Pengalaman Terbang Saat Pandemi COVID-19




Selamat datang di Bandara Sultan Hasanuddin






Menepati janji di tulisan “Pindah Lagi”, di sini saya akan membagikan pengalaman naik pesawat terbang saat pandemi Covid-19. Transportasi udara sudah menjadi hal lumrah bagi banyak orang. Tapi, kita tahu, pandemi Covid-19 mengubah banyak hal. Termasuk dunia penerbangan yang mau tak mau harus mengikuti protokol new normal.



Saya, bertiga dengan anak-anak, terbang pada 4 Juli 2020 menggunakan maskapai Lion Air. Kami menempuh rute domestik, yakni dari Kualanamu Sumatera Utara, transit di Soekarno-Hatta Banten, lalu mendarat di Bandara Hasanuddin Sulawesi Selatan. Terbang dalam situasi pandemi, kami wajib memenuhi beberapa persyaratan di luar tiket dan identitas diri.


Persiapan Terbang


Terbang ke Makassar sudah menjadi agenda sejak BJ pergi di awal Februari 2020. Tapi wabah Covid-19 membuat penerbangan sempat dihentikan. Harap-harap cemas, kapan penerbangan kembali beroperasi. Puji Tuhan, akhirnya bandara Soekarno Hatta kembali dibuka, disusul bandara-bandara di daerah.
Hingga awal Juni, rencana terbang kami masih tentatif, antara tanggal 4 atau 11 Juli.


Minggu kedua Juni, saya menelpon Batik Air. Menjadikan maskapai ini sebagai alternatif pertama karena jadwal terbang yang pas (tidak terlalu pagi/sore), biayanya masuk dalam coverage kantor, dan ada fasilitas video di masing-masing seat. Terbang sama anak-anak dalam waktu yang cukup panjang, hal-hal semacam itu jadi pertimbangan. Tapi ternyata, tiket KNO – UPG belum dijual. Ya sudah, menunggu saja sembari memantau persyaratan terbang dengan protokol new normal lewat media massa dan media sosial.


Waktu itu, selain surat bebas COVID (dengan test rapid atau PCR), juga wajib ada surat dinas dari kantor/lembaga pemerintahan terdekat. Meski bukan kepergian dalam rangka dinas, bisa minta dari kantor BJ. Bagaimanapun, kepergian kami sepaket dengan mutasi kerja suami. Cuma sempat kepikiran tentang surat dari Kepala Desa. Soalnya KTP dan Kartu Keluarga saya masih Jawa Tengah, mana tahu butuh surat keterangan domisili dari kepala lingkungan segala.


Puji Tuhan, mendekati Juli, secara umum syarat terbang dipangkas, yakni hanya butuh surat bebas COVID dengan test rapid atau PCR (aturan khusus untuk daerah tertentu). Untuk test rapid, biaya lebih murah tapi waktu itu masa berlaku hanya tiga hari. Sedangkan dengan test PCR, biaya jauh lebih mahal dengan masa berlaku tujuh hari. Menjelang kami terbang, masa berlaku hasil test rapid maupun PCR berubah menjadi 14 hari.


Intinya, terbang di new normal ini harus rajin-rajin update informasi. Karena revisi aturan sangat mungkin terjadi.


Saya mencari info beberapa tempat test rapid di Medan. Biaya test rapid cukup variatif. Saya memilih test di RS Siloam dengan biaya Rp 350.000 per orang. Ada sih yang lebih murah, tapi saya mau sekalian ketemu teman. Hmmmh, kalau sering terbang dengan biaya test rapid dari kantong pribadi, lumayan berat sih. Bersyukur, biaya test rapid kami masuk dalam komponen biaya pindahan dari kantor BJ.


Berhubung belum test rapid, maka tetap belum beli tiket. Memang dilema. Ada kemungkinan kehabisan tiket karena beli dalam waktu mepet. Tapi beli tiket sebelum test juga memiliki masalah tersendiri. Ribet refund kalau ternyata batal pergi.


