Sepuluh Bulan di Makassar

 

satu senja di Pantai Akarena - Makassar

Maret 2021. Tang-ting-tung, ternyata sudah hampir sepuluh bulan saya dan anak-anak di Makassar. Berbeda dengan BJ yang sudah setahun lebih sedikit. Tahun lalu, BJ memang berangkat lebih dulu. Sedangkan saya, Ale, dan Elo menyusul kemudian karena menunggu kenaikan kelas.

Pindah-pindah kota karena konsekuensi tugas suami, sudah bukan hal aneh lagi. Duluuu, saya pernah membaca cerita sebuah keluarga. Jika saya tidak salah ingat, dalam lima tahun mereka pindah meliputi lima kota di tiga negara. Anak-anak mereka lahir di negara yang berbeda-beda. Saya lupa bagaimana cerita tentang kewarganegaraan anak-anak mereka.

Kepindahan kami memang hanya sebatas wilayah domestik, yang tak butuh paspor dan visa dalam perjalanan. Namun, dalam hal jarak, bukankah dalam dan luar negeri sering menimbulkan ilusi? Seperti Medan - Singapura yang hanya perlu terbang kurang dari dua jam.  Sementara, Medan - Makassar malah butuh waktu terbang sekitar dari empat jam (belum termasuk transit).

Pindah, mau jauh atau dekat tetaplah pindah. Satu proses yang butuh energi ekstra untuk berkemas dan penyesuaian kembali.

Wait....

Sebenarnya secara presisi kami tidak tinggal di Makassar. Memang hanya sepelemparan batu sampai di wilayah kota (dengan catatan yang melempar adalah Gatotkaca). Hanya saja, secara administratif sudah termasuk Kabupaten Gowa.

Bukan bermaksud ngaku-aku “orang kota” kalau lebih sering menyebut Makassar sebagai tempat tinggal. Tapi, menyebut Makassar lebih memudahkan, terutama kalau cerita sama teman/keluarga jauh.

Bayangkan sebuah percakapan :

T : Tinggal di mana sekarang?

J : Di Gowa

T : Gowa??? Mmmmm.... Itu di Sulawesi ya?

J : Sebelah Makassar looh..

T : Ooo.. I see..

No offense ya buat orang Gowa yang baca ini. Bukan karena Gowa tidak terkenal. Di sekolah dasar, sudah ada informasi nama Kerajaan Gowa-Tallo dalam pelajaran. Tapi yaaaa.... Makassar kan ibu kota provinsi. Pasti lebih melekat dalam ingatan orang kebanyakan.

Ini serupa dengan dulu saat tinggal di Karo dan Siantar. Keluarga dan teman jauh biasanya akan lebih paham kalau saya menyebut Medan. Padahal Karo dan Siantar masih beberapa jam perjalanan dari Medan.

Sampai-sampai, banyak orang lebih suka mengaku dari kota besar dibandingkan asal aslinya (terutama dalam pembicaraan awal). Saya pikir, itu belum tentu karena mau sok ngaku orang kota (positif thinking). Seperti orang Sibolga ngaku Medan, atau Wonogiri ngaku Solo.  

Kalau lagi males berpanjang kata, menyebut keaslian nama daerah itu bikin ribet. Seperti :

T : Jawa-nya mana Mbak?

J : Temanggung

T : Tulungagung?

J : (Rrrrr...) Temanggung! (agak ngegas). Tulungagung di Jawa Timur. Kalau Temanggung di Jawa Tengah. (turunkan intonasi buat edukasi)

T : Oo...jauh dari Jogja?

J : Normal sekitar tiga jam lah.

J : Ooo.... jauh juga ya mbak

J : Iye ... (asli ndeso memang)


Review masa tinggal, mungkin lebih lazim nanti pas setahun yaaa. Namun, entah deh, tadi sambil mencuci piring, saya kok terpikir masalah waktu. Klise sih, manusia tidak punya kuasa untuk mengetahui waktu yang akan terjadi. Okelah manusia bisa meramal, baik dengan metode abal-abal atau teknik yang masuk akal. Tapi namanya ramalan kan bukan kepastian. Bisa terjadi, bisa tidak.

