Pict by edsays.catchplay.com |
Pada Agustus 2020 saya mulai terpapar virus “nonton drama
serial.” Haha, saya menggunakan istilah
virus (ada juga yang memakai kata “racun”) untuk hobi nonton drama serial.
Selain daya sebar yang cepat, juga karena tingkat serangan yang bisa sangat
hebat. Sebagian orang sampai rela menonton secara marathon. Menghabiskan banyak
waktu tanpa sadar (atau sadar sih sebenarnya ^-^).
Itu sih yang saya takutkan sebelumnya. Takut efek adiktifnya ^_^
Puji Tuhan, sejauh ini, ketakutan ini tidak terbukti (atau belum saja? wkwkwk). Sejak Agustus hingga Desember saya baru menyelesaikan empat drama serial. Bukan jumlah yang harus diselesaikan dengan menonton cara marathon. Saya bahkan menonton dengan sangat santai, tak pernah sampai begadang. Saat memungkinkan, bisa saja saya menonton 2-3 episode sekaligus. Namun, kali lain, satu episode baru bisa saya selesaikan dalam beberapa sesi, bahkan beberapa hari.
Memang tidak nikmat, seperti makan sebuah hidangan tapi tak
bisa langsung tandas. Namun, tak apa, saya tidak kehilangan nilai hiburannya.
Bahkan juga pesan moralnya (haha).
Alih-alih menonton drama Korea, saya justru melihat drama
China dan Taiwan (ini dua negara yang berbeda kan?). Mungkin, memang belum
waktunya saya untuk berjodoh dengan drakor. Siapa tahu sebentar lagi saya juga
akan kena virus drama serial strain Korea. Sepertinya tinggal menunggu waktu
^-^
Salah satu drama serial yang saya tonton adalah The Making
of An Ordinary Woman (TMoAOW). Saya
menontonnya di Catchplay. TMoAOW ini tidak berbayar dan sampai saya menulis ini
masih ada di list drama Catchplay.
Saya tidak akan mengupas A-to-Z tentang drama-nya ya... Lha
wong saya hanya penikmat film/drama kelas awam, jelas beda pengetahuan dengan
para movie-freak. Pengetahuan saya
tentang film China tak jauh dari level nama-nama Jet Lee, Jacky Chen, Stephen
Chow, dan Gong Li hihihi. Jujur, saya nggak hafal kalau ditanya siapa saja
pemeran TMoAOW. Mesti buka google untuk menjawab.
Chia-Lin dewasa. Pict by edsays.catchplay.com |
Ide cerita TMoAOW tergolong klasik, yakni tentang dilema perempuan dalam mencari kebahagiaan. Chia-Lin, perempuan yang berasal dari kampung lalu berkarir di kota besar. Ia mengalami perbenturan antara nilai-nilai tradisional yang dia terima saat kecil dengan pakem hidup di kota modern. Karakter yang tidak asing jika diadaptasi dalam film Indonesia, bukan?
Chia Lin berusia menjelang 40 tahun dan masih melajang.
Status yang tidak aneh bagi perempuan karir tapi masih belum diterima dengan
lapang oleh keluarga. Namun, kondisinya tidak buruk-buruk amat kok. Sebenarnya,
ia punya pacar yang bersedia menikahinya. Ia juga punya pekerjaan sebagai
sekretaris kepercayaan bos besar. Pekerjaan dengan penampilan rapi dan wangi, tampak keren tetapi sebenarnya membuat
Chia-Lin tertekan.
Konflik demi konflik disajikan dalam plot maju-mundur antara
masa kecil dengan masa sekarang. Chia
Lin kecil digambarkan sebagai gadis berambut panjang dengan poni, tapi tomboi dan
pemberontak (otomatis ingat penampakan saya di masa duluuu ^-^).
Chia-Lin kecil. Pict by tvmovie.com |
Ia tinggal di sebuah rumah bersama kakek-nenek, ayah-ibu,
dan seorang adik laki-laki. Berbagai adegan dalam keluarga ini mengingatkan
saya pada istilah yang pernah saya baca dalam buku Raditya Dika, yakni keluarga
disfungsional. Bukan disfungsi dalam arti broken home, tapi cenderung konyol
menurut kacamata orang luar. Mungkin karena sama-sama Asia, jadi ada banyak hal
yang terasa related dengan masa kecil saya.
