Provokator Kehamilan

saya, ale, dan elo (dalam perut😍), foto tahun 2014



Entah siapa yang dulu menemukan istilah “kalkulator kehamilan”. Saat pertama kali kenal istilah ini, saya merasa lucu. Maklum, sebelumnya hanya mengenal kalkulator untuk hitung-hitungan saat sekolah atau pekerjaan. Eh ternyata, ada juga istilah kalkulator kehamilan. Saya sudah lupa rumusnya. Mesti guling-guling gugling dulu untuk mengingatnya.


Sekarang, anak-anak sudah beranjak dari fase bayi. Jadi, bacaan saya bergeser, tak lagi ke topik-topik kehamilan, melainkan parenting. Alhasil, nggak pernah lagi ketemu kalkulator kehamilan. Nah, yang sekarang sering ketemu sih sama “provokator kehamilan”. Ishhh...provokator #ngeriistilahnya. Meski pakai kata “provokator”, maksud saya  nggak mengacu ke hal negatif sih. Istilah ini saya gunakan sebagai candaan untuk keluarga, teman, sahabat, siapa saja yang suka ngomporin saya supaya hamil lagi.

“Kapan nambah lagi Bund, Elo sudah bisa lah dikasih adek.” (coba tanya Ale dan Elo, mereka akan langsung jawab tidak! -dengan tanda seru)

“Nggak mau nambah Bund? Yang dua cowok semua tuh Bund, satu lagi biar dapat cewek.” (iya kalau jadi cewek, kalau cowok lagi? Tinggal dinamai Dul, jadilah Al-El-Dul😀)

“Nggak pengin anak cewek Bund? Kalau anak cowok semua, ntar susah lho kalo kita tua. Menantu perempuan, mana telaten merawat kita.” (Haaa..semoga nanti saat tua sehat dan  punya menantu baik hati)

Rrrrrrr....emak-emak sering dapat provokasi serupa nggak sih?  Memang ya, dalam apapun fase hidup, kita nggak akan pernah lepas dari pernyataan bernada serupa dari orang lain. Kapan kamu skripsi, kapan kamu wisuda, kapan kamu kerja, kapan kamu nikah, kapan kamu hamil, kapan kamu hamil lagi, kapan kamu mantu, ...de es te. Saking sudah terbiasanya, ya jadi biasa saja. Iya sih, kalau dulu masih suka bete gitu. Mungkin bertambah umur jadi tambah slow dalam menanggapinya.

 Apalagi...ngaku sih, kadang saya juga melakukannya. Masih suka keceplosan meski sudah ada niat untuk menghindarinya.  Suka tak suka, di masyarakat kita, pertanyaan seperti itu rasanya etis-etis saja. Pertanyaan yang di budaya lain dianggap privasi, di sini adalah bagian dari bagian tata-cara berinteraksi sosial. Mungkin, satu-satunya pertanyaan tentang fase hidup yang dianggap tak etis adalah “kapan kamu mati?” #LangsungDigampar

Setahun-dua tahun lalu, saya masih menjawab “tegas” tiap kali diprovokasi untuk hamil lagi. “Nggak deh. Dua saja cukup. Nggak ada perempuan nggak masalah. Malah kebetulan, saya jadi paling cantik serumah.” Provokasi dengan kalimat apapun nggak akan mampu menggoyahkan rencana untuk hanya punya dua anak. Benar-benar penganut #SloganBKKBN garis keras. Saya benar-benar tidak mau menyisakan ruang sedikit pun bagi kemungkinan “memberi adik kandung” bagi Ale dan Elo.

Tapi belakangan, saya tak lagi menjawab dengan ketegasan serupa itu. Cieeee...mulai goyah nih??

Kegagalan Kontrasepsi

Mengutip dari www.anakku.net, apapun metode atau alat kontrasepsi yang kita pilih, tetap ada risiko kegagalan. Ada beberapa hal penyebab kegagalan kontrasepsi, yakni kegagalan metode itu sendiri, penghentian metode oleh akseptor, kesalahan pengguna, dan kekurangdisplinan pengguna.

