Rindu Bleki

Siang ini, entah dipicu oleh apa...tiba-tiba mata Ale berkaca-kaca. Bocah 4,5 tahun itu menyebut-nyebut sebuah nama : Bleki. Anjing kampung betina  (sesuai namanya) berwarna hitam, yang sudah lama kami jual karena saya merasa tidak akan sanggup memelihara seekor induk anjing beserta anak-anaknya. Memelihara seekor anjing saja sudah butuh energi dan toleransi, apalagi lebih banyak anjing? Pasti butuh energi dan toleransi lebih tinggi.

Banyak orang bilang, memelihara anjing kampung itu mudah. Tak butuh perawatan dan pemeliharaan khusus. Tapi tetap saja, buat saya memiliki anjing berarti memunyai tanggung jawab. Kalaupun dia tidak perlu makanan khusus, tetap saja harus dikasih makan kan? Minimal diberi nasi....dan porsi nasi anjing ituu..ternyata lebih banyak dari porsi nasi saya! Padahal, dulu kami tidak memasak nasi khusus untuk anjing. Nasi yang kami makan, itulah yang juga kami berikan pada anjing. Alhasil, beras lebih cepat habis :D. Belum lagi, kalau ada limbah kepala dan jeroan ikan, saya mesti merebusnya dulu sebelum diberikan pada anjing.  Itu belum termasuk keharusan memandikan ketika si anjing sudah jorok plus membersihkan kejorokan -kejorokan lain yang lazim ditimbulkan oleh keberadaan anjing.

Ish...saya memang suka melihat anjing. Senang juga memiliki anjing. Tapiiii... ternyata saya tidak terlalu suka konsekuensinya :D.

Bleki bukan anjing pertama kami. Sebelumnya kami sudah beberapa kali memelihara anjing karena permintaan Ale. Semuanya anjing kampung yang kami beli seharga Rp 50 ribu atau Rp 100 ribu.

Anjing pertama kami bernama Browni. Anjing warna coklat yang terus menyalak di tiga hari pertama di rumah. Lalu pagi-pagi kami lepas talinya dengan asumsi dia sudah "ngomah-omahi" alias feel at home di rumah barunya. Ternyata belum, tiga hari masih terlalu pendek untuk membuatnya merasa : ini tempat barunya. Pagi itu, tak lama setelah tali dilepas, dia sudah pergi entah kemana. Kami tak pernah berjumpa lagi dengan Browni.

Tak lama berselang, ada anjing kedua. Anjing jantan yg juga berwarna coklat, tapi kami namai Gogreen. Dia anjing yang manis...Namun, dia hanya sekitar lima bulan bersama kami. Suatu hari tiba-tiba dia melemah. Hari kedua, dia muntah darah. Lalu tak lama kemudian dia mati. Saya menitikkan air mata waktu dia dikubur di halaman belakang.

Beberapa bulan kemudian, ada lagi anjing jantan warna hitam yang kami namai Kiku. Dia tumbuh sehat. Sayangnya, dia punya habbit yang saya tidak suka, yakni menggigiti aneka barang plus membawa sampah dari luar ke halaman rumah. Pernah suatu hari dia menggigit tas tetangga yang sedang dijemur di halaman. Oooowghhhh.... saya nggak tahan. Kiku kami jual.

Terakhir adalah bleki. Sebenarnya dari awal saya sudah tidak sreg karena Bleki ini betina. Terpaksa, dalam hal ini saya sexist. Punya anjing betina berarti kemungkinan besar punya anak-anak anjing. Duuuh...saya merasa nggak sanggup. Sebagian orang lebih suka anjing betina karena nanti bisa mendapat untung dari menjual anak-anaknya. Tapi saya bukan termasuk bagian orang itu. Soal memelihara anjing, saya lebih suka yang berjenis kelamin jantan. Jadi, ketika bleki mulai menunjukkan tanda-tanda tertarik bereproduksi, saya minta pada suami untuk menjualnya. Suatu sore, dengan tanpa sepengetahuan Ale, kami tolong pada tetangga untuk menjualkan bleki.

Tapi entah bagaimana Ale bisa tahu, jika anjingnya dibawa pergi Bang Rudi. Mungkin Ale masih terlalu kecil untuk mengingat Browni, Gogreen, dan Kiku. Tapi dia punya memori khusus terhadap Bleki. Sesekali, dia akan merindukan Bleki, seperti siang ini. Dia "meratap" memanggil-manggil Bleki dengan kepolosan seorang bocah : kangen bleki, miss u bleki, miss u bleki.

Saya ingin tertawa, tapi juga sekaligus ingin menangis.


Posted via Blogaway

Posting Komentar untuk "Rindu Bleki"