![]() |
Gunung Nona, Bambapuang, Enrekang, Sulsel |
Hari sudah menjelang siang ketika kami meninggalkan PLTB Sidenreng Rappang. Kami berempat bergerak menyusur jalan menuju Kabupaten Enrekang. Ini adalah perjalanan pertama saya dan anak-anak melewati Bumi Massenrempulu. Sedangkan bagi BJ, chief of the family, ini adalah perjalanan kesekian. Hari itu, kami melewati Enrekang dalam perjalanan ke Tana Toraja.
Baca : Mampir Sebentar di PLTB Sidrap
Jalanan naik turun dan berkelok, sesuai dengan julukan massenrempulu yang berarti daerah pinggiran gunung. Hari mendekati separuh, sebentar lagi jam makan siang.
Hhhhmm, sepertinya perlu mencoba kuliner daerah Enrekang.
Paling gampang, tanya google dong (once
again : terima kasih Larry Page dan Sergey Brinn untuk keajaiban mesin
pencari ini). Hasil browsing menghasilkan
beberapa nama makanan khas, di antaranya danke/dangke dan nasu cemba.
Danke adalah sajian yang dari olahan susu kerbau yang kemudian digoreng lalu disajikan dengan sop dan nasi. Hhhhm, jadi ingat susu horbo (kerbau) di Sumatera Utara. Saat tinggal di Pematangsiantar, saya pernah mencicipi olahan susu kerbau yang disebut Dali Ni Horbo dan...... tidak doyan.
Memang sih, lain ladang lain belalang. Bisa jadi, danke berbeda
dengan susu horbo dari bentuk maupun cita-rasa. Namun, mengingat pengalaman
mencicipi susu horbo, danke saya coret dari pilihan.
(Edit : saya kemudian membaca cara pengolahan dali ni horbo maupun danke. Pada dasarnya, pengolahannya mirip atau malah sama, yakni susu direbus dengan tambahan bahan pengeras/pengental tradisional, seperti getah pepaya atau nanas. Hasil akhirnya berupa susu padat, maka itu Dali Ni Horbo juga sering disebut sebagai keju Batak, sedangkan danke juga dikenal sebagai keju Enrekang)
Selanjutnya nasu cemba. Semula, saya pikir nasu berarti
nasi. Ternyata, saya salah. Dalam bahasa setempat, nasu berarti masakan. Oooo,
baiklah. Selintas saya membaca deskripsi nasu cemba, Masakan ini berbahan utama
daging sapi dan disajikan dengan kuah dengan bumbu khas daun cemba.
Di gambar, tampilannya mirip konro Makassar. Wah...tampak
menarique untuk dicoba sekalipun saya belum mengerti rasa apa yang dihasilkan
si daun cemba. Namanya mencoba, siap dengan konsekuensi sesuai atau tidak
dengan lidah, ya kan?
Pencarian selanjutnya adalah rekomendasi rumah makan nasu cemba. Terpampang beberapa nama rumah makan nasu cemba yang terkenal di Enrekang, seperti RM Ade dan RM Nalai Cege.
Saya sedang menelusuri letak rumah
makan itu di peta saat BJ mengingatkan bahwa kami akan mampir ke Gunung Nona. Sepertinya akan makan banyak waktu jika makan nasu
cemba di rumah makan rekomendasi sekaligus mampir Gunung Nona. Nanti makan di
Gunung Nona saja, dengan menu yang ada di sana.
Hhhhhm, penumpang ikut apa kata driver lah ya.... (mvvaaah
driver tercintah ). Jadilah kami lupakan rumah makan nasu cemba dan fokus ke
Gunung Nona. BJ juga pernah mampir di sana, jadi dia hendak menunjukkan kepada
kami bertiga.
Secara geografis, Gunung Nona terletak di Desa Bambapuang,
Kecamatan Anggeraja, sekitar 16 kilometer dari Kota Enrekang atau 240 km dari
Kota Makassar. Sesampai di Bambapuang, segera ingatan saya terbawa ke
Panatapan, Berastagi, Sumut.
