Obrolan Fiksi dengan RA Kartini





gambar dari internet, tidak tahu sumber aslinya








Inilah aku hari ini :

Bersembunyi di balik perdu taman dengan kebaya warna pastel dan kain batik yang kupasang longgar. Sebenarnya, untuk perjalanan misterius seperti ini, kebaya dan jarik sungguh bukan pakaian yang praktis. Terlebih dengan selapis tipis pupur1 dan gincu di wajahku yang bundar. Riasan yang kini teraliri keringat dingin di beberapa bagian.

Tapi masih bersyukur di kepalaku tidak terpasang sanggul. Ini karena aku baru saja memangkas rambutku sangat-sangat pendek. Tukang salon dekat rumah sudah bereksperimen memasang sanggul di kepalaku. Namun, hasilnya tidak bagus. Ya wis lah...aku nggak sanggul-sanggulan. Memang penampilanku jadi tidak paripurna. Tapi dengan berkebaya dan berkain jarik, mudah-mudahan aku cukup layak untuk datang ke zaman ini.



Sebenarnya, ini adalah tujuan dadakan. Sebelumnya aku memilih tujuan ke masa pembangunan piramida Mesir. Aku selalu kagum dengan megakonstruksi di masa lalu. Bagaimana dengan teknologi yang tidak semaju saat ini, manusia mampu mendirikan bangunan-bangunan yang menakjubkan. Namun, menjelang keberangkatan, panitia menyebutkan ada sedikit trouble untuk mengirim ke tempat itu. Dalam waktu yang sempit mereka memintaku untuk mengubah tujuan, yakni area domestik saja.

Aku bingung dong dengan todongan perubahan yang mendadak itu. Dalam sempitnya waktu, mataku tertumbuk pada kalender. Ini bulan April, tetiba muncul ide untuk pergi ke masa Kartini. Iyesss, masa Ibu Kartini! Kurasa ini ide yang cukup brilian.

***

Beberapa waktu lalu :

Aku sedang memetik sayur di halaman rumah ketika seorang kurir datang menyerahkan amplop coklat berukuran sedang. Masker menutupi sebagian besar area wajahnya. Namun dari kerut kening dan pancaran matanya, aku menangkap situasi yang sangat penting.

“Ibu Lisdha?” dia bertanya dan kujawab dengan anggukan.

“Ini urgent, mohon segera dibaca,” kata si kurir dengan tegas.

We lhaa... urgent dan mohon segera dibaca kok kirimnya pakai kurir. Kenapa nggak lewat WA atau DM atau messenger atau kalau ini informasi formal kan bisa lewat email. Aku menerima amplop itu dan mencari identitas pengirim.

Tak ada identitas orang tetapi ada kop berisi nama dan tagline lembaga pengirim surat di bagian atas amplop. Time Travel Enterprise, More Than Make You Fly.

Aku terkesima. Buru-buru kurobek amplop itu dan kubaca isi surat di dalamnya. Isi suratnya pendek dan singkat tetapi memberi efek kejut yang luwar biyasah. AKU MEMENANGKAN KESEMPATAN UNTUK MENJAJAL MESIN WAKTU!!!!!!!!

Sungguh, suatu hal yang sejauh ini baru mungkin terjadi di dunia fiksi.

Suprise!!!! Mimpi apa sehingga aku bisa memenangkan kesempatan ini? Sepanjang sejarahnya, Time Travel Enterprise (selanjutnya kusingkat TTE) sudah lima kali berhasil mengirim orang ke dimensi waktu yang berbeda. Lima kali tanpa insiden!!! Jadi, ketika beberapa bulan lalu mereka mengadakan audisi untuk penyelenggaraan ke-enam kalinya, aku iseng ikut serta. Tak perlu aku ceritakan bagaimana prosesnya. Singkat cerita, aku menerima pemberitahuan ini.

Tetiba ada notifikasi dari aplikasi TTE dari telepon pintarku yang menyatakan aku lolos sebagai pemenang audisi. Aneh benerrr, pemberitahuan lewat internet malah lebih lambat daripada lewat surat. Ah ya, mungkin memang demikian setting mereka, entah apa maksudnya. Tapi pokoknya fixed, aku akan menjajal perjalanan ke waktu yang berbeda.