Jangankan beberapa tahun ke depan, lha wong bagaimana semenit ke depan, manusia juga nggak tahu. Siapa menyangka jika detik ini sedang enak-enak makan di restoran, lalu detik berikutnya terjadi ledakan hebat yang mematikan? Atau menit ini masih asik bercanda lalu menit selanjutnya mendapatkan telepon berisi kabar duka?

Uhuu, mikir begini jadi agak-agak takut ya. Namun, saya mengambil sisi baiknya kok. Yakni, dengan tidak tahu waktu ke depan, seharusnya jadi pengingat supaya tidak sembarangan menjalani waktu sekarang.

Well, entah akan berapa lama kami tinggal di Makassar. Setiap ditanya, akan berapa lama di .......(suatu tempat). Jawabannya selalu “nggak tahu.” Ya kan, suami sekadar menjalankan tugas perusahaan, sementara saya dan anak-anak sekadar  follower😀.

Eh kok terkesan pasrah tingkat tinggi gitu ya.... Ya kalaupun membuat keputusan sendiri yang akhirnya membuat kami pindah, setidaknya itu belum terjadi hari ini. Setidaknya, saat ini saya ingin review perjalanan sepuluh bulan di sini. Terutama dari sisi sosialisasi.

Pandemi dan Adaptasi

Sedikit intermezzo. Kemarin saya menemani Ale belajar untuk persiapan Ujian Tengah Semester.

T : Ale, apa lawan kata dari mahluk sosial?

J : Mahluk jomblo

😀😀😀😀😀😀 

Beberapa kali pindah kota, jadi terasa jika keterikatan kami dengan tempat lebih disebabkan karena hubungan sosial. Semaju apapun sebuah kota, tak banyak hal yang bisa dikenang ketika minim interaksi sosial. 

Mungkin karena saya dan BJ pada dasarnya orang kampung yaaa.... Gabungan budaya asal dan karakter pribadi membuat kami tak bisa hidup individualistis. Kami terbiasa dengan hubungan paguyuban  (gemeinschaft) dan merasa kurang hidup dengan pola yang cenderung patembayan (gesellschaft). Haha, maaap-maaap, saya sedang mere-call memori kuliah sosiologi pedesaan.

Saat pindah ke tempat baru, biasanya ada empat “sumber” hubungan sosial, yakni lingkungan tempat tinggal, relasi dari pekerjaan BJ, sekolah anak-anak, dan gereja. Namun, pandemi mengubah banyak tatanan. Termasuk dalam pembentukan lingkaran sosial kami di tempat baru.

Bisa dibilang, sepuluh bulan di sini, masih sedikit orang baru yang kami kenali. 

Dalam pekerjaan, BJ lebih banyak bekerja di rumah. Tidak lagi banyak kunjungan lapangan  seperti dulu-dulu. Selain karena pandemi, job desc BJ memang sudah berubah. Padahal, waktu di Siantar, saat weekend atau libur, saya dan bocils sering diajak BJ kunjungan lapang. Kami punya orangtua angkat di Simalungun dari jalur ini.

Di lingkungan tempat tinggal, relasi juga terbatas. Puji Tuhan, pemilik tempat tinggal yang adalah tetangga terdekat memperlakukan kami sebagai keluarga. Namun, selain mereka, kami tak mengenal banyak orang. Kompleks tempat tinggal kami terhitung besar. Namun, pola interaksi sedikit banyak sudah seperti di kota, dalam arti wajar saja tak kenal dengan tetangga sebelah. Terlebih saat pandemi seperti ini, saat keluar masker nyaris tak terlupakan. Jadi, sedikit mengenal wajah.

Dari sekolah anak-anak, biasanya saya akan mendapat teman sesama orangtua. Seperti waktu di Medan, pertemanan anak berlanjut ke pertemanan orangtua. Namun, seperti kita tahu, sampai saat ini anak-anak masih belajar di rumah.

