Kehilangan Sekali Lagi

Satu lagi seorang kerabat pergi. Pergi jauh kepada keabadian. Kemarin, Rabu (8/2), salah seorang Oom saya dipanggil Tuhan. Dan lagi-lagi, karena jauhnya jarak, saya tak bisa datang langsung untuk turut mengantar kepergiannya yang terakhir. Hanya bisa berdoa dari sini, untuk beliau serta bulik, dan sepupu-sepupu saya, keluarga yang ditinggalkannya.

Ini salah satu konsekuensi tinggal jauh dari keluarga besar. Setiap ada kabar duka (ataupun suka), sebagian besar hanya bisa kami respon dengan ucapan dan doa dari jauh. Datang langsung jelas menuntut perhitungan waktu dan dana. Perhitungan yang hasilnya nyaris akan selalu condong pada jawaban "tidak bisa hadir."

Ya sih, mereka juga maklum.

Medan dan kampung halaman saya  memang masih satu Indonesia. Tapi toh, sudah terasa jauh. Faktanya, dari Jogja, terbang langsung ke Medan butuh waktu kurang lebih tiga jam. Sementara Jogja - Singapura (yang sudah luar negeri) hanya perlu waktu sekitar dua jam.
Dengan situasi keuangan kami, jadwal pulang kampung pun hanya setahun sekali. Tak ada anggaran khusus untuk pulkam dari kantor si ayah, sehingga kami benar-benar harus menyisihkan biaya untuk pulang. Itu pun seorang Oom saya pernah berkata, "nggak usah sering-sering pulanglah, mending uangnya ditabung, untuk beli rumah dan investasi lainnya."

Haha, iyaa, Oom yang satu ini memang agak prihatin dengan kondisi kami yang sampai sekarang masih jadi kontraktor alias rumahnya ngontrak. Tapi soal frekuensi kepulangan, mungkin kami punya standar yang berbeda. Setahun sekali pulang, buat saya dan suami, sudah terbilang sangat jarang. Seandainya memungkinkan, pengin bisa lebih dari itu. Bukan karena selalu terkangen-kangen dengan kampung halaman. Tapi karena orangtua. Sejauh masih bisa pulang, untuk menjenguk beliau berdua (tinggal ibu dan ibu mertua), kami memilih untuk pulang.

Jujur saja, setiap kabar duka dari rumah selalu terasa menyentak. Saya nyeri membayangkan bahwa suatu saat kabar itu adalah tentang kepergian ibu atau ibu mertua saya. Kalau ini, sudah bakalan pasti kami akan pulang. Apapun situasinya.
Hussssssss...

Ora ilok ngomong ngono (nggak boleh ngomong begitu). Pamali ngomongin kematian.
Ah entah, saya justru merasa lebih baik membicarakannya. Toh mau tidak mau, kematian tidak bisa ditolak. Dengan membicarakannya, saya justru merasa lebih ringan.(LSD)

Posting Komentar untuk "Kehilangan Sekali Lagi"