Aku sangat bersemangat sekaligus berdebar-debar.

***

Aku hanya punya waktu satu jam. Arloji khusus dari TTE di tanganku menunjukkan sudah sekitar 15 menit aku “mendarat” di tempat ini. Duuuh, waktuku tinggal 45 menit tapi belum ada seseorang yang menghampiriku di sini. Sebelum masuk mesin waktu, aku berhasil mengatur janji (ingat, ini dunia fiksi!). Aku akan dibantu untuk masuk secara sembunyi-sembunyi, jangan sampai ketahuan prajurit. Bagaimanapun, aku bukan tamu yang masuk melalui protokol kesehatan resmi kabupaten. Aku masuk secara ilegal.

Masih dari balik perdu, aku mengamati situasi. Sepertinya ini bangunan di belakang istana, tampak dari bangunan yang jauh lebih besar di bagian depan. Di dekat aku bersembunyi, bangunannya lebih kecil dengan halaman cukup luas. Seluruh sisi halaman berdiri tembok tebal dan tinggi. Aku tak paham tentang arsitektur. Namun, aku terpesona pada hiasan ukiran di bagian-bagian berkayu. Jepara itu kan terkenal dengan ukirannya.

Suasana lengang. Detik terus berputar. Bersyukur, tak berapa lama, dua sosok tubuh tampak muncul dari gandok sebelah kanan. Aku cukup familiar dengan sosok yang berada di depan. Sosok yang tak berbeda jauh dengan visual yang selama ini aku lihat di buku-buku sejarah. Cantik berkebaya dengan sanggul berhias bunga. Dibandingkan usiaku yang sudah menginjak kepala empat, beliau terlihat sangat muda.

Sedangkan sosok yang di belakang tampak lebih sederhana. Kurasa itu abdi dalem.

Dua perempuan itu tampak berbincang. Lalu perempuan yang lebih sederhana mendekat ke arahku. Aku gemetaran. Kalau sampai tertangkap prajurit dan melewati waktu yang ditetapkan, aku tak akan bisa kembali ke masa sekarang.

Sekarang, perempuan yang kuduga abdi dalem itu memetik sesuatu dari tanaman perdu di depanku. “Mbak Lisdha, Anda ikuti saya,” kudengar bisiknya pelan. Rupanya ia hanya pura-pura memetik sesuatu. Pasti ia telah diberitahu raden ayu kalau aku bersembunyi di sini.

Bergegas aku keluar dan mengikuti langkah perempuan itu. Kami berjalan cepat melintasi taman, lalu tiba di sebuah ruangan yang berisi banyak buku. Kurasa ini taman pustaka Kartini, tempat ia menghabiskan waktu dalam pingitan. Sempat kulirik judul-judul buku yang dekat denganku. Omaaak...sepertinya Bahasa Belanda. Manalah aku paham.

Aku berdiri membungkuk sembari menangkupkan tangan. Entah ini cukup sopan atau tidak untuk kedatangan seorang jelata ke area puri kabupaten. Jangan-jangan aku harus berlutut ala adegan ketoprak? Di luar dugaan, beliau malah mengajakku bersalaman. Dia menggenggam tanganku erat-erat.

“Raden Ayu, maturnuwun kagem wekdal punika. Saestu kawula bingah saged pepanggihan. Kadya impen dados kasunyatan2,” aku mencoba berbicara Jawa halus, tapi sepertinya kacau balau.

Beliau tertawa kecil. “Bahasa Jawamu aneh. Sudahlah, pakai bahasa Indonesia saja.”

Aku terkesima. Beliau sungguh mengerti kegalauanku. Kalau bicara Jawa ngoko aku memang lancar jaya. Tapi kalau harus Jawa halus ala istana, sudah pasti akan banyak kacaunya. Tapi sebentar,...... aku mendengar kata Indonesia keluar dari bibir seseorang di zaman Hindia Belanda. Apakah aku bertemu dengan dia yang sudah mengetahui perkembangan jauh ke depan?