Lalu, gereja. Jujur, sampai sejauh ini kami belum ke gereja lokal. Terlebih, bisa memutuskan untuk bergabung dengan sebuah gereja, seringkali bukan proses yang instan. Kalaupun turut dalam ibadah online, situasinya berbeda karena minim interaksi sosial.

Kadang terpikir,  selain pengaruh pandemi apakah juga karena kami kurang luwes membawa diri?  Saya sudah tergabung dengan grup WA ibu-ibu kompleks. Namun, sebagai “pendatang baru” saya sering nggak bisa ikutan haha-hihi, terlebih jika membahas hal-hal yang mereka sudah ketahui – tapi saya belum.

Nggak masalah juga sih, setidaknya ikut grup WA ibu-ibu sering memudahkan belanja ini-itu. Lha grup WA sudah seperti marketplace, banyak macam barang dijual dengan harga miring. Kalaupun sedikit lebih mahal, setidaknya sudah diantar sampai rumah. Saya pribadi enggak terganggu, malah senang karena terbantu urusan beli ini itu.

Yang lucu adalah kalau saya chat jalur pribadi untuk pesan barang. Dialek Makassar yang khas membuat saya sering tak cukup hanya sekali membaca pesan. Tak jarang, saya mesti mengulang pertanyaan demi memastikan kesatuan pemahaman.

Terhubung dengan “Tetangga”

Oh ya, seminggu terakhir saya terhubung dengan tetangga kampung. Sebelumnya saya chat dengan sepupu yang barusan pindah ke Jambi. Dia bilang, banyak orang dari kampung asal kami yang tinggal di seputaran tempat tinggalnya.  Sementara di sini, saya bahkan masih jarang ketemu orang Jawa. Bukan bermaksud primordialis, tapi kalau ketemu orang sedaerah itu kan beda aja rasanya...setidaknya bisa ngomong dengan bahasa asal.

Eh tetiba, ada masalah dengan mobil kerja BJ. Berhubung hari libur, BJ menghubungi teknisi via jalur pribadi. Sebelumnya BJ pernah ketemu teknisi itu di bengkel. Dari ngobrol-ngobrol, BJ tahu kalau teknisi itu berasal dari Temanggung. 

Pagi itu, si teknisi datang ke rumah. Jadi lah ngobrol-ngobrol di luar urusan mobil. Berbeda dengan BJ dan saya yang sudah cukup berumur, si teknisi masih muda banget. Belum terlalu lama lulus SMK yang letaknya di kecamatan asal saya. Kerja di Makassar adalah job pertamanya.

Lalu, beberapa hari lalu, ada pesan WA dari nomor yang belum tersimpan. Ia mengaku sebagai Mas T dan mendapat nomor saya dari Mbak Ani, kakak saya di kampung. Rrrrr, jujur saya ingat-ingat lupa dengan Mas T . Ingat kalau dia memang tetangga beda desa, tapi saya lupa wajahnya (kalau baca ini, maap ya mas😀😀).

Mas T bilang, dia tinggal di Palu (masih jauh dari Makassar tapi setidaknya sesama Sulawesi). Tapi adiknya tinggal di Makassar. Jadilah saya kontakan dengan K, adik Mas T. Saya juga agak-agak lupa dengan wajah K di masa dulu. Lumayan tertolong sih dengan profile picture WA-nya. Tapi kayaknya sudah jauh beda J. K janji kapan-kapan mau main ke tempat kami.

Sepuluh bulan di Makassar belumlah waktu yang panjang (jika dibandingkan dengan masa tinggal di kota-kota sebelumnya). Tetapi sepuluh bulan juga bukan waktu yang sebentar. Bulan-bulan pertama di sini, terasa berat terutama bagi BJ sehubungan adaptasi dengan pekerjaannya. Bahkan, sempat ada situasi yang bikin deg-degan ketika BJ terkonfirmasi positif Covid-19.