Kemiripan keduanya adalah sama-sama tempat perhentian (rest
area) di jalan yang bersisian dengan jurang. Dengan kontur demikian, sisi depan
bangunan menapak di dekat bahu jalan, sedangkan sisi belakang ditopang
tiang-tiang yang menancap ke dasar jurang.
Ada banyak pilihan tempat makan di Bambapuang. Kami berhenti
di RM Sulis karena pas saja lowong buat parkir. Selain menyediakan makanan dan
minuman, di RM Sulis juga tersedia aneka oleh-oleh. Kami masuk dan langsung
menuju area belakang yang view-nya tepat
menghadap Gunung Nona. Pemandangan deretan perbukitan langsung terpapar di
depan mata.
RM Sulis menyediakan berbagai menu standar rest area. Tanpa
melihat daftar menu, Ale dan Elo sudah langsung menentukan pesanannya, yakni
Pop Mie hihihi. Surprise buat saya, di sana tersedia nasu cemba!!! Horeee....jadi
deh mencicip nasu cemba. Sengaja saya setting ekspektasi tak terlalu tinggi
terhadap rasa nasu cemba. Selain menu baru, rasa masakan di rest area
seringkali B saja (atau malah C hehehe). Yang penting sudah nyicipin, seperti
apa sih nasu cemba. Kalau orang Jawa bilang, tombo pengin.😀
Agak lama kami menunggu, nasu cemba disajikan dalam mangkuk
lengkap dengan sepiring nasi. Potongan daging
sapi bertulang dalam kuah berwarna kecoklatan yang terlihat ringan (sepertinya
tanpa santan). Saya dan BJ mencicipnya dan voila......lidah bisa menerima
dengan gembira. Ada rasa asam yang tidak terlalu mendominasi, membuat kuah
terasa segar. Setelah membaca resepnya, barulah saya tahu jika rasa asam itu
berasal dari si daun cemba.
Baca doang resepnya, nggak yakin bisa mempraktikkannya 😁😁😁
Gurih dan segar nasu cemba membuat kami mengesampingkan nasi
yang terasa sangat pera. Untuk ukuran rest area, rasanya tidak mengecewakan. Namun, tak ayal,
jadi terpikir bagaimana ya rasa nasu cemba di warung makan rekomendasi tadi? Kemungkinan
besar jauh lebih syedaaaap.
***
Tentang Gunung Nona, kenapa sih dinamai demikian?
Bagi perempuan, mungkin agak risih membaca arti/asal muasal
nama Gunung Nona. Apalagi jika membicarakannya dengan seseorang yang hobi
bercanda vulgar. Sebab, nama ini konon karena bentuk salah satu bagian bukit
yang seperti Miss V!
Gunung Nona juga punya nama lokal. Dalam Bahasa Duri (salah
satu suku asli Enrekang), Gunung Nona disebut Buntu Kabobong**. Buntu berarti
gunung, kabobong berarti alat kelamin wanita. Waaah, malah lebih eksplisit
yak...
Saya malah jadi berpikir, siapa yang memberi nama Gunung
Nona? Nama nasional yang terkesan “disopankan” dibandingkan nama aslinya.
Sependek pengetahuan saya, dalam budaya Sulsel, penggunaan sebutan “nona” untuk
perempuan lajang terasa tidak lazim (cmiiw). Beda dengan ....Ambon, misalnya. (Eheee,
saya belum pernah ke Ambon, menyebut nama Ambon gara-gara lagu “Nona Manis
Siapa yang Punya”)
Sebuah nama, banyak cerita. Mungkin itu cocok untuk Gunung
Nona. Selain alasan anatomis tadi, dalam penelusuran di mesin pencari, saya
mendapatkan beberapa versi legenda*** dengan satu pesan utama, yakni hiduplah
sesuai norma kesusilaan. Laiknya sejarah daerah-daerah di Nusantara, nama
Gunung Nona atau Buntu Kabobong tak lepas dari kearifan lokal.
