Mencicip Nasu Cemba di Gunung Nona (Famtrip Toraja #2)



Gunung Nona, Bambapuang, Enrekang, Sulsel



Hari sudah menjelang siang ketika kami meninggalkan PLTB Sidenreng Rappang. Kami berempat bergerak menyusur jalan menuju Kabupaten Enrekang. Ini adalah perjalanan pertama saya dan anak-anak melewati Bumi Massenrempulu. Sedangkan bagi BJ, chief of the family, ini adalah perjalanan kesekian. Hari itu, kami melewati Enrekang dalam perjalanan ke Tana Toraja.

Baca : Mampir Sebentar di PLTB Sidrap

Jalanan naik turun dan berkelok, sesuai dengan julukan massenrempulu yang berarti daerah pinggiran gunung. Hari mendekati separuh, sebentar lagi jam makan siang.



Hhhhmm, sepertinya perlu mencoba kuliner daerah Enrekang. Paling gampang, tanya google dong (once again : terima kasih Larry Page dan Sergey Brinn untuk keajaiban mesin pencari ini). Hasil browsing menghasilkan beberapa nama makanan khas, di antaranya danke/dangke dan nasu cemba.

Danke adalah sajian yang dari olahan susu kerbau yang kemudian digoreng lalu disajikan dengan sop dan nasi. Hhhhm, jadi ingat susu horbo (kerbau) di Sumatera Utara. Saat tinggal di Pematangsiantar, saya pernah mencicipi olahan susu kerbau yang disebut Dali Ni Horbo dan...... tidak doyan.

Memang sih, lain ladang lain belalang. Bisa jadi, danke berbeda dengan susu horbo dari bentuk maupun cita-rasa. Namun, mengingat pengalaman mencicipi susu horbo, danke saya coret dari pilihan.

(Edit : saya kemudian membaca cara pengolahan dali ni horbo maupun danke. Pada dasarnya, pengolahannya mirip atau malah sama, yakni susu direbus dengan tambahan bahan pengeras/pengental tradisional, seperti getah pepaya atau nanas. Hasil akhirnya berupa susu padat, maka itu Dali Ni Horbo juga sering disebut sebagai keju Batak, sedangkan danke juga dikenal sebagai keju Enrekang)

Selanjutnya nasu cemba. Semula, saya pikir nasu berarti nasi. Ternyata, saya salah. Dalam bahasa setempat, nasu berarti masakan. Oooo, baiklah. Selintas saya membaca deskripsi nasu cemba, Masakan ini berbahan utama daging sapi dan disajikan dengan kuah dengan bumbu khas daun cemba.

Di gambar, tampilannya mirip konro Makassar. Wah...tampak menarique untuk dicoba sekalipun saya belum mengerti rasa apa yang dihasilkan si daun cemba. Namanya mencoba, siap dengan konsekuensi sesuai atau tidak dengan lidah, ya kan?

Pencarian selanjutnya adalah rekomendasi rumah makan nasu cemba. Terpampang beberapa nama rumah makan nasu cemba yang terkenal di Enrekang, seperti RM Ade dan RM Nalai Cege.

Saya sedang menelusuri letak rumah makan itu di peta saat BJ mengingatkan bahwa kami akan mampir ke Gunung Nona. Sepertinya akan makan banyak waktu jika makan nasu cemba di rumah makan rekomendasi sekaligus mampir Gunung Nona. Nanti makan di Gunung Nona saja, dengan menu yang ada di sana.

Hhhhhm, penumpang ikut apa kata driver lah ya.... (mvvaaah driver tercintah ). Jadilah kami lupakan rumah makan nasu cemba dan fokus ke Gunung Nona. BJ juga pernah mampir di sana, jadi dia hendak menunjukkan kepada kami bertiga.

Secara geografis, Gunung Nona terletak di Desa Bambapuang, Kecamatan Anggeraja, sekitar 16 kilometer dari Kota Enrekang atau 240 km dari Kota Makassar. Sesampai di Bambapuang, segera ingatan saya terbawa ke Panatapan, Berastagi, Sumut.

Kemiripan keduanya adalah sama-sama tempat perhentian (rest area) di jalan yang bersisian dengan jurang. Dengan kontur demikian, sisi depan bangunan menapak di dekat bahu jalan, sedangkan sisi belakang ditopang tiang-tiang yang menancap ke dasar jurang.













