Al, El, (tanpa) Dul

Hasil gambar untuk al el dul sekarang
gambar : www.kapanlagi.com

Hari-hari ini nama Ahmad Dhani banyak diomongin lagi. Sehubungan dengan niat doski untuk bertarung demi kursi DKI 1. (Iih, rasanya sudah lama sekali nggak pakai istilah "doski" hihihi). Tapi ini bawa-bawa nama Ahmad Dhani bukan karena mau ikut-ikutan ngomongin pilkada DKI. Tapi nama bos Republik Cinta itu saya sebut karena dia (dengan Maia Estianty) adalah orangtua Al, El, dan Dul. Tiga bersaudara yang banyak bersliweran di media massa.

Bukan suatu kesengajaan untuk memiripkan kalau ternyata anak-anak saya juga sering saya panggil Al dan El. Nama panjangnya sih jauh beda. Kebetulan saja panggilannya serupa :D. Makanya, nggak cuma satu orang yang bilang, "mirip nama anak artist niih". Hahaha...iya. Mana tau masa depan mereka adalah menjadi artist :D


Berhubung jumlah anak (baru) dua dan jenis kelaminnya serupa, maka orang-orang sering bilang, "ayo nambah lagi, biar ada ceweknya."

Ini bagian dari episode pertanyaan-tiada-akhir. Bagi sebagian orang, episode ini mulai terasa "menyebalkan" di tahap "kapan skripsi? -sementara judul belum juga goal padahal temen-temen yang lain duluan. Setelah skripsi kelar dan wisuda, pertanyaan berlanjut "kerja di mana?" - sementara udah lamar sana-sini tapi belum lolos juga. Setelah kerja, lanjut pertanyaan "kapan nikah?" lalu "udah isi belum?" terus "kapan nambah?" dst dst :D

Saya yang memang berencana punya dua anak saja, jadi suka seloroh. "Iya kalau tambah ntar keluar perempuan, kalau keluar laki-laki, jadi mesti kasih nama Dul dong." Ini seloroh yang cukup sering saya keluarkan karena cukup sering juga saya mendapat provokasi untuk tambah anak :D

Memangnya kalau belum ada anak perempuan jadi nggak komplit ya? Sebaliknya, kalau di sebuah keluarga belum ada anak laki-laki juga belum komplit ya? 

Saya yakin, jawabannya pasti beda-beda. Subyektif masing-masing pribadi.

Bagi sebagian keluarga yang hanya punya anak laki-laki, mereka masih ingin anak perempuan dengan alasan kelak anak perempuan lebih telaten merawat orangtua. Di budaya kita, ini alasan yang masuk akal. Ada pula alasan yang lebih ringan, semacam pengin anak perempuan karena bisa didandan-dandanin. Fashion anak perempuan kan lebih variatif, nggak seperti anak laki-laki.

Sebaliknya, bagi keluarga yang baru punya anak(-anak) perempuan, mereka masih ingin anak laki-laki. Terlebih dalam beberapa suku, keberadaan anak laki-laki adalah penerus nama keluarga. Ada lho, tetangga saya yang sudah punya empat anak perempuan (sudah besar-besar) dan dia bilang, "seumpama usia masih memungkinkan, aku mau hamil lagi biar dapat anak laki-laki." Sebegitu besarnya arti anak laki-laki bagi sebagian masyarakat kita, nggak cuma di Indonesia, tapi di dunia.

Saya dan suami sudah sepakat untuk cukup dua anak. Walau -pinjam istilah teman-, kemampuan kami "sebatas memagari". Kalau sudah "dipagari" (dengan alat kontrasepsi) kok masih ada anak, saya percaya itu berarti kehendak Tuhan supaya kami merawat lebih dari dua anak. Kalau jumlah punya terget dua, berbeda halnya dengan jenis kelamin. Kami tak masalah, mau laki-laki atau perempuan. Kalau bisa sepasang : laki-laki dengan perempuan, oke. Tapi kalau laki-laki saja atau perempuan saja, oke juga. Saya tak pernah meminta jenis kelamin anak. Sekehendak Tuhan saja :). 

