(Bukan) Daun Ubi Tumbuk




beberapa bahan sayur daun ubi tumbuk


Hai hai hai Teman DW, saya ikutan #KEBCollabwriting lagi. 

KEBCollabWriting adalah kolaborasi menulis antar sesama member Kelompok Emak-Emak Blogger (KEB). Buat saya, ini adalah partisipasi yang kedua kali.
Semula, agak maju-mundur mau ikut. Soalnya, di sesi kemarin, beberapa tulisan saya molor dari deadline. Tapi akhirnya saya memutuskan ikut lagi dan malah jadi ketua kelompok. Huhuhu, meski hanya ketua kelompok kecil, tapi rasanya nggak pede. Secara, dalam hal blogging, saya mah apa atuuh... sebatang rumput jarum di belantara maya.

Halah...malah curcol.

Trigger post pertama di kelompok saya adalah tulisan mak Hana M Zwan yang berjudul “Kemangi, Olahan Sedap yang Menggugah Selera.”  Hhhmm... ngomongin dapur bukanlah perkara gampil buat saya. Lha wong saya nggak pinter dan juga nggak hobi masak. Iya sih, kadang ada mood untuk ubyek-uplek di dapur. Trial error resep dengan ending banyakan error daripada menghasilkan sajian yang mengundang selera :D.

Saya juga sering pening mau-masak-apa-hari-ini meski panduan menu mingguan bertebaran di mana-mana.  Ujung-ujungnya jadi MILIL (Masak Itu Lagi Itu Lagi). Tapi mau nggak mau saya tetap berupaya masak karena pesan rantangan/katering tidak bisa jadi solusi sehari-hari. 

Baca : Rantangan oh Rantangan


Bersyukurnya, BJ dan Alelo tergolong enggak ribet soal masakan. Paham lah kalau si emak bukan koki yang hebat. Meski sudah bertahun-tahun jadi penguasa dapur, masakan saya tetap nggak bisa menyaingi rasa sajian di luar. Sudah berusaha ikut resep, toh hasil akhirnya tetap “mendekati saja belum.” Puji Tuhan banget kalau mereka nggak komplain. Terus, bonussss banget kalau mereka sampai tahap “doyan banget.”

 
sayur daun ubi tumbuk

Nah, salah satu menu yang Ale “doyan banget” adalah “sayur daun ubi tumbuk.”  Daun ubi..sayur yang familier kan?? Daun ubi, daun ubi kayu, daun sampe, pucuak ubi, pucuk ubi, godong jendal, godong telo, godong pohung, godong bodin, bulung gadung....ini varian istilah untuk daun ubi yang saya dapat dari komentar-komentar di status facebook. 

Hhhmm....banyak juga yaaa.

Belakangan, Elo ikut nyicip dan ternyata juga sukak!! Horeeee....  Ini surprise buat saya karena bocah ini sangat amat picky dalam hal konsumsi sayur. Berbeda dengan the juniors, si ayah sih nggak pernah mau. Hihi...yo wis, yang penting anak-anak suka. Maka itu, biasanya saya masak daun ubi tumbuk kalau si ayah sedang keluar kota. Jadi nggak perlu masak khusus buat BJ.

Kalau baca-baca artikel masakan di internet, ada yang bilang ini sayur khas Batak, yang lain menulis khas Medan, ada pula tercantum khas Mandailing.... hlaa embuh aslinya khas mana. Pokoknya, saya tahu sayur ini sejak tinggal di Sumatra Utara. Mungkin tiap daerah ada khas-nya masing-masing.  Beda-beda tipis gitulah soal bumbu dan bahan tambahan.

Kesukaan Ale pada daun ubi tumbuk ini cukup membuktikan premis bahwa selera lidah itu sangat dipengaruhi oleh lingkungan  (mau bilang kebudayaan kok rasanya berlebihan). Selera masakan itu melintas batas-batas identitas keturunan.  Ale lebih cepat mengenal sayur ini dan juga lebih cepat bisa menerima, bahkan kemudian menyukainya. Berbeda dengan lidah saya yang butuh waktu beberapa lama mencapai tahap serupa.

Baca : Kerempongan Pindahan

Itu wajar karena saya baru kenal daun ubi tumbuk setelah dewasa. Selama tinggal di Jawa Tengah, lalu beberapa tahun di Jawa Barat, saya sama sekali belum pernah mencicipinya. Daun ubi sih sudah saya lahap sejak kecil mula. Nasi dengan daun ubi rebus+sambal terasi/belacan+ikan asin goreng, itu mantap sudah.  Dulu emak kadang juga memasak daun ubi dengan santan. Tapi daun ubi ditumbuk dan disantan dengan sensasi rasa kecombrang plus cepokak, awalnya benar-benar terasa aneh di lidah. Dua macam bumbu ini tak ada dalam khasanah kuliner masa kecil saya.

 
hijau : rimbang/cepokak, pink : kecombrang/honje

Tapi begitulah...pepatah witing tresno jalaran soko kulino itu nggak cuma berlaku dalam hal jodoh, tapi juga makanan. Sering ketemu daun ubi tumbuk di rumah makan, di syukuran, di pesta, di rumah orang...lama-lama jadi suka juga.