Setelah memutuskan terbang tanggal 4 Juli, maka saya merencanakan test rapid pada 2 Juli. Masalahnya, menjelang test, kondisi fisik saya dan anak-anak justru kurang apik. Ale-Elo pilek, bahkan pada Elo disertai sedikit demam. Padahal, sejak “libur corona”, anak-anak sehat-sehat saja. Saya, selain ada kelelahan fisik, juga ada beban pikiran.


Ditambah lagi, hari-hari itu justru ketemu banyak orang dan sulit untuk menerapkan social distancing. Sedikit banyak tetap ada rasa khawatir. Sebisa mungkin makan bernutrisi, konsumsi multivitamin, plus bener-bener berdoa dalam keberserahan supaya hati tenang. Saya meminta begini-begini, tapi kehendak-Mu yang jadi.


Iyaaa...se-nervous itu menghadapi test rapid. Soalnya terbayang kalau hasilnya reaktif. Jelas akan membuyarkan rancangan pindahan. Selain itu, meski hasil reaktif bukan otomatis berarti terkena COVID, tetap potensial mengakibatkan kehebohan di kompleks tempat tinggal :D.




tengkiuuu mama Cacha "Corry Sinaga"



Pagi-pagi tanggal 2 Juli, kami bertiga berangkat ke RS Siloam. Datang gasik sesuai saran teman baik Corry Sinaga yang cantik, jadi dapat antrean nomor cilik. Prosesnya nggak terlalu lama. Puji Tuhan, lega sekali ketika hasil test keluar dengan pernyataan non-reaktif.




non-reaktif!



Siang itu juga, BJ langsung membeli tiket. Sayang sekali, tiket ekonomi Batik Air sudah habis. Masih tersisa kelas bisnis, tapi kan nggak tercover budget hehehe. Dari beberapa alternatif, keputusan jatuh pada Lion Air dengan jam keberangkatan pukul 06.00. Dalam kondisi normal, untuk jadwal pukul 06.00, bisa pergi dari rumah sebelum pukul 04.00. Tapi sesuai protokol new normal, penumpang harus datang empat jam sebelum jadwal terbang. Artinya, dengan perjalanan kurang lebih satu jam, kami mesti pergi pukul 01.00 dini hari.


Hari itu juga saya menelpon hotline Lion Air untuk memastikan syarat terbang. Info yang saya peroleh, cukup surat bebas COVID. Nggak ada info tambahan lain-lain. Merasa sudah kontak langsung ke CS, saya nggak cek-ricek ke sumber informasi lain.


Hari H Terbang


Hari Jumat, masih ada beberapa hal yang perlu saya selesaikan. Juga ada kunjungan perpisahan dari teman dan keluarga. Haha, jujur fisik rasanya remuk redam. Tidur hanya sebentar, itu pun tidak tenang karena harus bangun tengah malam. Terima kasih untuk keluarga Budi Santoso dan keluarga Bp Hizkia yang mengantar kami ke bandara. Juga Oom dan Tante, pendeta GSJA ROLC yang turut menemani.




doa bersama sebelum pergi



Lalu lintas tengah malam sangat lengang. Sebelum pukul 02.00, kami sudah sampai bandara. Kel Budi Santoso langsung pulang karena bagaimanapun situasinya riskan buat anak-anak (Kak Keren dan Bang Matthew) kalau ikut turun. Sepagi itu, sudah tampak beberapa orang yang tampaknya sesama calon penumpang. Tapi memang belum ramai. Pintu pertama bandara semula terbuka dan tampak ada dua petugas. Tapi kemudian, pintu ditutup dan petugasnya entah kemana.




baruuu turun mobil, face shield masih rapi terpasang





kiddos and moms ^-^




Elo, Ale, saya




bareng Oom




Blkg : Tante, Oom, Bapak/Ibu Hizkia, depan : Elo, Ale





Menit demi menit berlalu. Ternyataaaa....sesi menunggunya cukup lama pemirsah :D. Sampai hitungan jam!