Dengan segala yang sudah terjadi, bersyukur bisa terlampaui sejauh ini. What’s next? We don’t know... Live it day by day and give thanks. Celebrate our daily life. (*)


Previous : Diajak ke Mappettuada, Lamaran Adat Bugis

 

 

59 komentar untuk "Sepuluh Bulan di Makassar"

  1. Seru ya ketemu sodara sedaerah di perantauan..

    BalasHapus
    Balasan
    1. iyuuuuu....ada sensasi tersendiri hihihi

      Hapus
    2. bener juga, rasanya lebih cepat akrab kan hihi

      Hapus
    3. apalagi kalau dulunya sudah kenal meski hanya selintas :)

      Hapus
  2. Memang sih, kalo sering berpindah tempat itu butuh penyesuaian dengan orang-orang baru dan suasana baru. Tapi daripada tinggal terpisah dari keluarga mending ikut sama-sama berjuang di perantauan

    BalasHapus
  3. Haloo mbak...
    Aku jg merasakan hal yg seperti itu sih. Terkadang orang2 hanya tau ibukota provinsi nya aja. Kota atau Kabupaten lain yg ada tidak terlalu terkenal 😅

    Misal, aku kan dari Palembang. Ditanya orang. "Waah, Palembang dimananya?"
    Aku jawab, "Di Plaju (salah satu nama Kecamatan di Palembang)"
    Respon dia, "Ooh Palembangnya bukan di Prabumulih yaa? Aku taunya Prabumulih."
    "Prabumulih itu ada di Kabupaten yang berbeda, bukan di kota Palembang bapakkk -__-"

    Sering banget hahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hallo masbro..
      lha saya pikir plaju itu malah nama kabupaten :)
      Nama Prabumulih saya baca di novel Saman Ayu Utami. Mantan kota tambang yang meninggalkan banyak cerita. Berapa jam ya dari palembang?

      Hapus
  4. Dengan tidak tahu waktu ke depan, seharusnya jadi pengingat supaya tidak sembarangan menjalani waktu sekarang.

    Wah, mbaaa ini QUOTE of The Day bangett nih!
    Makasii makasiii

    Btw, Temanggung iku mboten Ndeso lho Mbaaa wkwkwkwk (iyeehh, alm bapakku priyayi Temanggung soalnya wkwkwkw)

    BalasHapus
    Balasan
    1. soale alm bapak Mak Nurul asale Temanggung kota. Kalau daku memang Temanggung kluthuk Mbaak ^_^

      Hapus
  5. haha itu si teknisi langsung diajak ngobrol ngalor ngidul ya mbak :D
    Pindah tempat baru, butuh penyesuaian baru ya, apalagi saat pandemi sekarang ini. Tidak pandemi aja, kadang tetangga dekat rumah ya asal tau, jarang ngobrol, apalagi pandemi, keluar pake masker terus :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. haha iyaa mbak. Ga terlalu jauh pula rumah asal kami. Sebelahan kecamatan

      Hapus
  6. hehehe.. aku juga pengalam pindah - pindah negara mba... tapi di satu negara menetapnya lumayan lama. Australia 1.5 tahun, Swiss 4 tahun dan AS hampir 5 tahun, sisanya diselingi dengan tinggal di Jakarta. Yang penting semangat selalu dan bersyukur

    BalasHapus
    Balasan
    1. tapi yg saya baca dulu pasti bukan pengalaman mb indah. soalnya si istri emak2 rumahan kayak saya hehehe. Ketika pindah dengan status kerja (formal), beda lagi challenge-nya kan mbak.

      Hapus
  7. Akutuh paling sering bilang Medan ,drpd Sibolga kalo ngejelasin org mana hahahah. Malah sebenernya asal papa ku itu Sorkam, lebih jauuuuh LG dr Sibolga mba :D. Tp kalo Sibolga aja banyak org pada nanya bagian mana, apalagi kalo aku sebut Sorkam :D.

    Sbnrnya itu LBH Krn aku males jelasin hahahaha. Eh tapi ga salah juga aku sebut Medan sih. Krn ortu memang tinggalnya di Medan skr ini :D.

