Apa kabar listrik di rumah teman-teman? Semoga tidak sedang oglangan. Kalaupun oglangan, ketika teman-teman bisa membaca tulisan ini berarti masih punya cadangan energi listrik di gawai.
Ada yang asing dengan kata oglangan? Haha, saya juga baru tahu setelah kuliah di Solo. Oglangan berarti mati listrik alias power off. Hihi, unik kan?
Hari gini, energi listrik memang sudah menjadi kebutuhan vital. Tak hanya di perkotaan, tapi juga sampai pelosok pedesaan. Mati listrik seharian saja sudah bikin kelabakan, ya nggak?
Saya berasal dari kampung. Saat kecil, saya masih mengalami situasi belum-ada-listrik. Penerangan saat malam masih mengandalkan lampu teplok berbahan bakar minyak tanah. Kalau mau terang extra, gunakan lampu petromaks (ini bisa sekalian untuk mengeringkan cucian saat musim hujan).Sampai-sampai ada lelucon yang belum bisa saya verifikasi
kebenarannya. Beberapa kecamatan di Temanggung, tempat asal saya, terkenal
sebagai penghasil tembakau. Pada masa itu, musim panen tembakau bisa membuat
petani menjadi “sultan” (pinjam istilah kekinian). Konon, saking banyaknya duit,
ada petani yang beli kulkas. Sama sekali bukan hal aneh untuk masa sekarang. Namun, untuk zaman itu, apalah gunanya
kulkas tanpa listrik?
Untuk tempat pakaian dong!! Kan sama-sama lemari hihihi.
Saya baru mengalami listrik masuk desa saat usia sekolah
dasar. Saya masih bisa mengingat denyar bahagia saat itu. Melihat bola lampu menyala
di rumah sendiri, sungguh suatu pengalaman extraordinary.
Sebab itu, saya memasukkan listrik sebagai salah satu hal yang harus saya syukuri secara eksplisit. Bagaimana tidak jika -seperti saya tulis di awal tadi- mati listrik seharian (atau malah beberapa jam saja) sudah bikin kelabakan.
Pada
Ale dan Elo yang sejak jebrol sudah “mengalami listrik,” saya sering menekankan perihal bersyukur tersebut.
Bagaimanapun, keberadaan listrik adalah berkat. Namun, tidak begitu saja
terberi. Tuhan memberi kekayaan sumber daya mentah. Lalu dengan anugrah kecerdasan, manusia bisa mengolahnya menjadi energi listrik.
Energi listrik sudah lama membersamai kehidupan bumi manusia. Untuk Indonesia, mengutip
laman kementrian ESDM, sejarah kelistrikan dimulai pada akhir abad ke-19
untuk skala sangat terbatas. Pada saat itu, beberapa perusahaan Belanda, antara
lain pabrik gula dan pabrik teh mendirikan pembangkit tenaga listrik untuk
keperluan sendiri. Sedangkan listrik untuk umum mulai ada pada saat perusahaan
swasta Belanda yaitu N V. Nign. Perusahaan ini semula bergerak di bidang gas,
kemudian memperluas usahanya di bidang kelistrikan.*
Pembangkit listrik banyak dioperasikan dengan bahan bakar fosil
karena biaya yang ekonomis. Namun, berjalannya waktu, penyediaan energi listrik
berhadapan dengan isu lingkungan dan keterbatasan sumber daya. Bagaimanapun, bahan bakar fosil lama kelamaan
akan habis dan juga mengakibatkan polusi. Pengembangan energi baru dan
terbarukan (EBT) menjadi keharusan untuk kelangsungan penyediaan listrik.
Terlebih perkembangan zaman juga ditandai dengan semakin
banyaknya kebutuhan listrik dalam kehidupan sehari-hari. Saat ini, sepertinya
hanya masyarakat adat tertentu, yang masih bertahan untuk tidak menggunakan
energi listrik. Dari waktu ke waktu, penyediaan energi listrik senantiasa
berkejaran dengan kebutuhan.**
Haha, kok udah panjang aja ya, padahal cuman mau nulis
prolog.
Intinya, saya mau mencatat sebagian perjalanan keluarga
di medio Februari 2021 ini. Saat ke Tana Toraja, kami sempat mampir ke
Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Sidrap. Hhhm, keinginan yang terwujud
setelah beberapa waktu sebelumnya bisa mampir ke PLTB Tolo di Jeneponto.
Baca : PLTB Jeneponto
Sama-sama berada di Sulawesi Selatan, PLTB Sidrap dibangun terlebih dulu dibandingkan PLTB Jeneponto. Bahkan, PLTB Sidrap merupakan pembangkit listrik tenaga angin pertama di Indonesia!!
