I’m leaving on a jet plane
Don’t know when I’ll be back again
Oh babe, I hate to go
(Leaving on a Jet Plane)
Pagi menjelang siang kami sekeluarga tiba di Bandara Juanda, Surabaya. Bukan di ayah atau aku yang terbang, tapi si sulung Ale. Jadi, sebenarnya cerita lagu itu tidak sesuai dengan keadaan. Apalagi, yang mau terbang juga tidak ‘hate to go’. Sebaliknya, dia sangat excited dengan rencana perjalanan hari itu.
Memang, cerita lagunya tak selaras, tapi bagiku suasana melow di lagu itu cukup pas. Ya, berkebalikan dengan semangat yang mau berangkat, saat itu aku justru melow tapi juga excited. Melow mixed excited… dua rasa berseberangan yang teraduk dalam satu waktu.
Bagaimana tidak melow mixed excited kalau hari itu, anakku yang masih a-be-ge akan terbang sendirian untuk pertama kalinya! Ya, pertama kalinya.
Tentu saja bukan berarti benar-benar sendirian tanpa penumpang lainnya. Aku memperjelas karena kalimat serupa bisa jadi akan berbeda makna. Di keluarga pilot,kalimat itu bisa jadi berarti pertama kali menerbangkan pesawat. Sedangkan yang aku maksud adalah terbang sebagai penumpang tanpa ayah, bunda, dan adiknya. Ia akan terbang dari Surabaya ke Makassar demi rindu pada teman-temannya.
Jelas saja, aku turut excited untuk pengalaman perdananya ini. Tapi, wajar juga kan kalau aku mellow. Walaupun dia sudah berkali-kali menumpang pesawat, tapi baru kali ini dia pergi sendiri.
Sudah bertumbuh sejauh itu kau, Nak?
Aku melihat semangat dalam binar mata yang dia samarkan dalam gestur ‘biasa saja’. Dasar anak cowok…sok cool. Padahal, berminggu-minggu ia berjuang meyakinkan kami (ayah dan bundanya) untuk terbang sendiri ke Makassar. Upaya keras yang akhirnya membuahkan hasil.
***
Ada suatu peristiwa terkait terbang yang selalu aku ingat. Saat itu, kami masih tinggal di Pematangsiantar, Sumatera Utara dan si adik (Elo) belum lahir. Mungkin 2011 atau 2012, di antara dua itu. Kami mudik ke Jawa bertiga. Waktu cuti yang terbatas membuat si ayah kembali ke Siantar lebih dulu.
Aku dan Ale menyusul beberapa waktu kemudian. Saat itu, belum ada penerbangan langsung dari Jogja - Medan dan sebaliknya. Terbang di rute ini harus transit di Cengkareng atau di Batam. Aku memilih penerbangan lewat Cengkareng. Selepas mendarat dari Jogja, bocah itu masih tenang. Bahkan ia bermain dengan ceria di ruang tunggu penerbangan ke Medan.
Namun, cerianya hilang sesaat setelah kami masuk pesawat. Entah mengapa, tiba-tiba ia tantrum tak mau terbang. Dalam teriak bercampur tangis, ia minta turun dari pesawat. Ia masih terlalu kecil untuk mengutarakan alasannya dengan kata-kata yang jelas. Ia hanya menangis keras tiap aku ajak duduk. Tangisnya sedikit berkurang jika digendong sambil berdiri. Alhasil aku terus berdiri di saat penumpang lain sudah diarahkan ke kursi masing-masing.
Itu terjadi dari masuk pesawat hingga pramugari selesai memperagakan aturan keselamatan. Sepanjang ituuuuu…. Ale tak mau duduk. Saat itu, aku belum lama menjadi ibu. Aku cemas dengan tangisan anakku, sekaligus kikuk karena MERASA pandangan semua penumpang terarah padaku.
Ya ampuun, aku berkaca-kaca menceritakan pengalaman ini. Sebuah pengalaman yang membuatku selalu berempati pada orangtua dengan anak rewel di dalam moda transportasi umum.
***
Kami bukan keluarga yang bisa sering travelling kesana-kemari naik pesawat. Namun, setidaknya setahun sekali kami pasti terbang untuk mudik ke kampung halaman. Ale sudah cukup paham tata-cara terbang, mulai dari check in, duduk dalam pesawat, hingga turun dan keluar dari bandara. Namun, aku tak menyangka kalau secepat ini dia akan terbang sendirian.
