Libur Lebaran 2023, Menuntaskan Jejak di Sulawesi Selatan


Sejak pertengahan bulan lalu, saya kembali terserang virus covid males ngeblog. Halah… Sudah berkali-kali terserang virus ini, tapi kok nggak tercipta juga antibodi alaminya? Hehehe. Hawa liburan jadi alasan. Padahal mah ya, tanggal libur atau tidak, nggak beda jauh buat saya yang sehari-hari berkutat dengan tugas domestik hehehe.

Beda dengan suami dan anak-anak. Sebagai karyawan dan anak sekolah, jadwal libur lebih jelas terasa. Lebaran ini pak suami dan anak-anak libur semingguan saja. Libur tidak panjang. Maklum sekolah Katolik, libur yang lebih lama di Natal nanti. Kami memutuskan tidak mudik, karena Natal kemarin baru mudik. 

Budget mudik kami memang hanya sekali setahun. Kalau sampai mudik dua kali setahun (Natal dan Lebaran), itu pasti karena alasan khusus. Seperti tahun 2022. Pada Mei, kami mudik Lebaran. Tujuh bulan kemudian kami kembali mudik untuk Natalan. Mudik ekstra karena di tahun sebelumnya, kami sama sekali tidak menengok kampung halaman gara-gara si Covid.

Lebaran di kampung orang, jelas beda dengan lebaran di kampung sendiri. Saya beberapa kali menulis di blog ini, kalau di kampung asal di Temanggung sana, lebaran adalah perayaan sosial. Kami yang non-muslim biasa turut mengikuti berbagai tradisi lebaran, kecuali shalat ied. Saling berkunjung dengan saudara/tetangga adalah hal biasa. Tentu saja, di rumah-rumah jemaat gereja juga biasa tersaji toples-toples berisi kue-kue Lebaran (mungkin salah satunya kaleng Khong Guan yang berisi rengginang๐Ÿ˜).

Beda cerita ketika tinggal di perantauan. Kami juga tak harus berkunjung ke banyak rumah. Kalaupun ada yang harus dikunjungi, paling satu-dua rumah saja, yakni keluarga yang benar-benar kami kenal. Sebaliknya, rumah kami juga tak dikunjungi siapapun. Jadi, libur lebaran hampir selalu berarti mbolang entah kemana.

***

Lebaran tahun ini, kami berempat pergi menuntaskan wacana yang sudah yang dicetus sejak lama. Mengunjungi Danau Matano di Kabupaten Luwu Timur, itulah tujuan utamanya. Kenapa sih pengin banget ke Danau Matano? Nanti saya ceritakan di tulisan tersendiri tentang Matano ya… Oh ya, di Luwu Timur juga ada Danau Towuti. Rencananya, main ke Matano sekalian ke Towuti deh. 

Mengunjungi Matano dan Towuti akan menambah cerita kami tentang danau-danau di Sulawesi Selatan setelah tahun lalu kami mampir di Danau Tempe di Kabupaten Wajo. Walaupun sekadar mampir di satu sisi tepian, tak sampai berlayar menyusur danau, anggap sudah sah menjejak ya…๐Ÿ˜

Perjalanan ini juga berarti menuntaskan jejak di semua kabupaten/kota di Sulsel. Meski sebagian hanya menginjak daerah sepanjang jalur jalan raya, bukan mblusuk ke desa-desa, tolong ini juga dianggap sudah sah menjejak (maksa๐Ÿ™ƒ๐Ÿ™ƒ)

Menuntaskan jejak itu berlaku bagi saya dan anak-anak. Si ayah sih sudah duluan tuntas karena kerjaan dia memang muter-muter ke daerah. Tetapi, doski juga belum pernah ke Matano dan Towuti. Jadi, perjalanan ke dua danau itu akan sama-sama menjadi yang pertama buat kami berempat.