Tapi sepertinya bukan kebetulan kalau dua anak kami laki-laki semua. Diam-diam, jauh dalam hati, saya nggak pede kalau punya anak perempuan. Karena saya merasa nggak suka ndandanin anak perempuan. Selain itu, dari dulu-dulu saya cenderung tomboi dan lebih nyaman sahabatan dengan anak laki-laki. Saya agak khawatir nggak cocok dengan anak perempuan. Hahaha, ketakutan yang aneh nggak sih? Eh tapi, seperti saya bilang tadi, saya nggak pernah secara spesifik minta anak cowok saja loh. Soalnya, kalau Tuhan memang berkehendak ngasih anak perempuan, saya percaya pasti bisa handle. Kan Tuhan kasih berkat/ujian nggak melebihi kemampuan kita ^_^

Pas juga saya dan suami punya latar belakang keluarga dengan anak-anak berjenis kelamin sama. Saya, bungsu dari dua bersaudara perempuan. Suami lebih heboh, bungsu dari empat bersaudara, laki-laki semua. Kalau ada kekhawatiran soal siapa-yang-merawat-saat-hari-tua. Di saya yang dua bersaudara (perempuan), setelah bapak meninggal akhirnya ibu tinggal sendirian. Bersyukurnya, kakak saya masih tinggal di satu kecamatan. Jadi masih ada yang dekat. 

Sementara ibu mertua yang empat anaknya laki-laki, akhirnya juga tinggal sendirian setelah keluarga kakak ketiga memutuskan tinggal mandiri. Sementara ketiga anak yang lain tinggal di tiga kota yang berbeda. Jadi siapa menjamin bahwa ada anak perempuan berarti ada yang merawat orangtua (dalam hal ini tinggal bersama). Siapa juga menjamin bahwa jika banyak anak, kelak tua tidak berdua/sendiri saja? (Note : sekarang ibu mertua sakit stroke sehingga keluarga kakak ketiga yang semula tinggal mandiri kembali ke rumah untuk merawat ibu).

Dengan dua anak, dan laki-laki semua, kami lebih memilih untuk mendoakan dan mengusahakan hari tua yang tak perlu  bergantung pada anak. Tubuh relatif sehat, dana pensiun, dan lebih dari itu jiwa yang lurus, sejauh ini itulah modal yang diperlukan untuk menghadapi masa tua. Maunya sih, mudah-mudahan bisa terkabul, masa tua itu tidak perlu merepoti anak. Saya kira, ini harapan orangtua pada umumnya ya..

Dalam hal jumlah anak, bersyukur kita tinggal di Indonesia. Kalaupun kita "melanggar" anjuran pemerintah karena punya anak lebih dari dua, itu bukan tindakan kriminal :D. Punya banyak anak tidak dilarang. 

Adapun buat kami, mudah-mudahan tidak berubah untuk merasa cukup dengan Al dan El, tanpa Dul atau adik bungsu perempuan. Tapi-tapi-tapi....kembali ke atas tadi.. kemampuan kami ya sebatas memagari. Kalau sudah dipagari tetap lolos? Ya tetap harus kami rawat dan syukuri :)

(LSD)











2 komentar untuk "Al, El, (tanpa) Dul"

  1. Benar mbak, yang nyebelin itu kalau ketemu pertanyaan yang kepo mau update. Belum nikah ditanya kapan nikah, udah nikah ditanya kapan punya anak, dst. Saya pilih diem daripada nanyain hal-hal seperti itu pada teman atau kenalan..hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya mbak Aira. sekarang saya juga berusaha untuk tidak banyak tanya-tanya hal serupa itu, terutama kalau sama teman yang saya nilai "perasa" atau teman yang tidak terlalu dekat. Tapi kalau sama teman yang dekat atau suka bercanda masih suka lolos nih. padahal niatnya bercanda-bercanda aja, bukan bener-bener kepo :D

      Hapus

Terima kasih atas kunjungannya. Mohon tidak meninggalkan link hidup dalam komentar ya :)