disebut balakkayan dan lakkian. Balakkayan adalah serupa rumah panggung tak berdinding yang digunakan untuk membagikan daging sembelihan dalam prosesi upacara adat. Sedangkan lakkian merupakan tempat persemayaman jenazah selama ritual kematian berlangsung.

Tak jauh dari menhir juga ada makam-makam batu yang masih dipergunakan hingga sekarang. Di Bori Kalimbuang juga ada pemakaman khusus untuk bayi (baby grave). Sebenarnya, saya tertarik untuk menengok makam bayi di sana, yang konon berupa lubang pada pohon besar lalu ditutup lapisan ijuk.

Namun, Ale dan Elo sudah mengeluh lelah dan ingin segera kembali ke hotel untuk berenang. Sejujurnya mereka memang kurang antusias dengan berkunjung ke makam-makam. Beda cerita kalau diajak ke tempat-tempat wisata kekinian disertai makan-makan. Elo malah sempat nyeletuk, “ini wisata macam apa, main kok ke makam.”😁😂

Begitulah, jalan-jalan kami ke Toraja tidaklah maksimal mengunjungi banyak tempat. Bori Kalimbuang adalah destinasi terakhir sebelum kami menghabiskan waktu di penginapan. Menghabiskan sisa satu malam, lalu esoknya bertolak pulang.

Kali ini, anak-anak belum terlalu menikmati. Namun, ketertarikan anak-anak akan berkembang seiring waktu. Entah nanti akan bisa kembali ke sini atau seumur hidup hanya sekali. Setidaknya, pada mereka berdua, kami berusaha mengenalkan sebagian keragaman Indonesia.






Cerita lengkap tentang Toraja :

Part 1 : Mampir Sebentar di PLTB Sidrap

Part 2 : Mencicip Nasu Cemba di Gunung Nona

Part 3 : Sambutan Personal di Tana Toraja

Part 4 : Di Ketinggian Toraja



Tulisan selanjutnya :
Diajak ke Mappettuada, Lamaran Adat Bugis

33 komentar untuk "Akhir Cerita, Wisata Macam Apa (FamTrip Toraja #5)"

  1. Mbaaa,

    mau nanya. pulang dari sana, ga ada rasa2 merindiiingg atau kayak diikuti sesuatu kah? :)

    Etapii, aku setuju dengan dirimu mba.
    Berkunjung ke Toraja, membuat kita berpikir, pasti sangat keren jika diangkat dalam film animasi seperti Coco.

    Semoga ada produser yg mau bikin yak

    BalasHapus
    Balasan
    1. nggak ada rasa2 pie2 ki hihihi...apa aku sik ndableg ya? soale dulu2 kalau naik gunung, kdg ada temen yg liat apalah...tp aku blasssss. Aku sama suami malah jd diskusi, apa ya mitos hantu di toraja? secara jasad saja bisa disimpen bertahun2 dalam rumah sebelum upacara.

      Hapus
  2. Anak saya juga gitu kalo berwisata yang nuansanya edukasi, termasuk makam. Pas ke Rumah Pintar di Yogya pun dia hanya antusias dengan permainan game yang memadukan gerak tubuh. Kalo Emaknya sih memang hobi ke tempat wisata edukasi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. antusiasme ortu kdg berbanding terbalik dg semangat bocah ya Mbak :)
      Tapi nggak apa2, kita kan lg mengenalkan ke mereka. Ketertarikan mereka akan berkembang seiring waktu

      Hapus
  3. hahaha... Elo, wisata macam apa itu ya, kok mainnya ke kuburan.

    Ntar kalau kamu udah dewasa, udah nggak tinggal di Makassar, terus ada temanmu cerita pengen lihat pemakaman kuno di Toraja, baru deh kamu bakal berterima kasih sama Mama Papa karena waktu kecil pernah diajak ke sana

    BalasHapus
    Balasan
    1. Haha, mudah2an Mbak
      Kalau aku baca2 cerita orang setelah dewasa, ada yg jd ingat dulu seribg diajak jalan sm ortunya dan saat itu ya....belum menikmati hihihi

      Hapus
  4. nice story dengan foto foto keren....
    thank you for sharing

    BalasHapus
  5. Saya kalau main ke lohan mgkn ga akan berani sendiri. Hahaha.. secara saya orangnya penakut. Tapi kok bisa yaa mayitnya ga bau sama sekali disana. Biasanya kan kalau ada mayit membusuk itu bau.