Sejak pindah ke Sulsel di medio 2020, si ayah memang sudah mengajak kami bertiga jalan-jalan ke berbagai tempat, seperti Toraja dan Tanjung Bira dengan rute yang tak selalu sama. Namun, dari sekian perjalanan, kami belum sampai wilayah Luwu Raya yang kini terbagi menjadi tiga kabupaten (Luwu, Luwu Utara, dan Luwu Timur), serta Kota Palopo. 

Jadi, mumpung masih di sini, lengkapkan jejaknya deh. Kalau nanti harus pindah lagi ~entah kemana~, setidaknya ada cerita kalau sudah menjejak semua kokab di Sulsel meski hanya selintas lewat. Syukur-syukur sempat ke provinsi sebelah.๐Ÿ™ƒ๐Ÿ™ƒ

***

Perjalanan kami dimulai pada hari Kamis pagi (20 April). BJ sempat sedikit manyun karena kami terlambat sekitar satu jam dari rencana semula akibat urusan printilan.  Kami akan menempuh perjalanan yang lumayan panjang. Kalau ditotal, jaraknya sekitar 600 km untuk satu kali perjalanan (bukan bolak-balik). Berbeda sengan Jawa dan Sumatera yang sudah terhubung jalur bebas hambatan antar kota, di Sulsel jalan tol baru ada di Kota Makassar. Jadi, dengan jarak yang sama, durasi perjalanan tentu akan berbeda.

Rencana rutenya adalah : Makassar - Maros - Pangkajene Kepulauan - Barru - Parepare - Sidrap - Luwu - Palopo - Luwu lagi (karena Palopo hampir “dikelilingi” Luwu) - Luwu Utara (menginap di Masamba) - paginya lanjut Luwu Timur.  

Ngikut kata driver dah..๐Ÿ˜

Saya dan anak-anak sudah beberapa kali menjalani Rute Makassar - Sidrap (kalau si ayah sih sudah sampai hafal letak lubang di jalan). Saya baru mendapat pemandangan baru setelah melewati Sidrap menuju Luwu. Waktu itu H-2 Lebaran, tetapi kondisi lalu lintas tidak padat. Kalaupun macet, biasanya di pasar atau pusat-pusat keramaian. Masih macet yang wajar. 

Kami tiba di Palopo ketika hari sudah gelap. Putar-putar cari tempat makan, tetapi semua penuh karena waktunya buka puasa. Ya sudah, istirahat cari cemilan di Alfamart saja, baru lanjut ke Masamba. Di perjalananan. saya baru booking hotel di Masamba melalui O*O. Memang sengaja tidak pesan jauh hari karena jaga-jaga kalau tiba-tiba berubah rencana. 

Tiba di hotel yang kami pesan, resepsionisnya bilang, “kami tidak kerja-sama dengan O*O. Di O*O, tarif hotel suka dibikin murah tanpa konfirmasi" 

Hedewwww… ini pengalaman pertama coba pesan pakai O*O dan ternyata zonk hehehe. Bersyukur ada kamar, jadi kami nggak perlu keluar cari hotel lain. Kamar sederhana, tapi bersih dan muat untuk kami berempat. Badan sudah capek karena perjalanan seharian. Setelah mandi, kami cepat tidur supaya esok hari sudah segar.

Puji Tuhan, Jumat pagi semua bangun dengan sehat. Langsung cuzz melanjutkan perjalanan. Meski tidak semuanya lebar, jalan poros Sulsel - Sultra lumayan bagus, lalu lintas juga tidak padat. Di beberapa titik, kami melihat jemaah melakukan shalat ied. Rintik hujan menyertai perjalanan kami. 

Berhubung waktu cukup longgar, kami memutuskan untuk tidak langsung ke Danau Matano tetapi menyimpang dulu ke arah Kendari. BJ sama sekali belum pernah ke sini, jadi kami mengandalkan G-map sebagai pemandu. Masalahnya, sinyal terkadang nge-lag sehingga posisi kendaraan di peta terlambat ketimbang aslinya. Akibatnya, kami sempat salah arah.


