Desperate Housewife

Apa yang aku prediksi jauh hari akhirnya kejadian juga. Belum lama aku menulis tentang kemungkinan jenuh, eh hari-hari ini kemungkinan itu sudah menjelma kenyataan. Perasaan menikmati "cuti panjang" sudah berlalu dan kini berganti dengan bosan yang sangat. Situasi belum memiliki bayi membuat pekerjaan domestik begitu cepat terselesaikan. Sementara, lebur dengan komunitas ibu-ibu belumlah nyaman. Lingkungan yang sama sekali baru juga membuatku belum punya banyak teman (sampai-sampai curhat pun di blog :D)

Mestinya memang banyak waktu luang yang bisa dimanfaatkan sebagai waktu produktif (of course for writing). Tapi ironisnya, situasi seperti ini justru enggak kondusif untuk produktif. Otak sepertinya beku. Temanku yang wartawan BOLA mengumpamakan kondisi ini sebagai “pemain yang mesti duduk di bench”. Sementara aku mengibaratkan sebagai Xena (The Princess Warrior) yang pedangnya (di)hilang(kan) atau Srikandi yang panahnya dilelang (hahahahha…lebay mode-on).

Situasi ini memang sudah kuprediksikan. Tapi toh, tetep saja aku gagap menjalaninya. Apakah aku sudah masuk golongan Desperate Housewives? Hahahhaha, ketika teringat serial film ini aku malah jadi tertawa. Aku memang bukan penggemar yang selalu nongkrongin tivi ketika film itu tayang. Tapi dari judulnya, dah ketebak deh inti ceritanya.

Nggak apa-apalah kalau tempatku berpijak saat ini merupakan "Desperate Housewives Street". Tapi jangan sampai aku berjalan terus menapaki "Desperate Housewives Street" ini dan akhirnya desperate beneran.

Situasi ini memang merupakan tekanan bagiku. Tapi bukankah “pressure is a privilege”? (Ini judul buku yang tadi aku lihat di Oprah Show). Memaknai “pressure as a privilege” bisa membantuku untuk melihat situasi ini dengan cara yang berbeda. Ini hanya satu fase hidup, tidak ubahnya seperti jatuh saat belajar berjalan, dapat nilai jelek ketika mulai sekolah, atau patah hati saat mencoba menjalin percintaan.

Satu hal, mau nggak mau kegelisahan ibu rumah tangga semacam ini akhirnya bermuara pada masalah perempuan yang lebih luas. Ini memang bukan perkara baru. Ini problem usang yang sudah mendera buuuanyak housewives di muka bumi ini. Ini adalah risiko dari emansipasi setengah hati. Emansipasi untuk perempuan yang tidak didukung situasi yang feminin. Setelah “telanjur” menikmati kebebasan, posisi housewife yang berkelindan dengan situasi-situasi tertentu sering memaksa perempuan memasuki fase “kembali ke rumah”. Rumah memang sering diasosiasikan dengan kenyamanan. Tapi dalam situasi ini, rumah tidak lagi tempat yang 100 persen comfort. Rumah justru menjadi zona yang pelan-pelan melunturkan perasaan eksis.

Yaaah, berharap situasi yang berubah memang tidak mudah. Barangkali masih perlu beberapa generasi lagi agar perempuan tidak lagi perlu mengalami kontraksi psikologi semacam ini.

Tapi aku meyakini sebuah kalimat suci : ketuklah, maka pintu akan dibukakan. Itu berarti Tuhan sudah menyediakan situasi-situasi yang bagus di balik pintu. Sekarang pilihannya biner : knock the door or give up then desperate. Dan pastinya aku tidak mau menjadi bagian dari barisan Desperate Hosewives itu. Bukan bermaksud mengecilkan daya kalimat Wiji Tukul kalau aku meminjamnya dalam konteks ini. Untuk menghadapi desperate, hanya satu kata : Lawan!

Posting Komentar untuk "Desperate Housewife"