    Apa ya rasanya pindah2 gitu. Pgn, tp aku tahu rempongnya ga kuaaat hahahah. Suami udh ngerasain dari bayi 3 bulan udh diajak pindah2 negara. Dari Korut, Jepang, Jerman, Finland, Bulgaria. Krn mertuaku diplomat.

    Mama mertua prnh cerita rempongnya kirim itu barang, hrs pake kargo laut, dan biaya jgn tanya hahahaha. Aku LBH ngeliat ke arah seru ngerasain suasana baru, tp pasti ga pengen juga rasain ribet dan repot packingnya hahahahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kenapa ya aku tu kalau mengingat Sibolga sering tertukar dengan Balige... aneh hehehehe.
      Ya memang mbak, njelasin detail itu kadang malah jadi ribet. Cuman kadang malu kalao kebetulan ketemu orang yg tahu daerah. Udah ngaku Jogja/Semarang, eh dianya tau Temanggung bahkan sampai yg mblusuk2nya wkwkwkkw

      Hapus
  8. "sepelemparan batu sampai di wilayah kota (dengan catatan yang melempar adalah Gatotkaca).".... funny quote .... hehehe.... lol.

    menarik ceritanya ..... thank you for sharing

    BalasHapus
    Balasan
    1. kadang 0 menit perjalanan diibaratkan sepelemparan batu, kan nggak mungkin ya pak...etapi namanya juga pengibaratan. lebai dibolehkan hehehe

      Hapus
  9. Saya dan suami orang kampung banget, maksudnya emang nggak kemana2 dari dlu mbak hahha.. Eh tapi 2019 ternyata pekerjaan membawa suamiku ke tanah rantau. Rasanya, hmmmm repot banget banyak yang mesti dipersiapkan . Hebat banget mbak terbiasa pindah2 gituuu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. hihi..bukan hebat mbak tapi dipaksa keadaan. Sampai kalau mau beli barang perabot tu kadang mikir panjaaang..ntar kira2 gimana kalu pindahan hehehe

      Hapus
  10. Ini seperti kakak ipar saya, Mbak. Selalu pindah-pindah tugas. Jadi anak-anaknya pun beberapa kali pindah sekolah. Menurut kakak ipar, Makassar termausk kota yang nyaman untuk tinggal

    BalasHapus
    Balasan
    1. Puji Tuhan, so far secara garis besar saya juga nyaman-nyaman saja sih. Kalau kadang tidak nyaman, ya wajar lah ya...di mana pun tempat tinggal pasti selang-seling nyaman dan tidak nyaman.

      Hapus
  11. wah Makassar, aku baru sekali ke sana itu pun hanya 3 hari kalo gak salah buat mengunjungi beberapa tempat wisata seperti tanjung bira, kampung rammang-rammang,dan satu lagi kok aku lupa ya namanya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tiga hari dan sempat ke tanjung bira?
      Perjalanan padat agenda ya mbak.
      Saya belum terlaksana ke Tj Bira :)

      Hapus
  12. Mbkk samaan kita, aku juga beberapa kali pindah antar pulau per tiga tahun. Dulu masih berdua aja, rasanya kalo pindah itu seneng banget. Dapat teman baru, dll. Tapi sekarang udah ada di kecil, rasanya beda banget, lebih ribet hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. tambah anggota keluarga means tambah banyak barang. Tak bisa lagi sebentar berkemas lalu bergegas ya kan mbak Is? :) :)

      Hapus
  13. Iya Gowa dan Makassar itu daerahnya kayak Bogor dan Jakarta ya, tetanggaan...dulu waktu kecil sering pindah rumah karena ikut ayah pindah tugas, sekarang menetap di kampung suami.. Semoga betah ya di Makassar..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sebagai orang Jateng, saya malah nggak akrab dengan Semarang lho mbak dewie :)

      Hapus
  14. Akupun jg gitu mba kadang. Ditanya kalsel mana. Kalo dijawab banjarmasin langsung ngeh. Tp klo dijawab pelaihari auto bingung daerah mana. Haha

    BalasHapus
    Balasan
    1. haha iyaa mbak Winda.saya juga cuma tahu pelaihari itu di Kalimantan. Tapi enggak hafal Kalimantan mana

      Hapus
  15. Kog mirip kalilah cerita kita ini ya, Eda.
    Aku pun sering bilang orang Medan, kalau ada yang tanya pas aku di Kalimantan ini.
    Pasti langsung putus, ga pakek ditanya-tanya lagi.

