Rantangan oh Rantangan

Hasil gambar untuk rantangan masakan medan
foto ilustrasi, pinjam dari www.kateringmedan.com
Minggu ini, apa yang saya pikirkan beberapa waktu belakangan akhirnya terlaksana. Bukan suatu rencana besar nan penting, melainkan cuma soal rantangan. Yeiih.. bukan rencana besar dan bukan rencana penting tapi mikirnya lama. Timbang sana-sini pakai macam-macam timbangan, dari timbangan gantung sampai timbangan elektrik.... (apaan seeeh? Hehehe)






Berawal dari kebutuhan untuk mengurangi item pekerjaan rumah tangga. Sesama emak-emak, pasti paham lah ya, bagaimana kerjaan emak-emak itu seperti enggak ada habisnya. Kalau nggak percaya, silakan saja survey emak-emak dengan jumlah responden semaksimal mungkin ^_^

Waktu tinggal di Pematangsiantar, lumayan banget ada Si Mbah yang cuci-gosok dan bersih-bersih rumah. Datangnya pagi dan sore. Saya cuma perlu masak, cuci piring, dan ngurus bocah. Pun saat itu, Ale masih TK dan Elo masih banyak tidurnya. Mas J juga sering ke luar kota. Pokoknya masih ada lah waktu buat me-time.

Berhubung sekarang semua di-handle sendiri, jadilah semua waktu rasanya tersita untuk tetek-bengek urusan rumah tangga. Pun sekarang Ale sudah kelas satu SD dan Elo sudah dua tahun (tidur siang cuma sekali). Tugas merangkap-rangkap, antara lain tukang masak, tukang cuci-setrika, tukang ojeg, guru privat, baby sitter (dan lain-lain yang tak perlu  disebutkan 😃😃😃).

Bisa sih bisa, tapi rasanya jadi nggak ada waktu untuk diri sendiri, untuk me time. Sebenarnya kerjaan rumah itu simpel. Tapi jadi nggak simpel kalau kita nggak bisa konsen ngerjain karena selalu ditarik-tarik si kecil untuk menemani main. Di sisi lain, saya nggak mau ngasih gadget ke bocah hanya demi dia anteng sementara kita bisa konsen pada kerjaan. Di sisi lainnya lagi, saya juga pengin punya waktu untuk diri sendiri. Minimal, saat bocah tidur, saya bisa konsen baca buku, nonton film, update blog, atau menulis buku yang sejauh ini masih berupa kerangka saja (hiks). Yang terjadi saat ini, saat bocah melek, saya nggak bisa fokus urus pekerjaan rumah tangga, Saat mereka tidur, saya  harus cepat-cepat merampungkan pekerjaan rumah. Dan nanti, saat malam, saya sudah kecapekan.

Hellooo... saya juga manusia yang butuh waktu untuk diri sendiri. Waktu untuk re-charge setelah memberikan diri sepenuhnya untuk anak-anak dan suami #tsaaaah.

Lagipula, kredo saya adalah “Supermom Is Dead” (terima kasih untuk grup musik Superman Is Dead yang namanya mengilhami). Tak perlulah jadi supermom yang bisa melaksanakan segala urusan rumah, suami, dan anak-anak jika itu ternyata menyedot seluruh energi seorang ibu dan menjadikannya layu (perhatikan kata yang di-bold). Mungkin ini sindrom yang sering melanda perempuan. Tuntutan eksternal yang saking halus merasuk akhirnya menjelma menjadi tuntutan internal. Sebagai seorang ibu harus bisa melakukan segala-segala. Pendek kata merasa harus menjadi superwife dan supermom.

Saya sudah angkat tangan dulu deh. Hihihi..cemen atau rasional?

Nah, di Medan ini, saya memutuskan untuk nggak pakai asisten rumah tangga lagi. Takut nggak cocok, sementara saya orangnya nggak enakan kalau nanti mesti berhentikan dia. 

Awalnya, saya memutuskan untuk mengurangi pekerjaan cuci-gosok dengan cara mendelegasikan ke laundry kiloan. Tapi rupanya ribet soal antar jemput pakaian. Juga baju yang jadi bolong-bolong kecil karena pemasangan label nama.

Jadilah mencuci dan setrika kembali jadi urusan rumah. Pikir-pikir, apa ya kerjaan yang bisa dikurangi? Pilihan jatuh ke urusan makan. Aslinya juga karena saya memang nggak hobi masak. Kalau pakai rantangan, segala keribetan memasak, mulai dari belanja hingga mencuci perkakas akan terminimalisasi. Paling-paling saya cuma perlu menyiapkan makanan bagi bocah-bocah karena saya yakin menu rantangan bakalan nggak cocok buat lidah mereka.

Tapi sungguh, meski sudah menjatuhkan pilihan, tapi eksekusinya tak bisa segera. Sewaktu di Siantar, saya pernah pakai rantangan. Tapi saya nggak selalu cocok dengan masakannya. Sehari-dua hari masih oke, tapi lama-lama bosan juga makanan masakan luar. Padahal, bayar harus sebulan full. Dan kalau kami pergi keluar kota, tidak ada diskon untuk periode hari selama pergi. Rugi bandar 😁😁😁😁

Jadilah, sebelum memutuskan untuk langganan rantangan, saya sesekali beli masakan di warung (yang mana sebagian besar warung melayani rantangan). Saya sampai mencoba-coba beberapa warung untuk menemukan yang cocok. Tapi rupanya enggak ketemu. (Mungkin memang lidahnya yang susah kompromi). 

Pun urusan beli makan ini pun kadang ribet karena belinya sekalian saat menjemput Ale sekolah, yang mana saya sudah ribet membawa duo bocil dan bawaan-bawaan anak sekolah. Mau keluar khusus buat beli makanan kok males... Beda kalau rantangan, delivery, nggak perlu repot keluar rumah. 

Tapi ya sudahlah, memang sulit untuk mendapatkan situasi yang “sempurna”. Akhirnya, tiga hari lalu, saya memutuskan untuk pesan rantangan ke tetangga. Keputusan saya ambil setelah dua hari sebelumnya si tetangga ini bikin pesta ulang tahun dengan hidangan buatan dapur sendiri. Hmmmmh...kayaknya sih rasanya lumayan cocok. 

Jadilah saya mulai rantangan. Saya pilih rantangan ini karena bisa suka-suka kapan dan berapa lama pesannya. Bisa harian, mingguan, atau bulanan. Nggak dipatok bayar sebulan seperti kebanyakan jasa rantangan. Jadi di awal ini, saya pesan hanya untuk tiga hari dulu. Pas hari H, harap-harap cemas (hahaha, kayak  nunggu pacar yang datang-datang aja). Gimana nih masakannya, cocok nggak sama lidah. Bagaimanapun, enak nggak enaknya makanan itu kan sering relatif. Enak buat saya, belum tentu buat orang lain. Dan sebaliknya.

Tiga hari ini, lumayan lah...baik dari segi rasa maupun kuantitas. Not bad. Sepadan sama harganya. Suami juga nggak protes ketika makan malam kembali menghadapi masakan luar, bukan masakan istrinya. Tapi justru saya sendiri yang rasa-rasanya nggak bakalan sanggup kalau setiap hari mesti makan menu rantangan. Mungkin ke depan, saya tinggal atur, dalam seminggu berapa hari rantang dan berapa hari masak sendiri. Bukan situasi yang sempurna. Tapi untuk beberapa situasi, memang  perlu ada kompromi.  

Posting Komentar untuk "Rantangan oh Rantangan"