Bukan Kereta Kencana

Foto Lis 'Lisdha' Dhaniati.

Sebenarnya ingin menuliskan dan mengeposkan cerita ini kemarin. Karena, kemarin itu (6 Desember) adalah ulang tahun pernikahanku dengan BJ. Apa daya, kemarin bodi nggak enak banget. Menyelesaikan rutinitas pekerjaan rumah saja harus dipaksa-paksa banget. Malam hari pun nggak bisa dipaksa untuk melek lebih lama. Pukul 20.30 sudah masuk kamar bareng anak-anak dan tidurrr.


Jadi deh mundur sehari dari hari ultahnya. Tapi nggak masalah, nggak ada yang marah. Blog sendiri, tulisan sendiri, deadline sendiri juga lah hahaha. Ultahnya sendiri, seperti biasa, nggak ada perayaan khusus. Bahkan, masak khusus atau pesan makanan luar secara khusus pun tak ada. Cuma saling mengucapkan happy anniversary satu sama lain dan berdoa bersama anak-anak. Told to them kalau hari itu adalah hari ulang tahun pernikahan ayah dan bundanya. Ale yang kelas dua SD sudah paham. Kalau si balita Elo sih belum.

Enywey, di sini aku nggak menulis kata-kata romantis atau kata-kata bijak seputar kehidupan pernikahan. Aku hanya ingin berbagi cerita lucu seputar acara pernikahan kami sembilan tahun lalu. Karena lucu, jadi memang masih teringat terus. Tapi siapa tahu, kelak usia (atau suatu hal lain) akan menggerogoti ingatanku. Jadi, tak apalah dituliskan di sini. Buat menuh-menuhin blog juga sih hihihi.

Beautifull wedding is easy. But beautifull marriage is a different thing.

Demikian kalimat yang aku dapat dari renungan pagi beberapa waktu lalu. Yeii, kalau sudah menikah sih mudah bilang begitu. Tapi coba ngomong begitu sama pasangan yang lagi berjuang mempersiapkan dana maupun acara pernikahan. Pasti mereka nggak akan setuju. Bahkan mungkin, dulu saat menikah pun kita termasuk golongan orang yang ribet dalam persiapan. Harap maklum, pernikahan diharapkan hanya sekali seumur hidup. Sebagian orang bahkan sampai rela mengucurkan dana yang banyak demi sebuah pernikahan mewah. Bagi yang berbudget terbatas, berupaya merancang sebuah pernikahan yang walaupun sederhana tapi berkesan.

Kalau kami dulu termasuk yang mana yah?

Masuk yang budget terbatas sih jelas hahaha. Tapi selain itu, kami berdua juga tak bisa berperan banyak merancang acara pernikahannya itu sendiri. Sebenarnya sih, dari awal konsep pernikahannya juga sudah berbeda dengan keinginan kami. Maunya sih menikah itu pemberkatan saja (akad saja kalau di muslim), tak perlu ada resepsi segala. Yang penting kan sah yaaa...

Tapi di masyarakat kita, namanya pernikahan tak semata urusan dua individu, tapi juga keluarga, bahkan keluarga besar dan lingkungan sosial. Saat aku share keinginan itu pada seorang saudara, langsung deh disergah. Beliau bilang, aku anak terakhir dan selama ini emakku rajin kondangan kemana-mana. Kalau emakku nggak bikin pesta, apa kata orang? Nanti malah dikira ada sesuatu yang disembunyikan, misal hamil duluan. Omaaaaak.....

Ya sutralah, aku sih merasa sudah berkali-kali bikin kecewa emakku. Masakan untuk urusan ini juga mau bikin kecewa lagi? Jadi sedari awal memang sudah aku tanamkan dalam hati bahwa ini acara keluarga dan sosial. Toh, dengan posisi tinggalku dan BJ saat itu, rasanya sulit untuk mengundang teman-teman dekat dan membuat acara pernikahan yang privat.

Waktu itu, aku masih bekerja di Bandung dan BJ di Medan. Sementara pernikahan diselenggarakan di Temanggung. Jadilah, kami tak terlibat banyak dalam persiapan acara. Yang aku kerjakan hanya menyiapkan undangan (karena aku mau desain yang sesuai keinginanku), suvenir, dan penyanyi di pesta. Alih-alih pakai organ tunggal campursari, aku memilih adik-adik dari PMK Fakultas Pertanian UNS untuk urusan musik dan nyanyi.  Sebelum hari H, ku hanya sempat cuti dua hari ke Temanggung untuk mengurus beberapa hal dan memilih baju pernikahan. Yups, baju pengantinnya sewa di tempat rias. Praktis dan hemat (tapi jelas tak eksklusif). 

