Sebuah Rumah, Seekor Anjing, dan Bunga Matahari

Foto Lis 'Lisdha' Dhaniati.
Si Miong dan Elo

Duluuu, rangkaian kata di atas adalah sebuah rancangan judul novel. Tapi ternyata rancangan masih sebatas rancangan. Buatku, melahirkan novel jauh lebih susah daripada melahirkan bocah. So sorry, bukan bermaksud mengatakan bahwa melahirkan anak itu mudah. Terlebih terjadinya seorang anak adalah  proses yang rumit dan kompleks. Tapi aku menjalani dua kali operasi sesar yang lancar. Tinggal "tiduran" dan bayi sudah (di)keluar(kan) hanya dalam waktu 30 menitan.


Sebenarnya "sebuah rumah, seekor anjing, dan bunga matahari" adalah sebuah imajinasiku semasa masih sendirian. Serasa hidup soliter yang eksotis. Tapi dulu, mana bisa mewujudkan itu. Bertahun-tahun tinggal bersama orang banyak di kost-kostan (paling pol paviliun yang berdempetan dengan empunya rumah). Selain itu, kost-kostan hanya sebagai tempat tidur setelah pulang larut malam. Bagaimana mau punya binatang peliharaan??

Setelah menikah dan tinggal di Siantar, barulah ada kondisi yang cukup ideal untuk mewujudkan kalimat itu dalam dunia nyata.  Rumah kontrakan (bukan lagi kost-kostan) yang terpisah dan bersebelahan dengan sebidang kebun, tetangga yang tak masalah dengan keberadaan anjing, serta sepetak halaman untuk menanam bunga matahari. Dan lagi,  Ale yang saat itu sudah batita kepengin punya anjing seperti abang tetangga. Situasi yang serba mendukung.

Kalau kata Ben dalam novel Filosofi Kopi : Perfecto!

Jadilah kami mencoba memelihara guk guk. Bukan anjing trah yang mesti merogoh kocek dalam-dalam untuk mendapatkannya. Hanya anjing kampung yang cukup ditukar dengan terima kasih dan salam tempel sekedarnya. Sedari awal aku sudah pasang rambu-rambu. Aku tak mau anjing yang masuk rumah. Tapi aku juga tak tega untuk mengikat atau mengurung anjing. Maka itu, keberadaan halaman adalah keharusan. Area yang kuizinkan untuknya adalah halaman depan, samping, belakang serta.... berkelanalah keluar pagar rumah. Konsep memelihara anjing bukanlah sebagai anggota keluarga untuk dipeluk-dipeluk dan diizinkan tinggal bersama di dalam rumah. Melainkan sebagai penjaga yang bersiaga di luar rumah.

Tapi, kami tak pernah sukses memelihara guk-guk. Tiga kali kami memelihara guk-guk dan tak ada yang bertahan dalam hitungan tahun. Guk-guk pertama kabur saat masa adaptasi (jadi baru ada di rumah dua-tiga hari). Yang kedua, tumbuh hingga cukup besar tapi kemudian mati. Yang terakhir kami jual gara-gara suka menggondol barang-barang, termasuk tas tetangga yang sedang dijemur di halamannya :D. Duuh, saat itu jadi pakai acara “white lie” segala deh ke Ale. Takut dia sedih berjilid-jilid kalau tahu kejadian sesungguhnya. Maafkan kami ya Nak...

Oh ya, menanam bunga mataharinya sih sukses. Tapi “sebuah rumah, seekor anjing, dan bunga matahari” itu hanya terwujud selama beberapa saat dan tidak seindah dalam khayalanku. Ya sutralah...

Si Miong

Sampai kemudian datang seekor kucing cacat. Kulit kepalanya rusak berat dan matanya nyaris buta. Itu kucing entah diapain (atau ngapain) sampai jadi seperti itu. Ale yang saat itu berusia balita sudah mengerti rasa iba. Dia memintaku mengobati kucing itu, juga memberinya makan. Jadilah kucing itu sering menyambangi tempat tinggal kami. Hebatnya, meski buruk rupa, si kucing tetap menawan para penjantan (apakah kucing tidak memerhatikan penampakan fisik dalam memilih partner bercinta?? #penasaran).
Jadilah, selain sebagai shelter, tempat tinggal kami juga jadi rumah bersalin bagi si kucing. Pertama dia melahirkan adalah di rerimbun tanaman di halaman. Si kucing bersalin saat hujan deras dan air menggenang di sana. Akhirnya, tiga bayinya mati semua. Mungkin karena hypothermia. Beberapa bulan kemudian, si kucing kembali melahirkan. Kali ini di halaman belakang dan ibu maupun bayi kucing sehat selamat.

