Hari-hari Menjelang Akadku


pic : www.sewa-apartemen.net


Minggu-minggu ini, aku dan Mas J semakin mendekati hari akad. Jadwal pastinya sih belum ada. Tapi kalau lihat situasi dan kondisi, kemungkinan besar akad dilaksanakan selambatnya akhir bulan Oktober 2017 ini. Sekarang sudah tanggal September tanggal tua. Jadi benar-benar tinggal menghitung hari.

Deg-degan? Mmmmm, nggak juga sih. Sebab, sejak jauh hari kami sudah cari informasi tentang teknis pelaksanaan juga biaya-biaya yang dibutuhkan untuk akad. Jadi mudah-mudahan memang nggak ada lagi hal yang perlu dirisaukan terkait hari H akad-nya. Yang lebih kami risaukan adalah kondisi paska akad-nya. 

Isssh? Akad? Nggak salah baca nih? Bukannya kalian sudah lama diberkati jadi suami istri? 

Hihihi, ia bener akad kok. Tapi maksudnya memang bukan akad nikah. Melainkan akad kredit kepemilikan rumah alias KPR (kena je-bet deh). Setelah lamaaa tarik ulur soal beli atau tidak beli rumah, kalau tak aral kami akan tiba di hari akad nikah kredit (perhatikan tanda coret ya..). Maunya sih nggak pakai KPR. Kalau bisa cash, ngapain kredit ya kan? Apalagi kalau baca rincian KPR, duuuuh sistem pembayaran dan akumulasi bunganya itu lho...ngeRIBAnget. Tapi yah..... masih kurang iman untuk menghindari kredit rumah. #SenyumKecut

Seperti pernah aku ceritakan di blog ini, salah satu penyebab kami tak segera sepakat soal rumah adalah karena keniscayaan pindah-pindah kota. Suami seorang karyawan di perusahaan yang punya kantor cabang di beberapa provinsi. Pindah antar kota -bahkan antar pulau- adalah sebuah konsekuensi. Tempo hari, aku sempat bercanda sama staff developernya. Aku bilang, bisa saja kami tak sempat menempati rumah itu. Atau, kalaupun sedikit beruntung, kami sebentar saja menempati rumah “yang-bukan-kontrakan” itu.

Jangan-jangan, tak lama setelah akad, ada instruksi untuk mutasi. Atau, kemungkinan terburuk, ada sesuatu terjadi dan berdampak pemutusan hubungan kerja (ini bagian yang bikin risau suami). Entah deh, langkah apa yang kelak akan kami ambil kalau ada mutasi atau PHK atau kejadian lain yang membuat kami mesti angkat kaki.  Kalau hari-hari ini mendapat pertanyaan demikian, jawabanku masih “kumaha engke” alias “bagaimana nanti-lah”. Bukannya nggak mau memikirkan langkah antisipatif. Tapi, sekarang fokus pada yang terdekat dulu.

Bagi sebagian orang, situasi seperti itu bukan masalah bukan masalah besar. Ngobrol dengan beberapa orang, mereka bilang,  namanya properti bisa di-over kredit atau dikontrakkan. Tapi soal mengontrakkan rumah, beberapa kali aku dengar langsung pengalaman pahit dari si empunya rumah. Seperti pengalaman Ibu S, pemilik rumah yang kami huni saat ini. Demi mendapatkan tagihan listrik yang lebih murah, pengontrak rumah (sebelum kami) melambatkan meteran. Hal itu baru diketahui saat ada razia oleh petugas listrik ketika si pengontrak sudah pergi. Sayangnya, Ibu S sudah kehilangan kontak dengan si pengontrak itu. Mau tak mau Ibu S-lah yang harus membayar denda Rp 10 juta rupiah.

Lebih parah lagi cerita seorang teman, sebut saja Mbak Y. Dia tinggal di Bekasi, sementara rumah yang dikontrakkan di Solo. Niatnya sih rumah itu buat investasi. Tapi dengan posisi beda kota seperti itu, pengawasan rumah sangat lemah ya kan? Apalagi, “kebetulan” (tanda kutip) dapat pengontrak rumah yang tidak bertanggung-jawab.