Bersyukur, akhirnya kendaraan berhasil kembali ke jalan yang benar. Keluar Kota Malili (ibukota Luwu Timur), kendaraan menjejak jalur tepian Teluk Bone. Meski tak jauh dari laut, jalan menanjak tajam dan berkelok. Bersyukurnya kondisi aspal sudah halus sehingga tidak menambah kesulitan. Sisi kanan dan kiri memberikan pemandangan kontras. Sebagian sisi kanan adalah lereng jurang yang menuju tepi laut. Sedangkan sisi kiri adalah dinding tebing dengan bahaya runtuhan batu (terlihat dari puing-puing batu di jalan). 

Teluk Bone di "ujung jalan"


Poros Sulsel - Sultra, dekat laut tapi berkabut


Siang itu, jalan sangat sepi. Ditambah lagi cuaca yang sebelumnya cerah berangsur berkabut. Secara posisi, bukan dataran tinggi (dekat dengan permukaan laut). Namun, mungkin karena pegunungan, jadi ada kabut tebal. Mana sinyal HP tak ada yang aktif, kalau ada hal buruk hanya bisa menunggu pertolongan dari kendaraan yang lewat. Seingat saya, waktu itu hanya sekali melewati kendaraan lain yang sedang dalam posisi berhenti. Jujur agak ngeri sih..

Sebab itu, rasanya lega ketika melihat gerbang perbatasan Sulsel - Sultra. Artinya, daerah di seberang jembatan sudah masuk wilayah Kabupaten Kolaka Utara. Di perbatasan ini hanya tampak beberapa kios dan rumah. Jarak pandang terbatas kabut, tetapi kami masih bisa melihat alat-alat berat parkir di sisi jalan. Kami parkir untuk jalan-jalan seputar gerbang. Meski hanya beberapa langkah, kami sudah menginjak Sultra dong…

Gerbang-batas-sulsel-sultra
Gerbang perbatasan Sulsel - Sultra

๐Ÿ˜❤️ LSD & BJ ❤️๐Ÿ˜


599 kilometers from Makassar

Kabut tebal siang-siang

Kalau mau ke Kendari, masih ratusan kilometer lagi.

Haha, nggak dulu deh. Sebentar di sana, kami balik arah ke Malili, lalu lanjut perjalanan ke tujuan awal, yaitu Matano dan Towuti. Oh ya, sebagian sisi Danau Matano terletak di Desa Sorowako yang merupakan lokasi PT Vale Indonesia, sebuah BUMN yang bergerak di penambangan nikel. Selama ini, saya cuma sekilas saja baca nama PT Vale di berita-berita ekonomi. Surprise buat kami, sebagian sisi tambang bisa dilihat dari jalan raya. Kami berempat cukup dibuat ternganga dengan pemandangan tambang besar. 

pemandangan PT Vale Indonesia dari jalan


Tempo hari, kami memang sempat lewat pabrik dan lokasi tambang semen Tonasa ketika menjajal kereta api Makassar - Parepare. Namun, pemandangan tambang lebih jelas di Sorowako ini. Bangunan pabrik dan kendaraan tambang yang serba raksasa, lalu-lalang mobil four wheel di jalanan, juga lingkungan kota tambang yang tertata modern adalah hal baru buat kami (tentunya sudah merupakan perkara biasa buat orang-orang di sekitar pertambangan). Saya langsung terhubung dengan cerita-cerita yang pernah saya baca tentang tambang Freeport di Papua. 

Sejak berangkat dari Makassar, saya berpikir jika Sorowako adalah nama kota. Status kota diperkuar oleh rangkaian huruf berbunyi “Sorowako Mining Town” di satu sisi jalan. Saya kembali surprised ketika tahu status Sorowako secara administrasi wilayah. Daerah sebesar dan sebagus itu ternyata tercatat sebagai desa yang masuk Kecamatan Nuha. 