“Kamu juga tampak kurang nyaman dengan outfitmu. Mending kamu ganti baju. Kamu membawa tas, pasti bawa baju ganti. Jangan hanya gara-gara bertemu denganku lalu kamu memaksa diri untuk berpakaian seperti itu.”

Eh? Eh? Eh? Raden Ayu bisa menebak isi tasku. Aku tidak salah dengar? Ganti outfit? Di masa kini saja, hari Kartini identik dengan kebaya. Aku mencoba memastikan tapi tetap kudapat saran yang sama.

“Tapi saya hanya bawa celana jeans dan kemeja flannel Raden Ayu,” aku berusaha menyanggah.

“Ya nggak apa-apa to...aku justru ingin melihat, bagaimana salah cara berpakaian perempuan di masa depan.”

Meski agak sungkan, akhirnya aku menurut. Di sebuah bilik kecil, aku bersegera mengganti kebaya dan jarik dengan pakaian yang kusebut tadi. Raden Ayu terlihat antusias melihat penampilan baruku. “Oh ya, tak perlu memanggilku Raden Ayu, panggil aku Kartini saja3.”

Kali ini aku memberanikan diri untuk menolak. “Boleh saya tetap memanggil Den Ayu? Saya ingin lebih merasakan suasana masa ini.”

***

Kami berbincang ini itu dengan suara pelan. Jangan sampai suara kami terdengar hingga keluar ruangan. “Jadi Den Ayu tahu kalau Anda dijadikan pahlawan emansipasi perempuan?” aku bertanya.

“Ya, kudengar demikian. Sesungguhnya kata emansipasi itu belum ada pada zamanku tapi tidak terlalu sulit untuk memahami maknanya. Sesungguhnya, pahlawan bukanlah sebutan yang mutlak. Seseorang yang disebut pahlawan pada suatu bangsa, sangat mungkin adalah penjahat bagi bangsa lain. Kau tahu, pada zamanku aku dianggap pembangkang. Namun, di masa jauh ke depan, aku disebut pahlawan.”

“Apakah Den Ayu senang?”

“Ini pertanyaan yang sulit dijawab,” ia menghela nafas. “Kalaupun aku senang, itu bukan karena statusku. Namun, lebih karena perkembangan yang terjadi. Di satu sisi, aku merasa belum banyak melakukan hal berarti sebelum aku mati. Aku gagal mewujudkan impian belajar ke Eropa. Aku juga belum berhasil memperjuangkan banyak nilai-nilai yang kuyakini. Di sisi lain, aku senang dengan perkembangan perempuan hingga ke zamanmu ini. Banyak perempuan yang bisa tampil mengemuka tanpa hambatan sekeras seperti di zamanku. Meski memang, tetap masih banyak perempuan terbelakang. Kurasa itu bukan hanya masalah perempuan, tapi masalah umat manusia.”

“Den Ayu disebut-sebut sebagai pelopor feminisme di Indonesia.”

“Kata-kata seperti buah pepohonan. Ada buah-buah yang lestari, tapi ada juga buah-buah yang jatuh musnah, lalu tumbuh buah-buah yang baru. Sepertinya aku tidak mengenal kata feminisme pada masaku. Tapi hampir sama dengan emansipasi, aku tidak terlalu sulit memahami kata itu.”

“Bagaimana dengan feminazi? Den Ayu juga tahu istilah ini?”

“Keinginan untuk berkuasa mungkin sudah ada sejak dimulainya sejarah manusia. Perempuan sering dianggap warga kelas dua. Manusiawi ketika ada hasrat yang kuat untuk beralih posisi menjadi kelas satu, menjadi lebih berkuasa dibandingkan kelas di bawahnya. Namun seperti kubilang tadi, bagiku masalah perempuan adalah masalah kemanusiaan. Seharusnya bukanlah perjuangan untuk ganti mengalahkan. Patriarkhi tidak punya jenis kelamin. Ia bisa merasuk pada lelaki maupun perempuan.”

Aku menarik nafas panjang. Berbincang dengan beliau, waktu seolah berlalu sedemikian cepat. Waktuku tinggal sepuluh menit.

