Selamat Sekolah, Anakku...


Senin pagi, 18 Juli 2016. Hari itu, Al menjalani hari pertamanya sebagai siswa seragam putih merah. Yeaa, si bocil masuk sekolah dasar. Jika selama libur dia bebas bangun siang, mulai pagi itu dia mesti bangun gasik lagi. Lalu mandi cepat, sarapan, dan pukul 07.00 sudah harus berangkat agar tidak terlambat.
Sebenarnya jarak rumah ke sekolah Al tidak terlalu jauh, nggak sampai dua kilometer. Namun, jaga-jaga kalau jalanan macet, mending berangkat lebih pagi. Dan sedari malam, si emak sudah siap menjadi  tukang ojek pribadi buat Al. Menjalani rutinitas seperti dulu-dulu waktu Al masih Taman Kanak-Kanak di Siantar. Sebelum hari H, kami bahkan sudah blusukan cari jalan alternatif. Sebab, lalu lintas jalan utama terhitung padat. Terlebih di jam berangkat sekolah/kerja, itu jalan pasti ramai sekali. Dengan membonceng satu bocil plus menggendong si batita, El, saya memilih mencari jalan yang tidak terlalu ramai. Dan dalam blusukan hari itu, kami sudah menemukan satu jalur alternatif.
Tapi, kenyataan bicara lain.
Sedari subuh, Medan malah hujan deras. Bahkan, hujan tak berhenti hingga jam berangkat sekolah. Akhirnya, kami batal naik motor, melainkan berangkat dengan mobil bareng si ayah kerja. Alhasil, si ayah jadi kepagian berangkat ngantor. Gapapa yaaa....demi si buah hati yang hendak menuntut ilmuh ^-^
Siangnya lihat-lihat berita dan timeline facebook, ternyata di banyak tempat pun hujan pagi hari. Ah ya, hari pertama sekolah yang basah.
Hujan juga membuat kondisi sekolah sangat padat. Sebab,  banyak sekali anak-anak yang masih ditemani orangtuanya, terutama untuk anak-anak kelas satu-dua dan taman kanak-kanak. FYI, sekolah Al adalah sekolah swasta di mana TK-SD-SMP-SMA jadi satu lokasi. Yang mana lokasinya juga nggak terlalu luas, bangunannya saja vertikal. Nah, kebayang ramainya kan...
Sebenarnya, saya kepengin menyekolahkan Al di sekolah alam. Kalau baca-baca soal metode pembelajaran di sekolah-sekolah alam, rasanya itu akan lebih menyenangkan bagi anak daripada belajar secara konvensional di dalam kelas tertutup. Saya percaya materi pelajaran akan lebih terserap dalam suasana menyenangkan. Selain itu, saya juga lebih ingin menyekolahkan Al di sekolah negeri atau swasta umum untuk alasan keberagaman.
Namun, tak ada sekolah alam di dekat tempat tinggal kami. Ada sih di Medan, tapi jauh dari kompleks kami. Pilih sekolah kan mempertimbangkan jarak juga. Sedangkan untuk keinginan kedua juga tak terpenuhi karena di sini sekolah negeri stigmanya justru kalah prestasi  dan kedisiplinan dibandingkan sekolah swasta. Selain itu, sebagai warga baru di saat-saat pendaftaran siswa baru, kami minim informasi soal sekolah. Tak ada teman-teman/tetangga yang punya cukup informasi untuk ditanyai. Informasi yang kami dapat benar-benar minimalis. Jadilah kami memilih sekolah yang sekarang ini dengan “berserah”. Kalau sebagian orangtua benar-benar selektif memilih sekolah anak, bahkan sampai ikut trial segala, maka kami tidak melakukannya karena situasi dan kondisi. Bersyukur, dari sedikit bincang-bincang dengan walimurid, sekolah Al saat ini cukup recomended kok..  
***
Bukan karena mengikuti anjuran Pak Menteri Anies Baswedan kalau saya mengantar Al sekolah. Tapi karena dia memang masih kelas satu, dan ini juga tempat tinggal baru. Situasi yang pasti penuh rasa asing bagi Al. Untuk itu saya (dan El) ada buat dia ^-^
Puji Tuhan, hari pertama-kedua-ketiga, lancar. Al nggak stress atau menangis sedari awal masuk kelas hingga pulang. Tapi dia memang berkali-kali ke kamar mandi. Pas hari pertama saya pikir karena hujan jadi dia berkali-kali pengin pipis. Tapi hari selanjutnya kok masih begitu. Baru deh kepikiran kalau dia itu belum sepenuhnya betah duduk manis mengerjakan tugas di kelas. Makanya sedikit-sedikit butuh “time out” dan alasan yang paling mungkin adalah pipis!
Selama tiga hari itu, saya dan El menunggu di sekolah hingga kelas selesai (pukul 10.00). Hffft...nunggu si mas sambil ngajak adek itu sesuatu banget. Si mas penginnya bunda stay dekat pintu. Di mana hal itu susah dilakukan karena banyak ortu yang juga stay dekat pintu dan juga karena si adek maunya jalan-jalan. Rempong....
Rasa rempong itu sudah mepet-mepet sama rasa ingin mengeluh. Tapi pas siangnya baca status facebook seorang ibu senior tentang nikmatnya mengantar anaknya (SMA kalau tidak salah). Dan si ibu ini ternyata dulu-dulu pas anak-anaknya masih kecil tidak bisa antar sekolah karena alasan kerja. “Seandainya waktu bisa diputar,” tulis si ibu.
Isssh...jadi malu. Si ibu rindu ingin mengalami itu sementara saya justru merasa repot :D. Lagipula, nggak sendirian sih menjalani repot yang sejenis ini. Banyak juga ibu-ibu dengan kerepotan serupa, bahkan mungkin lebih seru! Seperti di hari ketiga, sempat sedikit ngobrol dengan seorang ibu yang tengah belanja buku untuk anaknya di toko sekolah. Si ibu juga membawa anaknya yang usianya baru setahun lebih sedikit. Si ibu itu punya empat anak, laki-laki semua. Weissss.... kalau yang cuma dua anak saja sudah sambat ngaru-ara (mengeluh kesana-kemari), itu namanya cemen banget :D.