Bahkan, baca dari sini, sterilisasi perempuan (tubektomi) pun masih memiliki peluang kegagalan. Menurut literatur yang digunakan penulisnya, efektifitas tubektomi adalah 99,4 – 99,8%, tergantung pada metode yang dipakai.

Hhhmmm,  tubektomi yang termasuk kontrasepsi mantap saja ada peluang gagal. Bagaimana kontrasepsi biasa ya kan? Meski persentase kegagalan itu kecil, tapi bisa saja kita termasuk dalam hitungan yang kecil itu kan?

KTD

Konsekuensi logis dari kegagalan kontrasepsi adalah kehamilan yang tidak direncanakan. Beberapa minggu lalu, seorang teman bercerita tentang temannya. Biar nggak terlalu anonim,  sebut saja teman saya ini Mawar dan temannya adalah Melati. Mawar bilang kalau Melati sedang (saat itu) super galau. Melati galau karena test pack kehamilan menunjukkan tanda positif. Melati galau karena anak-anaknya sudah cukup besar. Lagipula, setiap kali hamil, kesehatannya selalu drop. Dan alasan lainnya adalah, ekonomi. Dalam situasi Melati, memang tidak mudah untuk begitu saja menerima kalimat “setiap anak membawa rezekinya sendiri.” (Jadi ingat, kegalauan pas hamil Elo dulu. Galau saat hamil itu sungguh tidak nyaman). 

Bagi orang-orang yang menanti kehadiran buah hati, kehamilan adalah berkat yang disambut dengan super-sukacita. Sebaliknya, kehamilan bisa jadi dirasakan seolah bencana bagi mereka yang tidak mengharapkannya. Di artikel-artikel tentang kehamilan, istilah yang digunakan adalah kehamilan yang tidak diiinginkan (KTD).

Kalau KTD terjadi pada orang yang belum/tidak menikah, sepertinya kita tidak perlu bertanya “mengapa”. Rasanya nyeri kalau baca berita kehamilan akibat perkosaan. Dan gemessss bin ngenesss kalau mendengar kabar bayi diaborsi/dibuang karena hubungan di luar nikah. 

KTD juga terjadi pada pasangan yang terikat hubungan sah. Faktor yang lazim adalah belum kepengin punya anak (karena karier dsb), sudah cukup dengan jumlah anak yang dimiliki, jarak kehamilan yang terlalu dekat, umur sudah lewat masa emas untuk hamil, kesehatan, ekonomi, dan lain sebagainya.

Sebagian pasangan akhirnya bisa menerima KTD yang mereka alami. Si ibu akhirnya melahirkan bayi yang jarak umurnya sudah jauh dengan kakak-kakaknya. Kita lazim mendengar kabar kehamilan/kelahiran itu dengan istilah “kebobolan”. Coba kalau tanya Bung Valentino “Jebret-Jebret” Simanjutak, kira-kira istilah apa yang dipakai yaaa...#penasaran.

Sebagian lainnya tetap tidak bisa menerima dan akhirnya memutuskan untuk......aborsi. Mendengar cerita Melati tadi, saya jadi ingat beberapa tahun lalu. Secara tak sengaja saya tahu kalau pasangan suami istri yang saya kenal baik memutuskan untuk melakukan aborsi. Alasannya sama dengan Melati.

Tentang aborsi, sampai sekarang pun masih ada pro-kontra. Tapi, secara umum, negara kita tidak melegalkan tindakan aborsi. Aborsi hanya dengan alasan tidak ingin menambah anak jelas bisa kena jerat hukum. Dalam Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah No 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi disebutkan, aborsi adalah tindakan ilegal kecuali dengan alasan kedaruratan medis ibu dan bayi serta akibat perkosaan. Aborsi yang diizinkan juga harus dilakukan di fasilitas kesehatan yang legal dan tenaga medis yang memiliki izin.