“Pertanyaan terakhir, Den Ayu. Apakah Den Ayu juga tahu kalau ada orang-orang yang kontra dengan status pahlawan emansipasi pada Den Ayu?”

“Seperti di obrolan tadi, status pahlawan tidaklah mutlak. Saat aku hidup, aku menanggung banyak beban akibat pikiranku yang berbeda dengan masa itu. Saat sudah mati pun, aku harus menanggung beban tersebab dijadikan pahlawan. Padahal, banyak perempuan lain yang dianggap melakukan tindakan lebih nyata daripada sekadar surat-menyurat buah pikiran? Kalau hidup di zamanmu, mungkin orang akan menyebutku omong doang. Tapi aku bisa apa? Status itu juga bukan aku yang meminta. Aku bukan prajurit, tetapi bila menjadi pahlawan adalah tugas, maka aku hanya bisa mengatakan siap!”

Seorang abdi dalem masuk dan menghampiri Den Ayu. Pelan, ia mengucap kata-kata yang aku tidak mengerti. Pada waktu yang sama, alarm penanda waktuku sudah berbunyi.

“Terima kasih sudah berkunjung ke sini. Namun, ada saudaraku yang akan datang kemari. Kamu harus pergi. Hal terakhir yang kusampaikan padamu, sepertinya semua bangsa memerlukan simbol, baik berupa benda yang sejak semula mati atau semula hidup kemudian mati. Aku dijadikan salah satu simbol perjuangan. Kalau menurutku , aku justru adalah martir. Ya mungkin itu istilah yang tidak tepat karena aku memang sudah mati. Namun, dengan menjadi simbol, kehidupanku masih terus diingat. Bukan selalu diingat dalam arti positif, tapi diingat untuk diusik, dipertanyakan relevansiku dengan status yang kusandang. Namun, aku terbiasa menghadapi pertentangan. Tugas pahlawan ini berat, tapi aku bersedia menjalankan tugas sebaik mungkin. Aku tahu, aku tidak akan bisa memenuhi harapan semua orang, bahkan mungkin semua harapanku sendiri.”

Zwiiiiiuuuuuuuuuuuuup....

Aku belum sempat berterima kasih dan pamit ketika energi mesin waktu menarikku kembali ke masa depan. Aku harus menyudahi imajinasiku jika tak mau dibilang tukang mengkhayal doang.

----------------------------------------------

1. Pupur = bedak

2. “Raden Ayu, maturnuwun kagem wekdal punika. Saestu kawula bingah saged pepanggihan. Kadya impen dados kasunyatan : Raden Ayu terima kasih untuk waktu ini. Sungguh saya bahagia bisa berjumpa. Seperti impian yang menjadi nyata.

3. Panggil Aku Kartini Saja : judul buku Pramoedya Ananta Toer

--------------------------------------------------

Untuk PAT dan YBM : terima kasih atas cerita-cerita yang menginspirasi

Untuk diriku : selamat, akhirnya kamu bisa kembali membikin cerita fiksi meski mungkin masih kacau sekali, semoga berlanjutttt. Semangat!!!

48 komentar untuk "Obrolan Fiksi dengan RA Kartini"

  1. Mbaaaaa, ya ampuuun daya ledak imajinasi-mu sungguh warbiyasaaakk!
    Anti-mainstream banget mbaa
    syukaaakkk!

    Kapan2 bikin obrolan fiksi dgn sosok lain yg juga inspiring ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. thank you maak nurul.
      Haha, nunggu wangsit dolo mak..ini juga baru bisa setelah sekian tahun tak ada satu pun fiksi yang berhasil aku tulis

      Hapus
  2. keren mbak obrolan imajinernya. Ternyata bisa nulis fiksi juga ya, bagus lho mbak.

    btw, saya kalau bahasa kromo juga susah, bisanya jowo ngoko aja

    BalasHapus
    Balasan
    1. apalagi kalau bahasa keraton ya mak.. pernah lihat di youtube, bahkan banyak kosakata yang asing bagiku

