My First Baking

Namanya ilmu, kalau tak pernah diamalkan bisa hilang dari ingatan maupun tindakan. Itu yang terjadi pada ilmu memasak saya. Dulu sih ceritanya sekolah di STM Pembangunan (sekarang SMK Negeri 1) Temanggung jurusan teknologi hasil pertanian. Salah satu mata pelajarannya adalah Pengolahan Hasil Pertanian (PHP) yang isinya teori dan praktik. Komplet mulai dari sayuran-sayuran, biji-bijian, hingga daging-dagingan. Dari bikin tempe, sari buah, cake, sampai rendang kalengan.

Dulu asik deh, kalau pas praktik PHP, bisa icip-icip. Bahkan waktu kelas satu, kami makan bersama seusai praktik bikin ikan asin. Setiap murid wajib bawa nasi putih (boleh juga bawa sambal dan sayur) dari rumah. Setelah selesai pengambilan data untuk laporan, ikan asin digoreng buat makan ramai-ramai. Kayaknya itu ikan asin dengan memori rasa ter-maknyuss hingga saat ini hihihi. Di kelas dua hingga empat (iya lho..kami sampai kelas empat), kebanyakan hasil praktik PHP kami jual (karena kami harus mengembalikan modal bahan ke sekolah ^_^).

Lulus sekolah di situ, saya kuliah di jurusan yang berbeda, lalu bekerja di bidang yang lebih berbeda lagi. Sebagai anak kost, lebih sering "makan terbang" alias makan di warung. Pernah sih masak bareng beberapa teman satu kost untuk mengirit biaya. Tapi itu pun masak yang mudah-mudah saja. Dasarnya pun saya memang nggak hobi masak. Praktis, ilmu PHP yang dulu saya pelajari jarang (bahkan nyaris tak pernah) saya terapkan.

Tetiba jadi ibu rumah tangga, saya juga belum hobi masak. Tetap masak sih, karena pernah coba catering ternyata bosen dengan menunya yang muternya itu-itu saja.  Sesekali saya coba-coba resep di internet, tapi ya sekedaran saja. Palingan juga masak sayur dan lauk buat makan.  Sesekali kudapan yang mudah-mudah semacam pisang goreng atau singkong keju.  Kalau ke toko perabot, nggak pernah deh mupeng ini-itu piranti dapur seperti halnya orang yang hobi masak.  Terlebih, dulu Al termasuk anak yang malas makan. Bukannya saya termotivasi untuk belajar variasi makanan biar dia suka, eh malah saya jadi malas nyoba-nyoba. Habis  coba bikin ini itu jatuhnya nggak dimakan (bukan ibu teladan :D)

Tapi apa sih yang nggak berubah di dunia ini? #PertanyaanKlasik

Al mulai sekolah TK dan wajib bawa bekal. Bukan full day school, jadi tak perlu bawa nasi -si bocah juga memang nggak mau bawa nasi. Mau dihias ala-ala bento pun, Al tetap tak mau. Dia sih enggak protes dengan bekalnya yang itu-itu saja (seperti roti bakar, pancake, dan burger ala-ala).  Tapi malah saya yang bosen. Jadi deh mulai kepikir, keknya (sepertinya) asik juga kalau ada variasi seperti schotel, pizza, atau muffin.

Mulau deh browsing resep-resep yang sepraktis mungkin. Cari yang praktis karena jujur saya belum pede kalau pakai resep yang rumit. Dan berbahagialah emak-emak di masa sekarang. Yang nggak perlu koleksi buku masakan, nggak harus (malu-malu atau sungkan) nanya tetangga. Cukup tanya pada google atau mesin pencari lainnya. Berbahagialah emak-emak sekarang karena banyak orang mau berbagi resep dari yang simpel sampai yang kompleks. Saya yang nggak hobi masak ini merasa takjub pada aneka resep dengan embel-embel "anti gagal" atau "malas", semisal pancake anti gagal atau brownies malas. Terpesona juga pada resep-resep dengan bahan dan alat minimalis, misal xxx (nama masakan) No telur, No mixer. Eh...bisa toh gitu? Hahaha, kemana aja saya selama ini? Baru tahu yang kayak-kayak gitu :D.

Karena belum punya oven, jadi deh kemarin-kemarin coba-coba yang serba kukus atau pakai teflon. Tak selalu berhasil. Namanya juga new bie. Tapi jadi semangat karena walaupun gagal, si bocah dan misua tetap mau menyantapnya. Seperti beberapa minggu lalu, coba-coba bikin bolu pakai magic com. Hasilnya, bantat dan agak gosong. Tapi langsung ludes dimakan Al dan dua temannya yang saat itu lagi di rumah.

Jadi deh mulai mupeng sama yang namanya oven. Oven listrik biar praktis, nggak ribet soal suhu dan waktu masak. Puji Tuhan, minggu kemarin keinginan ini kesampaian. Dari hasil browsing dan tanya-tanya teman, untuk pemula dan level dapur pribadi, banyakan merekomendasikan merk Kirin. Tapi karena ke beberapa toko tak ada merk Kirin, jatuhnya jadi beli merk lain.

Pagi tadi ceritanya first trial pakai oven itu dengan membikin muffin coklat (tetap deh pilih simple recipe). Pagi-pagi betul, sebelum Al dan El bangun. Karena kalau El sudah bangun, alamat dia mau ikut "bantuin". Bukannya jadi kue malah jadi entah. Rasa-rasanya sih sudah baca buku panduan pemakaian,  tapi karena nervous (halah, kayak pentas aja :D), jadinya malah salah setting. Petunjuk di resep berupa penggunaan api atas dan bawah terabaikan dan cuma setel api atas dengan setting waktu 20 menit.

Oven bunyi "ting" pertanda timer sudah sampai angka nol lagi. Dengan bangga mengambil si muffin yang lumayan mengembang. Tes tusuk gigi, eh rupanya bagian bawah masih belum masak. Baru sadar kalo cuma pakai api atas. Fiuuuh...jadi deh panasin lagi 15 menit. Beberapa saat baru sadar lagi kalau tadi malah pake api atas dan api bawah, padahal cuma mau matengin yang bawah. Segera matikan api atas, tapi bagian atas muffin telanjur agak gosong :D. 

Entah akan ada cerita error trial apa lagi di dapur ini. Tapi  pengalaman  pengalaman pertama wajib didokumentasikan (plok plok plok *tepuk tangan sendiri*). Trial and error itu biasa (etapi jangan dibiasakan hahaha). Setidaknya mulai menemukan kesenangan memasak buat keluarga kecil ini. Walau itu hanya resep-resep biasa dan sederhana.



Penampakan muffin gosong






Posting Komentar untuk "My First Baking"