Ada banyak pilihan tempat makan di Bambapuang. Kami berhenti di RM Sulis karena pas saja lowong buat parkir. Selain menyediakan makanan dan minuman, di RM Sulis juga tersedia aneka oleh-oleh. Kami masuk dan langsung menuju area belakang yang view-nya tepat menghadap Gunung Nona. Pemandangan deretan perbukitan langsung terpapar di depan mata.

RM Sulis menyediakan berbagai menu standar rest area. Tanpa melihat daftar menu, Ale dan Elo sudah langsung menentukan pesanannya, yakni Pop Mie hihihi. Surprise buat saya, di sana tersedia nasu cemba!!! Horeee....jadi deh mencicip nasu cemba. Sengaja saya setting ekspektasi tak terlalu tinggi terhadap rasa nasu cemba. Selain menu baru, rasa masakan di rest area seringkali B saja (atau malah C hehehe). Yang penting sudah nyicipin, seperti apa sih nasu cemba. Kalau orang Jawa bilang, tombo pengin.😀










Agak lama kami menunggu, nasu cemba disajikan dalam mangkuk lengkap dengan sepiring nasi. Potongan daging sapi bertulang dalam kuah berwarna kecoklatan yang terlihat ringan (sepertinya tanpa santan). Saya dan BJ mencicipnya dan voila......lidah bisa menerima dengan gembira. Ada rasa asam yang tidak terlalu mendominasi, membuat kuah terasa segar. Setelah membaca resepnya, barulah saya tahu jika rasa asam itu berasal dari si daun cemba.

Baca doang resepnya, nggak yakin bisa mempraktikkannya 😁😁😁

Gurih dan segar nasu cemba membuat kami mengesampingkan nasi yang terasa sangat pera. Untuk ukuran rest area, rasanya tidak mengecewakan. Namun, tak ayal, jadi terpikir bagaimana ya rasa nasu cemba di warung makan rekomendasi tadi? Kemungkinan besar jauh lebih syedaaaap.

***

Tentang Gunung Nona, kenapa sih dinamai demikian?

Bagi perempuan, mungkin agak risih membaca arti/asal muasal nama Gunung Nona. Apalagi jika membicarakannya dengan seseorang yang hobi bercanda vulgar. Sebab, nama ini konon karena bentuk salah satu bagian bukit yang seperti Miss V!

Gunung Nona juga punya nama lokal. Dalam Bahasa Duri (salah satu suku asli Enrekang), Gunung Nona disebut Buntu Kabobong**. Buntu berarti gunung, kabobong berarti alat kelamin wanita. Waaah, malah lebih eksplisit yak...

Saya malah jadi berpikir, siapa yang memberi nama Gunung Nona? Nama nasional yang terkesan “disopankan” dibandingkan nama aslinya. Sependek pengetahuan saya, dalam budaya Sulsel, penggunaan sebutan “nona” untuk perempuan lajang terasa tidak lazim (cmiiw). Beda dengan ....Ambon, misalnya. (Eheee, saya belum pernah ke Ambon, menyebut nama Ambon gara-gara lagu “Nona Manis Siapa yang Punya”)

Sebuah nama, banyak cerita. Mungkin itu cocok untuk Gunung Nona. Selain alasan anatomis tadi, dalam penelusuran di mesin pencari, saya mendapatkan beberapa versi legenda*** dengan satu pesan utama, yakni hiduplah sesuai norma kesusilaan. Laiknya sejarah daerah-daerah di Nusantara, nama Gunung Nona atau Buntu Kabobong tak lepas dari kearifan lokal.

Namun, dalam obrolan sambil makan, saya mendapat perspektif lain dari Elo, si anak bungsu. Saya yang sebelumnya sudah mendengar cerita tentang asal muasal nama Gunung Nona, tidak bisa tidak untuk berpikir mencari kemiripan (atau ketidakmiripan) saat melihatnya. Berbeda dengan Elo, yang menganggap cekungan itu mirip bentuk tangan yang berdoa.








