Menjelang P.I.N.D.AH (Lagi)

pic by pixabay


Setelah sekian ribu hari di kota ini, akhirnya “waktu” itu akan tiba kembali. Waktu untuk kembali mengemas barang dan kenangan. Waktu untuk kembali menempuh lintasan jarak. Waktu untuk kembali menyesuaikan diri dengan berbagai perbedaan. Waktu untuk tetap melanjutkan hidup dengan segala kemungkinan.

Menulis ini mengingatkan saya pada buku Raditya Dika, Manusia Setengah Salmon. Bacanya sudah duluuuu banget, jadi saya lupa keseluruhan isi tulisannya. Di sana, ini pun jika tak salah ingat, Radit menulis : hidup adalah serangkaian perpindahan.  Seperti ikan Salmon, yang dalam periode hidupnya mengalami berkali-kali proses migrasi.


Yup, jika tak ada aral melintang, The BJ’s a.k.a kami sekeluarga akan kembali pindah kota. Petualangan akan berlanjut. 

Baca : Bertualang Sejauh Ini

Kemana? Wait...flashback dulu ya...

Pindah domisili adalah konsekuensi dari pekerjaan BJ yang memang punya potensi mutasi. Ini juga yang dulu jadi salah satu alasan  saya untuk resign. Kalau pekerjaan suami-istri sama-sama berpotensi mutasi di beberapa daerah Nusantara, sangat mungkin banyak tahun pernikahan dijalani dengan berbeda atap. Ya nggak masalah sih bagi yang mereka yang bisa menanggung kondisi seperti ini. Saya nggak akan men-judge pilihan orang lain. Dan beginilah kami... sudah tiga kali pindah domisili dalam sebelas tahun pernikahan ini.

Suami (berkarir) polisi/militer ya? Kok pindah-pindah?

Hehe ini pertanyaan yang cukup sering saya terima dari orang-orang. Tentunya orang yang nggak terlalu mengenal kami. Jawabnya : enggak kok. BJ bukan polisi, juga bukan tentara. Tapi BJ adalah “prajurit” pada sebuah perusahaan (swasta, bukan BUMN) yang mesti siap untuk dipindah-pindah. Mungkin lebih tepatnya, siap nggak siap mesti siap. Atau kalau nggak siap, ya siaplah dengan konsekuensinya hahaha.

Senang ya pindah-pindah. Jadi pengalaman dengan berbagai tempat.

Repot ya pindah-pindah. Apalagi kalau anak sudah sekolah.

Yap benar. Segala sesuatu seperti mata uang. Dua sisi yang tak bisa dipisahkan (eh kok jadi bayangin gimana cara mengiris uang logam biar masing-masing sisinya terpisah... sudah pasti susah kan?). 

Buat saya, sisi plus-nya adalah :

  • Punya sebagian pengalaman Bhinneka Tunggal Ika. Terlebih bagi saya yang berasal dari kampung dengan penduduk relatif homogen dari sisi kesukuan (Jawa Tengah) –bersyukurnya cukup heterogen dari segi iman kepercayaan.  Sempat tinggal di Bandung, Cirebon, Sukabumi, Karo, Siantar, dan Medan memberikan wawasan tentang keragaman. Bahwasanya, masing-masing suku punya kelebihan sekaligus kelemahan. Sikap primodialisme jelas-jelas lebih banyak mudharat daripada manfaatnya. Terpujilah para founding fathers bangsa Indonesia. Oke, mungkin bentuk “Indonesia” adalah imagined community, kesatuan yang punya potensi kerawanan. Tapi jika membaca pertikaian antar-suku di banyak negara lain, saya cukup bersyukur dengan situasi negeri ini.
  • Punya sahabat dan saudara di banyak tempat. Di Karo, kami hanya tinggal setahun. Namun, meski tidak intens, hingga saat ini kami masih menjalin komunikasi dengan beberapa teman di sana.Terlebih di Siantar, waktu tinggal yang lebih lama, lebih banyak lagi sahabat dan saudara yang kami dapat. Di Medan, juga demikian. Hari-hari ini, saya sudah sedih membayangkan moment perpisahan (yang entah akan seperti apa sehubungan dengan social distancing akibat covid-19).
  • Sedikit memenuhi hasrat untuk “mengenal dunia.” Hahaha, aselinya punya cita-cita untuk menjejak berbagai bagian dunia. Tapi alih-alih sekuat tenaga berusaha, saya justru membuat keputusan-keputusan yang kontradiktif dengan  cita-cita tersebut (bukan untuk disesali sih, karena ini masalah pilihan). Dengan pindah-pindah domisili, sebagian kecil keinginan itu tercapai. 