      Hapus
  3. Suka mba tulisan fiksinya, ide menarik tentang TTE dan berhasil bincang dengan Den AYu :) btw bahasa jawanya mantul sebagai urang sunda nambah lagi nih tentang bahasa Jawa

    BalasHapus
    Balasan
    1. hihi..ini entah bener atau salah sih mbak bahasa jawa-nya. kalau bahasa jawa alus aku juga sepenuhnya lancar

      Hapus
  4. Keren banget Mbak Lisdha..suka dengan poin yang ditanyakan dan jawaban Den Ayu yang brilian. Terkait kepahlawanan, aku paling heran kenapa sih diributkan..ya sudahlah, pasti ada pertimbangan tersendiri kenapa RA Kartini, tanpa emgesampingkan perjuagan tokoh perempuan lainnya. Mereka yang sudah tiada pun mungkin enggak memepersoalkan karena mereka yang berjuang biasanya malah rendah hati enggak mau terlalu disanjung dan dipuji

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya mbak dian. itu juga salah satu keheranan saya.
      No hero is perfect, i think..
      sepahlawan apapun MANUSIA, pasti punya sisi gelap

      Hapus
  5. Aku jadi bayangin mba Lisdha beneran ketemu beliau 😄 bener2. Nggak kacau kok mba. Bagus. Aku udah mau tidur baca ini sebentar. Bacaan ada pesan beratnya tapi teteup disajikan ringan. Nyaman bacanya

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasiih mbak ucig. beneran ketemu lhooo..dalam imajinasi hihihi

      Hapus
  6. Hahahaa mbaaak Lisdha, seru nih fiksinya. Bikin lagi gih Mbak, dengan inspirator tokoh yang lain.

    Ibu Kartini selain menginspirasi selalu membuat geger tiap tahun karena diributkan soal kepahlawanannya. XD

    BalasHapus
    Balasan
    1. haha..cari wangsit dulu mbak.
      Mana tau bisa ketemu Rara Mendut dalam dunia fantasi :)

      Hapus
  7. Kartini ngomongin outfit segala, hahaha. Tahun lalu aku lumayan baca-baca sejarah Kartini dan Teman-temannya. Menarik banget sih kalau mau dikupas satu-satunya apalagi pakai imajinasi kaya gini. Liar

    BalasHapus
    Balasan
    1. gimana kalau perayaan ibu kartini di adalah untuk membuka kembali surat2 kartini...bukan sekedar berkebaya, walau berkebaya jelas tidak salah

      Hapus
  8. Zaman saya kecil, Hari Kartini memang taunya sekadar perayaan dan pakai baju daerah. Di era digital ini, justru mulai timbul pro kontra, ya. Dan, cara menuturkannya di sini dalam bentuk fiksi memang unik

    BalasHapus
    Balasan
    1. berbaju daerah tidak salah memang ya kan mbak, tapi....

      Hapus
  9. meskipun tanpa gambar tapi aku suka banget baca dari awal sampai akhir, seru mba terbawa membayangkan suasananya kaya apa.

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasih mb cici, ntar kita sama2 naik Time travel machine yaa :)

      Hapus
  10. Aah.. senengnya bisa bikin fiksi lagi. Meski terkesan singkat tapi aku menikmatinya karena kembali ke masa di mana R.A Kartini masih ada. Oh, senengnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya mbak eri..rasa senengnya masih terasa hingga mau ganti bulan hehehe

      Hapus
  11. Keren siiih bisa menulis fiksi senyata ini Mbak ayo nulis lagi yang lain dengan tokoh lain..

    BalasHapus
    Balasan
    1. mesti belajar lagi ke mb dewi inih..saya sudah lamaaaa sekali nggak nulis fiksi mbak

      Hapus
  12. Seru juga ya fiksinya tokoh inspiratif RA Kartini yang jelas inspirasi banget emang

    BalasHapus
    Balasan
    1. inspiratif dan banyak kontroversi ya kan mbak

      Hapus
  13. omg mbak, kok keren gini sih bikin cerita fiksinya
    nama perusahaannya juga cocok banget
    aku klo ada mesin waktu, pengen datang ke zaman mesir kuno juga mbak, mau nanya tips cleopatra kok bisa cantik bgt gitu, hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasiih maak..
      wah iya, tadinya kalo ke bisa ke mesir bisa sekalian ketemu cleopatra yaak :)

