Mantan Sebelum Jadian





Ketemu kalimat judul dari pemberitaan rangkaian bunga untuk Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok beberapa waktu lalu. Duuuh, pas betul dengan yang barusan saya alami. Ini bukan soal pilkada, atau cinta-cintaan antar anak-manusia. Tapi soal jodoh-jodohan dengan (bakal) rumah.

Seperti saya kisahkan di sini (Jodohku, Kapan kan Ketemu), bahkan hingga saat ini kami belum berjodoh dengan yang namanya "rumah milik pribadi" alias masih berstatus kontraktor (ngontrak rumah). Dan saya ceritakan di sini (Alkisah Nama-nama Perumahan), kami sudah berupaya blusukan seputar Medan untuk mencari-cari perumahan. Hasilnya : sampai sekarang belum ada keputusan final. Posisi kerja suami yang pindah-pindah kota, itu faktor besar yang bikin kami maju-mundur soal rumah. 


Sebenarnya sih, kemarin-kemarin saya sudah punya gebetan bakal rumah. Lokasinya memang minggirrrrr, secara administratif sudah nggak masuk Kota Medan melainkan Kabupaten Deli Serdang. Sejatinya ini bukan hasil blusukan yang sekarang. Tapi justru hasil lihat-lihat periode duluuu, sebelum kami pindah ke Medan. 

Sejak pandangan pertama, saya sudah jatuh cinta dengan perumahan itu. Ya siiih, memang lumayan jauh dari pusat kota. Kalaulah itu bisa dibilang poin minus, buat saya tertutupi oleh beberapa poin plusnya. Meski di pinggiran, akses ke pasar dan keramaian nggak terlalu jauh. Kompleknya terbilang luas, sehingga saya membayangkan Ale dan Elo bisa leluasa bermain sepeda di jalan-jalan dalam perumahan. Letaknya di bukit sehingga bisa melihat hamparan persawahan dan perbukitan yang fresh di mata. Mungkin karena saya berasal dari kampung, sampai sekarang saya suka rumah mewah alias "mepet sawah" ^_^.  Pokoknya kalau dari segi posisi dan kondisi perumahan, saya sudah oke-oce.

Tapi, waktu itu si ayah belum sepakat. Dia merasa, letak perumahan cukup jauh dari kantornya. Si ayah juga menimbang ketersediaan dana. Kalau ambil rumah ini, dana yang tersedia hanya cukup buat uang muka. Selebihnya, kami harus ambil Kredit Pemilikan Rumah alias KPR. Sementara si ayah masih punya idealisme untuk tidak terlibat utang, meski itu utang berjudul KPR.

Hhhmmm, ya siiih, saya juga mauuuuu ambil rumah tanpa KPR. Cash bertahap maupun cash keras, pokoknya judulnya bayar cash!!! Tapi tapi tapi, lihatlah keuangan kita. Untuk rumah dengan lokasi dan tipe yang kita mau, serasa impossible kalau tak KPR (tampak ya kalau kurang beriman, meski itu iman sebesar biji sesawi hihihi). Lagi pula, buanyaak keluarga juga ambil KPR. Bahkan, ada seorang teman kerja si ayah yang menyarankan, ambillah KPR dengan tenor maksimal. Toh, KPR itu kredit dengan bunga yang tergolong ringan dibandingkan kredit jenis lain. 

Beda sih dengan pikiran kami. Kalau memang harus ambil KPR, sebisa mungkin ambil tenor seminimalal mungkin supaya masih terkejar kenaikan nilai tunainya. Pertimbangannya apalagi kalau bukan karena kemungkinan pindah tempat tugas. Kalaupun beli rumah di sini, kemungkinan besar akan kami jual seiring kepindahan tempat tugas (dengan catatan : kalau pindah ^_^).

Dalam perkara ini, saya berpendapat kalau lebih cepat  lebih baik. Sebaliknya si ayah bersikap seperti “belanda masih jauh”. Toh kontrakan kami sekarang (yang ditanggung kantor) masih setahun lagi. Suami-istri belum klop. Jadi begitulah, meski saya sudah merasa oke-oce, meski saya sudah beberapa kali kontak dengan staf marketing, meski kami berdua sudah bikin simulasi kredit, toh tetap belum ada keputusan. Gemezzzz deh rasanya... Tiap bicara rumah, suhu emosi jadi naik. Hedeeeeh... Dalam situasi ini, saya hanya bisa berdoa, Tuhan kalau rumah itu memang bukan buat kami, tolong tunjukkanlah.

Ternyata, tak lama kemudian, kami bisa sepakat membuat keputusan untuk mengalihkan dana persiapan uang muka rumah ke investasi lain. Kalau soal rumah diskusi kami terbilang alot, soal yang ini malah meluncur begitu saja.  Mungkin karena ada campur tangan emak (ibu saya) saya juga sih hahaha. Ya sudah, meski mungkin bukan keputusan yang sempurna, saya yakini hal ini sebagai jawaban doa.

Uniknya, setelah uang berpindah tangan, si ayah malah tampak cenderung setuju untuk ambil rumah itu meski harus pakai KPR dengan tenor cukup lama. Sebaliknya, hati saya sudah ikhlas untuk tak lagi memperjuangkannya. Beberapa hari lalu, kami jalan-jalan melewati perumahan itu. Untuk beberapa detik saya teringat impian indah tinggal di sana. Impian yang sudah pupus sebelum berkembang #eaaaaaa.

Entahlah. Secara hitungan matematika manusia, sudah sulit bagi kami untuk memiliki rumah itu tanpa tenor kredit yang lama. Tapi who knows what could happen, kata Avril Lavigne. Saya tak berharap sih. Tapi siapa tahu ada keajaiban yang nanti terjadi. Kalaupun tidak, saya sudah sudah merelakan tempat itu menjadi mantan sebelum jadian.   

Dengan ☺☺☺☺☺, saya bisa bilang : babay--dadah.....

Salam

  

Posting Komentar untuk "Mantan Sebelum Jadian"