Lebih dari satu kali, Mbak Y harus mengganti meteran listrik. Gara-garanya, si pengontrak pergi dengan meninggalkan tunggakan tagihan listrik yang mengakibatkan meteran dicabut petugas PLN. Mbak Y juga beberapa kali kehilangan pompa air di rumah tersebut. Entah si pompa dicuri maling, atau malah pengontrak rumah yang justru jadi maling? Belum lagi beberapa kerusakan rumah yang butuh biaya cukup besar untuk perbaikan. Pucing (ke)pala Barbie deh😓 

Alhasil Mbak Y menyerah dengan rumah di Solo itu. Tapi bukan berarti dia kapok investasi properti lho. Belajar dari pengalaman buruknya, mbak Y menjual rumah tersebut dan beralih beli apartemen. Alasannya, mengurus apartemen jauh lebih lebih praktis. “Kita nggak perlu ribet mikir penyewaan, pengawasan, maupun dan perawatan. Semuanya sudah jadi tanggung jawab pengelola apartemen,” kata Mbak Y.

Sekarang, apartemen Mbak Y memang masih nganggur. Soalnya masih menunggu dilengkapi furniture. Nggak mungkin kan apartemen disewakan dalam kondisi kosongan alias tanpa perabot.  Beda dengan kontrakan biasa, biasanya pengguna apartemen adalah orang-orang yang praktis, ogah ribet.
pic : www.jual-apartemen.com

Mbak Y sih yakin banget sama prospek sewa apartemen. Dengan perkembangan kota seperti sekarang ini, tinggal di apartemen sudah menjadi kebutuhan dan gaya hidup. Apalagi Mbak Y beli apartemen di lokasi yang strategis banget. “Di tempatku, fasilitas umum cukup memadai. Mau kemana-mana dekat, transportasi umum juga gampang,” tambah Mbak Y.

Makanya, dia juga asyik aja kalaupun nantinya belum ada penyewa. Soalnya, dengan desain dan furniture layaknya hotel, si apartemen bisa buat tujuan refreshing sama keluarga. Yaks, namanya refreshing kan nggak harus keluar kota toh. Bagi yang biasa tinggal di luar kota, refreshingnya jalan-jalan ke dalam kota dong.

Nilai jual apartemen juga terus naik dari waktu ke waktu. Jadi, nggak masalah kalau suatu saat kondisi mengharuskan apartemen tersebut dijual. Jadi iseng mengintip ke situs jual apartemen, duuh memang bikin mupeeeeng. #ohh..toloong

Tapi memang, saran temanku, perbanyak informasi dulu sebelum memutuskan membeli sebuah apartemen. Meski sama-sama tempat tinggal, karakter apartemen sangat berbeda dengan rumah tapak. Jadi, berbeda juga hal-hal yang jadi pertimbangan. Kalau salah langkah, alih-alih dapat untung, jadinya malah buntung.

Hmmmh, menarik juga yaah.. Meski belum bisa mengikuti langkah Mbak Y, informasi ini bisa aku jadikan investasi ilmu. Siapa tahuuu, suatu saat bisa begitu (mimpi kan boleh saja hehe). Sekarang sih, beresin dulu akad yang terdekat.

22 komentar untuk "Hari-hari Menjelang Akadku"

  1. Kirain akad nikah wkwkwkwk
    Bingung juga ya kalo keadaannya seperti itu, bisa dibilang nomad ya. Kalo belum nikah enak kali ya, tapi kalo udah nikah ribet. Apapun yg terjadi pasca akad, semoga yg terbaik ��

    BalasHapus
    Balasan
    1. amiin. terima kasih Mas Nug. iya nih semi nomad. ribet tapi berwarna hahaha

      Hapus
  2. Apartemen emang jadi solusi terbaik buat masyaakat urban

    BalasHapus
    Balasan
    1. apalagi rumah tapak di kota metropolitan makin tak terjangkau harganya ya mbak.