Senyampang tinggal di Sulawesi Selatan,
sempatkan untuk mampir walau hanya sebentar. Kalau sudah pindah lagi ke daerah lain
(apalagi luar Sulawesi), melihat langsung PLTB ini bakalan jadi perjalanan
mahaaaal (yang mungkin jadi tidak dilakukan hehehe).
Baca : Pindah ke Sulawesi Selatan.
PLTB Sidrap terletak di Desa Mattirotasi dan Desa Lainungan, Kecamatan Watang Pulu, Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap). Sebelum mengajak saya dan anak-anak, BJ sudah pernah mampir ke sini. Jadi, bisa dibilang tinggal mengulang perjalanan, nggak perlu sibuk melihat peta.
Dari jalan poros Makassar
– Palopo, kincir-kincir PLTB tampak terlihat di kejauhan. Kami harus belok
kanan setelah kurang lebih tiga jam perjalanan dari Makassar. Ada papan penandanya kok :
Berbeda dengan PLTB Jeneponto yang terletak di dataran, PLTB
Sidrap berlokasi di perbukitan. Kami harus menyusur jalan yang naik-turun. Kondisi jalan sebagian aspal halus, sebagian lagi jalan keras
dengan kerikil di permukaan. Di kanan-kiri jalan adalah ladang bergantian
dengan perumahan.
Kendaraan kami berhenti di ruas jalan dekat bangunan besar dengan tulisan PLTB Sidrap pada dindingnya. Rupanya kami tak bisa mendekat ke menara kincir seperti di PLTB Jeneponto. Kami hanya bisa menatap kincir-kincir yang menjulang di puncak perbukitan. Total terdapat 30 kincir yang saat itu tidak semuanya berputar. “Sedang dalam perbaikan,” ujar seorang petugas yang cukup ramah menjawab pertanyaan-pertanyaan kami.
Terjawab sudah pertanyaan Ale dan Elo saat di perjalanan. Keduanya
sempat ribut menghitung jumlah kincir yang tidak bergerak dan bertanya-tanya,
kenapa ya???
Kincir-kincir PLTB Sidrap berdiri berjauhan dengan total
area mencapai 100 hektare. Untuk mencapai ke tiap-tiap kincir, dibangun jalur
jalan yang hanya terbuka untuk petugas dan masyarakat yang berkepentingan.
Sebagian lahan tempat berdiri kincir memang milik masyarakat. Selain untuk
bertani, lahan sekitar PLTB juga merupakan area untuk ternak warga sekitar.
Pantesan, dari tempat kendaraan kami parkir hingga pos bapak petugas, kami harus
hati-hati berjalan supaya tidak menginjak ranjau feses sapi hihihi.
“Di sini, area kincir di puncak bukit dibuka untuk umum
hanya pada waktu tertentu,” kata bapak petugas (saya segan menanyakan namanya
haha). Penyebabnya adalah kecepatan angin yang kadang berbahaya. “Saat sedang kencang-kencangnya,
kendaraan bisa terbalik,” kata bapak petugas. Pantas layak untuk dibangun PLTB
yaaa...
Berdiri di puncak bukit, turbin dengan ketinggian 80 meter terlihat
sangat menjulang. Jarak ketinggian yang menipu mata saya tentang ukuran bilah
kincirnya. Saya melihat dua bilah kincir yang sedang terparkir di dekat kantor
PLTB. Waadaaaw, ternyata sangaaaat besaaaar. Saat di PLTB Jeneponto dan bisa
melihat kincir tepat di tempat berdirinya, saya memang merasa ukuran bilah itu
besar. Namun, saya tidak berpikir kalau ternyata sebesar ituuuuu. Terbayang nggak sih gimana pembangunan konstruksi PLTB ini??
![]() |
bilah kincir, diameternya berapa ituuu... |
Mega proyek memang selalu bikin saya gedeg!
Gedeg (Jawa) : geleng kepala, bisa juga berarti heran/takjub.
Terlebih, ada rancangan pembangunan PLTB Sidrap tahap II atau
disebut juga PLTB Sidrap Ekspansi. Pada tahap II, akan digunakan teknologi yang
lebih canggih. Yakni turbin dilengkapi sistem baterai yang berfungsi untuk menyimpan
produksi listrik. Baterai ini digunakan saat ada gangguan daya produksi listrik
akibat kondisi angin yang berpotensi merusak jaringan.
Informasi
itu saya dapatkan dari membaca portal berita.*** Fakta di
lapangan, saya tidak tahu sudah mulai atau belum. Sebagai masyarakat
awam, saya hanya bisa mendukung proses pembangunan dengan doa dan membayar pajak😀😀. Etapi, PLTB ini proyek swasta sih.