Perbenturan nilai membuat Chia Lin mengalami beberapa konflik
yang membelokkan arah hidup secara drastis. Sampai akhirnya Chia-Lin memutuskan
untuk kembali ke desa, lalu membeli sebuah rumah tua. Di masa kecilnya, ia
menganggap rumah itu seram dan berhantu. Namun, saat dewasa, ia justru tertarik pada rumah tersebut. Beberapa kejadian dia asumsikan sebagai pertanda untuk
membeli rumah itu.
Ada satu adegan yang sangat membekas di benak saya, yakni
ketika Chia-Lin dewasa bersama-sama Chia-Lin kecil mengecat si rumah tua. Dengan
rentang usia di antara mereka, Chia Lin dewasa seolah ibu bagi Chia-Lin kecil.
Mereka mengobrol dengan gembira dan saling mengerti satu sama lain.
Inner-Child
TMoAOM kan bukan drama ber-genre horor. Jadi, kontak visual antara
Chia-Lin dewasa dengan Chia-Lin kecil hanyalah adegan imajiner semata.
Visualisasi dari Chia-Lin yang mulai bisa menerima kompleksitas dirinya di masa
sekarang, sekaligus legowo dengan masa lalunya. Itu adalah adegan favorit saya.
Penggambaran harfiah tentang “berdialog dengan inner-child”.
Ohoo, inner-child, topik yang cukup tren sejak beberapa
waktu lalu ya..
Secara sederhana, inner-child bisa diartikan sebagai “sosok
kanak-kanak” di dalam diri kita. Inner-child adalah sisi masa lalu yang tetap
melekat hingga seserang berusia dewasa. Dengan kata lain, masa kecil seseorang sangat
berpengaruh pada kepribadian di masa dewasanya. Seseorang dengan masa kecil
penuh cinta-kasih akan tumbuh menjadi pribadi yang juga penuh cinta. Sebaliknya,
seorang yang masa kecilnya banyak mengalami luka jiwa, sangat berpotensi menjadi
pribadi dewasa dengan kepahitan.
Sayangnya, inner-child tidak selalu kita sadari. Sebab, luka
masa kecil tidak selalu berasal dari kekerasan atau hal-hal yang “besar”. Bisa
jadi, luka itu timbul karena “hal-hal biasa dalam budaya kita”. Sehingga kita bahkan sudah lupa atau memang
sengaja melupakannya. Namun, pengalaman itu melekat hingga dewasa dan
termanifestasi dalam pikiran dan atau tindakan yang tidak kita pahami.
Kenapa sih aku begini?
Atau kita tahu “kenapa begini” tapi
begitu sulit untuk beranjak dari lingkaran problem tersebut.
Menjadi Ibu
Banyak orang (termasuk saya) yang masih bergulat dengan inner-child
tapi pada saat bersamaan juga sudah dalam kondisi “having child.” Saat kita
belum sepenuhnya berdamai dengan “diri kecil” tapi sudah harus intens menghadapi
manusia kecil (anak-anak).
Saya kok membayangkan sebagai situasi : kita belum selesai
dengan sebuah PR tapi sudah harus mengerjakan tugas lain yang lebih kompleks.
Tapi memang, pengenalan terhadap diri adalah sebuah proses
panjang, bahkan mungkin seumur hidup. Dalam mengenali diri, saya sering
mengingat teori Johari Window. Teori psikologi yang dikembangkan oleh Joseph Luft
(1916–2014) dan Harrington Ingham (1914–1995). Secara sederhana, teori itu tergambar sebagai berikut
:
Pict by healthynumber.com.au |
Kadang
inner-child masuk dalam area blind spot atau unknown. Sehingga perlu waktu menggalinya. Bahkan, sekalipun ada dalam area open dan hidden, perlu waktu untuk mengakui dan menerimanya.
Saya pernah berada dalam fase tidak tertarik menjadi ibu secara biologis. Bukan suatu hal yang umum dalam budaya kita. Namun, ternyata saya tidak sendirian. Ada kok golongan perempuan yang memiliki pikiran/niat serupa ini.
Berhubung "menyimpang" dari nilai umum, sangat mudah untuk jadi sasaran komentar. Memang mudah untuk menghakimi, tetapi setiap orang punya alasan tersendiri. Yang pasti, alasan saya waktu itu bukan karena kepahitan pada ibu. Beliau baik banget kok.
