Cerita Hujan (1)

Hujan deras. Sangat deras. Bahkan tadi sempat disertai bungkahan es. Ah ya…ukuran bungkahan sepertinya berlebihan. Tapi menyebut butiran, juga kurang tepat. Es-nya mungkin sebesar kerikil. Ketika jatuh menimpa atap seng menimbulkan suara bergemelotak. Ale sampai menutup telinga….takut.

Selain disertai es, juga ada angin dan kilat. Bersyukur, aku dan Ale sudah tiba di rumah. Tadi kami sempat kehujanan. Untuk pertama kalinya, kami bedua kehujanan dengan naik sepeda motor. Habisssnyaa…sedari pagi rasanya malasssss sekali keluar. Bahkan malass ngapa2in. Sampai aku berpikir, kalau aku begini-begini terus, aku bakalan mati dilumat malas.

Bawaan hamil? Hisyyyy… aku benci punya dugaan seperti ini. Malas itu…bagaimanapun kan negatif. Dan ibu hamil tidak boleh tenggelam pada hal yang negatif-negatif. Tapi siang tadi memang panasss sekali. Demi agar-tidak-terlumat-malas plus karena memang ada keharusan untuk mengirim paket, akhirnya aku dan Ale keluar.

Mengirim paket ke Bengkalis-Riau, dengan alamat RT../RW.. Ds…, Kec… tampaknya bukan daerah perkotaan. Tempo hari aku sudah tanya ekspedisi RAW, bisa tidak menjangkau daerah itu. Mereka bilang tidak bisa. Dengan alamat di perkampungan, ekspedisi swasta biasanya tidak mau. Atau, kalaupun mau, charge-nya lebih mahal. Bahkan, pengalaman buruk, barang nggak diantar tapi penerima yang harus ambil ke kantor ekspedisi. Itu kalau penerima dilengkapi nomor telepon. Kalau tidak? Ya entah bagaimana nasib barang kiriman.

Tapi baiklah,..walau mendung sudah begitu menggantung. Bahkan, kilat sudah pamer cahaya, aku tetap mencoba ke Elteha. Dan seperti kuduga, Elteha tak bisa mengirim ke daerah itu. Nggak ada cabang di Bengkalis, kata si ibu Elteha. Jadi, akhirnya ke kantor pos deh.

Walo kadang nggak puas sama layanan kantor pos, tapi aku ga bisa bilang NO WAY sama kantor warna orange ini. Aku malas kirim paket via pos karena alasan persyaratan kemasan. Nggak bisa pake sembarang bungkus kayak ekspedisi lainnya. Di pos, paket mesti dibungkus dengan kertas warna coklat. Makanya, kalo kirim paket aku biasa pake ekspedisi lain. Tapi dalam kasus-kasus kiriman ke pelosok begini, pos Indonesia selalu jadi penyelamat. (Makasih Posindo –smile+wink)

Berhubung tadinya bukan bungkus coklat, akhirnya mesti re-packing dulu di kios depan pos. Pake amplop besar dan plastik, kena Rp 3 ribu. Lalu lanjut ke konter pos. Seperti biasa, ditanyai apa isi paket. Seperti biasa pula, bohong kecil (idihh…bohong ya tetap bohong!) sama petugas konter. Habisnya kirim parfum siiih… dan kalo jawab jujur, ga bakalan boleh tuh. Kan barang cair termasuk barang terlarang untuk dikirim.

Eh, selesai bayar, ada suara sirine di jalan depan kantor pos. Plus jalanan lengang. Nggak biasanya, karena Jalan Sutomo adalah jalan utama di Pematangsiantar. Jalan ini hanya lengang di tengah malam – dini hari atau pada situasi khusus. Oohh..rupanya ada pawai. Ada pasukan bawa bendera-bendera, juga ada grup-grup drumband. Kebanyakan anak sekolah sih.. Ale antusias sekali menonton (terutama pada mobil polisi yang tak berhenti menguing dengan lampu sirine yang menyala). Kutanya mbak sebelah, pawai apa? Pawai MTQ jawabnya. Pantesan..peserta perempuannya kok berhijab semua.

Tak menunggu pawai usai, aku memutuskan pergi dari kantor pos. Semula aku berencana belok ke toko buku Lumen. Pikirku, sembari nunggu hujan turun – reda, aku mau cari kado untuk ultah Echa, plus cari majalah untuk menggenapi majalan Sekolah Minggu yang kurang. Dan kuyakin pasti ada buku yang bisa kubeli (biasa deeh, kalau liat buku pasti lapar mata). Tapi Ale nggak mau. Dia mau pulang. Baiklah..sembari meluncur sembari bilang sama Tuhan, agar hujan turun kalau kami sudah sampai rumah. Tapi baru sampai jalan ke Kuil Dewi Kwan Im, hujan sudah turun. Lumayan deras. Sudah persiapan mantel sih…langsung deh berhenti, pake si mantel biru. Mantel lebar (bukan bentuk baju) sehingga mesti diduduki bagian ujung-ujungnya. Memastikan agar ujungnya tidak berkibar-kibar dan menimbulkan kecelakaan. Ale di depan, menutup dirinya dengan mantel dengan menyisakan pada bagian muka. Jadi seperti memakai kerudung.

Kami berdua tertawa-tawa. Kehujanan berdua di “kereta” untuk pertama kalinya, bukannya membuat kami merana. Dulu sering kehujanan kalau pulang liputan. Edisi kehujanan paling lekat di ingatan adalah suatu kali saat pulang petang dari Stadion si Jalak Harupat, Soreang. Hujan begitu deras. Lalu lintas begitu padat. Dan, seperti biasa, dengan drainase yang tak bagus, air cukup tinggi. Sampai pijakan kaki. Sepatu penuh dengan air, rasanya tak nyaman. Sehingga aku memutuskan untuk melepas sepatu. Jadi, naik sepeda motor dengan nyeker. Agak bahaya sebenarnya. Tapi saat itu, dengan begitu terasa lebih baik. Sampai di kantor (Jalan Riau), badan basah kuyup dan kotor. Perut lapar. Tapi tak bisa langsung istirahat. Mandi air hangat lalu makan sambil santai-santai berselimut nonton tivi? Oo..nanti duluuu…. Tugas lanjutan masih menanti. Nulis repotase-nya coyy…

Ya begitulah salah satu kenangan masa itu… Masa yang sudah sangat laluu.

Sore tadi, setelah kehujanan, kami langsung mandi. Lalu bercanda berdua di atas sofa (si dede kan belum bisa diajak bercanda interaktif..masih nyaman di perut). Kami tak menyalakan tivi karena guruh masih sering menggelegar. Tertawa-tawa dengan Ale, sempat juga marahan, karena kami rebutan hape. Hihihi…emaknya juga nggak mau ngalah :D. Coba kalau edisi kehujanan bermantel tadi ketahuan ayah..kayaknya bakalan kena ceramah deh :D. Tapi kan ayah lagi nggak ada (untungnya..wink-wink).

Bercanda-canda dengan manusia kecilku membuat pikiranku melayang pada ibu-ibu yang masih menunggu. Menunggu manusia kecil hadir di rahimnya. Saat hujan deras begini dan tak ada suami, tak ada bocah kecil yang menemani. Ah ya… selalu..selalu..aku berdoa untuk kesabaran dan kebahagiaan mereka. Segala sesuatu indah pada masanya—klise memang. Tapi akupun meyakini, begitulah adanya.

Posting Komentar untuk "Cerita Hujan (1)"