Sebelum hari H sekolah, dalam perbincangan di dalam mobil, Al bertanya pada kami : “kapan aku lulus SD?”
Jiaaaa, baruuu juga mau mulai sekolah, sudah tanya kapan lulusnya :D. Entah deh, saya nggak bisa menentukan, itu ekspresi keingintahuan, antusiasme, atau justru kebosanan. Sebab, Al ini memang nggak 100persen antusias soal sekolah. Malas sih enggak, tapi juga bukan tipe anak yang sangat menunggu-nunggu hari sekolah maupun jam belajar :D
Tak urung pertanyaan Al membuat saya kembali berhitung. Kalau lancar dan normal : enam tahun SD, tiga tahun SMP, tiga tahun SMA, ditambah sekian tahun S1.... hhhmmm, masih demikian panjang jalan yang harus dia tempuh. Kalau dirasa-rasa, lama bangeeet yaaa... Tapi kalau dibalik ke diri sendiri, ah dulu juga menapaki jalan itu dan bisa juga melewati ujungnya. Bahkan, bukan cuma itu, setelah lewat ujung pun terbuka pemahaman baru tentang “sekolah kehidupan”, sekolah dari kehidupan sehari-hari sepanjang usia.
Dalam dunia yang penuh ketidakpastian, jelas saya tidak tahu, apa saja yang akan dihadapi Al sepanjang masa-masa itu. Juga akan jadi apa anak itu nantinya. Wajar jika rasa khawatir kadang menyelinap. Melihat dia belum semangat belajar,  atau mendengar berita tentang bullying, tentang penculikan, tentang pelecehan seksual di sekolah....Ahhhh..
Tapi kembali selalu diingatkan, bahwa “anakmu bukanlah anakmu, dia adalah anak kehidupan.” Yaaa, sebagai perantara keberadaannya di dunia, kami –orangtua- hanya harus berusaha sebaik mungkin dan belajar percaya bahwa Sang Pemilik akan selalu menjaga dan mengarahkan dia pada rencana indah-Nya.
Selamat sekolah Al, kiranya kamu bertumbuh dengan baik dan menjadi berkat dalam hari-harimu menuntut ilmu....

Posting Komentar untuk "Selamat Sekolah, Anakku..."