Ale Sekolah (Part 1)



Tak terasa, sudah lewat sebulan Ale sekolah. Berhubung lahir bulan Juni, usia Ale jadi pas dengan tahun ajaran. Bocah lelaki berbulu mata lentik ini mulai sekolah beberapa hari setelah ulang tahunnya yang kelima. Sekolahnya adalah sekolah yang bener-bener gres, alias benar-benar baru launching. Ini adalah sekolah yayasan milik gereja tempat kami berjemaat. Jauh hari, Ale masih menyebut nama sebuah TK lain untuk dia sekolah. TK yang berada di dekat dokter kandungan tempat saya cek sewaktu hamil si Elo. Tapi seiring dekatnya waktu sekolah, Ale pindah ke lain hati sekolah ini. 
Sesuai permintaan kami –orangtuanya-, Ale langsung masuk TK B. Ya, kami memang nggak ingin Ale berlama-lama di TK (dia juga tidak masuk PAUD/Play Group). Alasannya sih pragmatis sekali. Saya percaya kok pendidikan usia dini itu penting, penting bangeet malah. Tapi saya juga percaya proses itu tidak harus dilakukan di sekolah. Lagipula, saya lihat, kemarin-kemarin Ale belum siap. Parameternya  simpel,  dia tak mau ditinggal di sekolah. Dia minta bunda ikut masuk kelas. Saya bilang, para bunda nggak boleh ikut masuk kelas. Dia jawab, bunda lihat Ale dari pintu atau jendela. Aiih, saya termasuk ibu-ibu yang tidak tertarik dengan kegiatan menunggui anak di sekolah :D. Jadi ya sudah, saya putuskan untuk menunggu dia siap. 

 Mungkin berbeda ceritanya kalau kami tinggal di lingkungan yang pelit urusan pergaulan, juga miskin warga usia anak-anak. Di lingkungan yang seperti itu, siap tak siap, saya akan menyekolahkan Ale sejak dini. Sebab dia perlu belajar sosialisasi. Proses yang  tidak akan bisa dilakukan di lingkungan rumah. Sementara di sini, walau jalan buntu, tapi banyak anak-anak. Yang sebaya, yang lebih kecil, yang lebih besar : semua ada. Kami tak perlu khawatir  dia kekurangan partner dalam berkawan.
Dia semangat menyambut hari sekolahnya. Sebaliknya justru saya yang agak-agak khawatir. Khawatir kalau dia nggak bisa bangun pagi –karena dia sebelumnya adalah bangsawan  (bangsa tangi awan– golongan bangun siang :D). Juga khawatir kalau saya yang justru tidak bisa menyiapkan segala sesuatunya pagi-pagi karena  sekarang sudah ada si Elo. Bocah mungil yang habis dini hari selalu seru menyusu. Itu saja sih yang saya khawatirkan.
Jadi hari-hari menjelang Ale sekolah itu, kami sudah berusaha mengubah kebiasaan tidur Ale. Biasanya dia tidur sekitar pukul 22.00 – 23.00 lalu bangun pukul 08.00 – 09.00. Yeayy...itu anak dari bayi memang suka ngalong. Susah banget bikin dia tidur cepat. Tapi usaha menjelang hari masuk sekolah itu tak berhasil. Tetap saja dia tidur malam dan bangun siang. Wew....
Ya sudah, lihat saja nanti....Puji Tuhan, di hari-H (6 Juli), dia bisa kok bangun pagi-pagi. Bahkan, si Elo juga ikut bangun lebih pagi. Semula, si Ayah berencana mengantar Ale. First day school gitu loh... umumnya orangtua ikut bersemangat membara sekaligus melankolis karena merasa : eh anakku sudah besar! Sayangnya, urusan kerja Ayah membuat rencana itu batal. Hanya saya dan Elo yang menemani Ale ke sekolah. Jarak rumah ke sekolah sekitar satu kilometer dan kami naik angkot. Ya mending naik angkot deh daripada nggak yakin dengan safety naik sepeda motor. Kalau untuk jarak deket-deket sih masih berani bawa dua anak ini. Tapi untuk ke sekolah Ale, rasanya risikonya banget. Terlebih si Elo sudah susah diem di gendongan. Jalanan pagi juga lebih padat karena banyak orang sedang berangkat.
Pukul 6.30 sudah berangkat. Aih,.,pagi-pagi mesti mandi, mandiin anak-anak (Elo juga ikut mandi pagi-pagi), nyiapin sarapan dan bekal. Akhirnya mengalami juga aktifitas lazim keluarga-keluarga dengan anak usia sekolah.
Sebenarnya, Ale sudah mau lho nggak ditungguin sejak hari pertama itu. Tapi kan justru saya yang kepo, gimana sih dia mulai sekolah. Ya itu tadi, hari-hari pertama anak sekolah, ortu ikut semangat (bahkan mungkin lebih semangat daripada anaknya) tapi sekaligus melankolis. Puji Tuhan, seminggu pertama itu lancar tanpa drama. Kebiasaan tidur bisa langsung berubah. Ale bisa tidur lebih awal (sekitar jam 20.00) lalu bangun pagi (sekitar jam 5.30-06.00). Dia juga konsisten dengan ucapannya untuk tidak mbok-mboken (selalu minta ditemani bunda). Kan ada ya anak-anak yang pertama-pertama masuk sekolah tak mau lepas dari pengantarnya, bahkan hingga dalam kelas. Puji Tuhan juga  minggu selanjutnya dia sudah ikut mobil antar jemput. Itu artinya, saya nggak perlu pagi-pagi buta menyiapkan segala sesuatunya.
So far, segala sesuatunya masih berjalan dengan lancar.
Begitulah. Sepertinya, setiap akan memulai rutinitas baru, kekhawatiran-kekhawatiran akan hal-hal printhilan-printhilan semacam di atas selalu muncul. Seperti dulu waktu SD pindah ke SMP, SMP pindah ke SMK, SMK pindah ke kampus, kampus pindah ke kerjaan. Lalu, sewaktu Ale mau lahir, ada sedikit cemas, bagaimana nanti ngurus anak bayi. Terus lanjut Elo lahir, gimana nanti ngurus dua anak. Dan nyatanya, semua terlampaui. Yang masih segar diingat adalah waktu anak(-anak)  mau lahir. Panjang daftar gimana-gimananya. Tapi bisa juga tuh...
Ya...sesuatu yang baru, memang nyaris selalu menuntut perubahan. Tuntutan yang sering memunculkan kekhawatiran-kekhawatiran, baik khawatir akan hal yang krusial maupun sekedar printhilan. Tapi kalau kita menengok ke belakang, ternyata kita  mampu melewati cukup banyak “hal-hal baru” (yang sekarang jadi “hal-hal lama”). Memang tak semuanya langsung mulus, ada beberapa proses yang memang sangat ribet sebelum ketemu ritmenya.
Ale sekolah menambah lagi satu daftar “hal-hal yang bisa dilampaui”.  Daftar yang saya imani dan amini akan bertambah panjang.

Posting Komentar untuk "Ale Sekolah (Part 1)"