Pasti banyak anak lain yang terbang lebih dini dan lebih jauh. Namun, buatku, Ale tetap terasa secepat itu. Setidaknya, jauh lebih cepat jika dibandingkan ayah-ibunya yang terbang sendiri pertama kali di usia dua-puluhan. Apalagi, menumpang pesawat bukan melulu urusan usia. Faktanya, tak semua orang mampu atau mau/berani naik moda transportasi yang satu ini.
Anak ini terbang karena sebuah janji. Janji pada teman-temannya sebelum ia pergi, pindah dari Makassar ke Kediri. Janji bahwa ia akan datang saat (bekas) kelasnya bertanding melawan kelas lain di acara class-meeting. Buat dia, menepati janji tersebut adalah penting.
***
Saat Ale mengutarakan keinginan untuk pergi ke Makassar sendirian, aku dan suami tidak langsung mengiyakan. Selain belum yakin melepas dia sendirian, kami juga belum tahu detail tata cara penerbangan anak tanpa pendamping. Di saat kami masih beralasan itu-ini, si Ale browsing sendiri tentang cara anak terbang sendiri. Intinya, secara teknis, tak ada hambatan untuk dia pergi.
Memang yaaa…zaman informasi bisa dicari semudah ini. Mau berkelit bagaimana lagi?
Ale ingin terbang di masa classmeeting (sebelum libur). Jadi, kami menekankan pada Ale supaya ia membereskan semua urusan di sekolahnya saat ini. Saat itu Ale baru selesai ujian dan masih ada agenda outing keluar. Mana tahu masih ada remidial dan lain-lainnya. Di sini, kami menekankan tanggung-jawab yang tidak boleh ditinggal begitu saja.
Ale pun belajar mencocokkan tanggal, menghubungi guru, dan lain sebagainya. Ya memang harus begitu kan? Buat aku yang sempat memilih belajar homeschooling buat anak-anak, moment pergi sendiri ini adalah BELAJAR.
***
Aku memang pernah membaca artikel tentang anak terbang sendirian menggunakan maskapai Garuda. Di sana diceritakan kalau nanti si anak akan mendapat pendampingan khusus dari awak pesawat. Tentu saja, sejak sebelum terbang, orangtua/wali anak sudah harus koordinasi dengan pihak maskapai. Tapi, kalaupun jadi pergi, aku jelas nggak akan beli tiket Garuda hahaha. Bukan nggak nasionalis, ini murni urusan budget.
Aku pun mengirim email terkait anak terbang sendiri ke agen tiket online, yaitu Traveloka. Dapat balasan, kalau di beberapa maskapai (nggak aku sebutkan di sini ya..males cek email hihihi) anak usia 14 tahun sudah dianggap penumpang dewasa. Jadi, tidak perlu prosedur khusus untuk terbang sendiri di usia itu.
Dan memang, urusan membeli tiket online tidak ada kendala. Saat mudik, aku sering beli tiket di Traveloka, jadi data Ale sudah terinput di sana. Mungkin karena itu, tidak ada permintaan pengisian data pribadi lagi. Sedangkan untuk masuk ke bandara, Ale yang belum punya KTP dan KIA, kami bekali fotokopi KK, fotokopi paspor, dan kartu pelajar. Mending jaga-jaga daripada terjadi hambatan.
Oh ya, kami juga memastikan rencana Ale selama di Makassar. Selama di sana, dia akan menginap di rumah sahabatnya, Kai. Hari-hari itu, aku menjalin kontak dengan Mama Kai. Haha, payah, dulu saat masih tinggal di sana, aku tidak kenalan langsung dengan beliau. Terima kasiiiiiih Kai dan papa-mama Kai.
Menjelang hari H, kami meminta Ale membuat list barang-barang yang hendak dibawa. Kami juga meminta dia packing barang-barangnya sendiri. Puji Tuhan, semua beres. Hingga kemudian, tiba hari yang aku ceritakan di awal.
Ale menghabiskan waktu enam hari di Makassar. Dag-dig-dug lagi saat dia pulang. Maklum, aku pernah lho ketinggalan pesawat gara-gara ketiduran di bandara. Cerita konyol yang sudah aku ceritakan berulang-ulang. Puji Tuhan, perjalanan pulang juga lancar. Hari itu, hanya si ayah yang menjemput ke bandara.
Sebagai seorang ibu, aku mencatat hal ini sebagai milestone. Dulu, milestone-nya adalah “pertama kali tumbuh gigi, pertama kali merangkak, pertama kali berjalan, pertama kali mengucapkan kata, dst…..”. Sedangkan hari itu, milestone-nya adalah menumpang pesawat tanpa keluarga. Suatu hal yang kelak mungkin akan jadi hal biasa.