    BalasHapus
    Balasan
    1. jangan2 mb ade koment sambil lihat ikan nih hehehe (kidding). Orang toraja katanya punya ramuan khusus utk mayat meski kata pemandu, skrg jg sudah pakai formalin. Baca artikel di mana penulis berkunjung ke rumah yang ada jasad bertahun2 belum dikubur, katanya juga enggak bau

      Hapus
  6. Tahun 2015 aku pernah ke Kete Kesu mbak. Beneran indah ya, dan yang paling memukau adalah penghormatan anak atau keluarga kepada orangtua yang telah meninggal dengan menyembelih kerbau yang harganya mencapai M-Man.

    Ah, jadi pingin menulis juga tentang Toraja nih😁

    BalasHapus
    Balasan
    1. hayuuk mbak ditulis. Meski sdh lama, pasti masih berkesan kan..

      Hapus
  7. Aduh asli kangen banget pengen ke Toraja, saudaraku banyak di sana Mbak rencana ke sana 2020 eh pandemi semoga ada rezekinya bisa ke sana buat lepas kangen dan sekaligus piknik.. kebudayaannya kental banget ya Toraja ini

    BalasHapus
    Balasan
    1. aku pengen bangeeet bisa wisata sosial ke toraja mbak. Ngobrol2 deket sama penduduk lokal. Bukan sekedar kunjungan yg turistik

      Hapus
  8. Oh jadi Toraja malah menganggap bahwa kematian sebagai puncak kehidupan?
    Jadi mereka seolah "mengantar" si arwah ini dengan upacara kematian kayak pindah rumah sesudah upacara pernikahan atau apalah gitu ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. begitu pemahaman saya dr membaca berbagai artikel ttg mbak tanti. bisa jadi saya salah. Tapi make sense dr cara mereka "marayakan" kematian

      Hapus
  9. Membayangkan kisah Romeo and Juliet di tana Toraja.
    Kisah mereka sungguh abadi yaa..

    Anak-anak pada berani yaa, kak.
    Kaya Ibuku yang pernah ke makan orang Toraja, selalu berundak-undak (di tempat yang tinggi). Apakah hanya pahlawan saja yang diletakkan di tempat yang tinggi?

    BalasHapus
    Balasan
    1. konon, makin tinggi kedudukan di masyarakat, makin tinggi makamnya mbak

      Hapus
  10. Belum pernah ke toraja...
    Mudah-mudahan ada rezeki bisa wisata ke sana, kalau anak-anak udah lebih besar, hihihi...

    BalasHapus
    Balasan
    1. amiin mb lia. benerrr ajak kalp uda gedean. biar ga tlalu capek jalannya

      Hapus
  11. Kalau Elo dibawa ke negeri di atas awan Desa Lolai Toraja Utara pasti Elo suka, pemandangannya sangat indah.
    Coba deh nanti kalau ke Toraja lagi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. sudah ke lolai juga bu dawiah. Di part 4 :)

      Hapus
  12. Aku setuju dengan cara pandang leluhur Toraja itu, bahwa kematian sepatutnya dirayakan, bukan ditangisi. Dari dulu aku pengen banget deh ke Toraja, biasa cuma dengar cerita dari temen doang, liat rumah tongkonan aja cuma di buku pelajaran. Berharap ada umur damn kesempatan buat kesana juga deh

    BalasHapus
    Balasan
    1. saya juga sependapat, meski memang tidak akan bisa kalau merayakan dg cara orang toraja. Na bukan budayanya :)

      Hapus
  13. Salah satu tempat yang pengen dikunjungi Toraja, pengen juga melihat langsung budaya disana. Pasti seru banget ya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. bil semesta menghendaki, tidak mustahil bisa ke sini ya mbak Lis. Saya jg karena "kebetulan" sdg berkesempatan tinggal di sulawesi :)

      Hapus
  14. Aaaah lihat foto fotonya bikin saya beneran iri positif soalnya saya ya g orang Sulawesi belum pernah kesana

    BalasHapus
    Balasan
    1. ga aneeeh itu mbak. saya sebagai orang Jateng juga malah sering kalah sama orang luar dlm hal menjelajah daerah sendiri :)

      Hapus
  15. Mba bikin aku pengen main ke Toraja, banyak banget yang dikunjungi ini.
    Jadi kenangan dan konten ya mbak

    BalasHapus
    Balasan
    1. jadi lima judul mbak...niat banget menulisnya :)

      Hapus
  16. Aku tuh selalu mupeng banget kalo ada yg membagikan cerita ke Toraja kayak ini huhu. pengen banget explore semua sudut yang ada di Toraja

    BalasHapus
    Balasan
    1. butuh waktu lama kalau bener2 mau explore semua sudut ya...3D2N, rasanya baru mengenal seujung kuku Toraja

      Hapus

Terima kasih atas kunjungannya. Mohon tidak meninggalkan link hidup dalam komentar ya :)