Maka, ketika saya berubah haluan dengan menjadi ibu, saya memahaminya sebagai sebuah panggilan.
Menjadi ibu adalah salah satu jalan untuk lebih mengenali inner-child saya.
Celoteh dan tingkah anak-anak sering membuat saya seperti ditarik ke masa lalu
yang sudah banyak saya lupa atau hanya samar dalam ingatan. Keberadaan mereka
menolong saya untuk mengingat cara pikir pada waktu itu.
Saya menulis artikel ini pada 21 Desember, sehari sebelum
Hari Ibu. Saya yakin, besok di media sosial akan bertebaran pujian dan ucapan
terima kasih pada ibu. Banjir kata-kata indah yang justru sering membuah saya
merasa harus mengambil waktu untuk menepi dan ber-refleksi. Tak harus selalu
refleksi yang hening dan syahdu. Kadang justru seperti situasi Chia-Lin dewasa
bercanda dengan Chia Lin kecil. Obrolan receh yang meriangkan jiwa.
----------------------------------------------------------
Ih, tante mah apa, jauh-lah dengan sosok ibu-ibu dalam ucapan di hari ibu.
Emangnya
kenapa, jadi ibu nggak harus sempurna kok. Justru jadi ibu itu perjalanan
spiritual. Namanya perjalanan, ya kadang capek, kadang bete, penampilan nggak
selalu rapi.
Halah, tante membela diri.
Ish
kamu ya.... ntar kamu tahu sendiri kalau jadi ibu.
Lha aku
kan sudah jadi ibu. Aku kan tante.
Oh iya
ya...maklum makin tua, makin sering lupa.
Ih, tante ya, membela diri lagi.
Hahaha,
udah deh, kamu ini, yuk kita makan aja.
----------------------------------------------------------
Itu contoh dialog imajiner saja ya... Terbayang tidak, jika
kita bisa masuk time-traveler dan bertemu kita di masa kecil. Kira-kira bagaimana
dia memanggil kita, ibu atau tante? ^-^
Glorifikasi terhadap sosok ibu memang melahirkan tekanan
besar pada peran ini. Ibu selalu digambarkan sebagai sosok yang sabar dan welas
asih, yang mau mencurahkan SEGALAnya demi keluarganya. Bahkan, ibu yang “seperti
lilin, rela meleleh demi menerangi sekitarnya” adalah hero dalam persepsi umum.
Sebaliknya, ibu yang lepas kontrol, khilaf dalam bahasa umum, adalah sosok
vilain (penjahat) yang sangat sulit diterima akal (apalagi dimaafkan).
Pemuliaan terhadap sosok ibu juga menjadi tekanan besar bagi
para perempuan pejuang dua garis biru. Pastinya saya tidak sepenuhnya memahami
gejolak perasaan itu. Bagaimanapun, saya tidak punya pengalaman yang sama dalam
hal berusaha dan menunggu. Saya hanya sering membaca pengalaman orang di
berbagai media. Perjuangan penuh haru biru yang mau tidak mau menumbuhkan empati
sekaligus kesadaran diri. Menjadi ibu ataupun tidak/belum menjadi ibu memiliki
tantangan tersendiri.
Sebagai perempuan, situasi kita beragam. Barangkali kita sudah menjadi ibu, atau masih berjuang untuk menjadi ibu, atau belum terbayang untuk menjadi ibu, atau bahkan tidak tertarik menjadi ibu. Apapun keadaan kita
saat ini, selayaknya kita menjadi ibu bagi jiwa kita sendiri. Membersamai dan menerima diri
kecil kita, seperti Chia Lin dewasa dengan Chia Lin kecilnya.
Selamat Hari Ibu 2020.
ah bener banget mbak, klo inner child belum dituntaskan ini bisa mempengaruhi pengasuhan ibu ke anak anaknya
ReplyDeletehal yg utama itu adalah kebahagiaan ibu ya mbak
happy mom raise happy child
selamat hari ibu mbak
tentang luka masa kecil ini memang harus diperbaiki ya sesegera mungkin agar tak berdampak kuat ketika dewasa
ReplyDeleteSoal inner child dalam diri seorang Emak keinget momen milih motif helm. Waktu itu anak saya yang udah remaja milih helm yang warna hitam plain tanpa motif apa-apa trus respon saya, kalo mama sih milihnya yang motifnya panda itu. Trus ujung-ujungnya jadi ngakak sendiri, duh emak kok milih motif kartun panda sih.