Bagaimanapun, kebutuhan akan energi listrik adalah mutlak.
Semoga proyek listrik dengan EBT di berbagai daerah untuk mencapai target 23
persen dari total kebutuhan energi listrik nasional berjalan lancar. Bersih
proyeknya (dari aroma korupsi), bersih juga buminya (dari ancaman polusi). Semangat merdeka energi untuk Indonesia!!
-------------------------------------------------------------
https://www.esdm.go.id/id/media-center/arsip-berita/hut-ke-70-sejarah-hari-listrik-nasional
https://ebtke.esdm.go.id/post/2018/04/27/1945/menuju.rasio.elektrifikasi.99.persen.pada.2019
https://www.mongabay.co.id/2020/10/20/kejar-target-bauran-ebt-apa-yang-ditunggu-dari-ekspansi-pltb-sidrap-tahap-ii-bagian-2/
Seru banget agenda mampir sebentarnya mak.. Jadi dapat insight baru dan pengalaman menarik juga
ReplyDeletemampirnya sebentar tapi memantik keinginan untuk browsing hehehe
Deletewah jalan2 sambil edukasi, aku paling suka kalau jalan2 dapat bonus wawasan
ReplyDeleteiya bund. setelah punya anak mmg kalo jalan2 jadi selalu pengin ada muata edu-nya
Delete((OGLANGAN))
ReplyDeleteYa ampuuun mbaa. aku kok jadi kelingan sodara2ku yg di JaTeng
Rasa2 pernah denger istilah oglangan ini :D
Btw, aku selalu sukaaakk kalo ngikutin cerita perjalanan dirimu mbaaa
banyak pengetahuan/wawasan baru yg aku dapatkan.
Maturtengkyuuuu
duh makasiiih mbak nurul. Jadi booster menulis nih..
Deletebtw oglangan itu sepertinyabkhas solo dan sekitarnya sih ya. Soalnya di temanggung aku ga kenal kata oglangan
aku lahir dan besar di kota terus jadi alhamdulillah dapet fasilitas listrik yang memadai tapi dulu kalau weekend suka diajak ke rumah kakek didesa, disana belum ada listrik yang memadai, yang bisa punya listrik hanya orang yang benar-benar tepandang dan mampu seperti pak lurah dll, jadi dirumah kakek pasang lampu minyak, btw jalan-jalanmu unik nih mba ke PLTB,, jadi membuka wawasan baru.
ReplyDeletedan sampai sekarang(!!) masih ada desa-desa yang belum teraliri listrik.
DeleteJadi betapa beruntungnya kita ya kan mam mirna..
Wah, akhirnya setelah bisa singgah ke PLTB Jeneponto bisa berkunjung ke PLTB pertama di Indonesia, PLTB Sidrap.
ReplyDeleteDan akupun sama, Mbak lisdha, ada mega proyek gedeg-gedeg...
Terakhir lewat PLTU Paiton di Probolinggo, pas malem pula...kagum warbiyasa. Padahal masa kuliah sering lewat juga tapi teta kagum lihatnya
Setuju, Mbak..mumpun lagi di Sulsel mesti eksplor nih. Lebih hemat biaya daripada ntar dah pindah lagi hihihi
iyup betuul mbak.so far sudah komplit pltbnya. kalo yg di jogja kan hybrid angin dan surya ya?
Deletedulu saya sering nonton megastructure di BBC. Mana saya sangat awam soal teknik konstruksi. Jadilah tergedeg2 tiap liat megaproyek :)
Di kampungku juga istilahnya oglangan mbak buat menyebut kejadian listrik padam. Kayaknya kita sejaman ini, saya waktu kecil juga akrab dengan lampu sentir, teplok dan petromax.
ReplyDeleteSaya sering dengar nama kabupaten sidrap, tapi baru tahu kalau itu adalah singkatan dari Sidenreng Rappang. Luas juga ya area PLTB nya, sampai 100 hektar.
waah...mb nanik di malang kan? oglangan juga ya rupanya. saya pikir tu khas area solo dsktrnya.
DeleteKincir itu percis yang ada di Korsel mbak pengen juga bisa main ke situ deh hahaha
ReplyDeletegemes banget bisa sekalian edukasi ya Ini perjalanannya.
wahh senangnya bisa jalan jalan sekaligus mendapatkan insight baru seputar energi alternatif ini ya mbak
ReplyDeletesenang sekali jika semakin banyak PLTB yang bisa dikembangkan di Indonesia
biar semakin banyak masyarakat yang menggunakan bbm ramah lingkungan
Aku pernah nonton di channel YouTube campervan yang menjelajah hingga PLTB Sidrap. Bagus banget pemandangan nya, apalagi kalo beruntung bisa berkunjung ke sana. Senang ya mbak Lisdha bisa menyaksikan langsung kemegahan energi yang menggunakan kincir angin. Nantinya bakal pakai turbin ya, semoga pembangunan nya lancar.