Oke itu, sisi plusnya. Sedangkan sisi minus-nya :

  • Ribet dengan barang-barang. Iya itu memang poin utama. Proses seleksi, packing, kirim, terima, bongkar, lalu susun ulang itu butuh banyak energi. Terlebih setelah menikah dan beranak-pinak. Pindahan tidak sesimpel semasa masih sendirian. Duluuuu, pindah antar kota tinggal angkat koper dari kos-kosan. Sekarang? Wedewwww, sesimpel-simpelnya orang berumah tangga dan sudah ada anak-anak, tetap aja barang-barangnya nggak cukup dimuat dalam koper. Ya, kecuali punya bujet lebih untuk beli segala sesuatu yang baru di tempat baru. Atau segala sesuatu (dari barang besar sampai printhilan-prithilan) disediakan sama perusahaan.
  • Ribet dengan beberapa proses administrasi. Etapi berhubung selama ini kami masih ber-KTP Jateng, adminitrasi kependudukan nggak terlalu masalah. Paling tiap tinggal di tempat baru kami lapor ke kepala lingkungan setempat. Bagaimanapun kami datang bukan sebagai penduduk gelap (cukup kulit saja yang gelap hehehe).
  • Ribet dengan pendidikan anak. Baru tahun ini sih mengalami keribetan yang ini. Saat pindahan pertama, anak masih bayi. Pindahan kedua, Ale pas masuk sekolah dasar. Berbeda dengan saat ini karena Ale sudah kelas empat. Plus, kegiatan sekolah juga sedang berubah gara-gara Covid19. Mencari sekolah di kota baru juga tak semudah mendapatkan promosi makanan di Gofood atau Grabfood :D. (Thank to Mbak Mugniar, blogger Makasar yang sudah kasih banyak informasi)
  • Ribet dengan perasaan. Eeaaa... tapi ini beneran. Meninggalkan sahabat dan saudara adalah suatu pengalaman yang  emosional. Apalagi nanti harus cari teman baru lagi, adaptasi dengan orang-orang baru lagi. Terlebih, saya berakar dari kampung. Tinggal lama tinggal di kota tidak sepenuhnya melunturkan kebiasaan hidup komunal dalam diri saya. Meski menyukai waktu-waktu sendiri, saya tak bisa sepenuhnya hidup individualistik seperti warga kota-kota besar.


Tapi pindah adalah keniscayaaan, jadi yaa.... nikmati  saja plus-minusnya.

Saat kami belum menikah, BJ dan saya sama-sama berpindah tugas di beberapa daerah di Jawa Barat. Meski kami berasal dari almamater yang sama di Solo, tapi di Jabar-lah kami bertemu kembali. Saat menikah, BJ sudah bertugas di Sumatera Utara, sedangkan saya masih di Bandung.  Setelah resign, saya menyusul BJ tinggal di Karo. Tahun 2010,  si sulung Ale lahir di sana. Untuk pengingat bagi Karo, abjad L pada Ale adalah inisial dari Ladika : LAhir DI KAro.