Pada obyek yang persis sama, kita bisa memiliki persepsi yang sangat berbeda. Akan melelahkan ketika menghabiskan energi untuk memperdebatkan kebenarannya. (*)

--------------------------------------------------------




credit :

*massenrengpulu.wordpress.com/pertama/sejarah-kab-enrekang

**https://www.kompasiana.com/azwarsyam85/5500061fa33311447050f9fd/buntu-kabobong-gunung-nona-erotic-mountain

***https://zonakata.com/legenda-buntu-kabobong/




Tulisan sebelumnya :

Part 1 : Mampir Sebentar di PLTB Sidrap




Tulisan selanjutnya :Part 2 : Mencicip Nasu Cemba di Gunung Nona

29 komentar untuk "Mencicip Nasu Cemba di Gunung Nona (Famtrip Toraja #2)"

  1. Kemecerr aku mbaaa
    aku suka olahan daging berkuah gitu
    terbayang suegerrr rasanya, ada asem2 dikit pula. Duh, kapan2 mau lahhh kulineran ke sini

    BalasHapus
    Balasan
    1. hiyuuk mbaak. semoga pandemi segera usai dan mba nurul bisa mbolang ke sulawesi

      Hapus
  2. Aku bisa bayangin kalo dibilang mirip vagina wanita :D. Tapi memang yg begini suka beda2 tergantung perspektif masing2.

    Btw, aku malah penasaran banget Ama kulinernya termasuk danke mba. Jadi kalo susu horbo ini kayak yoghurt gitu? Fermentasi soalnya.

    Nasi Demba nya kliatan enaaak :D. Aku kebayang sih kalo rasanya asem segar. Mungkin kayak empal asem Cirebon yaa :D.

    BalasHapus
    Balasan
    1. aku edit dan update ya mbak Fanny..Tadi aku berasumsi sendiri tanpa check and recheck hahahaha (ampuun deh).
      Ternyata baik susu horbo maupun danke nggak pakai fermentasi tapi direbus dengan bahan pengental.

      Kalo empal kan kuahnya terasa berat ya...macam coto. Kalau nasi cemba rasanya light gitu. Tapi entah ya kalau di warung makan yng khusus nasu cemba.

      Hapus
  3. Baca ini jadi pengen liburan mbaaa. Hahhaa. Asik banget pemandangan alami dipadu dengan pilihan makanan enak enak. Pandmei segeralah berlalu biar saya bisa liiburan :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Amiin mbak Alida. keknya ini doa orang sedunia. Sejujurnya ada perasaan was-was sih dolan2 saat pandemi. Di sisi lain, pelaku bisnis/kerja di dunia wisata sangat terbantu kalau ada wisatawan yg datang. Jadi niatkan pergi untuk kebaikan dan tetap patuh protokol kesehatan :)

      Hapus
  4. Wah, makanan yang tampak asing buatku nih naus cemba :) Sekilas kayak soto daging tapi bening ya tanpa santan. Asal muasal Gunung Nona ternyata begituuuu hehehe. Duh, senangnya makan bareng keluarga. Kangen liburan nih.

    BalasHapus
  5. Hawa dingin trus kulinernya berbahan daging plus kuah pula beeuhh, mantap banget! bisa-bisa lupa nih untuk mengurangi makan nasi karena akan nambah terus nasinya.

    BalasHapus
  6. Ya ampun mbak, tadinya aku pikir kamu typo mau nulis nasi jadi nasu. Hehehehee... ternyata nasu itu masakan toh, duh itu enak banget pemandangannya ya. Aku mah pasti betah banget itu makan dengan view seperti itu.

    BalasHapus
  7. Aku kok jadi pengen nyicipin nasu cembanya, Maaak. enak seger gitu kayaknya ditambah menikmatinya sambil menyaksikan panorama gunung Nona. Aku sepakat nih bentuk gunungnya kayak tangan lagi berdoa. Ada-ada aja ya latar pemberian namanya, Untung aja namanya gunung Nona. Lebih sopan

    BalasHapus
  8. akhirnya keturutan juga menikmati nasu cemba, dengan pemandangan yang sungguh indah di depannya.
    Hihi... kalau di daerah dingin, apalagi dalam perjalanan, emang pilihan Ela dan Elo sudah pas mbak menurut saya. Pop Mie

    BalasHapus
  9. Pas baca judulnya, saya pikir typo. Nasi menjadi nasu. Ternyata salah sangka. Malah jadinya penasaran dengan nasu cemba. Nikmat banget deh kulineran dengan suasana seperti itu

    BalasHapus
  10. Baru tahu ada gunung Nona di Makassar. Lucu juga ya namanya, karena bentuk miss V. Memang ada-ada aja yang kasih nama. Tapi enak banget bisa kesana secara memang tidak semua bisa kesana kayak saya hehe.. Pengen jalan-jalan deh kapan-kapan ke Makassar.