Bahkan, untuk urusan dokumen-dokumen syarat pernikahan, kami juga tak mengurus sendiri. Bersyukur punya kakak-kakak yang baik dan bersedia ribet. Untuk dokumen yang perlu tanda tangan kami berdua ada kisahnya tersendiri. Pertama, dokumen dikirim ke Medan untuk ditandatangani BJ. Selanjutnya, dokumen dikirimkan BJ ke Bandung untuk aku tandatangani. Baru deh, dokumen dengan tanda tangan kami berdua aku kirim balik ke Temanggung/Klaten (asal BJ). Ribet yah...Habis bagaimana lagi, syaratnya mesti tanda tangan basah.

Daan..ini adalah pernikahan ala kampung. Nggak ada ceritanya wedding organizer segala. Semua ditangani oleh keluarga dan saudara. Kami tinggal cuti untuk pulang dan dinikahkan hihihi. Dengan situasi demikian, wajar kan kalau ada pernik-pernik yang luput dari persiapan.

Seperti buket kembang. Ish...kok ya nggak ada yang ingat (termasuk aku dan BJ) tentang buket kembang ini. Jadi, kalau di mana-masa biasanya pengantin perempuan pegang buket kembang, aku mah pegang apa? Pegangan tangan  BJ ajalah hahahaha. Mungkin buket bunga jadi terlewat karena di kampung sih mana acara lempar bunga oleh pengantin ke para jomblowan dan jomblowati.

Terus soal kendaraan pengantin. Dalam acara pernikahan yang well-planned, kendaraan pengantin pasti salah satu item yang benar-benar diperhatikan. Kalaupun tak ada mobil mewah, setidaknya tetap disiapkan mobil tersendiri yang dihias pita dan bunga. Sedangkan di acara kami, baru pada pagi hari saat pengantin dirias, seorang paklik bertanya “nanti naik mobil apa ke gereja?”

Nah lhoooo...aku dan BJ juga baru nyadar kalau selama ini kami nggak pernah ngomongin mobil pengantin. Mana waktu itu, di antara keluarga kami di sana juga belum pada punya mobil. Memang ada mobil pinjaman yang dibawa keluarga dari Klaten. Tapi kondisinya juga kurang cakep untuk dijadikan mobil pengantin. 

Jarak dari rumah ke gereja tempat pemberkatan memang hanya sekitar 400 meter. Tapi belum seperti sekarang yang aspal mulus, saat itu masih jalan berbatu. Aku sih sudah biasa jalan kaki, apalagi untuk jarak sependek itu. Tapi dengan badan berkain kebaya, kaki berselop hak tinggi, serta make up dan sanggul begitu....400 meter bisa terasa 4 kilometer dah.


Bersyukurnya, ada yang punya ide untuk pakai dokar (bukan Go Car yah hehehe). Kampungku tergolong mblusuk, bukan rute yang dilewati kendaraan umum, meski itu adalah transportasi umum berupa dokar.  Mesti ke kecamatan sebelah untuk mencari dokar. Tapi urusan cari dokar sih gampang asal harganya cocok. Tak sampai satu jam, dua dokar datang lengkap dengan kusirnya. Dokar segera dibalut kain-kain sisa penghias dekorasi. Tak ada lagi waktu untuk mendandani si kusir dengan kostum pendukung pernikahan. Mereka tetap dengan baju semula yang jelas bukan untuk setelan pesta hahaha.

Dan segera kami menaiki dokar ke gereja. Ternyata, dengan dandanan pengantin, naik dokar di jalan berbatu membutuhkan ketahanan. Sebab, entah kenapa dua kuda di dua kereta itu seolah mau balapan. Dokar pun bergoncang cukup keras. Tangan harus kuat-kuat memegang sisi kereta.  Sanggul model jogja yang nangkring di atas kepala terasa bergoncang-goncang. Kalau saja jaraknya lebih panjang, bisa-bisa si sanggul lepas dan menggelinding di jalan.

Sama-sama menggunakan kendaraan berkuda, bedalah situasi kami dengan Mbak Kahiyang dan Mas Bobby yang bisa senyum-senyum manis dan dadah-dadah dari kereta kencananya.

-Lisdha-

   




2 komentar untuk "Bukan Kereta Kencana"

  1. Hehehe malah pernikahannya jadi unik dan berkesan ya mbak? Bisa diceritakan ke anak cucu nanti :D

    BalasHapus
  2. Hihihi.. Meninggalkan kesan yg mendalam ya?

    BalasHapus

Terima kasih atas kunjungannya. Mohon tidak meninggalkan link hidup dalam komentar ya :)