      Hapus
  3. Meikarta lagi booming ya mbak sekarang? jadi ingin juga punya apart.

    BalasHapus
    Balasan
    1. habis meikarta mungkin junikarta ya mbak heheheh

      Hapus
  4. Memang lebih pilih apartemen kalau di kota besar &nggak niat ditempati sendiri (atau pindah-pindah seperti cerita di atas)
    Pengalaman, rumahku mbak, ditinggal kalau suami pindah kerjaan, ditempati saudara sendiri..tapi utility kita yang bayar...Dan, hasilnya..rumah nggak dirawat, dibiarkan, padahal dah gratisan nempatinya...Sakitnya tuh di hati. Coba itu apartemen, tinggal akad sama pengelolanya,bisa dicarikan penyewa...:)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Apalagi saudara ya mbak dian. Serba ga enakan jadinya.

      Hapus
  5. salam kenal mbak Lisda, aku datang dari tulisan di KEB tentang diet plastik

    semoga lancar2 ya proses akadnya, urusan nanti mau mutasi lagi dipikir belakangan aja he.. he..,
    pernah juga punya pengalaman ngontrakin rumah, yg ngontrak kabur nggak bayar listrik
    untung aja bisa dilacak dari nama mobil yang ngangkut barang pindahannya
    udah seperti detektif aja nyari mobilnya, dan alamat kontrakan barunya, akhirnya ya nggak bisa ngelak lagi bayar tagihan listriknya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hai mb monda. Terima kasih yaa...sdh lancat akadnya dan sdh mulai bayar cicilannya hahaja. Waah seruu banget kisah perburuannya. Yang punya rumah kontrakan saya sekarang jg dijaili pengguna lama. Tp sdh lama baru ketauan jd susah ngelacaknya

      Hapus
  6. Memang harus di pikirkan masak masak hal yang seperti ini mba, kalau aku sih juga milih apartemen kalau kerjaan masih belum tetap dan masih sering-sering pindah ke luar kota..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Itundia ya mas ilham. Tapi kalau nurutin mutasi kerja...ga bakalan punya rumah kami ini :D

      Hapus
  7. Ngomongin akad selalu mewek klo aku mba. Soalnya punya kesan spesial

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waah...apa tuh mb? Sudah diceritain di blog?

      Hapus
  8. Penyewa rumah sebelumnya ga dimintain deposit ya mba? Jd kalo ada kerusakan rumah, depositnya bisa dipake.. Apartmen keluargaku disewakan dengan sistem begitu. Kita minta deposit, yg akan dikembalikan di akhir masa kontrak, dengan catatan g ada kerusakan dan kehilangan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah itu dia. Mgkin ga nyangka bakal kejadian seperti itu, jadi ga minta deposit. Kami saat ini juga ga diminta deposit. Tp tetangga sebelah diminta deposit (pemilik rumah beda)

      Hapus
  9. Sama kayak Nindya, Kirain ngomongin akad nikah. Masuk je-bet deh. xixixi...

    Itu interior apartemennya bikin ngiler euiii.
    Langsung lirik isi rumah, hahaha.

    Tapi eh tapi, investasi di properti itu memang menjanjikanya, soalnya naik terus.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hayoo mbak ana.. ubah interior rumah hahaha. Biar kayak apartemen :)

      Hapus
  10. Semoga berkah dan lancar akadnya... Saya jg pgn bgt bisa invest properti...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih mbak nathalia. Semoga keinginannya juga terkabul yaa :)

      Hapus
  11. Hidup nomad itu ada enak dan tidaknya ya. Enaknya bisa mengenal berbagai daerah. Tidak enaknya, capek pindah-pindah dan pasti butuh penyesuaian lagi. Salam kenal Mbak Lisdha.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya betull mbak elin..semua ada plus minusnya. Salam kenal juga mbak :)

      Hapus

Terima kasih atas kunjungannya. Mohon tidak meninggalkan link hidup dalam komentar ya :)