Terus coba-coba memasak sendiri di rumah. Resepnya tanya tetangga dan juga search internet (jurus andalan!!). Googling dengan kata kunci “resep daun ubi tumbuk”, maka akan terjembreng sekian banyak alamat yang tinggal di-klik. Aneka resep dengan aneka varian bumbu dan proses memasak meski garis besarnya sama.

Jurus saya sih pilih yang paling praktis. Daun dan semua bumbu saya tumbuk sekalian, trus langsung cemplung ke santan yang nggak terlalu kental juga nggak terlalu encer. Aduk-aduk terus biar nggak pecah, koreksi rasa. Udah.....
Sayur daun ubi tumbuk ala saya adalah versi “tumbuk-cemplung-aduk-sudah.” Soal rasa, ya jangan protes. Yang penting buat saya adalah penilaian dua juri utama, Ale dan Elo hohoho. So far, mereka oke-oke saja.

Tapi saya nggak punya alat buat menumbuk daun. Saat tinggal di Siantar, ada Uwak tetangga sebelah yang selalu dengan senyum meminjamkan tumbukan. Kalau istilah saya sih lumpang kayu lengkap dengan alu-nya.

Setelah pindah ke Medan, nggak ada lagi tetangga sebelah yang bisa jadi sasaran pinjam alat tumbukan. Kok nggak beli? Malas hahahaha. Naruhnya itu lho... lumayan makan tempat. Hihi, alasan! Ya rasanya nggak worth it saja sampai beli tumbukan sementara masak daun ubi-nya belum tentu seminggu sekali. Juga rasanya nggak (atau belum) butuh menumbuk-numbuk bahan lainnya.

Karena ada alat mekanis pengganti tumbukan.

Yuhuu, memang sih ada orang-orang yang setia memasak menggunakan alat-alat manual karena konon punya pengaruh cukup signifikan terhadap rasa. Tapi, saya jelas bukan termasuk jenis orang tersebut. Soal rasa masakan, asal nggak kacau-kacau amat lah (haha, bukan contoh bagus yesss...).

haha, niat banget ya sampai kasih gambar hand blender with chopper ini..


Termasuk dalam hal memasak daun ubi ini. Berhubung nggak ada alat penumbuk dan masih malas beli, ya wis gunakan saja alat yang ada toh. Untuk menghancurkan daun ubi, saya pakai chopper dari paket hand blender Ph*l*ps yang saya beli beberapa tahun lampau. Ukurannya kecil, jadi mencacah seikat daun ubi tumbuk yang sudah disiangi plus bumbu-bumbunya butuh beberapa trip. Tapi lumayanlah, daripada tangan gempor ngulek pakai ulekan (pernah coba cara ini dan nggak mau lagi!).

Dan ternyata saya nggak sendirian pakai alat mekanis guna memasak daun ubi tumbuk ini. Buka-buka resep di internet, banyak juga yang pakai blender. Kalau sudah begini, harusnya nggak cocok lagi nama dinamai daun ubi tumbuk yaah. Lha wong enggak ditumbuk. Tapi wagu juga kalau disebut sayur daun ubi blender/chopper. Ah sudahlah, dalam hal ini, mari pinjam kalimat legendaris dari William Shakespeare : apalah arti sebuah nama. 

Mau daun ubi tumbuk, godong telo blender, atau pucuk ubi chopper.... lidah tidak mempersoalkan namanya!

(LSD)
  

 

9 komentar untuk "(Bukan) Daun Ubi Tumbuk"

  1. Aku belum pernah mencicipi daun ubi tumbuk...kata temanku asal Sumut emang enak sih..., Apalagi sama sambel..., Kok ngebayangin jadi paper ya...hahahaha, pengen juga nyoba buat sendiri..

    BalasHapus
    Balasan
    1. coba aja mbak Nov....ntar aku icip icip yaaa :)

      Hapus
  2. nah emang iya enaknya ditumbuk aja jadi satu semua bahannya, langsung cemplung deh..
    enak lagi kasih tambahan ikan sale .. nyam..nyam

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahaha,...kedatangan boru siregar nih. Jelas sudah fasiiiih masak sayur ini yak :)

      Hapus
  3. kalo daun ubi di tumbuk baru tau kali ini, kalo di rebus mah makan juga udah sering, patut dicoba!!

    BalasHapus
  4. wah ini sebagai urang sunda baru tahu olahan daun ubi tumbuk mba:) semoga bisa jumpa y mba jadi bisa cicipin ni resep :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. mudah tu mbak kalau di sunda...kan juga gampang nemu honje dan cepokak :)

      Hapus

Terima kasih atas kunjungannya. Mohon tidak meninggalkan link hidup dalam komentar ya :)