Gara-gara bosan, antusiasme Ale – Elo “menyusul ayah” memudar. Elo bahkan sedikit rewel, berkali-kali bertanya “kapan pintu dibuka” dan saya nggak ngerti jawabannya :D. Bersyukur masih ditemani Bp/Ibu Hizkia serta Oom dan Tante. Jadi masih ngobrol-ngobrol mengusir jenuh.


Menjelang pukul empat, pintu baru dibuka (jadi sekitar dua jam kami menunggu tanpa ada keterangan). Kalau gini, ngapain suruh empat jam sebelum jadwal sudah datang coba? Hampir sama saja dengan terbang di masa normal kan?


Padahal, waktu empat jam itu pasti memang sudah dipertimbangkan untuk prosedur new normal. Terbukti, antrean langsung menumpuk di tempat pengecekan surat bebas COVID-19. Terlebih, di sekian puluh menit pertama, hanya ada satu petugas. Sementara, antrean sudah mengular. Orang-orang yang semula tertib menjadi kurang sabar. Wajar dong, semua buru-buru, takut ketinggalan pesawat. Petugas baru ditambah setelah beberapa saat kemudian.




penumpang sebanyak ini dengan petugas cuma satu!!



Selain minimnya petugas, situasi jadi kurang tertib karena ketidaktahuan banyak calon penumpang (TERMASUK SAYA) tentang kewajiban memasang aplikasi Indonesian Healt Alert Card (E-HAC) di gawai. Jadi, banyak terjadi, saat penumpang mendapat giliran maju ke petugas, masih harus install dan isi data. Kan jadi lama. Kasihan penumpang yang bener-bener gaptek, bagi mereka jelas berakibat kebingungan yang sangat.




tangkapan layar aplikasi E-HAC





Lha wong saya aja sempat bingung saat mengisi data Ale dan Elo. Iya sih, saya juga gaptek. Tapi dalam kondisi normal, install aplikasi dan pengisian data semacam ini bukan hal yang sulit. Sedangkan saat itu, dalam kondisi agak kacau, saya juga harus memastikan kedua anak saya aman (minimal tidak ngilang :D).


Mom’s struggle deh..


Ibu petugas sampai teriak-teriak dan judes menjawab pertanyaan-pertanyaan penumpang. Yayaya... saya paham, situasi seperti itu pasti jadi trigger banget untuk judes :D. Tapi kok ya sistemnya itu nggak diatur supaya lebih tertib gitu. Semisal, dipasang pengumuman berukuran jumbo tentang instal aplikasi EHAC. Pengumuman dipasang di tempat-tempat strategis, yang langsung terlihat oleh calon penumpang. Kalau perlu, dipasang pas di pintu muka. Jadi sembari menunggu, kan bisa sambil instal dan isi data.


Saya jadi ingat, pernah telepon hotline Citilink dan oleh CS dijelaskan untuk install aplikasi ini. Sebaliknya, saat telepon Batik Air dan Lion Air (satu grup sih), nggak ada penjelasan sama sekali. Baru sesudah kejadian itu, saya cek IG Lion Air. Tenyata ada poin tentang install aplikasi E-HAC.


Tanya : kenapa sebelum terbang nggak cek IG Lion Air woyyyy???


Jawab : Karena saya merasa sudah telepon langsung ke CS, jadi nggak cek-cek lagi media sosial Lion Air. Oh ya, di IG Bandara Kualanamu, kayaknya juga nggak nemu keterangan tentang install E-HAC. Padahal, sebelum terbang, saya rajin pantau IG @ap2_kualanamu (atau mungkin saya terlewat baca? cmiiw).


Ideal-nya segala sesuatu itu memang wajib cek and ricek sih. Tapi harus juga dipertimbangkan kondisi bahwa nggak semua orang mampu (dan mau!) cek and ricek. Coba pengumuman install aplikasi diberitahukan sejak awal (pas beli tiket) atau dipasang pengumanannya di tempat-tempat strategis. Mungkin nggak akan seperti itu kejadiannya.