Ketika Ale berusia dua bulan, kami pindah ke  Pematangsiantar (sering disebut Siantar -saja). Saya percaya itu waktu yang tepat, sebab siapa sangka jika dua minggu kemudian Gunung Sinabung meletus. Ledakan pertama yang disusul serangkaian letusan lanjutan.  Karo – Siantar sama-sama berada di Sumut dengan jarak kurang lebih 90 km. Jadi ini kepindahan yang nggak terlalu jauh. Sekitar lima tahun kami tinggal di Siantar. Kota ini menjadi tempat kelahiran Elo -si bungsu- , yakni tahun 2014. Huruf L pada Elo adalah inisial dari Ladiant : LAhir DI SiANTar.

Medio 2016, kami pindah ke Medan. Pasti tahu dong, ini ibukota Sumut. Jarak Medan- Siantar sekitar 120 km. Ini juga bukan kepindahan yang jauh, terlebih setelah ada jalan tol, Medan – Siantar bisa ditempuh sekitar dua jam saja.

Nama anak-anak sering jadi candaan. Kalau di Medan lahir anak ketiga, maka alternatif  namanya adalah Ladime atau Ladidan๐Ÿ˜€๐Ÿ˜€. Tapi, tiga anak bukanlah plan kami. Semoga dicukupkan dengan Ladika dan Ladiant.

Di Medan, tahun berganti. Hanya soal waktu untuk kabar itu datang lagi. Tapi tiap ditanya kapan dan kemana? Only God knows. Benar saja, akhir 2019 kabar tentang kemungkinan pindah itu datang. Kali ini tak sekedar “antar kota dalam provinsi”, melainkan “antar provinsi dalam NKRI”. Bukan perusahaan multinasional kok. Jadi nggak ada skenario pindah keluar negeri.

From North Sumatra to South Sulawesi. Dari (pinggiran) Medan ke (pinggiran) Makasar. Dari WIB ke WITA.

Hwa, jika ditarik garis lurus dalam kilometer, berapakah jaraknya? Saya mesti browsing untuk tahu itu.

Yang pasti, pindahan kali ini enggak akan sesimpel pindahan yang lalu-lalu. Karena, pindah antar pulau membuat kami harus lebih selektif dalam memilih barang-barang untuk diangkut ekspedisi. Karena pindah kali ini dengan status kepemilikan rumah (meski masih dalam periode KPR) - sebelumnya sekedar ngontrak. Karena pindah kali ini anak sudah SD sehingga harus melalui proses birokrasi. Karena.....ah ya, tiga hal saja sudah membutuhkan banyak energi untuk membereskannya.

BJ sudah lebih dulu di Makasar sejak Februari. Sedangkan kami bertiga masih di Medan, menunggu selesai tahun ajaran sekolah sekaligus BJ mempersiapkan segala sesuatunya. Long Distance Marriage for a while.

Hari-hari ini, belum banyak hal yang saya lakukan untuk menyicil keperluan pindahan. Mungkin memang harus segera dilakukan. Bagaimanapun, waktu sering berlalu cepat, seolah tanpa terasa. Doakan semuanya lancar yaa...
    


45 komentar untuk " Menjelang P.I.N.D.AH (Lagi)"

  1. Balasan
    1. Fix ummi... kecuali ada force majeure ya hehehehe

      Hapus
  2. Saya juga salah satu anak The BJ's, Mak.. tapi masuknya PNS. Papa kerja di BPKP, jadi kami tiap 5 tahun sekali harus berpindah dari satu pulau ke pulau lain. Positifnya kami jadi punya keahlian untuk bisa dan siap beradaptasi dengan lingkungan baru. Jadi hal itu berasa ketika saya dewasa, saya jadi mudah beradaptasi ke lingkungan baru.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mudah2an Ale Elo nantinya kayak Mbak Ade yang mudah adaptasi di lingkungan baru :)