Ale riang gembira. Tiga kucing kecil dipindahkan ke dekat kamar mandi. Mereka tumbuh menjadi anak-anak kucing yang sehat. Namun, tak semuanya bisa tumbuh dewasa di rumah. Satu kucing diminta kawan untuk dijadikan Tom pemburu tikus di rumahnya. Satu lagi terlindas mobil saat si Ayah hendak keluar garasi (duuuh, pemandangan kucing terlindas mobil itu sudah cukup mengerikan, apalagi kalau manusia!).

Satu kucing lainnya selamat dan bertumbuh jadi kucing remaja. Tapi suatu waktu, dia pergi beberapa waktu dan  saat pulang, salah satu kaki depannya terluka parah. Entah dipukul atau tergilas roda. Lagi-lagi dengan empatinya, si Ale minta supaya kucing itu diobati dan dikasih makan. Lukanya sembuh, tapi tak bisa pulih normal. Dia menjadi kucing yang pincang.

Meski kucing itu aku rawat sedari ibunya, namun sesungguhnya aku tak pernah menganggap memilikinya. Mungkin karena sedari awal, di ibu juga cuma datang dan menumpang. Aku oke untuk memberi makan dan tumpangan di halaman, tapi aku tak berniat memilikinya. Berbeda halnya dengan Ale yang merasa kucing itu miliknya. Namun, Ale tak memberinya nama yang khusus. Cukup dengan panggilan generik “Miong”, si kucing sudah datang menghampiri.

Satu hal yang aku sukai dari kucing itu adalah dia tidak biasa masuk ke rumah. Mungkin karena sedari kecil tidak kuperbolehkan masuk. Menurutku, itu agak langka terjadi pada kucing. Dalam penglihatanku, bangsa kucing biasa bludhas-bludhus masuk rumah (bahkan rumah orang sekalipun). Namun, tidak demikian dengan si Miong. Walau pintu terbuka lebar dan perutnya lapar, dia hanya akan duduk di garis pintu. Dengan si Miong, tidak ada cerita ikan hilang meski si ikan terletak pada wadah yang terbuka.

Selamat Tinggal Miong.

Tapi kemudian kami pindah ke Medan. Ale ingin si Miong dibawa serta. Tapi dengan berat hati, aku dan si ayah tak bisa mengabulkannya. Di Medan, kami tinggal di kompleks perumahan, di mana setiap rumah berbagi tembok sebelah dengan rumah lainnya. Lagipula, di kontrakan kami tak ada tanah terbuka sedikitpun. Halaman depan habis dikeramik dan dipayungi kanopi. Demikian juga halaman belakang yang difungsikan menjadi ruang cucian.

Selain itu, kami juga belum bisa meraba, bagaimana situasi pertetanggaan di sana. Apakah cukup welcome jika seseorang memiliki binatang peliharaan? Terutama jika binatang peliharaannya tidak dikandangkan, melainkan dibiarkan terlepas. Aku berusaha memberikan pengertian itu pada Ale. Rasanya sedikit memaksakan sih L. Bagaimana pun dia menawar, kami tetap tidak bisa mengabulkan.

Benar adanya kalau binatang peliharaan itu bisa menjadi sahabat sahabat. Walaupun sedari awal aku tak pernah menganggap Miong itu “milikku”,  atau “peliharaanku”, sebetulnya aku tetap merasa sedih berpisah dengannya. Jangan tanya Ale, dia lebih lebih lebih merasa sedih daripada aku.

Ada waktu-waktu tertentu di mana Ale teringat Miong dan dia menjadi mellow. Misalnya saat kami belajar IPA dan di bukunya ada gambar kucing. Eh dia malah berkaca-kaca karena teringat Miong. Atau ketika malam hujan deras, dan dia terdiam karena takut Miong kehujanan.  Rasa-rasanya, Miong turut berperan dalam pertumbuhan daya empati bocah itu.

Seperti abangnya, Elo juga terlihat menyukai binatang peliharaan. Suatu hari nanti, sepertinya aku harus kembali mengizinkan dia memiliki seekor kucing. Bukan sebagai pengganti Miong, karena sesuatu yang hidup tak akan bisa digantikan. Tapi “suatu hari nanti” itu bukanlah sekarang.   

2 komentar untuk "Sebuah Rumah, Seekor Anjing, dan Bunga Matahari"

  1. AKu pernah nangis kurang lebih 7 hari saat Itachi, kucingku mati. Move on nya susah, padahal sudah dapat 2 kucing lagi yang nggak kalah lucu. :') Sampai sekarang kadang keinget sama dia.

    BalasHapus

Terima kasih atas kunjungannya. Mohon tidak meninggalkan link hidup dalam komentar ya :)