Namun, dalam obrolan sambil makan, saya mendapat perspektif lain dari Elo, si anak bungsu. Saya yang sebelumnya sudah mendengar cerita tentang asal muasal nama Gunung Nona, tidak bisa tidak untuk berpikir mencari kemiripan (atau ketidakmiripan) saat melihatnya. Berbeda dengan Elo, yang menganggap cekungan itu mirip bentuk tangan yang berdoa.
Pada obyek yang persis sama, kita bisa memiliki persepsi yang sangat berbeda. Akan melelahkan ketika menghabiskan energi untuk memperdebatkan kebenarannya. (*)
--------------------------------------------------------
credit :
*massenrengpulu.wordpress.com/pertama/sejarah-kab-enrekang
**https://www.kompasiana.com/azwarsyam85/5500061fa33311447050f9fd/buntu-kabobong-gunung-nona-erotic-mountain
***https://zonakata.com/legenda-buntu-kabobong/
Kemecerr aku mbaaa
ReplyDeleteaku suka olahan daging berkuah gitu
terbayang suegerrr rasanya, ada asem2 dikit pula. Duh, kapan2 mau lahhh kulineran ke sini
hiyuuk mbaak. semoga pandemi segera usai dan mba nurul bisa mbolang ke sulawesi
DeleteAku bisa bayangin kalo dibilang mirip vagina wanita :D. Tapi memang yg begini suka beda2 tergantung perspektif masing2.
ReplyDeleteBtw, aku malah penasaran banget Ama kulinernya termasuk danke mba. Jadi kalo susu horbo ini kayak yoghurt gitu? Fermentasi soalnya.
Nasi Demba nya kliatan enaaak :D. Aku kebayang sih kalo rasanya asem segar. Mungkin kayak empal asem Cirebon yaa :D.
aku edit dan update ya mbak Fanny..Tadi aku berasumsi sendiri tanpa check and recheck hahahaha (ampuun deh).
DeleteTernyata baik susu horbo maupun danke nggak pakai fermentasi tapi direbus dengan bahan pengental.
Kalo empal kan kuahnya terasa berat ya...macam coto. Kalau nasi cemba rasanya light gitu. Tapi entah ya kalau di warung makan yng khusus nasu cemba.
Baca ini jadi pengen liburan mbaaa. Hahhaa. Asik banget pemandangan alami dipadu dengan pilihan makanan enak enak. Pandmei segeralah berlalu biar saya bisa liiburan :D
ReplyDeleteAmiin mbak Alida. keknya ini doa orang sedunia. Sejujurnya ada perasaan was-was sih dolan2 saat pandemi. Di sisi lain, pelaku bisnis/kerja di dunia wisata sangat terbantu kalau ada wisatawan yg datang. Jadi niatkan pergi untuk kebaikan dan tetap patuh protokol kesehatan :)
DeleteWah, makanan yang tampak asing buatku nih naus cemba :) Sekilas kayak soto daging tapi bening ya tanpa santan. Asal muasal Gunung Nona ternyata begituuuu hehehe. Duh, senangnya makan bareng keluarga. Kangen liburan nih.
ReplyDeleteHawa dingin trus kulinernya berbahan daging plus kuah pula beeuhh, mantap banget! bisa-bisa lupa nih untuk mengurangi makan nasi karena akan nambah terus nasinya.
ReplyDeleteYa ampun mbak, tadinya aku pikir kamu typo mau nulis nasi jadi nasu. Hehehehee... ternyata nasu itu masakan toh, duh itu enak banget pemandangannya ya. Aku mah pasti betah banget itu makan dengan view seperti itu.
ReplyDeleteAku kok jadi pengen nyicipin nasu cembanya, Maaak. enak seger gitu kayaknya ditambah menikmatinya sambil menyaksikan panorama gunung Nona. Aku sepakat nih bentuk gunungnya kayak tangan lagi berdoa. Ada-ada aja ya latar pemberian namanya, Untung aja namanya gunung Nona. Lebih sopan
ReplyDeleteakhirnya keturutan juga menikmati nasu cemba, dengan pemandangan yang sungguh indah di depannya.