      Hapus
  3. Pindahan itu memang cukup melelahkan ya mba. Ada plus minusnya juga. Plusnya bisa melihat daerah baru, minusnya repotnya dan berat saat harus meninggalkan zona nyaman dan beradaptasi lagi dengan suasana baru. Semangat! :)

    BalasHapus
  4. Mbaak, ditunggu di Makassar.
    Semoga situasi segera membaik kita bisa kopdar secepatnya. Kabari ya, in syaa Allah kuajak masuk komunitas blogger Makassar. ๐Ÿ˜๐Ÿ˜๐Ÿ˜

    BalasHapus
    Balasan
    1. Widyanti YuliandariApril 14, 2020 10:29 PM

      Nahhh... Semoga bisa ketemu saya juga yaaa. Insyaallah kalau lancar semua rencana. Tapi kudu nunggu si kopit ini menyingkir dulu juga

      Hapus
    2. waa..thank you Mbak Niar dan Mba Wid.... berasa ga blank amat dateng ke makasar karena temen2 blogger :)

      Hapus
  5. Well ada plua minus ya mba...
    Tp aku ngeliat sisi serunya sih mba...
    Anggap aja traveling jangka panjang ke bbrp wilayah Indonesia yaa...

    Makin banyak sodara pastinya dr seluruh daerah

    BalasHapus
    Balasan
    1. haha..iya mba Ophi.Sedikit memenuhi hasrat traveling

      Hapus
  6. Kalo udah ada anak emang paling ribet ya kalo urusan pindahan. pindah sekolah ribet banget.
    soal administrasi kalo masih 1 daerah gak pindah ya. yang jadi masalah kalo pindah2 pulau ya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya mbak Olin. Urusannya sampai Disdik :)

      Hapus
  7. Saya yang baca,malah ngerasa ikutan capeknya. Tapi ada pengalaman menyenangkannya jadi masih sanggup dijalani.

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahaha..pasti uda kebanyakan baca nih mba Lidha :)

      Hapus
  8. Wah pernah jadi urang Bandung, niiih. Aku dari lahir sampe sekarang stay tune di Bandung aja, ga ke mana-mana. Seru ya punya banyak temen, banyak sodara dan banyak kenangan. Semoga betah di tempat barunya ya, Mak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nuhun Mbak Efi. Haha, iya sempet jadi urang bandung. Semoat ngerti beberapa kosakata sunda lah :)

      Hapus
  9. Wah pindah ke Makassar ya Mbak Lisdha, kampungku yang lama tidak kunjungi hehe semoga lancar semuanya, ya, bapakku dulu PNS jadi kami langganan pindah kota hehe ibuku sampai jadi expert ngepak barang..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih mba Dedew..waah mau deh kayak ibu mba dedew yang smpai expert ngepak barang :)

      Hapus
  10. Mba semoga dmudahkan urusannya ya mba. Tak mudah memang harus berpindah gitu. Apalagi untuk anak yang udah zekolah ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyup mbak..administrasi pindah sih relatif mudah. Adaptasi anak2 ini yang jadi perhatian

      Hapus
  11. Semoga pindahannya lancar ya mbak, bisa segera beradaptasi di lingkungan baru. Lahir di Makassar kira-kira disingkat jadi apa ya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih mbak nanik. Kalau ada edisi Makasar bisa Ladima atau Ladisa atau Ladisar hahaha

      Hapus
  12. Ya Allah.. saya juga beberapa kali pindah rumah, Mbak. Tapi dalam jarak dekat saja. Memang pindahan rumah itu menguras energi, pikiran, dan jiwa. Gimanaaaa gitu ya rasanya. Campur aduk. Kadang masih mikir lama buat berkemas, eh tiba-tiba waktu pindah sudah di depan mata.
    Semoga lancar semua urusan kepindahannya, Mbak.. sukses di Makassar :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih mbak Diah. Iyee bener, perasaan nano-nano..rame rasanya