Etapi itu kan pengalaman saya lebih dari seminggu lalu. Mudah-mudahan sekarang sudah berbeda, sudah tertib gitu.


Lanjut ceritanya,...


Setelah melewati prosedur pemeriksaan surat bebas covid, baru lah kami check – in di counter. Lancar jaya di sini, nggak perlu antri. Lalu lanjut ke ruang tunggu. Berhubung sudah makan waktu saat cek surat bebas covid, jadi nggak pakai lama di ruang tunggu. Di dalam pesawat, tempat duduk penumpang diatur dengan jarak, yakni kursi bagian tengah dikosongkan. Tapi karena kami ibu dan anak-anak, jadi langsung sederet bertiga.




started from KNO, finished at UPG



Begitu pesawat take-off, satu sisi saya merasa lega karena bisa segera tidur. Di sisi lain, saya merasa....... mellow. Pergi dari tempat itu setelah sekian waktu, entah kapan lagi akan bersua dengan Sumatera Utara. (Tuuh kan...menulis alinea ini saja langsung mellow lagi :D)


Begitu sih kurang lebih pengalaman terbang saat pandemi Covid-19 ini. Selebihnya, Puji Tuhan transit di Soekarno Hatta dan penerbangan lanjutan ke Makassar berjalan lancar.




Bertemu ayah, kita bukan lagi keluarga yang terpisah💗💗



Hari itu, tahun 2020 tanggal 4 Juli, untuk pertama kali saya dan anak-anak menghirup udara Sulawesi. Hanya Tuhan yang tahu, akan berapa lama kami tinggal di sini.

49 komentar untuk "Pengalaman Terbang Saat Pandemi COVID-19"

  1. semoga di tempat baru bisa beradaptasi dengan bai ya mbak

    BalasHapus
  2. Huuft kebayang mbaa ribetnya. Apalagi sedang membawa anak begitu :(. Kadang2 memang cs itu ga bisa diandelin ato ga ada update yg menyeluruh di semua level lion grup ttg aturannya. Jd bikin bingung calon penumpang . Kalo memang hrs install kan, seharusnya semua lini staff trutama front liner dan cs hrs tau.

    Tapi syukurlah semua lancaaaar yaaa. Enak banget bisa pindah ke Sulawesi :). Aku daridulu slalu pgn ngerasain bisa pindah2 kerja :D. Mungkin Krn aku suka traveling yaaa, jd ngerasain bisa tinggal di tempat2 berbeda itu menarik sih :).

    BalasHapus
    Balasan
    1. Haha iya Mb Fanny,makanya "gatel" banget share ttg aplikasi EHAC ini. Karena mmg ga semua orang itu bisa/mau cek and ricek. Saya yang biasanya CnR juga kecolongan :D

      Hapus
  3. Whoaaa, naik pesawat jaman now super duper ribeeeett ya mbaaa
    Semogaaa new normal ini gak terlalu lama dah.
    pengin traveling dgn ribet-free

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mb Nurul pasti termasuk jajaran orang yang jiwa travellingnya meronta gara2 pandemi ini hihihi

      Hapus
  4. Ya ampun nunggu pintu dibuka sampai 2 jam, dini hari pula. Yang dewasa aja bisa bosen dan jengkel, apalagi anak-anak. Untung masih ada nunggu nemani ya. Selamat, udah beres pindahan ke Makassar, berkumpul kembali dengan suami. Semoga lekas beradaptasi dengan lingkungan baru

    BalasHapus
    Balasan
    1. Trmakasih Mb Nanik. Kalau nunggu di ruang tunggu sih lumayan nyaman..lha ini di depan hehehe

      Hapus
  5. Saya belum ke mana-mana selama pandemi, tapi tiap minggu suami harus rapid karena harus keluar kota. Awalnya juga deg-degan Mbak. Suami yang pergi saya tetep aja deg-degan khawatir kalau reaktif. Tapi sampai sebulan ini aman, negatif terus. Cuma pas di Jambi sempat hasil tes ditolak, dia diminta tes baru di sana. Heuheu, akhirnya batalin pesawat dsb. Ya lumayan bikin stres dan menguras kantong.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah...suami sempat mengalami hasil test ditolak gitu ya Mbak? Itu karena apa? Expired?