Sorowako
Sorowako Mining Town


Wah…”desa” yang langka. Desa dengan penampilan fisik serupa kota kecil. Jalan yang cukup lebar dan halus, mobil-mobil bagus yang lalu lalang, minimarket di beberapa titik, taman yang rapi dan pemukiman yang cantik. Oh ya, ada lagi fasilitas yang mungkin jarang terdapat di desa, yakni bandara. Meski bandara kecil, tetap bandara toh… 

Mayoritas saham PT Vale masih dimiliki asing (Vale Canada Limited). Berkorelasi nggak ya dengan keberadaan karyawan ekspatriat? Sepanjang menyusur Sorowako, saya tidak ketemu satu pun wajah bule. Entah memang tidak ada atau pada pergi karena libur lebaran? Kalau ada teman_DW yang tahu tentang Sorowako, bisa berbagi di komentar yaa…

Hari itu kami habiskan dengan mengunjungi Danau Towuti lebih dulu, baru kemudian ke Danau Matano. Sebenarnya, di peta ada perairan yang tak jauh dari Towuti dan Mahalona, yakni Danau Mahalona. Namanya mirip dengan Samalona, pulau dengan laut cantik dekat Kota Makassar. Namun, kami memutuskan tidak mampir ke Mahalona.

Kami bermalam di hotel di tepi Danau Matano. Capek banget sih kalau mesti kembali hari itu juga. Paginya, kami meninggalkan Sorowako, melalui rute yang sama dengan perjalanan saat berangkat. Sabtu pagi, artinya kami jalan saat Lebaran pertama versi pemerintah. Dampaknya, menjelang jam makan siang, kami tak menemukan satupun warung makan yang buka.

Puji Tuhan, kami terselamatkan oleh Alfaapril๐Ÿ˜ dan Indoapril๐Ÿ˜ untuk beli cemilan/makanan atau numpang ke toilet. Akhirnya, jadi ada alasan urgent untuk mencoba menu nasi kemasan di Indoapril. Ndilalah, microwave-nya sempat bermasalah, jadi kami cukup lama menunggu si nasi bisa dihangatkan. Saya menunggui microwave sembari ngobrol sama Kang Indoapril. S = saya, KI = Kang Indoapril.

S : “Dari tadi banyak anak-anak kecil belanja.”
KI : “Ya..begitulah, mereka lagi banyak uang sih..”
S : “Hari pertama Lebaran pun tetap harus kerja yaa..”
KI : “Iya sih. Tapi nggak apa-apa, saya sih senang saja, toh dapat uang lembur.”
S : “Saya juga jadi terbantu, karena nggak ada warung makan buka.”

Itu sepetik obrolan dengan KI. Sebenarnya lebih panjang lagi sih, soalnya cukup lama juga nunggu nasinya hangat. Seneng sih lihat wajah2 staf minimarket yang tetap (atau masih?) semangat dan ramah. Kami bisa lanjut jalan lagi deh setelah mengisi perut dengan hidangan lebaran ala Indoapril.

Dari sejak start pulang memang tidak ada target harus sampai rumah. Lha wong pas berangkat saja sempat semalam di Masamba. Pasti akan sangat larut jika mengejar sampai Makassar di hari itu juga. Di perjalanan, kami memutuskan untuk menginap di Parepare. Kota kelahiran presiden ke-3 RI, BJ Habibie ini punya pemandangan indah lho.. Next, juga akan saya ceritakan dalam tulisan tersendiri. 

Minggu pagi, kami bertolak kembali ke Makassar. Puji Tuhan, jalan-jalan Lebaran 2023 berakhir dengan selamat dan sehat. Mudah-mudahan panjang umur dan sehat sehingga bisa kembali jalan-jalan di Lebaran 2024.❤️❤️






 









  

1 komentar untuk "Libur Lebaran 2023, Menuntaskan Jejak di Sulawesi Selatan"

  1. Lebaran memang menjadi momen yang pas untuk mudik apalagi kalau jauh, bisa jadi kesempatan yang tepat untuk bertemu keluarga maupun berkunjung ke tempat yang diinginkan. Sulsel jauh dari sini, tapi penasaran sama Danau Matano yang unik namanya. Terima kasih informasinya, ditunggu artikel selanjutnya!

    BalasHapus

Terima kasih atas kunjungannya. Mohon tidak meninggalkan link hidup dalam komentar ya :)