    Lain cerita kalau aku bilang Siantar.
    Alamak, pasti panjang cerita, hahaha.

    Tapi kadang-kadang aku jawab juga Siantar.
    Nah, kalau langsung nyambung, senaaaaang kali kurasalah.
    Apalagi kalau kebetulan yang nanya itu lahir dan besar pulak di Siantar.
    Langsung lah kami bernostalgila, eh nostalgia, maksudnya.

    Kalau menurut aku sih lebih baik punya satu sahabat yang cocok dari pada 1000 kenalan yang tidak jelas, apalagi kalau sampai toxic friend. Hajab kita!

    Tapi memang sungguh terberkati bila sampai punya sahabat sejati!

    Nah, siapa tahu next, pindah ke Balikpapan.
    Kabrain lah ya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ashiaaap edaaa :)
      Lama di Sumut, aku jadi telanjur enak mar-eda. Jadi kadang dipikir asli orang sana (tapi kok dialeknya ada yg kurang hahahaha), atau setidaknya dipikir suami orang sana.
      Siantar kota yang banyak cerita buatku eda. Karena anak kedua lahir di sana, jadi sering kami bilang, kampungnya dia Siantar, bukan Jawa :)

      Hapus
  16. Sering berpindah tempat tinggal memang banyak suka dukanya ya mba. Senengnya bisa menambah pengalaman dan wawasan tentang daerah luar, dukanya harus selalu siap beradaptasi dengan lingkungan baru, orang baru dan suasana baru yang kadang tidak sesuai dengan ekspektasi. Namun apapun itu, tetap syukuri setiap hari yang penuh berkat :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yupiii mba Juli. Live it day by day...celebrate our daily life :)

      Hapus
  17. Setiap kota yang ditinggali selalu memberikan cerita yang berbeda ya... Di Makassar ini ceritanya berbeda banget gara-gara sedang pandemi ya...

    BalasHapus
    Balasan
    1. iyaaa bener mbak. Pandemi ini bikin cerita yang beda bangeeet

      Hapus
  18. Semangat y mba .. biarpun pindah2 malah bnyk positive bisa kenal bnyak daerah jadinya bisa sbg bahan tulisan, Dan yg terpenting jaga Kesehatan selalu.. walaupun sulit memang Kita adaptasi dgn yg baru butuh waktu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihi, iyaa mbak...ini update blognya jadi kebanyakan jalan-jalan. Soalnya jalan ke tempat deket rumah saja kan terasa baru dan bisa jadi konten

      Hapus
  19. Kok aku ketawa pas ditanya lawan mahluk sosial "mahluk jomblo" hahahahaa... bisa aja deh. ini. Semangat ya mbak, beberapa temanku juga ada yang pindah luar kota dan LN di saat pandemi seperti sekarang ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. wiuuu...pindah ke LN dalam sikon pandemi, pasti lebih ribeeeet prosesnya ya mbak Chie

      Hapus
  20. hahaha.. lah, Mbaaa ga usah kota kecil Kota besar macam Depok aja orang masih pada nanya. Temen-temen di Lampung pada bilangnya ade tinggal di Jakarta, Padahal kan Depok masuknya Jawa Barat, perlu 2 jam kalau dari Jakarta kotanya. Dan karena menurut mereka depok dekat dengan Jakarta, kadang saat mereka berkunjung ke Jakarta Barat, saya diminta ketemuan. Dan itu sore. Haduuuh.. dipikir bisa ngesot kesana... uhuhu..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Haduuuh....sempat dua bulan tinggal di Jkt dan bbrp kali bolak-balik Jkt-Bandung bikin saya merasa : fixed aku nggak pengin tinggal di Jabodetabek.
      Dasarnya orang kampung nihh mbaaak....ngeper duluan kalo lihat kota metropolitas hahahah