      Hapus
  6. Jadi inget kakak ipar yang tinggalnya pindah-pindah begini. Sekarang lagi di Makassar juga. Kata dia sih betah banget di sana. Semoga betah juga ya, Mbak. Bakal jadi pengalaman yang susah dilupakan deh ini pindah dan terbang di saat pandemi

    BalasHapus
  7. Waduuuh, beneran darama bener ini ya mbak. AKu bacanya aja deg2an plus kezelll hahaha :D Iya sih rata2 biaya rapid test per orang di rumah sakit 350K. Pas anak2 mbak lagi kecapean itu jadi kurang fit ya. Alhamdulillaah berhasil juga terbang L) Biarin aja CS atau petugas memang khawatir juga dia karena pandemi corona ini kan, jadi kudu bener2 ngikutin prosedur eh sampe teriak2 juga wkwkwkwk :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terbayang sih kalau dikerubutin orang2 gitu kan emang gampang ketrigger naik emosi mbak hehehe...

      Hapus
  8. Semoga betah dan berkah di tempat baru ya, Mbak. Terima kasih info soal penerbangan di masa pandemi. Kalau gitu langsung instal e-Hac aja deh meski belum ada rencana terbang. Biar kalau sewaktu-waktu mau bepergian nggak bingung dan repot lagi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih mbak alfa. Semoga corona segera reda, jd terbang kembali dengan prosedur old normal hehehe

      Hapus
  9. Ya ampun, Mbak. saya deg-degan membacanya.
    Syukurlah sudah tiba dengan aman sentosa di Makassar. Semoga bisa segera bertemu.
    Oya, belum ada jadwal pertemuan daring nih komunitas blogger hehe,

    BalasHapus
  10. Mbak Lisdha...sudah ke Sulawesi aja.
    Penuh drama perjalanannya dan bisa jadi cerita ya Mbak
    Syukurnya sudah komplet kumpul lagi sekeluarga. Selamat menjalani hari-hari di tengah pandemi di tempat baru. Semoga semua sehat ya di situ!

    BalasHapus
  11. Waduh ternyata beneran ribet ya Mbak untuk bisa terbang pas pandemi gini... semoga sehat selalu ya mba, selamat menjalani hari baru di tempat baru <3

    BalasHapus
    Balasan
    1. ribet demi kebaikan bersama juga sih sebenernya ya...tp tetap aja mudah2an segera balik old normal :)

      Hapus
  12. Gara-gara Covid-19, terbang dengan pesawat jadi drama banget ya Mbak. Membaca saja saya ikut lelah, apa lagi mengalami langsung. Yah alhamdulillah sekarang sudah di tempat baru, Makassar. Semoga anak-anak dan Mbak betah ya. Amin

    BalasHapus
    Balasan
    1. trimakasih dukungannya yang manis. semanis gula arenga ya mbak :)

      Hapus
  13. Semoga selalu sehat ya mbak Lisdah sekeluarga, duh kebayang deh ini aku jadi mbak Lisdha. Apalagi harus mengisi aplikasi disaat sedang seperti itu mendadak pasti jadi bingung, kitanya juga berasa keburu-buru deh.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya ha chie..lihat hp sambil tengok2 anak di belakang kerumunan. Takut mereka ilang hahaha

      Hapus
  14. lebih repot ya naik transportasi umum saat ini apalagi pesawat ditambah lagi biayanya jadi nambah karena harus rapid test juga. Alhamdulillah perjalannnya aman dan selamat sampai tujuan.
    Aku baru tau kalau harus install aplikasi E-HAC kalau mau naik pesawat ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mungkin beda2 juga antar maskapai dan bandara mbak. Itu kalau masuk JKT kan harus tambah SIKM juga. entah sekarang