ReplyDeleteSelamat hari ibu ya mbaa. .
ReplyDeleteDulu masih kecil ingin banget besar menikah. Sekarang ya kangen masa kecil. Hihi. Aku belum drakoran mba. Aneh nggak ya terlalu mikir untuk nonton film 😆
Wah keren mb Lisdha nih, kuliah di pertanian tapi tau Johari Windows juga ya hehehe.. itu dulu matkul di awal-awal semester pas aku kuliah mba. Dibahasnya di Psikologi Komunikasi, selalu ada tuh pembagian diri berdasarkan teori Jo dan Hari itu.
ReplyDeleteAku sendiri mungkin nggak menyadari ya inner child yang kubawa dari kecil tuh apa. Perasaan biasa-biasa aja, ga ada ganjelan. Kalaupun pernah ada friksi pendapat dengan orangtua, sudah lama aku berdamai dengan perasaan itu. Mungkin ada Unknown area yang belum kutemukan dan terlihat orang kalik ya.
Selamat Hari Ibu, Mak. AKu love banget sama ulasannya. Cakep.
ReplyDeleteSaya pernah ada di sana, dalam pergolakan hati haruskah saya menjadi ibu? Lebih lagi, haruskah saya mngubah status menjadi istri.
Namun pada akhirnya saya sampai di sini, dengan dua anak dan tetap jumpalitan sebagai ibu. Tapi biarlah seperti ini. Toh saya tak ingin menjadi ibu sempurna. Thanks for this lovely sharing.
Aku jarang nonton catchplay mba. Entah kenapa di aku selalu error gitu freeze aja. Kan BT kalo lagi serius trus nge lag yah. Eh malah curcol hahaha.
ReplyDeleteluka masa kecil memang berpengaruh hingga anak tersebut menjadi dewasa bahkan ketika berumah tangga. Jadi pelajaran juga buat aku supaya anak gak ngerasain apa yang aku rasain
ReplyDeleteDrama ini bisa jadi pembelajaran ya ttg seseorang kalau punya inner child itu gimana.
ReplyDeleteAku baru tau juga kalo drama ini ada di Catchplay.
Selamat Hari Ibu.
ReplyDeleteSemoga sesama Ibu kita bisa saling menghargai. Jangan judgement dan merasa benar.
Pasti menyakitkan bagi yang lain.
dalem banget mba,,, Ibu bagi jiwa itu yang penting ya =, punya welas asih dan bisa menjadi panutan ya untuk diri sendiri, untuk menjadi ibu, atau sudah menjadi ibu. Berdamai dengan jiwa agar bisa menjadi sosok perempaun dan ibu yang lebih baik ya..
ReplyDeleteDi mana-mana inner child ini bisa jadi issue penting untuk mental health ya mbak. Penting sekali pengasuhan yang benar dan penuh cinta untuk anak
ReplyDeletewah seru nih kayanya filmnya yaaa.. kalo sampe bisa berdamai dengan inner child kita tuh kayanya bisa jadi sebuah titik kemenangan banget ya maaak.. karena sesungguhnya emang nggak mudah.. huhu
ReplyDeleteBener, ya, inner child lagi sering banget dibicarakan. Saya pernah baca buku psikologi tentang inner child negatif yang kalau nggak diselesaikan bisa menimbulkan inner child juga bagi anak-anaknya kelak. Di sinilah butuh kedekatan antara orang tua dengan anak, jangan sampai terulang kembali inner child itu. Selamat Hari Ibu, ya, Mak.
ReplyDeleteSetuju bangett, ngga harus sempurna karena ada sebuah proses ya, Mbak. Selamat hari Ibuu.
ReplyDeleteSituasi apapun seorang Ibu tidak berubah ya.. selalu jagi garda terdepan untuk keluarganya.. orang orang hebat lahir dari seorang Ibu yang berkarakter kuat, banyak value yang anak dapatkan dari sosok Ibu yang menginspirasi anak anak hingga dewasa
ReplyDeletesaya mengenal inner child justru setelah saya melalui proses parenting dan menghadapi tingkah anak-anak. kalau diingat-ingat cara saya memarahi anak persis seperti yang bapak saya lakukan hiks. jadi sekarang pelan-pelan melepaskan inner child biar bisa jadi ibu yg memberikankesan manis sama anak-anak
ReplyDelete