Jawaban Diplomatis

Intinya, mengingat ada potensi KTD, kini saya lebih diplomatis dalam menghadapi provokator kehamilan. Pun saya juga harus mengubah mindset supaya tidak galau kalau terjadi KTD.  

Tempo hari, saya ngobrol dengan suami tentang hal ini. (Puji Tuhan, suami menghargai keinginan untuk #duasajacukup). Saya berkata, daripada saya hamil lagi, mending Tuhan kasih ke pasangan-pasangan yang berjuang dengan sepenuh tenaga-doa-hati-dan-jiwa untuk mendapatkan anak. Soal ini ada ceritanya. Duluu, saat hamil Ale dan browsing informasi kehamilan, saya pernah nyasar ke website bayi tabung. Di titik itu, saya merasa, duuh kemudahan saya hamil benar-benar hanya karena kebaikan Tuhan. Di titik itu, saya semakin merasa tak ingin hamil banyak-banyak (meski hamil itu indah). Dan sejak saat itu saya sering berdoa untuk para pasangan yang tengah berjuang mendapatkan anak.

Tapi yaaah, manusia bisa merencanakan, namun tak kuasa memutuskan. Kalau sudah dijaga, tapi tetap ada kejadian, artinya kami memang dikehendaki untuk punya bayi lagi. Apalagi, penjagaannya hanya dengan pagar bambu (kontrasepsi temporer), bukan pagar beton (kontrasepsi permanen). Yang mana pagar beton pun masih punya peluang diterobos. Apalagi pagar bambu 😀

Jadi, menyusun dua tips simpel buat diri sendiri untuk menghindari/menghadapi KTD :

  1. Disiplin dan konsisten mengenakan alat kontrasepsi. Jangan karena sudah lama nggak hamil terus merasa nggak bakalan hamil. Banyak pasangan yang tak lagi merasa penting mengenakan alat kontrasepsi dan akhirnya bingung kala hamil lagi.
  2. Persiapkan mental untuk kehamilan di luar rencana. Jangan karena merasa konsisten pakai alat kontrasepsi (atau bahkan sudah menjalani kontrasepsi mantap) terus merasa nggak bakalan hamil lagi. Hal-hal luar biasa bisa terjadi di bumi ini.


Saya tetap dengan doa-doa saya. Tapi dengan penutup, kehendak-Mu lah yang jadi. Amin. 

-----------------------------------------------------------------------------------------

Tulisan ini  adalah bagian dari #KEBBloggingCollab dengan trigger post dari Mak Iwed (Dewi) : www.emak2blogger.com/2017/10/11/mendaftarkan-bpjs-bayi-dalam-kandungan/ 




8 komentar untuk "Provokator Kehamilan"

  1. I feel u Mbak. Sebelum hamil adek Ais ini, byk yg nanyain kpn hamil? Btw, kok ya pas Al, El, kurang Dul. Wkwkkw..

    KTD itu kuncinya pengendalian diri suami-istri sih ya. Kl berhasil s*nggama terputus, In sya Allah efektif cegah kehamilan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. hihihi..ini memang pertanyaan umum ya Mak. ya itu Mak ada catatan "kalau berhasil"... peluang tidak berhasil selalu ada.

      Hapus
  2. Bener banget tuh, Mbak. Aku sering ditanya gini. Gak hamil lagi? Lha, anakku yang kecil aja baru mau 2 tahun. :'D

    BalasHapus
    Balasan
    1. suruh tiga juga kayak aku Mak Anisa :). ntar kalau sdh ada lagi suruh empat hahaha

      Hapus
  3. Ngeri kalau sampai aborsi mah. :'D

    BalasHapus
  4. Lama kelamaan mereka berhenti menanyakan si 'kapan' ke aku, mba.. Capek en kesel kali yaaak karna aq ngejawabnya hanya dengan senyum simple 😂

    BalasHapus
    Balasan
    1. memang harus dibikin woles saja ya mbak :)

      Hapus

Terima kasih atas kunjungannya. Mohon tidak meninggalkan link hidup dalam komentar ya :)