ReplyDeleteHihi... kalau di daerah dingin, apalagi dalam perjalanan, emang pilihan Ela dan Elo sudah pas mbak menurut saya. Pop Mie
Pas baca judulnya, saya pikir typo. Nasi menjadi nasu. Ternyata salah sangka. Malah jadinya penasaran dengan nasu cemba. Nikmat banget deh kulineran dengan suasana seperti itu
ReplyDeleteBaru tahu ada gunung Nona di Makassar. Lucu juga ya namanya, karena bentuk miss V. Memang ada-ada aja yang kasih nama. Tapi enak banget bisa kesana secara memang tidak semua bisa kesana kayak saya hehe.. Pengen jalan-jalan deh kapan-kapan ke Makassar.
ReplyDeleteAhhhh aku iri... tempat dengan view menawan di tambah makanan lezat beserta keluarga tercinta pula. Sungguh ku rindu liburan, hahahaha.. uda kelamaan stay at home
ReplyDeleteJadi penasaran juga pengen nyicipin Nasu Cemba yang awalnya dikira nasi, tapi ternyata semacam sup daging gitu yaaah. Paling seru kalo travelling memang mencicipi berbagai menu khas daerah yah mbaak, tapi anak2 mah teteup jajan pop mie aja yaah ahahaha. Anak22 aku juga kalo jalan ke mana pun pasti pesen nasi goreng atau kentang goreng, payah deh ehehehe
ReplyDeleteSuka Mbak, ada objek sama bisa berbeda persepsi, karena tiap orang memiliki pemikiran yang berbeda-beda. Nasu Cemba seperti sop atau soto gitu yaaa.
ReplyDeleteAh...iyaya, cekungannya mirip bentuk tangan menengadah.
ReplyDeleteApa lain kali bikin blogpost mengenai cerita rakyat, kak..?
Hihi...penasaran sama Gunung Nona.
Baru denger nasu cemba, ini kuliner nusantara yang wajib banget dicoba. Seger banget kuah dan dagingnya. Ditambah menikmati nasu cemba sambil lihat view yang indah sekali
ReplyDeletewooww gitu ya asal usul nama gunung nona ini
ReplyDeletebtw asyik banget viewnya mbak
indah banget, bikin kita rileks yaa
Wuih keren banget deh pemandangan gunungnya. Indaaaah. Ditambah nyantap makanan uniknya, jadi berkesan banget. Bikin kepengen main ke gunung juga. 😍
ReplyDeletePostingan ini bikin saya inget beberapa tahun lalu pernah perjlanan juga dari Wajo ke Tator..lewat Enrekang.. Pemandangannya keren banget yak..
ReplyDeletekalau dah jodoh mah yaaa.. pasti akan ketemu juga ya, Mba Nasu cembanya... hahahaha.. saya pun pertama baca judul mikirnya typo nih Mba Lisdha. Ternyata saya yang salah.. hahaha.. jadi mau nyobain deh kuliner unik disana.
ReplyDeleteWalah asal usul penamaan gunungnya unik
ReplyDeleteHihihi anak2 tau aja makanan enak di gunung yaitu pop mie wkwkwk.
Nasu cembanya rezeki banget ya mbak, pas ada di rumah makannya. Aku penasaran kyk apa rasanya nih apa mirip rawon kalau di jawa atau mirp sop daging sapi atau gmn hehe
Wah sudah kesini ya
ReplyDeleteIni kampung halaman adek ipar saya dan saya pernah ada di depan gunung ini juga
Ah jadi kangen rasanya
Bener juga ya persepsi orang tidak sama ketika memandang satu obyek. Melihat kulinernya bikin membayangkan, ngiler kan jadinya, hahaa
ReplyDeleteBaru tahu tentang Nasu Cemba ini mba, jadi pengen nyobain juga makanan yang satu ini.
ReplyDeleteAku masih nggak kebayang dibilang mirip kelamin wanita....apa imajinasiku yg kurang yaaa?? Bentuk rahim cekungan itu???
ReplyDeletehihii baca nasu kirain sebutan lokal di sana untuk nasi ternyata bukan ya... Makan yang anget2 saat berada di gunung dan ketinggian apalagi bersama keluarga tercinta pasti seru yaaa mba
ReplyDelete