Sebab itu, pengalaman pertama harus aku awetkan dalam tulisan.
Ponakanku badannya bongsor, usia 12 tahun tapi pasti nggak keliatan bocah saking gedenya. Pas mudik terpaksa pulang duluan ya tetap aku prosedurin anak-anak hehe, isi form pendampingan sampai Mamanya ketemu jemput ditemani hehe
BalasHapusTenang mbaaa, selalu ada yang pertama untuk segala hal. Dan yah, sekarang waktunya buat mas Ale. Kalau dia aja seyakin itu, seharusnya kita yang melepaskan bisa lebih yakin memebrikan kepercayaan. Dan mendoakan keselamatannya tentu saja. Jadi inget juga hari pertama melepas anak2 ke sekolah, gimana dag dig dug-nya hehe.
BalasHapusSesuatu rasanya baca cerita terbang sendiri, pastinya bakalan menjadi kenangan dan kebanggaan tersendiri buat Ale dan ortunya ya. Memberikan kepercayaan pada si anak dan yakin bisa, meski rassanya sebagai ibu tuh, gimana gitu melepaskan terbang sendiri.
BalasHapusKelak, bakalan senyum2 sendiri baca cerita ini lagii kalo Ale atau emaknya baca.
Hebaatt, mas Ale...
BalasHapusSatu langkah lagi yang membuktikan bahwa anak-anak telah bertumbuh dengan baik dan belajar mandiri.
Semoga langkah demi langkah menghantarkan ananda menjadi pribadi yang dewasa, mandiri, penuh tanggung Jawab dan problem solver yang baik.
Keren Bang Ale sudah berani dan mantap untuk bepergian di usia seperti itu. Tetap semangat Kak Lisdha, karena mungkin sudah jalannya, dan semoga selalu dalam lindungan-NYA
BalasHapusWow, keren sih Bang Ale ini. Untuk pertama kalinya terbang sendiri, langsung jauh pula ke Makassar. Menjadi pengalaman yang sangat berharga ya, Mba. Semoga nantinya juga terbiasa terbang sendiri, terus hati mamanya tenang gak melo lagi.
BalasHapus14 tahun naik pesawat sendiri dan langsung ke luar pulau, menurut aku keren sih. aku yang sudah emak2 aja mau keluar kota selalu banyak mikir, mungkin karena ortuku dulu dikit2 melarang dan nggak pernah ngizinin bepergian sendirian.
BalasHapusWah dari yang dulu nangis kalau naik pesawat sekarang jadi berani naik pesawat sendiri ya Mba, keren -keren jadi nanti pas remaja atau dewasa udah siap sapa tau bisa kuliah ke luar negeri yang mau gak mau ya kudu berangkat sendiri
BalasHapusWah hebat kakak ale usia berapa mba? Hebat ih sudah berani dan mandiri naik pesawat sendiri, mungkin karena udah terbiasa dari kecil ya mba
BalasHapusGak kerasa ya kak anak tiba2 tumbuh besar dan berani pergi sendiri apalagi jaraknya lumayan jauh dan naik pesawat pula semoga pengalaman ini juga menjadi terkesan bagi uwan
BalasHapusBener sih ini anaknya yang excited tapi mamahnya yang ketar-ketir melepas terbang perdananya kakak
BalasHapusWah keren banget nih Kak Ale bisa terbang sendirian. Aku aja kayaknya masih takut-takut,sebab selama ini belom pernah terbang sendirian kayak begitu. Pastinya exciting ya Mbak. Tapi memang, kemandirian kayak begini harus dibiasakan. Siapa tahu nanti malah kuliah di luar negeri yang mengharuskan banyak sering terbang sendiri. Jadi inget pangalaman temenku yang melepas anaknya terbang sendiri, sewaktu SMP. Jadi temenku tinggal di Jepang, sementara anaknya sekolah di SMP boarding di Indonesia. Awalnya iya takut-takut melepas terbang sendiri. Lama-lama jadi terbiasa. Anak-anak kita memang banyak sisi yang mengejutkan ya. Kita khawatir, eh mereka ternyata fine-fine aja.
BalasHapusWah aku bisa ngebayangin nih mbak gimana degdegannya melepas Anak kita terbang sendirian. Lha wong dia sepedaan sendirian aja kepikiran apalagi terbang sendiri pasti kepikiran banget yaa
BalasHapus