ReplyDeleteWah seru nih. Anakku yang nomor 3 kepengen banget lihat yang begini. Enggak tahu kenapa deh, dia paling excited sama teknologi begini. Setiap hari pasti aja ada waktu dia lihat video di Youtube tentang pembangkit listrik. Dari tenaga air, angin, sampe nuklir. Buat dia, itu ajaib. Btw, anakku baru kelas 2 SD.
ReplyDeletekaya di belanda banget nih kincir anginnyaaaa.. Seneng kalo liat PLTB gini. Energi alternatif tentunya lebih ramah lingkungan juga untuk bumi ya maaaak
ReplyDeleteAku dong tadi masih bingung dengan istilah Oglangan apa ya, ternyata mati listrik. Aku jadi pengen ngajakin anakku untuk nonton tentang PLTB Sidrap ini, pasti dia senang sekali melihat tentang PLTB.
ReplyDeleteWaah....terpesona sama PLTB.
ReplyDeleteAku baru tau Paiton aja, itupun lihat dari jauh, gak sampai dari dekat dan memang amazing ya..
Jadi ingat beberapa tahun yang lalu sempat listrik padam sebesar Pulau Jawa dan waktu itu yang disalahkan adalam Menteri yang menjabat.
Hiiks~
Padalah rumitnya begini yaa... mengubah tenaga dari alam menjadi listrik.
Wuih seram juga ya kalau kincirnya nyala bisa bikin kendaraan terbalik! Semoga pembangkit listrik kita semuanya ramah lingkungan yaa...
ReplyDeleteBelum pernah nih lihat PLTB secara langsung kayaknya asik ya ngajak anak-anak ke PLTB sayangnya jauh
ReplyDeleteMeski belum pernah lihat langsung PLTB ini..tetep terpesona dengan PLTB yang akhirnya ada juga di Indonesia. Semoga makin banyak sumber daya yang melimpah yang bisa digunakan oleh masyarakat
ReplyDeleteWah Sidrap dan langsung melihat PLTB ini jadi pengalaman tersendiri untuk terus bersyukur kalo masih dialiri listrik. Jujur pas disebut Oglangan itu aku roaming lho dan kayak baru denger hehe, aku kira bahasa Makassar hehe
ReplyDeleteAku sempat juga lho mengalami suasana kalau pas mati lampu saat masa kecil di Siantar, Sumut.
ReplyDeleteBiasanya ibu punya lampu semprong, namanya di tempatku.
Kadang ada juga lilin.
Pengalaman lucu yang masih terbayang adalah, kadang kala aku kepo mencoba mengintip dari atas semprong dan tanpa sadar asapnya membuat hitam pangkal hidung.
... lalu kami sekeluarga pun terbahak-bahak.
Karena semakin disentuh, areal hitam pun semakin melebar.
Btw, soal oglangan itu juga aku baru dengar lho.
Oglangan alias mati listrik!
Catat!
Zaman sekarang keberadaan listrik itu sudah jadi kebutuhan utama ya, Mbak. Kalau hidup tanpa listrik banyak aktivitas yang terhambat.
ReplyDeleteAsik juga ya jalan-jalan ke PLTB,bisa menikmati suasananya sekaligus menambah pengetahuan
Wah keren nih pakai kincir angin. Energi terbarukan ya. Semoga bisa merata di seluruh daerah
ReplyDeleteSeneng banget klo bisa jalan jalan yang edukatif alias dapat ilmu. Salfok aku ke kincirnya, pengen foto di situ hehe (berkhayal)
ReplyDeleteSumber energi yang terbarukan memang harus diusahakan di berbagai belahan bumi. Kalau hanya mengandalkan batubara, aduuuh... entah sampai kapan bisa bertahan ya mba.
ReplyDeleteIya yah aku pernah lihat kincir angin seperti ini dari jauh. Kalau dari dekat setinggi apa yaa itu. Seruuu lho mampir sebentar ke PLTB jadi pengalaman nyata anak-anak. Eh jadi siapa yang benar menghitung jumlah kincir?
ReplyDeleteyeay dapat kosa kata baru, oglangan. kalau di aceh matee lampu. mirip2 juga sih dengan mati lampum hehehe. tadi tempatku baru aja mati listrik
ReplyDeleteaku baru denger ini istilah "oglangan" kwkwkw.. maklum orang sunda yang tinggal di jakarta. kagak ngerti bahasa - bahasa begituan. btw, insightnya seru banget ya mbak.
ReplyDelete