      Hapus
  15. Waaah nggak kebayang ribetnya terbang di saat pandemi ya. Mana bawa anak-anak jam 2 malam lagi. Itu pasti jam 1 an dari rumah anak masih terlelap tidur yaa. Ssmoga kerasan di Sulawesi ya Mbak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak Nung..bangunin mereka tengah malam. Bersyukurnya krn semangat mau terbang jadi ga susah dibangunin

      Hapus
  16. Rasanya was-was juga ya, Mbak. Terbang di masa pandemi, harus ada surat sehat tidak terkena Covid juga. Hmmm, untungnya biaya itu hisa diklaim ke kantor suami. Kalau tidak, cukup gede juga ya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Haha..iya mbak. Rp 350 rb x 3..kalau buat beli bawang uda berapa KG itu (itungan emak2 :D)

      Hapus
  17. sebuah pengalaman yang bikin deg2an pastinya ya mba. Untungnya juga terlewati dengan baik ya mba. Smoga betah juga di Sulawesi ya mba

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih mba Alida. Tempo hari baca ttg Ramang2 itu d blog mb Alida bukan ya?

      Hapus
  18. Begitulah kalau aturan baru di negeri kita. Sosialisasi kurang. Saya kesel banget ih bacanya. Coba gitu pas lagi nunggu 4 jam sebelum keberangkatan itu penumpang dikasih tahu harus install aplikasinya jadi nggak rusuh ya Mbak. Btw selamat menempuh hidup baru di Sulawesi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih mbak Lina...semoga segra balik ke old normal yaaa....terlebih mb Lina nih yang sering travelling :)

      Hapus
  19. Wah, ternyata ribet juga ya mba, pantesan lihat di tv sampai mengantri karena prsedurnya juga yg malah membuat kejadian antri. Saya setuju cek dan ricek itu penting tapi kan tidak semua orang pantengin IG, seharusnya setiap telepon ke CS entah itu ada yang tanya atau tidak CS wajib memberitahu di tengah kondisi Covid seperti ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak Erin. Semoga itu kejadian krn penerbangan pagi aja. yang siang dan hari selanjutnya semoga udah lancar

      Hapus
  20. we are never go anywhere mba, i hope we are healthy and always happiness. Your story is so inspirated for me. Thanks you

    BalasHapus
    Balasan
    1. thank you mbak milda..ini pergi karena harus hahaha

      Hapus
  21. Bersyukur selamat ya mba walaupun agak penuh drama sebelum berangkat aku baru Tau nih harus memasang aplikasi Indonesian Healt Alert Card (E-HAC) di hp.. sehat2 terus mba dn kluarga

    BalasHapus
  22. Sukses di tempat baru mba. Alhamdulillah g ldr lagi. Lancar2 di sana. Syukurlah semua terlewati baik ya mba. Walau kebayang itu tengah malem kudu nyiapin anak berangkat

    BalasHapus
    Balasan
    1. bersyukurnya banyak bantuan dr seluruh penjuru mata angin, Mbak Echa hahaha

      Hapus
  23. Woww ribet juga ya mba prosedur terbang di musim new normal gini. Iya ih gemes kenapa enggak pas disuruh nunggu lama itu sekalian diberikan informasi lewat pengeras suara agar penumpang menginstal app EHAC terlebih dahulu. Kan membantu banget agar enggak pada darah tinggi semua gitu ya mba.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makanya gemes kan mbak uniek. Uda jelas2 new normal kok bukanya tetap normal.

      Hapus
  24. Aku kok yang degdegan ehhehe, ketar-ketir gitu tapi alhamdulillah aman ya Mba
    lega sudah. Jadi pengalaman yang terkenang sepanjang masa nih terbang pas pandemi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak Nyi..mudah2an segera reda coronanya. jd balik ke prosedur biasa

      Hapus
  25. My biggest question is how about the seat arrangement on the airplane? Do you still sit side-by-side closely with other passenger? That is one of my concern

    BalasHapus

Terima kasih atas kunjungannya. Mohon tidak meninggalkan link hidup dalam komentar ya :)