      Hapus
  21. Aleeee tante baru tahu ada mahkluk Jomblo loh, kasihan sekali hidupnya ya, selalu sendiri di mana yang lain bisa bersosial, ehhehee

    Mbak, sayapun pernah mengalami fase pidnah pindah, hal yang membuat saya terkaget kaget adalah selalu ada penambahan barang, pfuh

    BalasHapus
    Balasan
    1. hihihi...ini anak memang suka ngasal kalo menjawab. Dan menikmati jawaban2 sengklek macam itu. tapi malah jadi inget kalau pas ujian :)

      Hapus
  22. Teman suami ada yang pindah kerja ke Makassar dari Jakarta, malah kayaknya enak ya bisa menikmati hidup di negeri orang. Tapi aku mana bisa ninggalin mama di sini, hehe.. Pastinya beda tinggal di daerah sendiri sama daerah orang, banyak tantangannya. Sabar mba, sambil nikmatin indahnya pemandangan. Di pulau jawa udah banyak polusi soalnya hehe..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mungkin saya dan suami juga bisa leluasa karena ada saudara di rumah yang "jagain" ibu/ibu mertua. Satu sisi memang malah jadi ada perasaan kok kami ini selalu jauh (jarak tinggal) sama ortu.

      Hapus
  23. duuhhh makhluk jomblo , ngakak aku mbak
    sudah keliling kemana aja mbak selama di makasar, pasi jadi pengalaman berkesan yang tak terlupakan ya mbak

    BalasHapus
    Balasan
    1. paling jauh baru toraja sih mbak dian. Tiap jalan jadi konten blog hehehe

      Hapus
  24. aku masih penyesuaian mak
    pindah juga sama seperti yang aku tanyain waktu itu xixixi
    smoga rejeki kita dimudahin ya mak di tempat baru tetap berkah dimanapun

    BalasHapus
    Balasan
    1. waaah iya waktu itu sempat wa-nan ya mak.
      amiiin...di manapub berada banyak bahagia.

      Hapus
  25. Hihii...nge gas yaak...jadinya kalau ditanya tapi beda sama kenyataan.
    Sama banget kaya aku.

    "Lahir dimana?"

    "Di Pangkalan Brandan."

    "Di mana? Belanda?"

    Errrr~
    Yawes lah yaa...hihii~

    BalasHapus
    Balasan
    1. waaah..mak lendy dari brandan???
      pas di sumut aku nggak sempat mbolan sampe brandan

      Hapus
  26. semoga betah di tempat yang baru tentunya perlu adaptasi namun semoga dimudahkan urusannya

    BalasHapus
    Balasan
    1. amiin mbak Naq. Trimakasih supportnya :)

      Hapus
  27. Aduuuh saya jadi kangen kampung halaman
    Sudah nyaris 2 tahun tidak mudik ke sana
    Sudah banyak berubah
    Ada lagi tol baol baru di sana

    BalasHapus
    Balasan
    1. kalau mudik kabar2 mbak..mana tau saya juga masih di sini jadi bisa ketemuan :)
      Saya sudah jajal tol barunya lhoooo :)

      Hapus
  28. Wkwkwk sama kayak saya, kadang ada juga orang yg nggak ngerti Lamongan dimana sih? Akhirnya kalau ditanya biar cepet jawabnya asli mana? Surabaya 😄 tapi emang besar dan lahir di Surabaya kebetulan merantau di Lamongan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yang nggk ngerti Lamongan mungkin jarang jajan di warung tenda ya mbak :)
      Pecel Lele atau seafood lamongan itu kan seperti cicak....ada di mana-mana :)

      Hapus
  29. Kalau sering pindah tempat gitu, harus bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar, ya, Mbak. Kalau lingkungannya bagus dan menyenangkan, pasti lebih cepat beradaptasi. Semoga betah di tempat baru, ya ��

    BalasHapus

Terima kasih atas kunjungannya. Mohon tidak meninggalkan link hidup dalam komentar ya :)