Kekhawatiran, Rezeki, dan Penjual Buah

Entah sudah berapa kali dengar atau baca ilustrasi ini. Ilustrasi sederhana yang sepertinya punya banyak versi :

Ada seorang ibu memiliki dua anak. Anak pertama bekerja sebagai penjual es buah, sedangkan anak kedua berjualan cendol hangat. Jika musim kemarau tiba, si ibu bersyukur karena es anaknya laku keras. Tapi sekaligus cemas memikirkan dagangan anak keduanya. Sebaliknya, di musim hujan, dagangan cendol hangat laku keras. Si ibu pun berbalik mengkhawatirkan anak pertama yang berjualan es. Di cuaca dingin, es kurang diminati pembeli.

Moral of the story : janganlah khawatir akan rezeki (atau apapun itu). Tuhan sanggup memberi penghidupan dalam situasi apapun.  Pesan yang mudah ditebak kan? *tapi kadang tak mudah dipraktikkan hehehe*.

Cerita ini, entah mengapa, begitu melekat di ingatan saya. Mungkin karena ceritanya simpel atau entah, mungkin ada sebab lain yang tidak saya tahu. Kan unik cara kerja ingatan itu : apa yang ingin kita ingat malah terlepas, sebaliknya yang ingin kita lupa malah melekat.

Nah, di suatu hari yang panas saya beli buah potong pada seorang pedagang keliling. Sambil menunggui si abang  memotong-motong buah, iseng-isenglah saya membuka obrolan. Mungkin karena cerita di atas sudah hafal di luar kepala, maka perkataan saya seperti terinspirasi dari situ.

"Wah, kalau panas gini laris lah ya, Bang," ujar saya.
"Ya gitulah, Kak. Alhamdullilah. Tapi nggak tentu juga. Kadang panas begini dagangan malah nggak habis. Tapi pas hujan-hujan, malah kehabisan," jawab si abang buah.

Rrrrrr... berarti memang bener banget yaa pesan cerita itu. Rezeki (dalam berbagai bentuknya), tidak bisa ditentukan oleh situasi. Ya sih, situasi mungkin berpengaruh. Tapi pengaruh is only pengaruh yang bisa berhasil memengaruhi, bisa juga gagal.

Jangan khawatir. Begitu banyak hal baik bisa terjadi di luar jangkauan pikiran kita.
#NgingetinDiriSendiri

Posting Komentar untuk "Kekhawatiran, Rezeki, dan Penjual Buah"