      Hapus
  14. Yang harus digaris bawahi itu "inget ini fiksi ya" tapi aku berasa ini beneran loh, dan ceritamu sungguh luar biasa sekali mbak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasih mbak chie. Saya bold soalnya jujur ada khawatir kalau ada yg protes Kartini difiksikan :)

      Hapus
  15. Awalnya aku ga gak nngeh kalau ini fiksi, padahal di judulnya ada ya. Baru masuk paragpaph ke4 aku ngeh oh ini fiksi. Bener-bener kaya nyata aku bacanya, ada mesin waktu segala

    BalasHapus
    Balasan
    1. efek lihat fim scie-fi nih mbak hehehe...pengen jd time traveller

      Hapus
  16. gileee mbak pokoknya saya nggak mau komen banyak2 deh ya, ini mah out of the box banget sampe saya baca berulang2 takutnya saya salah menafsirkan wkwkkwk.. keren, keren, keren!

    BalasHapus
  17. "Saat aku hidup, aku menanggung banyak beban akibat pikiranku yang berbeda dengan masa itu. Saat sudah mati pun, aku harus menanggung beban tersebab dijadikan pahlawan."

    Lanjutkan bikin fiksinya mba. Awalnya kukira ini cerita mimpi imajinasi tokoh utama. Lalu ngeh ktk baca mesin waktu. Hihi

    BalasHapus
    Balasan
    1. pada masanya kartini adalah pembangkang. :)

      Hapus
  18. Aku jadi ingat salah seorang blogger yang kerap membuat konteplating atas buku-buku bacaannya.
    Sungguh bentuk review yang membuat pembacanya serasa terserap kembali ke zaman tersebut.

    BalasHapus
    Balasan
    1. wah..blognya apa itu teh?
      pengen bacaaa ...

      Hapus
  19. Mbak kamu kok iso boso jowo alus? Aslinya org jawa? Hmmm #kepoh
    Eh ternyata di Jepara bahasanya juga gtu ya?
    Btw bbrp hari terakir aku banyak baca soal Kartini di bbrp artikel ternyata ada kekecewaan krn ternyata suaminya punya dua selir lagi selain dia ya. Yg kyknya sangat bertentangan dgn buah pemikirannya itu. Itu yg disebut2 mempengaruhi kondisi kehamilannya jg dan akhirnya meninggal muda gtu...

    BalasHapus
    Balasan
    1. aku jowo yg kemarin2 tinggal di medan dan sekarang terdampar di (dekat) makassar mak :)
      Dalam real life, sepertinya aku pernah sekali ke Jepara. Lupa2 ingat soalnya sudah lamaaaaa banget. Kartini banyak menentang kebiasaan di zaman itu. terbayang kalau di masa sekarang, mungkin dia akan dicap liberal dan kebarat2an

      Hapus
  20. Meski ini fiksi tapi alurnya enak dinikmati. Serasa saya ikutan menjelajah mesin waktu juga 😃

    BalasHapus
    Balasan
    1. seandainya memang ada ya mak..bisa rombongan ke masa lalu hihihi

      Hapus
  21. Waaah aku jadi rindu nulis fiksi lagi Mba. Mba keren cus ah bikin lagi Mba, enak dibacanya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasih mbak nyi... mak nyi malah pernah bikin buku fiksi kalau ga salah ya?

      Hapus
  22. Mbkkk suka banget sama fiksinya. Menikmati banget kata demi katanya.. Keren banget mbk

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasihhh mbak Is.. semoga ada karya fiksiku lagi

      Hapus
  23. wah ketemu dengan beliau ya, mantap

    BalasHapus
  24. Keren banget fiksinya mbaaaak, ah serasa beneran nyata ya ini. ALurnya keren ga bosenin

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasih mbak tian. jd booster buat aku nulis fiksi lagi

      Hapus

Terima kasih atas kunjungannya. Mohon tidak meninggalkan link hidup dalam komentar ya :)