      Hapus
  13. Waduh, paling males itu ngepak barang ya... Saya yang cuma pergi-pergi sebentar aja males, apalagi kalau pindahan...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Apalagi kebayang ntar mesti bongkar lagi Mbak Lia hahaha

      Hapus
  14. Iya ya, pindahan ketika udah ada anak itu ga kebayang ribetnya. Aku ajah misalnya mau mudik, gt ajah udah ribet sama barang anak yg kudu masuk di koper, dll. Ribet packing dll.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yup mbak ria...packingnya nggak selese seminggu kayaknya :D

      Hapus
  15. Semoga lancar2 terus ya mbaa dan segera betah juga di tempat baru.
    Kalau boleh tahu untuk urusan sekolah nantinya akan diurus dari kantor suami atau gmn mba?

    karena pasti ngos2an juga yaa nyari dan bayar2nya kalau pindah terus๐Ÿ˜…

    BalasHapus
    Balasan
    1. Amin Mbak cindy. Mungkin last-nya sih pindah Klaten hahaha. Untuk pindahan sekolah ada batas budgetnya mbak. Tapi ya tetap ngurus sendiri

      Hapus
  16. Kalo baca cerita Mba Lisdha, jadi teringat sepupuku yang pindah tiap dua atau tiga tahun. Repot banget, karena anak-anaknya udah sekolah. Dia beruntung tapi, enggak usah nyari rumah kontrakan karena udah disediakan rumah dinas beserta segala isinya. Tapi tetep repot juga dengan packing baju dan pindahan sekolah. Semoga pindahannya lancar ya mbak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Amin mbak Wati. Iya, sebagian perusahaan memang ada fasilitas rumah yang tinggal nempatin yaa..di saya, puji Tuhan enggak hahaha

      Hapus
  17. Walaupun rempong sering pindahan tp pasti banyak pengalaman seru apalagi pindah beda pulau atau provinsi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pengalaman, itu sih yang jadi pelipur keribetan hehehe

      Hapus
  18. Semoga berkah di tempat baruuu
    Lucu sekalii nostalgia nama anak ๐Ÿ˜๐Ÿ˜๐Ÿ˜๐Ÿ˜๐Ÿ˜ gpp mak tar lagi ladisar lahir di makassar

    BalasHapus
    Balasan
    1. haha...kalau terjadi kelahiran di luar plan, sudah ada bagian nama Mak..Ladisar cocoknya cewek ya haha

      Hapus
    2. kalau terjadi kelahiran di luar plan, sudah ada cadangan nama Mak hahaha

      Hapus
  19. Mba aku salfok sama nama anak-anaknya heheh ladika dan Ladiant means lahir di Karo dan Lahir di siantar kreatif kali mba hehehe..emang yah pindah2 itu ada plus minusnya tp yg ptg anak2 happy mba krn aku dulu pindah2 sedih lisah ma temen mulu

    BalasHapus
    Balasan
    1. ayahnya yang dulu ide ladika. trus lanjut deh ladiant hehehe

      Hapus
  20. Aku juga udah berapa kali pindah, ribet tapi dinikmati saja, anak-anak bisa belajar beradaptasi dengan berbagai keadaan suka dan duka.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak. semoga itu jadi kekayaan buat anak-anak nomaden ini ya mbak :)

      Hapus
  21. Selamat berkemas mba. Selamat menikmati lokasi baru ya dengan segala pernak-pernik kehidupannya. Semoga betah di sana dan anak-anak segera bisa beradaptasi.

    BalasHapus
  22. Ga papa mb...dilihat positifnya saja. Menyenangkan pindah-pindah tu...banyak pengalaman. Kalau masalah sekolah, nanti dipikirkan pas anak-anak masuk smp atau sma saja..sekarang dinikmati saja. Hihi..

    BalasHapus

Terima kasih atas kunjungannya. Mohon tidak meninggalkan link hidup dalam komentar ya :)