    BalasHapus
  11. Ahhhh aku iri... tempat dengan view menawan di tambah makanan lezat beserta keluarga tercinta pula. Sungguh ku rindu liburan, hahahaha.. uda kelamaan stay at home

    BalasHapus
  12. Jadi penasaran juga pengen nyicipin Nasu Cemba yang awalnya dikira nasi, tapi ternyata semacam sup daging gitu yaaah. Paling seru kalo travelling memang mencicipi berbagai menu khas daerah yah mbaak, tapi anak2 mah teteup jajan pop mie aja yaah ahahaha. Anak22 aku juga kalo jalan ke mana pun pasti pesen nasi goreng atau kentang goreng, payah deh ehehehe

    BalasHapus
  13. Suka Mbak, ada objek sama bisa berbeda persepsi, karena tiap orang memiliki pemikiran yang berbeda-beda. Nasu Cemba seperti sop atau soto gitu yaaa.

    BalasHapus
  14. Ah...iyaya, cekungannya mirip bentuk tangan menengadah.
    Apa lain kali bikin blogpost mengenai cerita rakyat, kak..?
    Hihi...penasaran sama Gunung Nona.

    BalasHapus
  15. Baru denger nasu cemba, ini kuliner nusantara yang wajib banget dicoba. Seger banget kuah dan dagingnya. Ditambah menikmati nasu cemba sambil lihat view yang indah sekali

    BalasHapus
  16. wooww gitu ya asal usul nama gunung nona ini
    btw asyik banget viewnya mbak
    indah banget, bikin kita rileks yaa

    BalasHapus
  17. Wuih keren banget deh pemandangan gunungnya. Indaaaah. Ditambah nyantap makanan uniknya, jadi berkesan banget. Bikin kepengen main ke gunung juga. 😍

    BalasHapus
  18. Postingan ini bikin saya inget beberapa tahun lalu pernah perjlanan juga dari Wajo ke Tator..lewat Enrekang.. Pemandangannya keren banget yak..

    BalasHapus
  19. kalau dah jodoh mah yaaa.. pasti akan ketemu juga ya, Mba Nasu cembanya... hahahaha.. saya pun pertama baca judul mikirnya typo nih Mba Lisdha. Ternyata saya yang salah.. hahaha.. jadi mau nyobain deh kuliner unik disana.

    BalasHapus
  20. Walah asal usul penamaan gunungnya unik
    Hihihi anak2 tau aja makanan enak di gunung yaitu pop mie wkwkwk.
    Nasu cembanya rezeki banget ya mbak, pas ada di rumah makannya. Aku penasaran kyk apa rasanya nih apa mirip rawon kalau di jawa atau mirp sop daging sapi atau gmn hehe

    BalasHapus
  21. Wah sudah kesini ya
    Ini kampung halaman adek ipar saya dan saya pernah ada di depan gunung ini juga
    Ah jadi kangen rasanya

    BalasHapus
  22. Bener juga ya persepsi orang tidak sama ketika memandang satu obyek. Melihat kulinernya bikin membayangkan, ngiler kan jadinya, hahaa

    BalasHapus
  23. Baru tahu tentang Nasu Cemba ini mba, jadi pengen nyobain juga makanan yang satu ini.

    BalasHapus
  24. Aku masih nggak kebayang dibilang mirip kelamin wanita....apa imajinasiku yg kurang yaaa?? Bentuk rahim cekungan itu???

    BalasHapus
  25. hihii baca nasu kirain sebutan lokal di sana untuk nasi ternyata bukan ya... Makan yang anget2 saat berada di gunung dan ketinggian apalagi bersama keluarga tercinta pasti seru yaaa mba

    BalasHapus
  26. suka sama view gunung Nona, apalagi kalau dinikmati sambil istirahat di cafe cafe di daerah sana ya
    pas aku tau pertama kali sejarah di balik nama gunung Nona ini, agak shock juga nih :D

    BalasHapus

Terima kasih atas kunjungannya. Mohon tidak meninggalkan link hidup dalam komentar ya :)